Anda di halaman 1dari 17

MUTHLAQ DAN MUQAYYAD

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Ulumul Quran

Dosen Pengampu: Sofian Effendi, S.Th.I, MA

Disusun Oleh :

Qori Syifa Basani (19211276)

Ratu Dian Adawiyah (19211287)

Rifda Zulfia (19211289)

Risa Aisyah Afandi (19211292)

PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH

INSTITUT ILMU AL-QUR’AN (IIQ) JAKARTA 1440 H/ 2020 M


KATA PENGANTAR
                                        
            Alhamdulillah segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan segala rahmat, taufik, dan hidayahNya, sehingga penyusun mampu
menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam kepada sang pendidik sejati Rasulullah
SAW, serta para sahabat, tabi’in dan para umat yang senantiasa berjalan dalam risalahnya.
Dengan terselesainya makalah ini, kami tidak lupa mengucapkan terima kasih yang setulus-
tulusnya kepada semua pihak yang memberikan sumbangan baik moral maupun spiritual.
            Selanjutnya penyusun menyadari sepenuhnya bahwa dalam makalah ini banyak
terdapat kekurangan, walaupun penyusun sudah berusaha semaksimal mungkin untuk
membuat yang terbaik. Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa di dunia ini tidak ada yang
sempurna. Begitu juga dalam penyusunan makalah ini, yang tidak luput dari kekurangan
dan kesalahan. Oleh karena itu, dengan segala ketulusan dan kerendahan hati penulis sangat
mengharapkan saran dan kritik yang bersifat konstruktif demi penyempurnaan makalah ini. 
Akhirnya penyusun berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat. Amiin.

Pamulang, 2 Oktober 2020

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.......................................................................................................................2

Daftar Isi................................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.....................................................................................................4
B. Rumusan Masalah ...............................................................................................4
C. Tujuan Masalah....................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Muthlaq dan Muqayyad.....................................................................5


B. Penjelasan Muthlaq dan Muqayyad.....................................................................5
C. Contoh Muthlaq dan Muqayyad dalam Al-Qur’an..............................................7

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan..........................................................................................................15

Daftar Pustaka........................................................................................................................16
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Quran merupakan petunjuk bagi seluruh umat manusia. Al-Quran juga menjadi
penjelasan (bayyinat). Dari petunjuk tersebut sehingga kemudian mampu menjadi pembeda
(furqon) antara yang baik dengan yang buruk. Disinilah manusia mendapat petunjuk dari Al-
Quran. Manusia akan mengerjakan yang baik dan akan meninggalkan yang buruk atas dasar
pertimbangannya terhadap Al-Quran tersebut. Maka dari itu dalam makalah ini kami akan
membahas mengenai lafadz dari segi kandungan pengertiannya, diantaranya membahas
tentang mutlaq muqayyad.

Pembahasan tentang mutlaq dan muqayyad merupakan hal terpenting untuk dijelaskan
karena seseorang yang tidak mengerti akan perbedaan dari masing-masing keduanya
sehingga seseorang yang belajar tanpa mengetahui perbedaan dari mutlaq dan muqayyad
akan terjadi kesalahfahaman dalam mengartikan  sebuah ayat atau kitab lainnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Muthlaq dan Muqayyad?
2. Bagaimana penjelasan terkait Muthlaq dan Muqayyad?
3. Bagaimana contoh Muthlaq dan Muqayyad dalam Al-Qur’an?

C. Tujuan
1. Dapat mengetahui pengertian Muthlaq dan Muqayyad
2. Dapat mengetahui penjelasan terkait Muthlaq dan Muqayyad
3. Dapat mengetahui contoh Muthlaq dan Muqayyad dalam Al-Qur’an
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Muthlaq dan Muqayyad


1. Muthlaq

Secara etimologi kata muthlaq berasal dari kata athlaqa yang bermakna: melepaskan atau
membebaskan. Menurut Manna` Khalil Al-Qathan dalam kitabnya Mabahits fi `Ulumil Qur`an,
mutlaq adalah lafadz yang hanya bisa menunjukan satu hakikat dan dia tidak terikat pada suatu
apapun. Jadi hanya menunjukan satu zat tanpa ditentukan. Lafaz mutlaq ini pada umumnya berbentuk
lafaz nakirah.1 Seperti lafadz raqabah (‫ )رقبة‬di dalam Surah An-Nisa ayat 92

‫ر َرقَبَ ٍة ُّمؤ ِمنَ ٍة‬Fُ ‫فَتَحْ ِري‬

"(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman".

Lafal ini mencakup memerdekakan setiap hamba sahaya. Lafal ini juga berlaku umum untuk
semua jenis budak, baik mukmin maupun kafir.

Maka dapat diambil kesimpulan dari semua definisi diatas yang dimaksud dengan mutlaq
ialah suatu lafadz yang bermakna hakiki atau sesuatu yang sifatnya luas karena tidak adanya
penghubung dalam lafadz tersebut.

2. Muqayyad

Secara etimologi muqayyad berasal dari kata ‫ قيد‬yang berarti mengikat, membatasi dan
merintangi. Menurut Manna` Khalil Al-Qathan dan yang dimaksud dengan muqayad adalah
muqoyyad adalah sesuatu yang menunjukan hakikat namun dengan ikatan. Definisi
muqoyyad yang terdapat dalam studi Al-Qur’an adalah segala yang terdapat dalam lafadz-
lafadz yang menunjukan terhadap sesuatu yang sudah jelas Seperti lafadz raqabah (‫ )رقبة‬yang
dibatasi dengan lafadz iman dalam firman Allah,

‫ر َرقَبَ ٍة ُّم ْؤ ِمنَ ٍة‬Fُ ‫فَتَحْ ِر ْي‬

"(Hendaklah dia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman". (An-Nisa:92)

1
Manna’ Khalil Al-Qotthan, Mabahits fi Ulumil Qur’an, (t.tp : Haramain, t.th), hal.245
Dari semua definisi yang sudah dipaparkan kita dapat menarik kesimpulan bahwa yang
dimaksud dengan muqoyyad ialah suatu lafadz yang hakiki dan diikuti oleh lafadz yang
mensifatinya sehingga lafadz tersebut menjadi jelas.

B. Penjelasan Muthlaq dan Muqayyad


1. Muthlaq

Muthlaq menurut istilah ialah lafaz yang menunjukkan pada hakikat lafaz itu apa adanya
tanpa memandang jumlah maupun sifatnya. Misalnya firman Allah QS Al-Mujadalah : 3

‫ر َرقَبَ ٍة ِم ْن قَب ِْل أَ ْن يَتَ َماسَّا‬Fُ ‫قَالُوا فَتَحْ ِري‬


Lafas raqabah dalam ayat tersebut adalah lafaz khas yang muthlaq, karena tidak diberi qayyid
dengan sifat tertentu. Sehingga dengan demikian dapat mencakup seluruh macam budak, baik
budak yang mu’min maupun yang kafir.

Macam-Macam Lafadz Mutlaq

1. Sighat mutlaq2
Adalah isim nakirah yang hakiki dalam konteks kalimat positif bukan negatif.
Sementara isim nakirah tersebut bisa terdapat dalam stuktur kalimat:
a. Perintah dalam bentuk masdar
Kalimat perintah memiliki banyak gaya bahasa, salah satunya dengan masdar
Contoh: ‫ر َرقَبَ ٍة‬Fُ ‫فَتَحْ ِري‬
b. Perintah yang menggunakan kata kerja
Maka jika isim nakirah terdapat pada kalimat perintah yang menggunakan kata
kerja maka ia termasuk kepada lafadz mutlaq
Contoh: ً‫َحرِّر َرقَبَة‬
c. Berita yang kekinian dan futuristik (mudar’i)
Jika isim nakirah berada dalam kalimat berita yang menggunakan kata kerja
transitif berbentuk al-mudar’i maka status lafadznya adalah mutlaq
Contoh: ً‫أُ َحرِّ ُر َرقَبَة‬
2. Muqayyad

Muqayyad ialah lafaz yang menunjukkan pada hakikat lafaz tersebut dengan dibatasi oleh
sifat, keadaan, dan syarat tertentu. Atau dengan kata lain, lafaz yang menunjukkan pada
hakikat lafaz itu sendiri, dengan dibatasi oleh batasan, tanpa memandang pada jumlahnya.
Misalnya QS. An-Nisa: 92
2
https://WWW.tngkronganislami.net/mutlaq-dan-muqoyyad-dalam-Al-Qur’an-dan-hadis/ diakses pada
tanggal 20 november 2017
َ‫ر َرقَبَ ٍة ُم ْؤ ِمنَ ٍة‬Fُ ‫َما َكانَ لِ ُم ْؤ ِم ٍن أَ ْن يَ ْقتُ َل ُم ْؤ ِمنًا إِاَّل َخطَأ ً َو َم ْن قَتَ َل ُم ْؤ ِمنًا َخطَأ ً فَتَحْ ِري‬
Contoh di atas adalah lafaz muqayyad yang dibatasi dengan sifat.

2. Sighat muqoyyad
a. Isim al-‘alam
Bisa menjadi taqyid yang menghilangkan cakupan jenis kemutlakan lafadz
mutlaq secara menyeluruh
Contoh: ِ‫ر َر ُجالً اِ ْس ُمهُ ُم َح َّم ُد بْنُ َع ْب ِد هللا‬Fُ ْ‫َسأ َ ُزو‬
Cakupan jenis “orang laki-laki” telah hilang dan telah ditentukan hanya
Muhammad bin Abdullah, bukan Muhammad bin `Ali atau yang lain.
b. Isyarah
Isyarah bisa menjadi taqyid yang menghilankan jenis kemutlaqkan lafadz
mutlaq secara menyeluruh
contoh ‫أ ْك ِر ُم ُم ْسلِ ًما ه َُو هَ َذا‬
Cakupan jenis “orang muslim” telah hilang dan telah ditentukan hanya orang
ini, bukan itu, atau yang lain.
c. Sifat
Sifat (al-washf), atau lain-lain yang sejenis seperti syarat dan ghayah bisa
menjadi taqyid yang menghilangkan cakupan jenis kemutlaqan lafazh mutlaq
secara sebagian
Contoh: ‫أ ْك ِر ُم ُم ْسلِ ًما ِع َراقِيًّا‬
Cakupan jenis “orang muslim” telah hilang dan telah ditentukan hanya muslim
Irak, bukan yang lain, sementara jenis muslim yang lain tetap mutlaq. Mutlaq
seperti ini disebut mutlaq dua arah : di satu sisi mutlaq, di sisi lain muqayad.3
3. Antara Muthlaq dan Muqayyad

Telah disepakati bahwa jika ada lafaz muthtlaq yang hukum dan obyeknya sama dengan
lafaz yang muqayyad, maka pengertian lafaz yang muthlaq tersebut disesuaikan dengan lafaz
yang muqayyad. Misalnya surat Al Maidah : 3

‫ير َو َما أُ ِه َّل لِ َغي ِْر هَّللا ِ بِ ِه‬


ِ ‫ت َعلَ ْي ُك ُم ْال َم ْيتَةُ َوال َّد ُم َولَحْ ُم ْال ِخ ْن ِز‬
ْ ‫حُرِّ َم‬...

3
https://WWW.tngkronganislami.net/mutlaq-dan-muqoyyad-dalam-Al-Qur’an-dan-hadis/ diakses pada
tanggal 20 november 2017
Darah yang disebutkan di atas adalah bersifat muthlaq. Oleh karena itu, pengertian darah
yang bersifat muthlaq tersebut, disesuaikan dengan pengertian darah yang muqayyad dalam
QS. Al- An’am [6], 145:

ْ َ‫ي ُم َح َّر ًما َعلَى طَا ِع ٍم ي‬


Fٍ ‫ط َع ُمهُ إِاَّل أَ ْن يَ ُكونَ َم ْيتَةً أَوْ َد ًما َم ْسفُوحًا أَوْ لَحْ َم ِخ ْن ِز‬
ُ‫ير فَإِنَّه‬ َّ َ‫وح َي إِل‬ ِ ُ‫قُلْ اَل أَ ِج ُد فِي َما أ‬
ُ
‫ك َغفُو ٌر َر ِحي ٌم‬ َ َّ‫اغ َواَل عَا ٍد فَإِ َّن َرب‬ٍ َ‫ِرجْ سٌ أَوْ فِ ْسقًا أ ِه َّل لِ َغي ِْر هَّللا ِ بِ ِه فَ َم ِن اضْ طُ َّر َغ ْي َر ب‬

Oleh karena obyek kedua lafaz tersebut adalah sama, yakni darah, dan hukum keduanya juga
sama yaitu diharamkan, maka pengertian lafaz yang muthlaq tersebut disesuaikan dengan
lafaz yang muqayyad.19 Dengan demikian darah yang diharamkan ialah darah yang
mengalir. Adapun hati dan limpa tidak diharamkan, karena tidak termasuk kriteria darah yang
mengalir.

Pendapat mazhab Hanafiyah adalah jika lafaz muthlaq berbeda dengan muqayyad, dalam segi
hukum dan sebabnya, maka pengertian lafaz yang muthlaq tidak dapat disesuaikan dengan
yang muqayyad. Contoh perbedaan lafaz muthlaq dan muqayyad dari segi sebab tapi hukum
keduanya sama, adalah QS. An-Nisa’[4], 92:

‫ َخطَأ ً فَتَحْ ِري ُر َرقَبَ ٍة ُم ْؤ ِمنَ ٍة‬F‫َو َما َكانَ لِ ُم ْؤ ِم ٍن أَ ْن يَ ْقتُ َل ُم ْؤ ِمنًا إِاَّل خَ طَأ ً َو َم ْن قَت ََل ُم ْؤ ِمنًا‬

dan QS. Al-Mujadalah [58], 3:

‫ر َرقَبَ ٍة ِم ْن قَ ْب ِل أَ ْن يَتَ َماسَّا‬Fُ ‫م ثُ َّم يَعُو ُدونَ لِ َما قَالُوا فَتَحْ ِري‬Fْ ‫ُون ِم ْن نِ َسائِ ِه‬
Fَ ‫َوالَّ ِذينَ يُظَا ِهر‬

Dalam ayat kedua ini, budak disebutkan secara muthlaq, sedang pada ayat pertama
disebutkan secara muqayyad, yakni budak yang beriman. Pengertian lafaz yang muthlaq
dalam ayat ini, tidak dapat disesuaikan dengan lafaz yang muqayyad dalam ayat di atas,
karena faktor yang menyebabkan wajibnya membayar kafârah berbeda. Dalam ayat kedua
faktor yang menyebabkan wajibnya kafarat adalah zhihâr, sedang dalam ayat pertama adalah
pembunuhan. Meskipun akibat hukum keduanya adalah sama, yaitu memerdekakan budak.20
Dengan demikian, kafarat zhihar adalah memerdekan budak secara muthlaq, sedang kafarat
pembunuhan adalah memerdekakan budak dengan qayd yang beriman.

C. Contoh Lafadz Muthlaq dan Muqayad

Dalam status hukum dari lafaz mutlaq dan muqayad ini dapat dikategorikan dalam empat
bentuk di antaranya :4

1. Sebab dan hukumnya sama

4
Majmu’ah min Asatidzah Wa Al-Ulama’ Al-Mukhassisin, Mausu’ah Al-Qur’aniyah Al-Mukhtashah, (Mesir : Al-
Majlis Al-A’la Liay’uni Al-Islamiyah, 2002), hal.165
Adakalanya ketika menelaah lafaz mutlaq dan muqayad yang terkandung dalam satu ayat
dan dalam ayat lain sama dalam hukum dan sebab. Maka dalam hal ini status lafaz mutlaq
dibawakan kepada lafaz yang muqayad.5

Hal ini dapat dilihat dalam contoh surat Al-Maidah ayat 3:

َ ‫ةُ َوالنَّ ِط‬Fَ‫و َذةُ َو ْال ُمت ََر ِّدي‬FFُ‫ةُ َو ْال َموْ ق‬Fَ‫ ِه َو ْال ُم ْن َخنِق‬Fِ‫ير َو َما أُ ِه َّل لِ َغي ِْر هَّللا ِ ب‬
ُ‫ ة‬F‫يح‬ ِ ‫ت َعلَ ْي ُك ُم ْال َم ْيتَةُ َوال َّد ُم َولَحْ ُم ْال ِخ ْن ِز‬
ْ ‫حُرِّ َم‬
‫رُوا‬Fَ‫س الَّ ِذينَ َكف‬ َ ِ‫ق ْاليَوْ َم يَئ‬
ٌ ‫ بِاأْل َ ْزاَل ِم َذلِ ُك ْم فِ ْس‬F‫ب َوأَ ْن تَ ْستَ ْق ِس ُموا‬ ِ ‫ص‬ ُ ُّ‫َو َما أَ َك َل ال َّسبُ ُع إِاَّل َما َذ َّك ْيتُ ْم َو َما ُذبِ َح َعلَى الن‬
‫ا‬Fً‫اَل َم ِدين‬F‫يت لَ ُك ُم اإْل ِ ْس‬
ُ F‫ض‬ ِ ‫ت َعلَ ْي ُك ْم نِ ْع َمتِي َو َر‬ ُ ‫ت لَ ُك ْم ِدينَ ُك ْم َوأَ ْت َم ْم‬ُ ‫وْ َم أَ ْك َم ْل‬Fَ‫وْ ِن ْالي‬F‫اخ َش‬
ْ ‫وْ هُ ْم َو‬F‫ِم ْن ِدينِ ُك ْم فَاَل ت َْخ َش‬
‫ف إِل ِ ْث ٍم فَإِ َّن هَّللا َ َغفُو ٌر َر ِحي ٌم‬ َ ‫فَ َم ِن اضْ طُ َّر فِي َم ْخ َم‬
ٍ ِ‫ص ٍة َغ ْي َر ُمتَ َجان‬

“Diharamkan atasmu bangkai, dan darah, dan daging babi, (daging hwan) yang disembelih
selain atas nama Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang
diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan diharamkan
bagimu juga mengundi nasib dengan anak panah, mengundi nasib dengan anak panah itu
adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan)
agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari
ini, telah Kusempernakan untuk kamu agamamu, dan telah kucukupkan kepadamu nikmat-
Ku, dan telah Kuridhai agama Islam itu menjadi agamamu. Maka barang siapa terpaksa
karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun Lagi
Maha Penyayang”

Dan sebagaimana dalam surat Al-An`am ayat 145 :

ْ َ‫ي ُم َح َّر ًما َعلَى طَا ِع ٍم ي‬


Fٍ ‫ط َع ُمهُ إِاَّل أَ ْن يَ ُكونَ َم ْيتَةً أَوْ َد ًما َم ْسفُوحًا أَوْ لَحْ َم ِخ ْن ِز‬
ُ‫ير فَإِنَّه‬ َّ َ‫وح َي إِل‬ ِ ُ‫قُلْ اَل أَ ِج ُد فِي َما أ‬
ُ
‫ك َغفُو ٌر َر ِحي ٌم‬ َ َّ‫اغ َواَل عَا ٍد فَإِ َّن َرب‬ٍ َ‫ِرجْ سٌ أَوْ فِ ْسقًا أ ِه َّل لِ َغي ِْر هَّللا ِ بِ ِه فَ َم ِن اضْ طُ َّر َغ ْي َر ب‬

“Katakanlah “tiadalah aku memperoleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu
yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai,
atau darah yang mengalir, atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor, atau
binatang yang disembelih selain nama Allah. Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa
sedang dia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya
Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”

5
Manna’ Khalil Al-Qotthan, Mabahits fi Ulumil Qur’an, (t.tp : Haramain, t.th), hal.246
Jika kita melihat pada ayat pertama terdapat potongan kata ‫ الدَا ُم‬yang merupakan bentuk
lafadz mutlaq karna kata tersebut tidak ada batasan. Sedangkan pada ayat yg kedua terdapat
kata ‫فُوحًا‬F‫س‬
ْ ‫ دَا ًما َم‬kata ini termasuk kedalam lafadz muqoyyad dikarnakan ada sifat yang
menerangi darah tersebut yaitu mengalir.

Maka jika semakin ditelaah lagi bahwa kedua ayat tersebut memiliki hukum yang sama yaitu
tentang pengharaman derah dan juga memiliki sebab yang sama karna darah itu adalh sesuatu
yang kotor maka dapat disimpulkan bahwa dua ayat ini memiliki sebab dan hukum yang
sama.

Jika terdapat permasalahan seperti diatas maka dibawalah lafadz yang mutlaq kepada yang
muqoyyad hal ini dikarnakan jika beramal dengan yang muqoyyad berarti beramal dengan
keduanya namun jika menggunakan lafadz yang mutlaq maka beramal dengan satu ayat saja.
Maka beramal dengan dua ayat tersebut lebih utama dari pada beramal dengan satu ayat
(lafadz mutlaq).6

2. Sebab dan hukumnya beda

Adakalanya antara lafaz mutlaq dan muqayad berbeda dalam hukum dan berbeda juga
dalam sebab. Untuk lebih jelasnya akan dikemukakan contoh sebagaimana dalam surat Al-
Maidah ayat 38 :

ِ ‫َّارقَةُ فَا ْقطَعُوا أَ ْي ِديَهُ َما َج َزا ًء بِ َما َك َسبَا نَ َكااًل ِمنَ هَّللا ِ َوهَّللا ُ ع‬
‫َزي ٌز َح ِكي ٌم‬ Fُ ‫َّار‬
ِ ‫ق َوالس‬ ِ ‫َوالس‬

“Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan maka potonglah tangan mereka sebagai
pembalasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”

Kemudian dalam surat Al-Maidah ayat 6 juga dikemukakan mengenai kata-kata “tangan” :

Fِ ِ‫م إِلَى ْال َم َراف‬Fْ ‫صاَل ِة فَا ْغ ِسلُوا ُوجُوهَ ُك ْم َوأَ ْي ِديَ ُك‬
‫ق‬ َّ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا إِ َذا قُ ْمتُ ْم إِلَى ال‬

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mendirikan salat maka basuhlah
muka kalian dan tangan kalian sampai siku....”

6
Fahdi bin Abdurrahman bin Sulaiman Ar-Rumi, Dirasat Fi Ulumil Qur’an, (Huquq At-Thab’a Mahfudzah
Lilmuallif, 2003), hal. 442
َ ‫ اَ ْي ِد‬pada surah Al-Maidah ayat 38 kata
Dari kedua ayat diatas kita dapat menemukan kata ‫ي‬

َ ‫ اَ ْي ِد‬termasuk kedalam lafadz mutlaq karna tidak memiliki betasan tertentu. Sedangkan pada
‫ي‬
َ ‫ اَ ْي ِد‬namun pada ayat ini kata
surah Al-Maidah ayat 6 terdapat pula kata kata ‫ي‬ َ ‫ ِد‬F‫اَ ْي‬
‫ي‬
ْ Fِ‫ ال َم َراف‬jika terjadi permasalahan seperti ini maka tidak diperkenankan
dikaitkan kepada ‫ق‬
membawa lahfadz mutlaq kepada muqoyyad. Dikarnakan adanya perbedaan hukum antara
pencurian dalam mutlaq dan pencurian dalam muqoyyad.selain itu juga berbeda hukum.
Hukum yang diberikan pada pencurian yaitu dengan potong tangan sedangkan pada wudhu
hukumnya yaitu membasuh tangan.7

Menurut Zarkasyi dalam kitabnya Al-Burhan, jika terdapat dalil bahwa mutlaq telah dibatasi,
maka yang mutlaq dibawa kepada yang muqoyyad. Namun jika tidak terdapat dalil maka
yang mutlaq tidak boleh dibawa kepada yang muqoyyad. Ia tetap dalam kemutlaqkannya.8

3. Berbeda dalam sebab sama dalam hukum

Dalam hal ini ada dua bentuk9:

Pertama, taqyid atau batasannya hanya satu. Misalnya dalam pembebasan budak dalam hal
kafarah. Budak yang dibebaskan disyaratkan harus budak “beriman” dalam kafarah
pembunuhan tak sengaja. Allah berfirman dalam surat An-nisa` ayat 92:

‫ َخطَأ ً فَتَحْ ِري ُر َرقَبَ ٍة ُم ْؤ ِمنَ ٍة‬F‫َو َما َكانَ لِ ُم ْؤ ِم ٍن أَ ْن يَ ْقتُ َل ُم ْؤ ِمنًا إِاَّل خَ طَأ ً َو َم ْن قَت ََل ُم ْؤ ِمنًا‬

“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain) kecuali
akrena tersalah (tidak sengaja). Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena
tersalah, hendaklah ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman....”

Sedangkan dalam kafarah zihar ia diungkapkan secara mutlaq, hal ini sebagaimana yang
terdapat dalam surat Al-Mujadilah ayat 3 :

‫ر َرقَبَ ٍة ِم ْن قَ ْب ِل أَ ْن يَتَ َماسَّا‬Fُ ‫م ثُ َّم يَعُو ُدونَ لِ َما قَالُوا فَتَحْ ِري‬Fْ ‫ُون ِم ْن نِ َسائِ ِه‬
Fَ ‫َوالَّ ِذينَ يُظَا ِهر‬

“Dan orang-orang yang menzihar istrinya kemudian mereka hendak menarik kembali apa
yang telah mereka katakan, maka merdekakanlah budak sebelum bercampur...”

7
Fahdi bin Abdurrahman bin Sulaiman Ar-Rumi, Dirasat Fi Ulumil Qur’an, (Huquq At-Thab’a Mahfudzah
Lilmuallif, 2003), hal. 442
8
Baharuddin Az-Zarkasy, Al-Burhan Fi Ulumil Qur’an Juz II, Muhaqiq : Muhammad Abu Fadhl Ibrahim (Dar Ihya
Al-Kutub Al-Arabiyah Isa Al-Babi Al-Hali Wa Syirkaihi, 1957), hal.15
9
Manna’ Khalil Al-Qotthan, Mabahits fi Ulumil Qur’an, (t.tp : Haramain, t.th), hal. 246-248
Dalam memahami ayat diatas kita perlu melihat sebab dari kedua ayat tersebut. Dari kedua
ayat tersebut memiliki dua sebab yang berbeda. Pada potongan ayat A-Nissa ayat 92
pembebasan budak disebabkan karna pembunuhan tersalah terhadap orang mumin sedangkan
pada surah Al-Mujadalah ayat 3 pembebasan budak disebabkan karena menzirah istri. Dan
jika kita lihat dari segi hukum, kedua ayat tersebut sama hukumnya yaitu memerdekakankan
budak. Akan tetapi pada permasalahan zihar disebutkan dengan kata ٌ‫( َرقَبَة‬mutlaq). Dan pada

pembunuhan tersalah terhadap orang mukmin diungkapkan dengan ‫( َرقَبَ ٍة ُم ْؤ ِمنَ ٍة‬muqoyyad).10

Dalam permasalahan ini segolongan ulama yaitu malikiyah dan sebagian besar safi’iyah
berpendapat lafadz yang mutlaq harus dibawa kepada muqoyyad tanpa memerlukan dalil lain.
Namun tidak demikian dengan mazhab hanafiyah, berpendapat , lafadz yang mutlaq tidak
dapat dibawa kepada yang muqoyyad kecuali berdasarkan dalil.11

Argumen yang mendukung pendapat safi’iyah Mutlaq dan muqoyyad pada dasarnya sama
seperti amm dan khas, mujmal dan mubayyan. Maka apabila ada lafadz mutlaq dan
muqayyad hal ini berarti bahwa muqoyyad menjelaskan yang mutlaq.12

Kedua, taqyid (pembatasnya) berbeda. Misalnya : “puasa kafarah” ia ditaqyidkan dengan


berturut-turut dalam kafarah pembunuhan,

‫م َشه َْر ْي ِن ُمتَتَابِ َعي ِْن تَوْ بَةً ِمنَ هَّللا ِ َو َكانَ هَّللا ُ َعلِي ًما َح ِكي ًما‬Fُ ‫صيَا‬
ِ َ‫فَ َم ْن لَ ْم يَ ِج ْد ف‬...

“…Barang siapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah si pembunuh itu berpuasa dua
bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana” (Q.S An-Nisa` : 92)

Berkaitan dengan puasa kafarah bagi orang-orang yang mengerjakan haji tamattu`
ditaqyidkan dengan “terpisah-pisah” (maksudnya puasa itu tidak boleh dilakukan secara
berturut-turut). Sebagaimana firman Allah :

ُ‫ي َم ِحلَّه‬ ُ ‫ ْد‬Fَ‫ َغ ْاله‬Fُ‫ ُك ْم َحتَّى يَ ْبل‬F‫وس‬ ِ ْ‫َوأَتِ ُّموا ْال َح َّج َو ْال ُع ْم َرةَ هَّلِل ِ فَإِ ْن أُح‬
ِ ‫ ْد‬Fَ‫م فَ َما ا ْستَ ْي َس َر ِمنَ ْاله‬Fُْ‫صرْ ت‬
َ ‫وا ُر ُء‬FFُ‫ي َواَل تَحْ لِق‬
ْ Fِ‫إِ َذا أَ ِم ْنتُ ْم فَ َم ْن تَ َمتَّ َع ب‬F َ‫ُك ف‬
‫ال ُع ْم َر ِة‬F ٍ ‫ص َدقَ ٍة أَوْ نُس‬ ِ ‫فَ َم ْن َكانَ ِم ْن ُك ْم َم ِريضًا أَوْ بِ ِه أَ ًذى ِم ْن َر ْأ ِس ِه فَفِ ْديَةٌ ِم ْن‬
َ ْ‫صيَ ٍام أَو‬

10
Fahdi bin Abdurrahman bin Sulaiman Ar-Rumi, Dirasat Fi Ulumil Qur’an, (Huquq At-Thab’a Mahfudzah
Lilmuallif, 2003), hal. 442
11
Manna’ Khalil Al-Qotthan, Mabahits fi Ulumil Qur’an, (t.tp : Haramain, t.th), hal. 246-248
12
Muhammad Bakar Ismail, Dirasat Fi Ulumil Qur’an (t.tp : Dar Al-Mannar, 1999), hal. 228
ٌ‫ة‬FFَ‫صيَا ُم ثَاَل ثَ ِة أَي ٍَّام فِي ْال َحجِّ َو َس ْب َع ٍة إِ َذا َر َج ْعتُ ْم تِ ْلكَ َع َش َرةٌ َكا ِمل‬ ِ َ‫ي فَ َم ْن لَ ْم يَ ِج ْد ف‬ ِ ‫إِلَى ْال َح ِّج فَ َما ا ْستَ ْي َس َر ِمنَ ْالهَ ْد‬
‫ب‬ِ ‫اض ِري ْال َم ْس ِج ِد ْال َح َر ِام َواتَّقُوا هَّللا َ َوا ْعلَ ُموا أَ َّن هَّللا َ َش ِدي ُد ْال ِعقَا‬ ِ ‫َذلِكَ لِ َم ْن لَ ْم يَ ُك ْن أَ ْهلُهُ َح‬

“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Jika kamu terkepung terhalang
oleh musuh atau karena sakit, maka sembelihlah qurban, dan jangan kamu mencukur
kepalamu sebelum qurban sampai di temapt penyembelihannya jika ada di antaramu yang
sakit atau gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajib atasnya fidhah yaitu
berpuasa, bersedekah, atau berqurban. Apabila kamu telah merasa aman, maka bagi siapa
yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia
menyembelih) qurban yang mudah di dapat. Tetapi jika ia tidak mendapatkan (binatang
qurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari
setelah pulang kembali. Itulah sepuluh hari yang sempurna. Demikian itu (kewajiban
membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada di sekitar masjidil haram
(orang-orang yang bukan penduduk kota Makkah). Dan bertakwalah kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaannya” (Q.S Al-Baqarah : 196)

Kemudian ada lagi ketentuan puasa secara mutlaq, tidak ditaqyidkan dengan “berturut-turut”
atau “terpisah pisah” dalam mengqadha` puasa ramadahan :

‫ا ُم‬F‫ةٌ طَ َع‬Fَ‫هُ فِ ْدي‬Fَ‫ َر َو َعلَى الَّ ِذينَ ي ُِطيقُون‬Fَ‫ َّدةٌ ِم ْن أَي ٍَّام أُخ‬F‫فَ ٍر فَ ِع‬F‫ أَوْ َعلَى َس‬F‫ا‬F‫يض‬ ً ‫انَ ِم ْن ُك ْم َم ِر‬FF‫ت فَ َم ْن َك‬ ٍ ‫ دُودَا‬F‫أَيَّا ًما َم ْع‬
َ‫ َخ ْي ٌر لَ ُك ْم إِ ْن ُك ْنتُ ْم تَ ْعلَ ُمون‬F‫و َخ ْي ٌر لَهُ َوأَ ْن تَصُو ُموا‬Fَ ُ‫ع خَ ْيرًا فَه‬
Fَ ‫ين فَ َم ْن تَطَ َّو‬
ٍ ‫ِم ْس ِك‬

“(Yaitu), dalam beberapa hari yang ditentukan. Maka barang siapa di antara kamu ada yang
sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka wajib baginya berpuasa sebanyak hari
yang ditinggalkannya itu pada hari yang lain. dan wajib bagi orang yang menjalankannya
(jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin.
Barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik
baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”. (Q.S Al-Baqarah : 184)

Dari keseluruhan ayat diatas membahas tentang hukuman kafarah puasa yang disebabkan
karna pembunuhan, zirah, maupun melakukan haji tamattu diqoyyidkan dengan kata-kata
berturut-turut dan tidak berturut-turut. Namun dalam mengqada puasa tidak ada keterangan
berturut-turut ataupun tidak berturut-turut sehingga tidak dibatasi (qoyid). Jadi dalam hal
seperti ini yang mutlaq tidak bisa dibawa kepada yang muqoyyad. Disebabkan karena
meskipun pada sebab berbeda dan hukumnya sama adalah berpuasa namun pembatasan dari
beberapa ayat berbeda-beda. Sebagaimana yang dikatakan oleh Manna’ Khalil Al-Qattan
membawa mutlaq kepada dua muqoyyad itu merupakan tarjih (menguatkan sesuatu tanpa ada
penguat).13

4. Sebab sama dan berbeda dalam hukum

Dalam hal ini sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 6 :

‫ ُك ْم َوأَرْ ُجلَ ُك ْم‬FF‫وس‬


ِ ‫ق َوا ْم َسحُوا بِ ُر ُء‬ Fِ ِ‫م إِلَى ْال َم َراف‬Fْ ‫ ُوجُوهَ ُك ْم َوأَ ْي ِديَ ُك‬F‫صاَل ِة فَا ْغ ِسلُوا‬
َّ ‫يَاأَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا إِ َذا قُ ْمتُ ْم إِلَى ال‬
‫تُ ُم‬FF‫ضى أَوْ َعلَى َسفَ ٍر أَوْ َجا َء أَ َح ٌد ِم ْن ُك ْم ِمنَ ْالغَائِ ِط أَوْ اَل َم ْس‬ َ ْ‫إِلَى ْال َك ْعبَي ِْن َوإِ ْن ُك ْنتُ ْم ُجنُبًا فَاطَّهَّرُوا َوإِ ْن ُك ْنتُ ْم َمر‬
َ F‫ ُد هَّللا ُ لِيَجْ َع‬F‫ا ي ُِري‬F‫هُ َم‬F‫م ِم ْن‬Fْ ‫ ِدي ُك‬Fْ‫م َوأَي‬Fْ ‫و ِه ُك‬FF‫حُوا بِ ُو ُج‬F‫ص ِعيدًا طَيِّبًا فَا ْم َس‬
‫ل َعلَ ْي ُك ْم ِم ْن‬F َ F‫النِّ َسا َء فَلَ ْم تَ ِجدُوا َما ًء فَتَيَ َّم ُموا‬
F‫ج َولَ ِك ْن ي ُِري ُد لِيُطَه َِّر ُك ْم َولِيُتِ َّم نِ ْع َمتَهُ َعلَ ْي ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُكرُون‬
ٍ ‫َح َر‬

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai siku, dan sapulah kepalamu dan basuh kakimu sampai kedua
mata kaki, dan jika kamu junub, maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan
atau kembali dari tempat buang air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih);
sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkanmu, tetapi
dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya supaya kamu bersyukur”

Pada ayat yang telah tertera diatas dapat kita ketahui bahwasanya didalam ayt ini terdapat dua
lafadz mutlaq dan muqoyyad. Allah berkata dalam permasalahan whudu " ‫سلُوْ ا ُوجُوْ هَ ُك ْم َو‬
ِ ‫فَا ْغ‬
‫ ِديَ ُك ْم‬F‫ اَ ْي‬Allah mengkoyyidkan tangan pada siku sedangkan saat Allah berbicara mengenai
masalah tayyamum “ ‫م‬Fْ ‫ ِديُ ُك‬F‫وْ ِه ُك ْم َو اَ ْي‬FF‫ج‬
ُ ‫حُوْ ا بِ ُو‬F‫ " فَا ْم َس‬Allah mnggunakan lafadz mutlaq karna
tangan disitu tidak terikat pada apapun. Jadi sdapat dikatakan bahwa sebab pada lafadz
mutlaq dan muqoyyad itu sama saja karna adanya najis. Namun pada hukumnya berbeda
karna pada wudhu dikatakan memcuci tangan sampai siku sedangkan pada tayyamum tidak
dikatakan demikian.14

Ada pendapat terkait hal inibahwa hal yang mutlaq tidak dibawa kepada yang muqoyyad
karna berlainan hukumnya. Namun Al-Gozali menukwil dari mayoritas ulama Syafi’iyah
bahwa mutlaq disini bisa dibawa kepada muqoyyad karna seabnya sama sekalipun hukumnya
berbeda.15
13
Manna’ Khalil Al-Qotthan, Mabahits fi Ulumil Qur’an, (t.tp : Haramain, t.th), hal. 248
14
Majmu’ah min Asatidzah Wa Al-Ulama’ Al-Mukhassisin, Mausu’ah Al-Qur’aniyah Al-Mukhtashah, (Mesir : Al-
Majlis Al-A’la Liay’uni Al-Islamiyah, 2002), hal. 166
15
Manna’ Khalil Al-Qotthan, Mabahits fi Ulumil Qur’an, (t.tp : Haramain, t.th), hal.246
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Mutlaq adalah lafadz-lafaz yang menunjukkan suatu hakekat tanpa ada batasan (qayid) tertentu.
Sedangkan muqayyad adalah lafadz-lafaz yang menunjukan suatu hakekat dengan ada batasan (qayid)
tertentu. Lafadz mutlaq menjadi tidak terpakai jika ada lafadz muqayyad yang menjelaskan sebab dan
hukum tersebut. Pembagian lafadz mutlaq dan muqayyad ada empat bentukbentuk yang realistis
yaitu: sebab dan hukumnya sama, sebab sama namun hukum berbeda, sebab berbeda namun hukum
sama, sebab dan hukum berbeda.

DAFTAR PUSTAKA

Baharuddin Az-Zarkasy, Al-Burhan Fi Ulumil Qur’an Juz II, Muhaqiq : Muhammad Abu
Fadhl Ibrahim (Dar Ihya Al-Kutub Al-Arabiyah Isa Al-Babi Al-Hali Wa Syirkaihi, 1957)
Fahdi bin Abdurrahman bin Sulaiman Ar-Rumi, Dirasat Fi Ulumil Qur’an, (Huquq At-
Thab’a Mahfudzah Lilmuallif, 2003)

https://WWW.tngkronganislami.net/mutlaq-dan-muqoyyad-dalam-Al-Qur’an-dan-hadis/
diakses pada tanggal 20 november 2017

Muhammad Bakar Ismail, Dirasat Fi Ulumil Qur’an (t.tp : Dar Al-Mannar, 1999)

Majmu’ah min Asatidzah Wa Al-Ulama’ Al-Mukhassisin, Mausu’ah Al-Qur’aniyah Al-


Mukhtashah, (Mesir : Al-Majlis Al-A’la Liay’uni Al-Islamiyah, 2002)

Manna’ Khalil Al-Qotthan, Mabahits fi Ulumil Qur’an, (t.tp : Haramain, t.th)

Anda mungkin juga menyukai