Anda di halaman 1dari 6

JURNAL STAIS AL –IKHLAS DAIRI : Pendidikan Agama

ISLAM
Jl. Mesjid No. 2 Sidikalang

“ MUHKAM DAN MUTASYABIH “


Sekolah Tinggi Agama Islam Al – Ikhlas Dairi Sidikalang
Tahun 2022
Oleh : “ Laila Sari Kudadiri”, “ Lusiana”, “ Mahangga Kudadiri “

ABSTRAK

Latar Belakang Al-Qur’an adalah kalam Tuhan yang dijadikan pedoman dalam setiap aspek

kehidupan umat Islam, tentunya harus dipahami secara mendalam. Pemahaman al-Qur’an dapat

diperoleh dengan mendalami atau menguasai ilmu-ilmu yang tercakup dalam ulum al-Qur’an. Dan

menjadi salah satu bagian dari cabang keilmuan ulum al-Qur’an adalah ilmu yang memnahas

tentang Muhkam dan Mutasyabih ayat. Muhkam Mutasyabih ayat hendaknya dapt dipahami secara

mendalam. Hal ini dikarenakan, dua hal ini termasuk dalam objek yang urgen dalam kajian atau

pemahaman al-Qur’an. Berdalih agar tidak terjadi ketimpangan dalm memahami ayat-ayat al-

Qur’an khususnya dalam ranah Muhkam dan Mutasyabih, maka kelompok kami menyusun makalah

yang membahas tentang kedua hal tersebut. Untuk keterangan lebih lanjut mengenai ketentuan dan

hal-hal yang berhubungan dengan Muhkam dan Mutasyabih, akan dijelaskan dalam bab berikutnya

yaitu bab pembahasan.

Rumusan Masalah : Bagaimana Pengertian Muhkam dan Mutasyabih , Bagaimana Pandangan


Para Ulama’ Mengenai Muhkam dan Mutasyabih ?, Bagaimana Hikmah dari Keberadaan

Ayat Muhkam dan Mutasyabih ?

1
PEMBAHASAN

A. Pengertian Muhkam dan Mutasyabih

Muhkam secara lughawi berasal dari kata hakama. Kata hukm berarti memutuskan antara
dua hal atau lebih perkara, maka hakim adalah orang yang mencegah yang zalim dan memisahkan
dua pihak yang sedang bertikai. Sedangkan muhkam adalah sesuatu yang dikokohkan, jelas, fasih,
dan membedakan antara yang hak dan yang bathil.[1] Sedang dalam kitab Mabahits fii Ulum al-
Qur’an dijelaskan:

]2[.‫بعلمه‬ ‫ ما استأثر هللا‬:‫ ما عرف المراد منه – والمتشابه‬:‫المحكم‬


Artinya:
“Muhkam adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya, sedangkan mutasyabih hanyalah
diketahui maksudnya oleh Allah sendiri.”
Mutasyabih secara bahasa berasal dari kata tasyabuh yang berarti keserupaan dan kesamaan
yang biasanya membawa kesamaran antara dua hal.[3] Adapun secara istilah, mutasyabih adalah
lafadz yang maksud dan maknanya hanya diketahui oleh Allah S.W.T., dan tidak dapat diketahui
oleh manusia.[4]
Mayoritas ulama ahl al-Fiqh mengemukakan, muhkam ialah lafadz yang tidak dapat
ditakwilkan kecuali hanya satu segi makna saja. Mutasyabih ialah lafadz yang artinya dapat
ditakwilkan ke dalam beberapa segi karena masih terdapat kesamaran, seperti masalah surga,
neraka, dan lain sebagainya.

B. Sikap Para Ulama’ terhadap Ayat-Ayat Muhkam dan Mutasyabih

Sumber perbedaan pendapat berpangkal pada masalah waqaf dalam ayat :

}٧ : ‫ {العمران‬....‫ َو َم ا َيْع َم ُل َتْأِوْيَلُۤه ِااَّل ُهللا َو الَّراِس ُخ وَن ِفى اْلِع ْلمِ َيُقْو ُلْو َن آَم َّناِبه‬...

Pertama : apakah kedudukan lafaz ini sebagai mubtada’ yang khabarnya


adalah ‫َيُقْو ُل ْو َن‬, dengan “wawu” diperlakukan sebagai huruf isti’nâf (permulaan)
‫ُۤه‬
dan waqaf dilakukan pada lafaz ‫َو َم ا َيْع َم ُل َتْأِو ْيَل ِااَّل ُهللا‬.

Kedua : ataukah ia ma’tȗf, sedang lafaz ‫ َيُقْو ُل ْو َن‬menjadi hâl dan waqafnya pada
lafaz ]5[ .‫َو الَّراِس ُخ وَن ِفى اْلِع ْلم‬

Ulama yang berpendapat mengenai ayat-ayat muhkam dan mutasyabih terbagi menjadi
dua: Madzhab Ulama Salaf dan Madzhab Ulama Khalaf.

2
1

1. Madzhab Ulama Salaf

Orang-orang yang mempercayai dan mengimani sifat-sifat mutasyabih itu dan menyerahkan
hakikatnya kepada Allah sendiri. Mereka mensucikan Allah dari pengertian-pengertian lahir bagi
Allah dan mengimaninya sebagaimana yang diterangkan Al-Qur’an serta menyerahkan urusan
mengetahui hakikatnya kepada Allah sendiri. Ketika Imam Malik ditanya tentang
makna istiwa’, dia berkata:

‫َاِاْل ْس ِتَو اُء َم ْع ُلْو ٌم َو اْلَكْيُف َم ْج ُهْو ٌل َو الَّسَؤاُل َع ْنُه ِبْد َع ٌة َو َاُظُّنَك َر ُج َل الُّس ْو ِء َاْخ ِرُج ْو ُه‬
. ‫َع ِّنْي‬

Artinya: Istiwa’ itu maklum, caranya tidak diketahui, mempertanyakannya bid’ah


(mengada-ada), saya duga engkau ini orang jahat. Keluarkan olehmu orang ini dari majlis saya.
Maksud istiwa’ (bersemayam) telah kita ketahui, namun mengenai bagaimana caranya kita
tidak mengetahuinya. Iman kepadanya adalah wajib dan menanyakan adalah bid’ah. “Rabi’ah bin
Abdur-rahman, guru Malik, jauh sebelumnya pernah berkata: “Arti istiwa’ sudah kita ketahui, tetapi
bagaimana caranya tidak diketahui. Hanya Allahlah yang mengetahui apa sebenarnya. Rasul pun
hanya menyampaikan, sedang kita wajib mengimaninya.” Jadi, jelaslah bahwa arti istiwa’ itu
sendiri sudah diketahui tetapi caranyalah yang tidak diketahui.[6]
Dalam menerapkan sistem ini, madzhab salaf mempunyai dua argumen, yaitu argumen aqli
dan argumen naqli. Argumen aqli adalah bahwa menentukan maksud dari ayat-ayat mutasyabihat
hanyalah berdasarkan kaidah-kaidah kebebasan dan pengunaannya di kalangan bahasa Arab.
Penentuan seperti ini hanya dapat menghasilkan ketentuan yang bersifat zanni (tidak pasti).
Lantaran dasar yang memutuskan dan menyerahkan ketentuan maksudnya kepada Allah Yang
Maha Mengetahui dan Maha Mengenal.[7]
Adapun dalam argumen naqli, mereka mengemukakan beberapa hadits dan atsar.
Diantaranya :

‫ (ُه َو اَّل ِذ ى َأْن َز َل َع َلْي َك‬: ‫ ٰه َذ ا اٰاْل َي َة‬.‫ع‬.‫ َتاَل َو ُس ْو ُل ِهللا ص‬: ‫َع ْن َع اِئَش َة َق اَلْت‬
‫ َف ِاَذ ا َر َأْيَت‬: .‫ع‬.‫ َق اَل َر ُس وُل ِهللا ص‬: ‫ ُـ وُلوا اْلَب اِب) َق اَلْت‬... ‫اَلى َقْو ِل ِه‬... ‫اْلِكَتاب‬
‫ –رواه البجارى و‬. ‫اَّلِذ ىَن َيَّتِبُعْو َن َم ا َتَش اَبَه ِم ْن ُه َفُأوٰل ِئ َك اَّل ِذ ْيَن َس َّم ى ُهللا َفاْح َذ ْر ُهْم‬
-‫مسلم‬

“Dari Aisyah, ia berkata: Rasul SAW. membaca ayat: “inilah yang menurunkan al-Kitab (al-
Qur’an) kepadamu”, sampai kepada “orang-orang yang berakal”, berkata ia : Rasul SAW. berkata:
“jika engkau melihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat yang musytabihat daripadanya maka

1[1] Muhammad Chirzin, Al Qur’an dan Ulumul Qur’an (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 2000), 70.
[2] Manna’ al-Qathan, Mabahits fii Ulum al-Qur’an (Mesir: Maktabah Wahbah, 1973), 216.
[3] Ahmad Syadali dan Ahmad Rafi’i, Ulumul Qur’an I (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 199.
[4] Usman, Ulumul Qur’an (Yogyakarta: Teras, 2000), 221.
[5] Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 122.

3
mereka itulah orang-orang yang disebut Allah, maka hati-hatilah terhadap mereka”. (dikeluarkan
oleh Bukhari dan Muslim dan yang lainnya).[8]

Ini menunjukkan bahwa wawu untuk isti’naf(permulaan). Di samping itu, ayat tersebut juga
mencela orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutsyabihat dan memberikan mereka itu sebagai
yang mempunyai kecenderungan kepada kesesatan dan mencari fitnah. Sebaliknya, ayat yang sama
memuji orang-orang yang menyerahkan pengetahuan tentang itu kepada Allah.

2. Madzhab Ulama Khalaf

Madzhab ini berpendapat, bahwa waqaf(memberhentikan bacaan) dalam ayat (surat Ali-
Imran: 7) di atas adalah lafal : ‫َو الَّراِس ُخ وَن ِفى اْلِع ْلِم‬. dengan demikian, selain Allah, orang-
orang yang mendala ilmunya juga dapat mengetahui takwil dari ayat-ayat mutâsyabihât itu.
Adapun wawu ( ‫ )َو‬pada lafal ayat tersebut adalah berkududukan sebagai hurf ‘athf. Oleh karena itu,
kata ‫ الَّراِس ُخ وَن‬di-‘athaf-kan kepada lafal ‫ ُهللا‬pada kalimat sebelumnya. Diantara ulama yang
berpendapat demikian –menurut Shubhi al-Shalih- adalah Abu Hasan al-‘Asy’ariy. Pendapat ini
diperjelas lagi oleh Abu Ishaq al-Syirazi yang sekaligus mendukung dengan mengatakan, “bahwa
pengetahuan Allah mengenai takwil ayat-ayat mutasyabihat itu, juga dilimpahkan kepada para
ulama yang mendalam ilmunya. Sebab firman yang diturunkan itu merupakan pujian bagi mereka
yang luas dan mendalam ilmunya. Bila mereka dianggap tidak mengetahui maknanya berarti tidak
ada bedanya dengan orang awam.”[9]
Mujtahid dan sahabat-sahabatnya, demikian juga al-Nawawi cenderung kepada pendapat
kedua ini. Menurut al-Nawawi, pendapat ini lebih banyak diterima sebab tidak mungkin Allah akan
mengkhithabkan hamba-Nya dengan sesuatu yang tidak ada jalan untuk mengetahuinya.
Selanjutnya madzhab khalaf mengatakan, bahwa suatu hal yang seyogyanya dilakukan dalam hal
memahami ayat-ayat mutasyabihat itu adalah memalingkan lafal dari kradaan kehampaan yang
mengakibatkan kebingungan manusia, sehingga membiarkan makna itu “terlantar” tidak bermakna.
Selama ayat tersebut memungkinkan untuk dilakukan penakwilan terhadapnya dengan makna yang
benar dan rasional, maka tidak ada halangan bagi nalar manusia -dalam hal ini bagi mereka yang
sudah memiliki ilmu yang mendalam dan kemampan tinggi- untuk melakukannya.”[10]
Secara naqli, mereka mengemukakan atsar sahabat :

‫ َلْو َلْم َيْع َلُم ْو ا َتْأِوْيَل ُه َلْم َيْع َلُم ْو ا َناِس َخ ُه ِم ْن َم ْنُس ْو ِخ ِه َو اَل َح اَل ُل ُه‬: ‫َع ْن الَّضَّحاِك َقاَل‬
-‫ –اخرجه ابن ابى حاتم‬. ‫ِم ْن َح َر اِمِه َو اَل ُم ْح َك َم ُه ِم ْن ُم َتَش اِبِه‬

Dari al-Dahhak, berkata ia: “orang-orang yang mendalam ilmunya mengetahui takwilnya.
Sekiranya mereka tidak mengetahuinya, niscaya tidak mengetahui nasikh dan mansukhnya, halal
dan haramnya, dan muhkam ari mutasyabihnya”. (H.R. Ibn Abi Hatim).[11]

2[6] Ibid., 310.


[7]Acep Hermawan, “Ulumul Quran Ilmu Untuk Memahami Wahyu, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), 212.
[8] Ibid., 213.

4
3

C. Hikmah Keberadaan Ayat Mutasyabihat dalam Al-Qur’an

Diantara hikmah keberadaan ayat-ayat mutasyabih di dalam al-Qur’an adalah sebagai


berikut:

1. Memperlihatkan kelemahan akal manusia


Akal sedang dicoba untuk meyakini keberadaan ayat-ayat mutasyabih sebagaimana Allah
memberi cobaan pada badan untuk beribadah. Seandainya akal yang merupakan anggota badan
paling mulia itu tidak diuji, tentunya seseorang yang berpengetahuan tinggi akan menyombongkan
keilmuannyasehingga enggan tunduk kepada naluri kehambaannya.
Ayat-ayat mutasyabihat merupakan sarana bagi penundukan akal terhadap Allah karena
kesadarannya akan ketidakmampuan akalnya untuk mengungkap ayat-ayat mutasyabih itu.

2. Teguran bagi orang-orang yang mengotak-atik ayat mutasyabih


‫ا َي َّذ َّك ُر َۤاّل‬
Pada penghujung surat Ali ‘Imran [3] ayat 7, Allah menyebutkan ‫ِإ‬ ‫َو َم‬
‫ ُأوُل وا اَألْلَب اِب‬sebagai cercaan bagi orang-orang yang mengotak-atik ayat-ayat mutasyabih.
Sebaliknya, memberikan pujian pada orang-orang yang mendalami ilmunya, yakni orang-orang
yang tidak mengikuti hawa nafsunya untuk mengotak-atik ayat-ayat mutasyabih sehingga mereka
berkata ‫ُقُلْو َبَنا‬ ‫َر َّبَنا َال ُتِزْغ‬. Mereka menyadari keterbatasan akalnya dan mengharapkan ilmu
ladunni.

3. Memberikan pemahaman abstrak-ilahiah kepada manusia melalui pengalaman indrawi yang


biasa disaksikannya.
Sebagaimana dimaklumi bahwa pemahaman diperoleh manusia tatkala ia diberi gambaran
indrawi terlebih dahulu.[13] Dalam kasus sifat-sifat Allah, sengaja Allah memberikan gambaran
fisik agar manusia dapat lebih mengenal sifat-sifat-Nya. Bersamaan dengan itu, Allah menegaskan
bahwa diri-Nya tidak sama dengan hamba-Nya dalam hal pemilikan anggota badan.

3[9] Usman, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Teras), 244-245.


[10] Ibid., 245.
[11] Acep Hermawan, “Ulumul Quran Ilmu Untuk Memahami Wahyu, (Bandung: Remaja Rosdakarya), 219.

5
Kesimpulan
Muhkam adalah ayat-ayat yang maknanya sudah jelas, tidak samar lagi dan tidak
menimbulkan pertanyaan jika disebutkan. Sedang mutasyabih adalah ayat-ayat yang maknanya
belum jelas.
Ulama’ berbeda pendapat dalam hal memahami ayat-ayat mutasyabih, yaitu antara bisa
tidaknya manusia memahami atau memaknai ayat-ayat mutasyabihat. Terdapat hikmah adanya
ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat yang secara garis besar masuk pada tataran pemahaman dan
penggunaan logika akal.

Saran
Dalam memahami ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat tentunya akan menemui
perbedaan antara ulama’ satu dengan yang lainnya. Maka dari itu kita sebagai mahasiswa tidak
sepantasnya saling salah menyalahkan pendapat satu dengan yang lainnya. Karena asetiap pendapat
yang dikeluarkan oleh para ulama’ tentunya semuanya memiliki dasar. Kita harus lebih bijak dalam
mengatasi perbedaan.

Anda mungkin juga menyukai