ISLAM
Jl. Mesjid No. 2 Sidikalang
ABSTRAK
Latar Belakang Al-Qur’an adalah kalam Tuhan yang dijadikan pedoman dalam setiap aspek
kehidupan umat Islam, tentunya harus dipahami secara mendalam. Pemahaman al-Qur’an dapat
diperoleh dengan mendalami atau menguasai ilmu-ilmu yang tercakup dalam ulum al-Qur’an. Dan
menjadi salah satu bagian dari cabang keilmuan ulum al-Qur’an adalah ilmu yang memnahas
tentang Muhkam dan Mutasyabih ayat. Muhkam Mutasyabih ayat hendaknya dapt dipahami secara
mendalam. Hal ini dikarenakan, dua hal ini termasuk dalam objek yang urgen dalam kajian atau
pemahaman al-Qur’an. Berdalih agar tidak terjadi ketimpangan dalm memahami ayat-ayat al-
Qur’an khususnya dalam ranah Muhkam dan Mutasyabih, maka kelompok kami menyusun makalah
yang membahas tentang kedua hal tersebut. Untuk keterangan lebih lanjut mengenai ketentuan dan
hal-hal yang berhubungan dengan Muhkam dan Mutasyabih, akan dijelaskan dalam bab berikutnya
1
PEMBAHASAN
Muhkam secara lughawi berasal dari kata hakama. Kata hukm berarti memutuskan antara
dua hal atau lebih perkara, maka hakim adalah orang yang mencegah yang zalim dan memisahkan
dua pihak yang sedang bertikai. Sedangkan muhkam adalah sesuatu yang dikokohkan, jelas, fasih,
dan membedakan antara yang hak dan yang bathil.[1] Sedang dalam kitab Mabahits fii Ulum al-
Qur’an dijelaskan:
}٧ : {العمران.... َو َم ا َيْع َم ُل َتْأِوْيَلُۤه ِااَّل ُهللا َو الَّراِس ُخ وَن ِفى اْلِع ْلمِ َيُقْو ُلْو َن آَم َّناِبه...
Kedua : ataukah ia ma’tȗf, sedang lafaz َيُقْو ُل ْو َنmenjadi hâl dan waqafnya pada
lafaz ]5[ .َو الَّراِس ُخ وَن ِفى اْلِع ْلم
Ulama yang berpendapat mengenai ayat-ayat muhkam dan mutasyabih terbagi menjadi
dua: Madzhab Ulama Salaf dan Madzhab Ulama Khalaf.
2
1
Orang-orang yang mempercayai dan mengimani sifat-sifat mutasyabih itu dan menyerahkan
hakikatnya kepada Allah sendiri. Mereka mensucikan Allah dari pengertian-pengertian lahir bagi
Allah dan mengimaninya sebagaimana yang diterangkan Al-Qur’an serta menyerahkan urusan
mengetahui hakikatnya kepada Allah sendiri. Ketika Imam Malik ditanya tentang
makna istiwa’, dia berkata:
َاِاْل ْس ِتَو اُء َم ْع ُلْو ٌم َو اْلَكْيُف َم ْج ُهْو ٌل َو الَّسَؤاُل َع ْنُه ِبْد َع ٌة َو َاُظُّنَك َر ُج َل الُّس ْو ِء َاْخ ِرُج ْو ُه
. َع ِّنْي
(ُه َو اَّل ِذ ى َأْن َز َل َع َلْي َك: ٰه َذ ا اٰاْل َي َة.ع. َتاَل َو ُس ْو ُل ِهللا ص: َع ْن َع اِئَش َة َق اَلْت
َف ِاَذ ا َر َأْيَت: .ع. َق اَل َر ُس وُل ِهللا ص: ُـ وُلوا اْلَب اِب) َق اَلْت... اَلى َقْو ِل ِه... اْلِكَتاب
–رواه البجارى و. اَّلِذ ىَن َيَّتِبُعْو َن َم ا َتَش اَبَه ِم ْن ُه َفُأوٰل ِئ َك اَّل ِذ ْيَن َس َّم ى ُهللا َفاْح َذ ْر ُهْم
-مسلم
“Dari Aisyah, ia berkata: Rasul SAW. membaca ayat: “inilah yang menurunkan al-Kitab (al-
Qur’an) kepadamu”, sampai kepada “orang-orang yang berakal”, berkata ia : Rasul SAW. berkata:
“jika engkau melihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat yang musytabihat daripadanya maka
1[1] Muhammad Chirzin, Al Qur’an dan Ulumul Qur’an (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 2000), 70.
[2] Manna’ al-Qathan, Mabahits fii Ulum al-Qur’an (Mesir: Maktabah Wahbah, 1973), 216.
[3] Ahmad Syadali dan Ahmad Rafi’i, Ulumul Qur’an I (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 199.
[4] Usman, Ulumul Qur’an (Yogyakarta: Teras, 2000), 221.
[5] Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 122.
3
mereka itulah orang-orang yang disebut Allah, maka hati-hatilah terhadap mereka”. (dikeluarkan
oleh Bukhari dan Muslim dan yang lainnya).[8]
Ini menunjukkan bahwa wawu untuk isti’naf(permulaan). Di samping itu, ayat tersebut juga
mencela orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutsyabihat dan memberikan mereka itu sebagai
yang mempunyai kecenderungan kepada kesesatan dan mencari fitnah. Sebaliknya, ayat yang sama
memuji orang-orang yang menyerahkan pengetahuan tentang itu kepada Allah.
Madzhab ini berpendapat, bahwa waqaf(memberhentikan bacaan) dalam ayat (surat Ali-
Imran: 7) di atas adalah lafal : َو الَّراِس ُخ وَن ِفى اْلِع ْلِم. dengan demikian, selain Allah, orang-
orang yang mendala ilmunya juga dapat mengetahui takwil dari ayat-ayat mutâsyabihât itu.
Adapun wawu ( )َوpada lafal ayat tersebut adalah berkududukan sebagai hurf ‘athf. Oleh karena itu,
kata الَّراِس ُخ وَنdi-‘athaf-kan kepada lafal ُهللاpada kalimat sebelumnya. Diantara ulama yang
berpendapat demikian –menurut Shubhi al-Shalih- adalah Abu Hasan al-‘Asy’ariy. Pendapat ini
diperjelas lagi oleh Abu Ishaq al-Syirazi yang sekaligus mendukung dengan mengatakan, “bahwa
pengetahuan Allah mengenai takwil ayat-ayat mutasyabihat itu, juga dilimpahkan kepada para
ulama yang mendalam ilmunya. Sebab firman yang diturunkan itu merupakan pujian bagi mereka
yang luas dan mendalam ilmunya. Bila mereka dianggap tidak mengetahui maknanya berarti tidak
ada bedanya dengan orang awam.”[9]
Mujtahid dan sahabat-sahabatnya, demikian juga al-Nawawi cenderung kepada pendapat
kedua ini. Menurut al-Nawawi, pendapat ini lebih banyak diterima sebab tidak mungkin Allah akan
mengkhithabkan hamba-Nya dengan sesuatu yang tidak ada jalan untuk mengetahuinya.
Selanjutnya madzhab khalaf mengatakan, bahwa suatu hal yang seyogyanya dilakukan dalam hal
memahami ayat-ayat mutasyabihat itu adalah memalingkan lafal dari kradaan kehampaan yang
mengakibatkan kebingungan manusia, sehingga membiarkan makna itu “terlantar” tidak bermakna.
Selama ayat tersebut memungkinkan untuk dilakukan penakwilan terhadapnya dengan makna yang
benar dan rasional, maka tidak ada halangan bagi nalar manusia -dalam hal ini bagi mereka yang
sudah memiliki ilmu yang mendalam dan kemampan tinggi- untuk melakukannya.”[10]
Secara naqli, mereka mengemukakan atsar sahabat :
َلْو َلْم َيْع َلُم ْو ا َتْأِوْيَل ُه َلْم َيْع َلُم ْو ا َناِس َخ ُه ِم ْن َم ْنُس ْو ِخ ِه َو اَل َح اَل ُل ُه: َع ْن الَّضَّحاِك َقاَل
- –اخرجه ابن ابى حاتم. ِم ْن َح َر اِمِه َو اَل ُم ْح َك َم ُه ِم ْن ُم َتَش اِبِه
Dari al-Dahhak, berkata ia: “orang-orang yang mendalam ilmunya mengetahui takwilnya.
Sekiranya mereka tidak mengetahuinya, niscaya tidak mengetahui nasikh dan mansukhnya, halal
dan haramnya, dan muhkam ari mutasyabihnya”. (H.R. Ibn Abi Hatim).[11]
4
3
5
Kesimpulan
Muhkam adalah ayat-ayat yang maknanya sudah jelas, tidak samar lagi dan tidak
menimbulkan pertanyaan jika disebutkan. Sedang mutasyabih adalah ayat-ayat yang maknanya
belum jelas.
Ulama’ berbeda pendapat dalam hal memahami ayat-ayat mutasyabih, yaitu antara bisa
tidaknya manusia memahami atau memaknai ayat-ayat mutasyabihat. Terdapat hikmah adanya
ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat yang secara garis besar masuk pada tataran pemahaman dan
penggunaan logika akal.
Saran
Dalam memahami ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat tentunya akan menemui
perbedaan antara ulama’ satu dengan yang lainnya. Maka dari itu kita sebagai mahasiswa tidak
sepantasnya saling salah menyalahkan pendapat satu dengan yang lainnya. Karena asetiap pendapat
yang dikeluarkan oleh para ulama’ tentunya semuanya memiliki dasar. Kita harus lebih bijak dalam
mengatasi perbedaan.