AL-MUHKAM AL-MUTASYABIH
A. PENGERTIAN AL-MUHKAM AL-MUTASYABIH,
1. Al-Muhkam,
Muhkam berasal dari kata Ihkam yang bearti kekukuhan,
kesempurnaan, keseksamaan, dan pencegahan.
Sedangkan secara terminology muhkam berarti ayat-ayat yang
jelas maknanya, dan tidak memerlukan keterangan dari ayat-ayat
lain.
Kesimpulan
Dafpus:
https://ulumul.wordpress.com/2009/05/13/muhkam-dan-
mutasybih/
2. Sebab-Sebab Adanya Ayat Mutasyabihat Dan Macam-Macam Ayat
Mutasyabihat
Dikatakan dengan tegas, bahwa sebab adanya ayat Muhkam dan Mutasyabih
ialah karena Allah swt menjadikan demikian. Allah membedakan antara ayat-
ayat yang Muhkam dari yang Mutasyabih, dan menjadikan ayat Muhkam
sebagai bandingan ayat yang Mutasyabih.
Pada garis besarnya sebab adanya ayat-ayat Mutasyabihat dalam al-Qur’an
ialah karena adanya kesamaran maksud syara’ dalam ayat-ayat-Nya sehingga
sulit dipahami umat, tanpa dikatakan dengan arti ayat lain, disebabkan karena
bisa dita’wilkan dengan bermacam-macam dan petunjuknya pun tidak tegas,
karena sebagian besar merupakan hal-hal yang pengetahuanya hanya
diketahui oleh Allah swt saja.
Adapun adanya ayat Mutasyabihat dalam al-Qur’an desebabkan 3 (tiga) hal:
A. Kesamaran Lafal
1) Kesamaran Lafal Mufrad, dibagi menjadi 2 (dua) :
a. Kesamaran lafal Mufrad Gharib (asing)
Contoh : Lafal dalam ayat 31 surat Abasa: kata Abban ( )َو َأًّباjarang terdapat
dalam al-Qur’an, sehingga asing. Kemudian dalam ayat selanjutnya, ayat 32:
َم َتاًعا َلُك ْم َو ألْنَع اِم ُك ْم
Untuk kesenangan kamu dan binatang-binatang ternakmu. (QS. ‘Abasa: 32)
Sehingga jelas dimaksud Abban adalah rerumputan.
b. Kesamaran Lafal Mufrad yang bermakna Ganda. Kata al-Yamin bisa
bermakna tangan kanan, keleluasan atau sumpah.
2) Kesamaran dalam Lafal Murakkab
Kesamaran dalam lafal Murakkab itu disebabkan karena lafal yang Murakkab
terlalu ringkas, terlalu luas atau karena susunan kalimatnya kurang tertib.
Contoh tasyabuh (kesamaran) dalam lafal murakkab terlalu ringkas, terdapat
di dalam surah An-Nisa ayat 3:
َو ِإْن ِخ ْفُتْم َأاَّل ُتْقِس ُطوا ِفي اْلَيَتاَم ٰى َفاْنِك ُحوا َم ا َطاَب َلُك ْم ِم َن الِّنَس اِء َم ْثَنٰى َو ُثاَل َث َو ُر َباَع
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-
hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat…”
Ayat di atas sulit diterjemahkan. Karena takut tidak dapat berlaku adil
terhadap anak yatim, lalu mengapa disuruh kawini wanita yang baik-baik,
dua, tiga atau empat. Kesukaran itu terjadi karena susunan kalimat ayat
tersebut terlalu singkat.
B. Kesamaran pada Makna Ayat
Kesamaran pada makna ayat seperti dalam ayat-ayat yang menerangkan sifat-
sifat Allah, seperti sifat rahman rahim-Nya, atau sifat qudrat iradat-Nya,
maupun sifat-sifat lainnya. Dan seperti makna dari ihwal hari kiamat,
kenikmatan surga, siksa kubur, dan sebagainya manusia bisa mengerti arti
maksud ayat-Nya, sedangkan mereka tidak pernah melihatnya.
C. Kesamaran pada Lafal dan Makna Ayat
Seperti, ayat 189 surat al-Baqarah:
َو َلْيَس اْلِبُّر ِبَأْن َتْأُتوا اْلُبُيوَت ِم ْن ُظُهوِرَها َو َٰل ِكَّن اْلِبَّر َمِن اَّتَقٰى
“Dan bukanlah kebijakan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan
tetapi kebijakan itu ialah kebijakan orang-orang yang bertakwa”.
Sebab kesamaran dalam ayat tersebut terjadi pada lafalnya, karena terlalu
ringkas, juga terjadi pula pada maknanya, karena termasuk adat kebiasaan
khusus orang arab. Hingga dalam memahami ayat ini akan sulit bagi orang-
orang yang bukan termasuk orang arab. Dan sejatinya ayat ini adalah
diperuntukkan untuk orang yang sedang melakukan ihram baik haji maupun
umrah.
اِال ْس ِتَو اُء َم ْع ُلْو ٌم َو اْلَكْيُف َم ْج ُهْو ٌل َو الُّسَؤ اُل َع ْنـُه ِبْد َع ٌة َو َاُظـُّنـَك َر ُج َل الُّسْو َء َاْخ ِر ُجْو ُه َع ِّنْي.
Artinya: Istiwa` itu maklum, caranya tidak diketahui (majhul),
mempertanyakannya bid’ah (mengada-ada), saya duga engkau ini orang
jahat. Keluarkan olehmu orang ini dari majlis saya.
Maksudnya, makna lahir dari kata istiwa jelas diketahui oleh setiap orang.
akan tetapi, pengertian yang demikian secara pasti bukan dimaksudkan oleh
ayat. sebab, pengertian yang demikian membawa kepada asyabih
(penyerupaan Tuhan dengan sesuatu) yang mustahil bagi Allah. karena itu,
bagaimana cara istiwa’ di sini Allah tidak di ketahui. selanjutnya,
mempertanyakannya untuk mengetahui maksud yang sebenarnya menurut
syari’at dipandang bid’ah (mengada-ada).
Kesahihan mazhab ini juga didukung oleh riwayat tentang qira’at Ibnu
Abbas.
َو َم ا َيْع َلُم َتْأِو ْيَلـُه ِاَّال هللاُ َو ُيُقْو ُل الَّراِس ُخ ْو َن ِفى اْلِع ْلِم اَم ـَّنا ِبه
Artinya: Dan tidak mengetahui takwilnya kecuali Allah dan berkata orang-
orang yang mendalam ilmunya, ”kami mempercayai”.
b. Mazhab Khalaf, yaitu ulama yang menkwilkan lafal yang makna lahirnya
mustahil kepada makna yang laik dengan zat Allah, karena itu mereka
disebut pula Muawwilah atau Mazhab Takwil. Mereka memaknai istiwa`
dengan ketinggian yang abstrak, berupa pengendalian Allah terhadap alam ini
tanpa merasa kepayahan. Kedatangan Allah diartikan dengan kedatangan
perintahnya, Allah berada di atas hamba-Nya dengan Allah Maha Tinggi,
bukan berada di suatu tempat, “sisi” Allah dengan hak Allah, “wajah” dengan
zat “mata” dengan pengawasan, “tangan” dengan kekuasaan, dan “diri”
dengan siksa. Demikian sistem penafsiran ayat-ayat mutasyabihat yang
ditempuh oleh ulama Khalaf.
Alasan mereka berani menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat, menurut mereka,
suatu hal yang harus dilakukan adalah memalingkan lafal dari keadaan
kehampaan yang mengakibatkan kebingungan manusia karena membiarkan
lafal terlantar tak bermakna. Selama mungkin mentakwil kalam Allah dengan
makna yang benar, maka nalar mengharuskan untuk melakukannya.
Kelompok ini, selain didukung oleh argumen aqli (akal), mereka juga
mengemukakan dalil naqli berupa atsar sahabat, salah satunya adalah hadis
riwayat Ibnu al-Mundzir yang berbunyi:
. َاَنـا ِمَّم ْن َيْع َلُم ْو َن َتـْأِو ْيـَلُه: (َو َم ا َيْع َلُم َتْأِو ْيَلُه ِاَّال ُهللا َو الَّراِس ُخ ْو َن ِفى اْلِع ْلِم ) َقاَل: َع ِن اْبِن َعَّباٍس ِفي َقْو ِلِه
)(رواه ابن المنذر
Artinya: “Dari Ibnu Abbas tentang firman Allah: Dan tidak mengetahui
takwilnya kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya”. Berkata
Ibnu Abbas: “saya adalah di antara orang yang mengetahui takwilnya.” (HR.
Ibnu al-Mundzir)
Disamping dua mazhab di atas, ternyata menurut aم-Suyuti bahwa Ibnu
Daqiq al-Id mengemukakan pendapat yang menengahi kedua mazhab di atas.
Ibnu Daqiqi al-Id berpendapat bahwa jika takwil itu jauh maka kita tawaqquf
(tidak memutuskan). Kita menyakini maknanya menurut cara yang
dimaksudkan serta mensucikan Tuhan dari semua yang tidak laik bagi-Nya.
Sejalan dengan ini, para ulama menyebutkan bahwa mazhab salaf dikatakan
lebih aman karena tidak dikhawatirkan jatuh ke dalam penafsiran dan
penakwilan yang menurut Tuhan salah. Mazhab khalaf dikatakan lebih
selamat karena dapat mempertahankan pendapatnya dengan argumen aqli.
C. Penutup
Muhkam adalah ayat yang hanya mengandung satu wajah, sedang
mutasyabih mengandung banyak wajah. Dengan adanya ayat-ayat muhkam
dan ayat-ayat mutasyabih, mengajak manusia berpikir dan merenungkan
betapa Mahabesarnya Allah SWT. Dengan ayat-ayat Al-Qur’an, manusia
diajak untuk berpikir dan merenungkan apa yang dimaksud Allah yang
tersirat dan termaktub di dalam Al-Qur’an. Maka adanya ayat-ayat
muhkamat, dapat memudahkan bagi manusia mengetahui arti dan
maksudnya. Juga memudahkan bagi mereka dalam menghayati makna
maksudnya agar mudah mengamalkan pelaksanaan ajaran-ajarannya. Serta
mendorong umat untuk giat memahami, menghayati, dan mengamalkan isi
kandungan Al-Quran, karena lafal ayat-ayatnya telah mudah diketahui,
gampang dipahami, dan jelas pula untuk diamalkan. Begitu juga dengan
adanya ayat-ayat mutasyabihat, membuktikan kelemahan dan kebodohan
manusia. Sebesar apapun usaha dan persiapan manusia, masih ada
kekurangan dan kelemahannya. Hal tersebut menunjukkan betapa besar
kekuasaan Allah SWT, dan kekuasaan ilmu-Nya yang Maha Mengetahui
segala sesuatu.
https://www.materipendidikan.info/2017/09/pengertian-ayat-
muhkam-dan-mutasyabih.html