Anda di halaman 1dari 18

BAB II

AL-MUHKAM AL-MUTASYABIH
A. PENGERTIAN AL-MUHKAM AL-MUTASYABIH,

1. Al-Muhkam,
Muhkam berasal dari kata Ihkam yang bearti kekukuhan,
kesempurnaan, keseksamaan, dan pencegahan.
Sedangkan secara terminology muhkam berarti ayat-ayat yang
jelas maknanya, dan tidak memerlukan keterangan dari ayat-ayat
lain.

Contoh surat Al- Baqarah ayat 83 :

Artimya : “dan ketika kami mengambil janji dari anak-anak


Israel : tidak
akan menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikankepada
Ibu,Bapak dan kerabat dekat dan anak-anak-piatu dan orang-
oarng miskin, dan ucapkanlah kata yang baik kepada manusia,
dan kerjakanlah sembahyang dan bayarlah zakat, kemudian
itu kamu berpaling kecuali sebagian kecil dari padamu dan
kamu tidak mengambil perduli”
2. Al-Mutasyabih
kata mutasyabih berasal dari kata tasyabuh yang secara bahasa
berarti keserupaan dan kesamaan yang biasanya membawa kepada
kesamaran antara dua hal. Tasyahabad Isttabaha berarti dua hal
yang masing-masing menyerupai yang lainnya.
Sedangkan secara terminology Al Mutasyabih berarti ayat-ayat
yang belum jelasmaksudnya, dan mempunyai banyak
kemungkinan takwilnya, atau maknanya yang tersembunyi, dan
memerlukan keterangan tertentu, atau Allah yang mengetahuinya.

Contoh surat Thoha ayat 5 :

Artinya : “( Allah ) yang maha pemurah, yang bersemayam diatas


‘Arasy”.
Secara istilah, para Ulama berbeda pendapat dalam
merumuskanMuhkam dan Mutasyabih. Al- Suyuti telah
mengemukakan 18 definisi atau tempat yang diberikan Ulama. Al-
Zarqani mengemukakan 11 definisi yang sebagian dikuip dari Al-
Suyuti.

D. HIKMAH ADANYA AYAT-AYAT MUTASYABIHAT DAN AL-


MUHKAM
1. Ayat-ayat Mutasyabihat ini mengharuskan upayayang
lebih banyak untuk mengungkap maksudnya sehingga
menambah pahala bagi orang yang mengkajinya.
2. Jika ayat-ayat Al-Qur’an mengandung ayat
Mutasyabihat maka untuk memehami diperlukan cara
penafsiran dan tarjih antara satu dengan yang lainnya, hal
ini memerlukan berbagai ilmu, seperti Bahasa, Gramatika,
Ma’ni, Ilmu Bayan, Ushul Fiqih, dan sebagainya.
3. Ayat-ayat Mutasyabihat merupakan rahmat bagi
manusia yang lemah yang tidak mengetahui segala
sesuatu.
4. Ayat ini juga merupakam cobaan bagi manusia apakah
mereka percaya atau tidak tentang hal yang gaib.
5. Ayat ini menjadi dalil atas kebodohan dan kelemahan
manusia.
6. Ayat ini dalam Al-Qur’an menguatkan
kemukjjizatannya.

Manna’ Khalil Al-Qattan menjelaskan Muhkam dan


Mutasyabih dalam buku studi Ilmu-Ilmu Qur’an, bahwa
menurut bahasa Muhkam berasal dari kata ‫حكمت ال===د اب===ة‬
‫ واحكمت‬yang artinya “saya menahan binatang itu”, juga bisa
diartikan,”saya memasang ‘hikmah’ pada binatang itu”.
Hikmah dalam ungkapan ini berarti kendali.Muhkam berarti
(sesuatu) yang dikokohkan, jadi kalam Muhkam adalah
perkataan yang seperti itu sifatnya. Mutasyabih secara bahasa
berarti tasyabuh, yakni bila salah satu dari 2 (dua) hal itu
tidak dapat dibedakan dari yang lain, karena adanya
kemiripan diantara keduanya secara konkrit maupun abstrak.
Jadi, tasyabuh Al-Kalam adalah kesamaan dan kesesuaian
perkataan, karena sebagainya membetulkan sebagian yang
lain.[3]
. Sedangkan menurut terminologi (istilah), muhkam dan mutasyabih
diungkapkan para ulama, seperti berikut ini :
1. Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui dengan
gamblang, baik melalui takwil ataupun tidak. Sedangkan ayat-
ayat mutasyabih adalah ayat yang maksudnya hanya dapat diketahui
Allah, seperti saat kedatangan hari kiamat, keluarnya dajjal, dan huruf-
huruf muqatha’ah. (Kelompok Ahlussunnah)
2. Ibn Abi Hatim mengatakan bahwa ayat-ayat muhkam adalah ayat yang
harus diimani dan diamalkan, sedangkan ayat-ayat mutasyabih adalah
ayat yang harus diimani, tetapi tidak harus diamalkan.[4]
3. Mayoritas Ulama Ahlul Fiqh yang berasal dari pendapat Ibnu Abbas
mengatakan, lafadz muhkam adalah lafadz yang tak bisa ditakwilkan
melainkan hanya satu arah/segi saja. Sedangkan lafadz yang
mutasyabbih adalah lafadz yang bisa ditakwilkan dalam beberapa
arah/segi, karena masih sama (semakna-red).[5]
Dari pengertian-pengertian ulama diatas, sudah dapat disimpulkan
bahwa inti pengertian dari ayat-ayat muhkamadalah ayat-ayat yang maknanya
sudah jelas, tidak samar lagi dan tidak menimbulkan pertanyaan jika
disebutkan. Yang termasuk dalam kategori ayat-ayat muhkam itu nash (kata
yang menunjukkan sesuatu yang dimaksud dengan terang dan tegas)
dan zhahir (makna lahir). Adapun pengertian dari ayat-
ayat mutasyabih adalah ayat-ayat yang maknanya belum jelas. Yang
termasuk dalam kategori ayat-ayat mutasyabih
adalah mujmal (global), mu’awwal (harus ditakwil), musykil,
dan mubham (ambigius).
2.2 Sikap Para Ulama Terhadap Ayat-Ayat Al-Mutasyabih
Para ulama berbeda pendapat tentang apakah arti ayat-
ayat mutasyabih dapat diketahui oleh manusia, atau hanya Allah saja yang
mengetahuinya. Sumber perbedaan mereka terdapat dalam
pemahaman struktur kalimat pada QS. ‘Ali Imran : 7
Dalam memahami ayat tersebut, muncul dua pandapat. Yang
pertama, Wa al-rasikhuna fi al-‘ilm di-athaf-kan pada lafazh Allah,
sementara lafazh yaaquluna sebagai hal. Itu artinya, bahwa ayat-
ayat mutasyabih pun diketahui orang-orang yang mendalami ilmunya.
[6] Yang kedua, Wa al-rasikhuna fi
al-‘ilm sebagai mubtada’ dan yaaqulunasebagai khabar. Itu artinya bahwa
ayat-ayat mutasyabih hanya diketahui oleh Allah, sedangkan orang-orang
yang mempelajari ilmunya hanya mengimaninya.[7]
Ada sedikit ulama yang berpihak pada ungkapan gramatikal yang
pertama. Seperti Imam An-Nawawi, didalamSyarah Muslim, ia berkata,
“Pendapat inilah yang paling shahih karena tidak mungkin Allah mengkhitabi
hamba-hambaNya dengan uraian yang tidak ada jalan untuk
mengetahuinya.”. Kemudian ada Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Ishaq Asy-
Syirazi yang mengatakan, “Tidak ada satu ayatpun yang maksudnya hanya
diketahui Allah. Para ulama sesungguhnya juga mengetahuinya. Jika tidak,
apa bedanya mereka dengan orang awam?”.[8]
Namun sebagian besar sahabat, tabi’in, generasi sesudahnya, terutama
kalangan Ahlussunnah berpihak pada gramatikal ungkapan yang kedua.
Seperti pendapat dari :
1. Al-Bukhari, Muslim, dan yang lainnya mengeluarkan sebuah riwayat
dari Aisyah yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda
ketika mengomentari QS. ‘Ali Imran ayat 7 :
“Jika engkau menyaksikan orang-orang yang mengikuti ayat-ayat
mutasyabih untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari
takwilnya, orang itulah yang dicela Allah, maka berhati-hatilah
menghadapi mereka.”
2. Ibn Abu Dawud, dalam Al-Mashahif, mengeluarkan sebuah riwayat
dari Al-A’masy. Ia menyebutkan bahwa diantara qira’ah Ibn
Mas’ud disebutkan :
“Sesungguhnya penakwilan ayat-ayat mutasyabih hanya milik Allah
semata, sedangkan orang-orang yang mendalami ilmunya berkata,
“Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabih.”[9]
3. Imam Malik pernah ditanya mengenai pengertian lafadz istawa. Ia
mengatakan: Istawa adalah diketahui. dan bagaimananya adalah
sesuatu yang tidah diketahui. Bertanya tentangnya adalah Bid’ah.[10]
Sedang Ar-raghib Al-Ashfahany mengambil jalan tengah dalam
masalah ini. Beliau membagi mutasyabih dari segi kemungkinan
mengetahuinya menjadi tiga bagan:
1. Bagian yang tak ada jalan untuk mengetahuinya, seperti waktu
tibanya hari kiamat.
2. Bagian manusia menemukan sebab-sebab mengetahuinya, seperti
lafadz-lafadz yang ganjil, sulit difahami namun bisa ditemukan
artinya.
3. Bagian yang terletak di antara dua urusan itu yang hanya diketahui
oleh Ulama’ yang mumpuni saja.[11]
2.3 Sebab-Sebab Adanya AyatMutasyabbih
Dikatakan dengan tegas, bahwa sebab adanya ayat Muhkam dan
Mutasyabih ialah karena Allah SWT menjadikan demikian. Allah
membedakan antara ayat – ayat yang Muhkam dari yang Mutasyabih, dan
menjadikan ayat Muhkam sebagai bandingan ayat yang Mutasyabih.
Pada garis besarnya sebab adanya ayat – ayat Mutasyabihat dalam Al –
Qur’an ialah karena adanya kesamaran maksud syara’ dalam ayat – ayat-Nya
sehingga sulit dipahami umat, tanpa dikatakan dengan arti ayat lain,
disebabkan karena bisa dita’wilkan dengan bermacam – macam dan
petunjuknya pun tidak tegas, karena sebagian besar merupakan hal – hal yang
pengetahuanya hanya dimonopoli oleh Allah SWT saja.
Adapun adanya ayat Mutasyabihat dalam Al – Qur’an desebabkan 3
(tiga) hal :
A. Kesamaran Lafal
1. Kesamaran Lafal Mufrad, dibagi menjadi 2 (dua) :
a. Kesamaran lafal Mufrad Gharib (asing)
Contoh : Lafal dalam ayat 31 surat Abasa : kata Abban jarang terdapat
dalam Al – Qur’an, sehingga asing. Kemudian dalam ayat selanjutnya , ayat
32 : (untuk kesenangan kamu dan binatang – binatang ternakmu), sehingga
jelas dimaksud Abban adalah rerumputan.
b. Kesamaran Lafal Mufrad yang bermakna Ganda. Kata Al – Yamin
bisa bermakna tangan kanan, keleluasan atau sumpah.
3 Kesamaran dalam Lafal Murakkab
Kesamaran dalam lafal Murakkab itu disebabkan karena lafal
yang Murakkab terlalu ringkas, terlalu luas atau karena susunan
kalimatnya kurang tertib.
B. Kesamaran pada Makna Ayat
Kesamaran pada makna ayat seperti dalam ayat – ayat yang
menerangkan sifat – sifat Allah, seperti sifat rahman rahim-Nya, atau sifat
qudrat iradat-Nya, maupun sifat – sifat lainnya. Dan seperti makna dari ihwal
hari kiamat, kenikmatan surga, siksa kubur, dan sebagainya manusia bisa
mengerti arti maksud ayat-Nya, sedangkan mereka tidak pernah melihatnya.
C. Kesamaran pada Lafal dan Makna Ayat
Seperti, ayat 189 surat Al – Baqarah yang artinya:
“Dan bukanlah kebijakan memasuki rumah – rumah dari belakangnya, akan
tetapi kebijakan itu ialah kebijakn orang – orang yang bertakwa”.
Sebab kesamaran dalam ayat tersebut terjadi pada lafalnya, karena
terlalu ringkas, juga terjadi pula pada maknanya, karena termasuk adat
kebiasaan khusus orang arab. Hingga dalam memahami ayat ini akan sulit
bagi orang-orang yang bukan termasuk orang arab. Dan sejatinya ayat ini
adalah diperuntukkan untuk orang yang sedang melaakukan ihrom baik haji
maupun umroh.
2.4 Macam Macam Ayat Mutasyabihat
Menurut Abdul Jalal, macam – macam ayat Mutasyabihat ada 3 (tiga)
macam :
1. Ayat – ayat Mutasyabihat yang tidak dapat diketahui oleh seluruh
umat manusia, kecuali Allah SWT. Contoh : Artinya : “Dan pada sisi Allah–
lah kunci – kunci semua yang ghaib, tak ada yang mengetahuinya, kecuali
Dia sendiri” (Q.S. Al – An’am : 59)
2. Ayat – ayat yang Mutasyabihat yang dapat diketahui oleh semua
orang dengan jalan pembahasan dan pengkajian yang mendalam. Contoh :
pencirian mujmal, menentukan mutasyarak, mengqayyidkan yang mutlak,
menertibkan yang kurang tertib, dst.
3. Ayat – ayat Mutasyabihat yang hanya dapat diketahui oleh para pakar
ilmu dan sains, bukan oleh semua orang, apa lagi orang awam. Hal ini
termasuk urusan – urusan yang hanya diketahui Allah SWT dan orang –
orang yang rosikh (mendalam) ilmu pengetahuan.[12]

2.5 Faedah Ayat-Ayat Muhkamat dan Ayat-Ayat


Mutasyabihat
Dalam pembahasan ini perlu dijelaskan
faedah atau hikmah ayat-ayat muhkam lebih
dahulu sebelum menerangkan faedah ayat-
ayat mutasyabihat.
1) Hikmah Ayat-Ayat Muhkamat
a) Menjadi rahmat bagi manusia,
khususnya orang kemampuan bahasa
Arabnya lemah. Dengan adanya ayat-
ayat muhkam yang sudah jelas arti
maksudnya, sangat besar arti dan
faedahnya bagi mereka.
b) Memudahkan bagi manusia
mengetahui arti dan maksudnya. Juga
memudahkan bagi mereka dalam
menghayati makna maksudnya agar
mudah mengamalkan pelaksanaan
ajaran-ajarannya.
c) Mendorong umat untuk giat
memahami, menghayati, dan
mengamalkan isi kandungan Al-Quran,
karena lafal ayat-ayatnya telah mudah
diketahui, gampang dipahami, dan
jelas pula untuk diamalkan.
d) Menghilangkan kesulitan dan
kebingungan umat dalam mempelajari
isi ajarannya, karena lafal ayat-ayat
dengan sendirinya sudah dapat
menjelaskan arti maksudnya, tidak
harus menuggu penafsiran atau
penjelasan dari lafal ayat atau surah
yang lain.
2) Hikmah Ayat-Ayat Mutasyabihat
a) Memperlihatkan kelemahan akal
manusia. Akal sedang dicoba untuk
meyakini keberadaan ayat-ayat
mutasyabih sebagaimana Allah
memberi cobaan pada badan untuk
beribadah. Seandainya akal yang
merupakan anggota badan paling mulia
itu tidak diuji, tentunya seseorang yang
berpengetahuan tinggi akan
menyombongkan keilmuannya sehingga
enggan tunduk kepada naluri
kehambaannya. Ayat-ayat mutasyabih
merupakan sarana bagi penundukan
akal terhadap Allah karena
kesadaraannya akan ketidakmampuan
akalnya untuk mengungkap ayat-ayat
mutasyabih itu.
b) Teguran bagi orang-orang yang
mengutak-atik ayat-ayat mutasybih.
Sebagaimana Allah menyebutkan wa
ma yadzdzakkaru ila ulu al-albab
sebagai cercaan terhadap orang-orang
yang mengutak-atik ayat-ayat
mutasyabih. Sebaliknya Allah
memberikan pujian bagi orang-orang
yang mendalami ilmunya, yakni orang-
orang yang tidak mengikuti hawa
nafsunya untuk mengotak-atik ayat-
ayat mutasyabih sehingga mereka
berkata rabbana la tuzighqulubana.
Mereka menyadari keterbatasan
akalnya dan mengharapkan ilmu
ladunni.
c) Membuktikan kelemahan dan
kebodohan manusia. Sebesar apapun
usaha dan persiapan manusia, masih
ada kekurangan dan kelemahannya.
Hal tersebut menunjukkan betapa
besar kekuasaan Allah SWT, dan
kekuasaan ilmu-Nya yang Maha
Mengetahui segala sesuatu.
d) Memperlihatkan kemukjizatan Al-
Quran, ketinggian mutu sastra dan
balaghahnya, agar manusia menyadari
sepenuhnya bahwa kitab itu bukanlah
buatan manusia biasa, melainkan
wahyu ciptaan Allah SWT.
e) Mendorong kegiatan mempelajari
disiplin ilmu pengetahuan yang
bermacam-macam. [13]

ahim-Nyaatau sifat qudrat iradat-Nya, maupun sifat – sifat lainnya. Dan


seperti makna dari ihwal hari kiamat, kenikmatan surga, siksa kubur, dan se
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Muhkam adalah ayat-ayat yang maknanya sudah jelas, tidak samar lagi
dan tidak menimbulkan pertanyaan jika disebutkan.
Sedang mutasyabih adalah ayat-ayat yang maknanya belum jelas.
Ulamak berbeda pendapat dalam hal memahami ayat-ayat mutasyabih,
yaitu antara bisa tidaknya manusia memahami/memaknai ayat-ayat
mutasyabihat.
Sebab munculnya ayat muhkam mutasyabih terbagi menjadi tiga
tinjauan yaitu, Adanya kesamaran dalam lafadz, kesamaran makna ayat dan
kesamaran makna dan ayat.
Terdapat tiga macam ayat mutasyabih yaitu ayat yang tidak bisa
difahami oleh manusia, yang bisa difahami semua orang dengan pemahaman
yang dalam dan ayat yang bisa difahami oleh pakarnya saja.
Terdapat hikmah adanya ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat yang
secara garis besar masuk pada tataran pemafaman dan penggunaan logika
akal.

Kesimpulan

Kesamaran dan kesempurnaan ayat – ayat dari sebuah surah


dalam Al – quran.

Dafpus:

https://ulumul.wordpress.com/2009/05/13/muhkam-dan-
mutasybih/
2. Sebab-Sebab Adanya Ayat Mutasyabihat Dan Macam-Macam Ayat
Mutasyabihat
Dikatakan dengan tegas, bahwa sebab adanya ayat Muhkam dan Mutasyabih
ialah karena Allah swt menjadikan demikian. Allah membedakan antara ayat-
ayat yang Muhkam dari yang Mutasyabih, dan menjadikan ayat Muhkam
sebagai bandingan ayat yang Mutasyabih.
Pada garis besarnya sebab adanya ayat-ayat Mutasyabihat dalam al-Qur’an
ialah karena adanya kesamaran maksud syara’ dalam ayat-ayat-Nya sehingga
sulit dipahami umat, tanpa dikatakan dengan arti ayat lain, disebabkan karena
bisa dita’wilkan dengan bermacam-macam dan petunjuknya pun tidak tegas,
karena sebagian besar merupakan hal-hal yang pengetahuanya hanya
diketahui oleh Allah swt saja.
Adapun adanya ayat Mutasyabihat dalam al-Qur’an desebabkan 3 (tiga) hal:
A. Kesamaran Lafal
1) Kesamaran Lafal Mufrad, dibagi menjadi 2 (dua) :
a. Kesamaran lafal Mufrad Gharib (asing)
Contoh : Lafal dalam ayat 31 surat Abasa: kata Abban (‫ )َو َأًّبا‬jarang terdapat
dalam al-Qur’an, sehingga asing. Kemudian dalam ayat selanjutnya, ayat 32:
‫َم َتاًعا َلُك ْم َو ألْنَع اِم ُك ْم‬
Untuk kesenangan kamu dan binatang-binatang ternakmu. (QS. ‘Abasa: 32)
Sehingga jelas dimaksud Abban adalah rerumputan.
b. Kesamaran Lafal Mufrad yang bermakna Ganda. Kata al-Yamin bisa
bermakna tangan kanan, keleluasan atau sumpah.
2) Kesamaran dalam Lafal Murakkab
Kesamaran dalam lafal Murakkab itu disebabkan karena lafal yang Murakkab
terlalu ringkas, terlalu luas atau karena susunan kalimatnya kurang tertib.
Contoh tasyabuh (kesamaran) dalam lafal murakkab terlalu ringkas, terdapat
di dalam surah An-Nisa ayat 3:
‫َو ِإْن ِخ ْفُتْم َأاَّل ُتْقِس ُطوا ِفي اْلَيَتاَم ٰى َفاْنِك ُحوا َم ا َطاَب َلُك ْم ِم َن الِّنَس اِء َم ْثَنٰى َو ُثاَل َث َو ُر َباَع‬
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-
hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat…”
Ayat di atas sulit diterjemahkan. Karena takut tidak dapat berlaku adil
terhadap anak yatim, lalu mengapa disuruh kawini wanita yang baik-baik,
dua, tiga atau empat. Kesukaran itu terjadi karena susunan kalimat ayat
tersebut terlalu singkat.
B. Kesamaran pada Makna Ayat
Kesamaran pada makna ayat seperti dalam ayat-ayat yang menerangkan sifat-
sifat Allah, seperti sifat rahman rahim-Nya, atau sifat qudrat iradat-Nya,
maupun sifat-sifat lainnya. Dan seperti makna dari ihwal hari kiamat,
kenikmatan surga, siksa kubur, dan sebagainya manusia bisa mengerti arti
maksud ayat-Nya, sedangkan mereka tidak pernah melihatnya.
C. Kesamaran pada Lafal dan Makna Ayat
Seperti, ayat 189 surat al-Baqarah:
‫َو َلْيَس اْلِبُّر ِبَأْن َتْأُتوا اْلُبُيوَت ِم ْن ُظُهوِرَها َو َٰل ِكَّن اْلِبَّر َمِن اَّتَقٰى‬
“Dan bukanlah kebijakan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan
tetapi kebijakan itu ialah kebijakan orang-orang yang bertakwa”.
Sebab kesamaran dalam ayat tersebut terjadi pada lafalnya, karena terlalu
ringkas, juga terjadi pula pada maknanya, karena termasuk adat kebiasaan
khusus orang arab. Hingga dalam memahami ayat ini akan sulit bagi orang-
orang yang bukan termasuk orang arab. Dan sejatinya ayat ini adalah
diperuntukkan untuk orang yang sedang melakukan ihram baik haji maupun
umrah.

Macam Macam Ayat Mutasyabihat


Menurut Abdul Jalal, macam-macam ayat Mutasyabihat ada tiga macam:
href="file:///D:/Tugas%20Kuliah/Makalah%20Ulumul%20Quran/makalah-
makalah%20ulum%20al-qur" muhkam="" mutasyabih.docx=""
sabri="">[11]
1) Ayat-ayat Mutasyabihat yang tidak dapat diketahui oleh seluruh umat
manusia, kecuali Allah SWT. Contoh:
‫َوِع ْنَد ُه َم َفاِتُح اْلَغْيِب اَل َيْع َلُمَها ِإاَّل ُهَو‬
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib, tak ada yang
mengetahuinya, kecuali Dia sendiri” (QS. al-An’am : 59)
2) Ayat-ayat yang Mutasyabihat yang dapat diketahui oleh semua orang
dengan jalan pembahasan dan pengkajian yang mendalam. Contoh: pencirian
mujmal, menentukan mutasyarak, mengqayyidkan yang mutlak, menertibkan
yang kurang tertib.
3) Ayat-ayat Mutasyabihat yang hanya dapat diketahui oleh para pakar ilmu
dan sains, bukan oleh semua orang, apa lagi orang awam. Hal ini termasuk
urusan-urusan yang hanya diketahui Allah SWT dan orang-orang yang rosikh
(mendalam) ilmu pengetahuan.

3. Pendapat Ulama Mengenai Ayat Muhkamat Dan Mutasyabihat


Dalam al-Qur’an sering kita temui ayat-ayat mutasyabihat yang menjelaskan
tentang sifat-sifat Allah. Contohnya Surah al-Rahman ayat 27:
‫َو َيْبقى َو ْج ُه َر ِّبَك ُذ و اْلَج َالِل َو اِأل ْك َر اِم‬
Artinya: Dan kekallah wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan
kemuliaan.
Atau dalam Surah Taha ayat 5 Allah berfirman:
‫الَّرْح مُن َع َلى اْلَع ْر ِش اْسـَتوى‬
Artinya: (yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas 'Arsy.
Dalam hal ini, Subhi al-Shalih membedakan pendapat ulama ke dalam dua
mazhab:
a. Mazhab Salaf, yaitu orang-orang yang mempercayai dan mengimani sifat-
sifat mutasyabih itu dan menyerahkan hakikatnya kepada Allah sendiri.
Mereka mensucikan Allah dari pengertian-pengertian lahir yang mustahil ini
bagi Allah dan mengimaninya sebagaimana yang diterangkan Al-Qur’an
serta menyerahkan urusan mengetahui hakikatnya kepada Allah sendiri.
Karena mereka menyerahkan urusan mengetahui hakikat maksud ayat-ayat
ini kepada Allah, mereka disebut pula mazhab Mufawwidah atau Tafwid.
Ketika Imam Malik ditanya tentang makna istiwa`, dia berkata:

‫اِال ْس ِتَو اُء َم ْع ُلْو ٌم َو اْلَكْيُف َم ْج ُهْو ٌل َو الُّسَؤ اُل َع ْنـُه ِبْد َع ٌة َو َاُظـُّنـَك َر ُج َل الُّسْو َء َاْخ ِر ُجْو ُه َع ِّنْي‬.
Artinya: Istiwa` itu maklum, caranya tidak diketahui (majhul),
mempertanyakannya bid’ah (mengada-ada), saya duga engkau ini orang
jahat. Keluarkan olehmu orang ini dari majlis saya.
Maksudnya, makna lahir dari kata istiwa jelas diketahui oleh setiap orang.
akan tetapi, pengertian yang demikian secara pasti bukan dimaksudkan oleh
ayat. sebab, pengertian yang demikian membawa kepada asyabih
(penyerupaan Tuhan dengan sesuatu) yang mustahil bagi Allah. karena itu,
bagaimana cara istiwa’ di sini Allah tidak di ketahui. selanjutnya,
mempertanyakannya untuk mengetahui maksud yang sebenarnya menurut
syari’at dipandang bid’ah (mengada-ada).
Kesahihan mazhab ini juga didukung oleh riwayat tentang qira’at Ibnu
Abbas.
‫َو َم ا َيْع َلُم َتْأِو ْيَلـُه ِاَّال هللاُ َو ُيُقْو ُل الَّراِس ُخ ْو َن ِفى اْلِع ْلِم اَم ـَّنا ِبه‬
Artinya: Dan tidak mengetahui takwilnya kecuali Allah dan berkata orang-
orang yang mendalam ilmunya, ”kami mempercayai”.

b. Mazhab Khalaf, yaitu ulama yang menkwilkan lafal yang makna lahirnya
mustahil kepada makna yang laik dengan zat Allah, karena itu mereka
disebut pula Muawwilah atau Mazhab Takwil. Mereka memaknai istiwa`
dengan ketinggian yang abstrak, berupa pengendalian Allah terhadap alam ini
tanpa merasa kepayahan. Kedatangan Allah diartikan dengan kedatangan
perintahnya, Allah berada di atas hamba-Nya dengan Allah Maha Tinggi,
bukan berada di suatu tempat, “sisi” Allah dengan hak Allah, “wajah” dengan
zat “mata” dengan pengawasan, “tangan” dengan kekuasaan, dan “diri”
dengan siksa. Demikian sistem penafsiran ayat-ayat mutasyabihat yang
ditempuh oleh ulama Khalaf.
Alasan mereka berani menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat, menurut mereka,
suatu hal yang harus dilakukan adalah memalingkan lafal dari keadaan
kehampaan yang mengakibatkan kebingungan manusia karena membiarkan
lafal terlantar tak bermakna. Selama mungkin mentakwil kalam Allah dengan
makna yang benar, maka nalar mengharuskan untuk melakukannya.
Kelompok ini, selain didukung oleh argumen aqli (akal), mereka juga
mengemukakan dalil naqli berupa atsar sahabat, salah satunya adalah hadis
riwayat Ibnu al-Mundzir yang berbunyi:
.‫ َاَنـا ِمَّم ْن َيْع َلُم ْو َن َتـْأِو ْيـَلُه‬: ‫(َو َم ا َيْع َلُم َتْأِو ْيَلُه ِاَّال ُهللا َو الَّراِس ُخ ْو َن ِفى اْلِع ْلِم ) َقاَل‬: ‫َع ِن اْبِن َعَّباٍس ِفي َقْو ِلِه‬
)‫(رواه ابن المنذر‬
Artinya: “Dari Ibnu Abbas tentang firman Allah: Dan tidak mengetahui
takwilnya kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya”. Berkata
Ibnu Abbas: “saya adalah di antara orang yang mengetahui takwilnya.” (HR.
Ibnu al-Mundzir)
Disamping dua mazhab di atas, ternyata menurut a‫م‬-Suyuti bahwa Ibnu
Daqiq al-Id mengemukakan pendapat yang menengahi kedua mazhab di atas.
Ibnu Daqiqi al-Id berpendapat bahwa jika takwil itu jauh maka kita tawaqquf
(tidak memutuskan). Kita menyakini maknanya menurut cara yang
dimaksudkan serta mensucikan Tuhan dari semua yang tidak laik bagi-Nya.
Sejalan dengan ini, para ulama menyebutkan bahwa mazhab salaf dikatakan
lebih aman karena tidak dikhawatirkan jatuh ke dalam penafsiran dan
penakwilan yang menurut Tuhan salah. Mazhab khalaf dikatakan lebih
selamat karena dapat mempertahankan pendapatnya dengan argumen aqli.

4. Hikmah Adanya Ayat Muhkamat Dan Mutasyabihat


Dalam pembahasan ini perlu dijelaskan hikmah ayat-ayat muhkam lebih
dahulu sebelum menerangkan hikmah ayat-ayat mutasyabihat.[12]
Hikmah Ayat-Ayat Muhkamat
a. Menjadi rahmat bagi manusia, khususnya orang kemampuan bahasa
Arabnya lemah. Dengan adanya ayat-ayat muhkam yang sudah jelas arti
maksudnya, sangat besar arti dan faedahnya bagi mereka.
b. Memudahkan bagi manusia mengetahui arti dan maksudnya. Juga
memudahkan bagi mereka dalam menghayati makna maksudnya agar mudah
mengamalkan pelaksanaan ajaran-ajarannya.
c. Mendorong umat untuk giat memahami, menghayati, dan mengamalkan isi
kandungan Al-Quran, karena lafal ayat-ayatnya telah mudah diketahui,
gampang dipahami, dan jelas pula untuk diamalkan.
d. Menghilangkan kesulitan dan kebingungan umat dalam mempelajari isi
ajarannya, karena lafal ayat-ayat dengan sendirinya sudah dapat menjelaskan
arti maksudnya, tidak harus menuggu penafsiran atau penjelasan dari lafal
ayat atau surah yang lain.

Hikmah Ayat-Ayat Mutasyabihat


a) Memperlihatkan kelemahan akal manusia. Akal sedang dicoba untuk
meyakini keberadaan ayat-ayat mutasyabih sebagaimana Allah memberi
cobaan pada badan untuk beribadah. Seandainya akal yang merupakan
anggota badan paling mulia itu tidak diuji, tentunya seseorang yang
berpengetahuan tinggi akan menyombongkan keilmuannya sehingga enggan
tunduk kepada naluri kehambaannya. Ayat-ayat mutasyabih merupakan
sarana bagi penundukan akal terhadap Allah karena kesadaraannya akan
ketidakmampuan akalnya untuk mengungkap ayat-ayat mutasyabih itu.
b) Teguran bagi orang-orang yang mengutak-atik ayat-ayat mutasybih.
Sebagaimana Allah menyebutkan wa ma yadzdzakkaru ila ulu al-albab
sebagai cercaan terhadap orang-orang yang mengutak-atik ayat-ayat
mutasyabih. Sebaliknya Allah memberikan pujian bagi orang-orang yang
mendalami ilmunya, yakni orang-orang yang tidak mengikuti hawa nafsunya
untuk mengotak-atik ayat-ayat mutasyabih sehingga mereka berkata rabbana
la tuzighqulubana. Mereka menyadari keterbatasan akalnya dan
mengharapkan ilmu ladunni.
c) Membuktikan kelemahan dan kebodohan manusia. Sebesar apapun usaha
dan persiapan manusia, masih ada kekurangan dan kelemahannya. Hal
tersebut menunjukkan betapa besar kekuasaan Allah SWT, dan kekuasaan
ilmu-Nya yang Maha Mengetahui segala sesuatu.
d) Memperlihatkan kemukjizatan Al-Quran, ketinggian mutu sastra dan
balaghahnya, agar manusia menyadari sepenuhnya bahwa kitab itu bukanlah
buatan manusia biasa, melainkan wahyu ciptaan Allah SWT.
e) Mendorong kegiatan mempelajari disiplin ilmu pengetahuan yang
bermacam-macam.

C. Penutup
Muhkam adalah ayat yang hanya mengandung satu wajah, sedang
mutasyabih mengandung banyak wajah. Dengan adanya ayat-ayat muhkam
dan ayat-ayat mutasyabih, mengajak manusia berpikir dan merenungkan
betapa Mahabesarnya Allah SWT. Dengan ayat-ayat Al-Qur’an, manusia
diajak untuk berpikir dan merenungkan apa yang dimaksud Allah yang
tersirat dan termaktub di dalam Al-Qur’an. Maka adanya ayat-ayat
muhkamat, dapat memudahkan bagi manusia mengetahui arti dan
maksudnya. Juga memudahkan bagi mereka dalam menghayati makna
maksudnya agar mudah mengamalkan pelaksanaan ajaran-ajarannya. Serta
mendorong umat untuk giat memahami, menghayati, dan mengamalkan isi
kandungan Al-Quran, karena lafal ayat-ayatnya telah mudah diketahui,
gampang dipahami, dan jelas pula untuk diamalkan. Begitu juga dengan
adanya ayat-ayat mutasyabihat, membuktikan kelemahan dan kebodohan
manusia. Sebesar apapun usaha dan persiapan manusia, masih ada
kekurangan dan kelemahannya. Hal tersebut menunjukkan betapa besar
kekuasaan Allah SWT, dan kekuasaan ilmu-Nya yang Maha Mengetahui
segala sesuatu.

https://www.materipendidikan.info/2017/09/pengertian-ayat-
muhkam-dan-mutasyabih.html

Anda mungkin juga menyukai