1. Al-Muhkam
Muhkam berasal dari kata Ihkam yang bearti kekukuhan, kesempurnaan, keseksamaan,
dan pencegahan. Muhkam secara bahasa artinya jelas, tegas dan tidak diragukan. Asal katanya
dari hukum yaitu pemisahan antara dua hal kebatilan dan kebenaran.
Muhkam secara lugawi berasal dari kata hakama. Kata hukum berarti memutuskan antara dua
hal atau lebih perkara, maka hakim adalah orang yang mencegah zalim dan memisahkan dua
pihak yang sedang bertikai. Sedangkan muhkam adalah sesuatu yang dikokohkan, jelas, fasih,
dan membedakan antara hak dan bathil. (Chirzin, 2003:70)
Banyak sekali pendapat para ulama tentang pengertian Muhkam. Salah satunya adalah al-
Zarqani. Diantara definisi yang diberikan Zarqani adalah sebagai berikut:
1. Muhkam ialah ayat-ayat yang jelas maksudnya lagi nyata yang tidak mengandung
kemungkinan nasakh.
2. Muhkam ialah ayat-ayat yang diketahui maksudnya, baik secara nyata maupun melalui
takwil.
3. Muhkam ialah ayat-ayat yang tidak mengandung kecuali satu kemungkinan makna takwil.
4. Muhkam ialah ayat yang berdiri sendiri dan tidak memerlukan keterangan.
5. Muhkam ialah ayat yang seksama susunan dan urutannya yang membawa kepada
kebangkitan makna yang tepat tanpa pertentangan.
6. Muhkam ialah ayat yang jelas makna nya dan tidak masuk kepadanya isykal (kepelikan).
7. Muhkam ialah ayat yang ditunjukkan makna kuat, yaitu lafal nash dan lafal zahir.
secara terminology muhkam berarti ayat-ayat yang jelas maknanya, dan tidak memerlukan
keterangan dari ayat-ayat lain.
َو ِإْذ َأَخ ْذ َن ا ِم يَث اَق َب ِني ِإْس َر اِئيَل اَل َت ْع ُبُد وَن ِإاَّل َهَّللا َو ِباْلَو اِلَد ْي ِن ِإْح َس اًن ا َو ِذي اْلُقْر َب ٰى َو اْلَي َت اَم ٰى َو اْلَمَس اِكيِن َو ُقوُلوا ِللَّن اِس ُحْس ًن ا َو َأِقيُموا
الَّص اَل َة َو آُتوا الَّز َك اَة ُثَّم َت َو َّلْي ُتْم ِإاَّل َقِلياًل ِم ْنُك ْم َو َأْنُت ْم ُمْع ِر ُضوَن
Artimya : “dan ketika kami mengambil janji dari anak-anak Israel : tidak akan menyembah selain
Allah, dan berbuat kebaikan kepada Ibu,Bapak dan kerabat dekat dan anak-anak-piatu dan orang-
oarng miskin, dan ucapkanlah kata yang baik kepada manusia, dan kerjakanlah sembahyang dan
bayarlah zakat, kemudian itu kamu berpaling kecuali sebagian kecil dari padamu dan kamu tidak
mengambil perduli”
2. Al-Mutasyabih
Mutasyabih secara lugawi berasal dari kata syabaha, yakni bila salah satu dari dua hal serupa
dengan yang lain. Syubhah ialah keadaan dimana satu dari dua hal itu tidak dapat dibedakan
dari yang lain karena adanya kemiripan diantara keduanya secara konkrit atau abstrak.
Banyak sekali pendapat para ulama tentang pengertian Mutasyabih. Salah satunya adalah
al-Zarqani. Diantara definisi yang diberikan Zarqani adalah sebagai berikut:
1. Mutasyabih ialah ayat yang tersembunyi maknanya. Tidak di ketahui maknanya baik
secara aqli maupun naqli, dan inilah ayat-ayat yang hanya Allah mengetahuinya, seperti
datangnya hari kiamat, huruf-huruf yang terputus-putus di awal surat (fawatih as-suwar)
pendapat ini dibangskan al-Lusi kepada pemimpin-pemimpin mahzab Hanafi
2. Mutasyabih ialah ayat ayat yang hanya Allah yang mengetahui maksudnya.
3. Mutasyabih ialah ayat-ayat yang mengandung banyak kemungkinan makna takwil.
4. Mutasyabih ialah ayat yang tidak berdiri sendiri, tetapi memerlukan keterangan tertentu
dan kali yang lain diterangkan dengan ayat atau keterangan yang lain pula karena
terjadinya perbedaan dalam menakwilnya.
5. Mutasyabih ialah yang makna seharusnya tidak terjangkau dari segi bahasa kecuali bila
ada bersamanya indikasi atau melalui konteksnya.
6. Mutasyabih ialah lawannya Muhkam atas ism-ism (kata benda) musytarak dan lafalnya
mubhamah (samar-samar)
7. Mutasyabih ialah ayat-ayat yang ditunjukkan maknanya tidak kuat, yaitu lafal mujmal,
muawwal, dan musykil.
secara terminology Al Mutasyabih berarti ayat-ayat yang belum jelas maksudnya, tidak dapat
dijangkau oleh akal manusia dan mempunyai banyak kemungkinan takwilnya, atau maknanya
yang tersembunyi, dan memerlukan keterangan tertentu, atau Allah yang mengetahuinya.
Contoh surat Thoha ayat 5 :
Ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai dua hal tersebut:
Pertama : Ada yang menyatakan bahwa Al-Qur’an seluruhnya muhkam, dikuatkan dengan Q.S
Hud 11 : 1, “Kitab yang ayat-ayatnya tersusun rapi”.
kedua : ada yang menyatakan semua ayat Al-Qur’an mutasyabih dalam artian saling
bersesuaian sebagaian dengan sebagian lainnya, di dukung dengan ayat Al-Qur’an, Q.S Az-
Zumar : 23, “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur’an yang serupa
lagi berulang-ulang yang membuat gemetar orang-orang yang takut kepadaNya”
ketiga : sebagian mereka berpendapat ada yang muhkam dan ada pula yang mutasyabih
didukung dengan ayat Q.S. Al-Imran ayat 7: “Dialah yang menurunkan Al-Kitab kepada kamu
diantaranya ada ayat ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an, dan sebagian
lainnya mutasyabihat”
Persoalan yang terus menerus menjadi masalah adalah apakah ayat-ayat mutasyabihat
dibiarkan saja seperti adanya dan cukup diimani maksud dan tujuannya, atau harus ditafsirkan
karena dikhawatirkan orang salah memahami maksud dan tujuan ayat tersebut. Menanggapi hal
tersebut terdapat beberapa perbedaan pendapat.
Pendapat pertama, jumhur ulama dan sebagian kecil ahlu rayi’ menyatakan bahwa arti
dan maksud ayat-ayat mutasyabihat itu tidak perlu di tafsirkan, melainkan cukup diimani adanya
dan diserahkan kepada Allah saja makna dan maksudnya demi untuk mensucikannya.
Pendapat kedua, golongan ahlusunnah dan kebanyakan ahli rayi’ berpendapat perlu
menakwilkan ayat-ayat mutasyabihat yang relevan dengan keagungan Allah, sebab menurut
mereka tidak boleh dalam al-Qur’an itu ayat atau kalimat yang tidak bisa difahami oleh manusia,
minimal harus diketahui oleh orang-orang yang berilmu.
Dikatakan dengan tegas, bahwa sebab adanya ayat Muhkam dan Mutasyabih ialah karena
Allah SWT menjadikan demikian. Allah membedakan antara ayat – ayat yang Muhkam dari yang
Mutasyabih, dan menjadikan ayat Muhkam sebagai bandingan ayat yang Mutasyabih.
Pada garis besarnya sebab adanya ayat – ayat Mutasyabihat dalam Al – Qur’an ialah karena
adanya kesamaran maksud syara’ dalam ayat – ayat-Nya sehingga sulit dipahami umat, tanpa
dikatakan dengan arti ayat lain, disebabkan karena bisa dita’wilkan dengan bermacam – macam
dan petunjuknya pun tidak tegas, karena sebagian besar merupakan hal – hal yang pengetahuanya
hanya dimonopoli oleh Allah SWT saja.
A. Kesamaran Lafal
1. Kesamaran Lafal Mufrad, dibagi menjadi 2 (dua) :
b. Kesamaran Lafal Mufrad yang bermakna Ganda. Kata Al – Yamin bisa bermakna tangan
kanan, keleluasan atau sumpah.
1. Ayat – ayat Mutasyabihat yang tidak dapat diketahui oleh seluruh umat manusia,
kecuali Allah SWT. Contoh :
ُه َو ۚ َو َي ْع َلُم َم ا ِفي اْلَب ِّر َو اْلَب ْح ِر ۚ َو َم ا َت ْس ُقُط ِمْن َو َر َقٍة ِإاَّل َي ْع َلُم َه ا َو اَل َح َّبٍة ِفي ُظُلَماِت َو ِع ْن َد ُه َم َفاِتُح اْلَغ ْيِب اَل َي ْع َلُم َه ا ِإاَّل
ِفي ِك َت اٍب ُم ِبيٍن اَأْلْر ِض َو اَل َر ْط ٍب َو اَل َي اِبٍس ِإاَّل
Artinya : “Dan pada sisi Allah–lah kunci – kunci semua yang ghaib, tak ada yang
mengetahuinya, kecuali Dia sendiri” (Q.S. Al – An’am : 59)
2. Ayat – ayat yang Mutasyabihat yang dapat diketahui oleh semua orang dengan jalan
pembahasan dan pengkajian yang mendalam. Contoh : pencirian mujmal, menentukan
mutasyarak, mengqayyidkan yang mutlak, menertibkan yang kurang tertib, dst
3. Ayat – ayat Mutasyabihat yang hanya dapat diketahui oleh para pakar ilmu dan sains,
bukan oleh semua orang, apa lagi orang awam. Hal ini termasuk urusan – urusan yang
hanya diketahui Allah SWT dan orang – orang yang rosikh (mendalam) ilmu
pengetahuan.
E. CIRI CIRI MUHKAMAT DAN MUTASYABIHAT
Untuk mengetahui makna apakah ayat itu termasuk ayat muhkamat atau mutasyabihat,
lebih mudah jika mengetahui ciri-cirinya, brikut ciri-ciri muhkamat dan mutasyabihat.
1. Ciri-ciri muhkamat
a. Ayat-ayatnya sudah jelas, sehingga tidak memerlukan penjelasan penalaran yang lebih
mendalam lagi karna sudah dapat dipahami artinya.
b. Ayat-ayatnya hanya mempunyai satu penafsiran makna saja.
2. Ciri-ciri mutasyabihat
a. Ayat-ayatnya samar dalam pengertian masih membutuhkan penjelasan dari ayat lain atau
memerlukan penalaran untuk mengetahui maksudnya.
b. Ayat-ayatnya memiliki banyak makna-makna
Sikap para ulama terhadap ayat-ayat mutasyabih terbagi dalam dua kelompok, yaitu:
1. Madzhab Salaf, yaitu para ulama yang mempercayai dan mengimani ayat-ayat mutasyabih dan
menyerahkan sepenuhnya kepada Allah sendiri (tafwidh ilallah). Mereka menyucikan Allah dari
pengertian-pengertian lahir yang mustahil bagi Allah dan mengimaninya sebagaimana yang
diterangkan Al-Qur’an. Di antara ulama yang masuk ke dalam kelompok ini adalah Imam Malik
yang berasal dari ulama mutaqaddimin.
2. Madzhab Khalaf, yaitu para ulama yang berpendapat perlunya menakwilkan ayat-ayat
mutasyabih yang menyangkut sifat Allah sehingga melahirkan arti yang sesuai dengan keluhuran
Allah. Karena itu mereka disebut pula Muawwilah atau Mazhab Takwil. Mereka umumnya
berasal dari kalangan ulama muta’akhirin.
Selain dengan ini, para ulama menyebutkan bahwa mazhab salaf dikatakan lebih aman karena
tidak di khawatirkan jatuh ke dalam penafsiran dan penakwilan yang menurut Tuhan salah.
Mazahab khalaf dikatakan lebih selamat karena dapat mempertahankan pendapatnya dengan
arugmen aqli.
Apa yang terkandung dalam Al-Qur’an dapat diketahui pengertiannya meski dengan
tingkatan tertentu; tingkatan yang berdiri sendiri, tingkatan yang membutuhkan qorinah global,
dan tingkatan yang membutuhkan qarinah terperinci. Dengan kata lain, adakala nya kebaikan
suatu dalil untuk di pahami dengan sendirian dan dalil yang lain untuk dipahami bersamaan
dengan dalil-dalil lainnya (Machasin, 2000:57)
Tingkatan pertama bisa dipahami dengan muhkam, dan dua tingkatan terakhir bisa
dipahami sebagai mutasyabih. Kemudian mutasyabih dapat dirinci ke dalam tiga macam:
mutasyabih dalam kata, mutasyabih dalam makna, dan mutasyabih dalam kata sekaligus makna.
Selain pembagian di atas, al-Raghib al-Ashfahani membagi mutasyabih ke dalam tiga
macam: pertama, mutasyabih yang tidak dapat diketahui secara pasti sehingga hanya Allah saja
yang mengetahuinya, seperti kapan terjadinya hari kiamat; kedua, mutasyabih yang dapat
diketahui oleh Allah SWT dan umum nya manusia, seperti kata-kata yang asing; dan ketiga,
mutasyabih yang berada diantara keduanya, yaitu dapat diketahui oleh Allah SWT dan mereka
yang mendalam ilmunya, tetapi tidak dapat diketahui oleh umumnya manusia.
Sebagai contoh: Dalam Al-Qur’an, kata yang berarti kiamat diulang berkali-kali dengan
menggunakan sejumlah redaksi yang berbeda. Umumnya, kata tersebut diawali dengan
pertanyaan, apa yang kamu ketahui tentang hari kiamat. Adakala pertanyaan tersebut disertai
dengan fi’il madli, dan adakalanya dengan fi’il mudlari’, Dengan fi’il madly, pertanyaan itu ada
jawabannya, dan dengan fi’il mudhari’. Pertanyaan itu tidak ditemukan jawabannya.
ُهَو اَّلِذ ْۤي َاْنَز َل َع َلْيَك اْلِكٰت َب ِم ْنُه ٰا ٰي ٌت ُّم ْح َك ٰم ٌت ُهَّن ُاُّم اْلِكٰت ِب َو ُاَخ ُر ُم َتٰش ِبٰه ٌت ۗ َفَاَّم ا اَّلِذ ْيَن ِفْي ُقُلْو ِبِهْم
ۤٗه
َز ْيٌغ َفَيَّتِبُعْو َن َم ا َتَش اَبَه ِم ْنُه اْبِتَغٓاَء اْلِفْتَنِة َو اْبِتَغٓاَء َتْأِوْيِلٖه ۚ َو َم ا َيْع َلُم َتْأِوْيَل ِااَّل ُهّٰللا ۘ َو الّٰر ِس ُخ ْو َن ِفى اْلِع ْلِم
َيُقْو ُلْو َن ٰا َم َّنا ِبٖه ۙ ُك ٌّل ِّم ْن ِع ْنِد َر ِّبَنا ۚ َو َم ا َيَّذَّك ُر ِاۤاَّل ُاوُلوا اَاْلْلَباِب
“Dialah yang menurunkan kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad). Diantaranya ada ayat-ayat yang
muhkamat, itulah pokok-pokok kitab (Al-Qur’an) dan yang lain mutasyabihat. Adapun orang-orang yang
dalam hatinya condong pada kesesatan, mereka mengikuti yang mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah
dan untuk mencari cari takwil nya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan
orang-orang yg ilmu nya mendalam berkata, “Kami beriman kepada (Al-Qur’an), semuanya dari sisi
Tuhan kami”. Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang yang berakal.
bahwa ayat yang mutasyabih dapat dipahami atau dapat dijadikan muhkam (jelas). Dari Isyarat diatas,
bagaimana menjadikan muhkam ayat yang mutasyabih? Dengan tiga tingkatan diatas, maka yang
mutasyabih bisa di pahami diantara nya dengan tiga cara:
“Tahukah kamu apakah hari kiamat itu? (*) sekali lagi, tahukah kamu hari pembalasan itu? (*) Hari
(ketika) seseorang tidak berdaya sedikitpun untuk menolong orang lain. Dan segala urusan pada hari
itu dalam kekuasaan Allah (*).
Dari contoh diatas, ada kesamaan kalimat dalam dua ayat di atas. Kalimat maliki yaumi al-din dalam
surat al-fatihah, 1:4, dinyatakan ulang dalam surat al-infithar, 82:17-19 disertai dengan jawabannya.
2. Menggunakan Hadits
Semisal firman Allah SWT dalam surat Ibrahim, 14:37 dengan hadits dari Ibn Abbas
sebagaimana yang dijelaskan dalam tafsir al-Thabari (2005), bahwa yang dimaksud adalah
Isma’il. Allah SWT berfirman,
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunan ku di lembah
yang tidak mempunyai tanama-tanaman di dekat rumah-Mu (Baitullah) yang di
hormati…”
Dengan,
“Dari Ibn Abbas tentang ayat di atas berkata: Ismail dan ibunya menetap di Mekkah.”
3. Beritjihad Ilmiah
Yaitu dengan menggunakan sejumlah ilmu Al-Qur’an, baik ma fi al-Qur’an, ma haula al-
Qur’an, ataupun ma li al-Qur’an, untuk memahami Al-Qur’an.
Baik muhkam ataupun mutasyabih, masing-masing memiliki peran dalam memahami Al-
Qur’an. Berbeda dengan muhkam yang sudah jelas, mutasyabih dapat dijadikan muhkam di
antaranya dengan tiga cara di atas. Tetapi berbeda dalam memilih cara memungkinkan berbeda
dalam memilih cara memungkinkan berbeda dalam memahami al-quran. Tidak terkecuali ketika
menggunakan ayat tetapi dengan ayat yang berbeda, ataupun dengan menggunakan hadits yang
berbeda.
Lebih jelasnya perhatikan diantara contoh berikut :
1. Mutasyabih dalam kata. Semisal kata musytarak. Allah Swt berfirman dalam surat al-
Baqarah, 2:228
“perempuan-prempuan yang ditalaq hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru, tidak
boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan oleh Allah dalam rahimnya, jika mereka
beriman kepada Allah dan hari akhir…”
a. Kata quru’ yang diartikan suci atau haidl. Menurut al syafi’i, quru’ adalah menahan, yang
pada haqiqatnya adalah menahan darah yang berarti suci. Disamping itu, kata ini juga
didahului kata bilangan feminim yang mengharuskan kata setelahnya adalah maskulin,
yang berarti suci. Sedangkan Abu Hanifah melihat dari maksud disyari’atkannya ‘iddah
adalah untuk mengetahi rahim istri ketika dicerai, yang berarti haidl (Qalyubi, 1997:51).
Atau berdasarkan sejumlah riwayat, semisal yang diriwayatkan dari Muhammad ibn
‘Amru, dari Abu ‘Ashim, dari ‘Isa, dari Ibn Abi Najih, dari Mujahid, adalah haidl (Al-
Thabari, 2005/2, 538)
b. Kata fi arhamihinna yang diartikal haidl, kehamilan, juga haidl dan kehamilan. Ini
berdasarkan sejumlah riwayat: diriwayatkan dari Ibn Basyar, dari Yahya ibn Sa’id, dari
Sufyan, dan Manshur, dari Ibrahim, adalah haidl. Dan diriwayatkan dari Hamid ibn
Mas’adah, dari Yazid bin Zurai’, dan Al-Asy’ats, dari Naf’I, dan Ibn ‘Umar, adalah haidl
dari kehamilan (A;-Thabari, 2005/2, 541)
Perbedaan dalam memahami kata musytarak diatas jelas berperan, bahwa masa ‘iddah
dengan memahami quru’ sebagai suci akan lebih pendek karena begitu perempuan yang
dicerai memasuki masa haidl yang ketiga, ‘iddahnya selesai. Tetapi memahami quru’
sebagai haidl, ‘iddahnya prempuan yang dicerai selesai ketika sudah melewati masa haidl
yang ketiga itu dan memasuki masa suci berikutnya (Qalyubi, 1997:51)
2. Mutasyabih dalam makna. Semisal ayat-ayat yang berkaitan dengan sifat-sifat surga,
neraka, dan lainnya. Dalam surat al Waqi’ah (Qs, 56:7-44), Allah SWT membagi manusia
di hari nanti ke dalam tiga golongan: peratama, golongan terdahulu; kedua, golongan
kanan; dan ketiga golongan kiri. Golongan terdahulu dan kanan, keduanya masuk
kedalam surga dengan dua kategori surga yang berbeda, dan golongan kiri masuk ke
dalam neraka. Kesemuanya merupakan perumpamaan-perumpamaan yang dapat
dipahami oleh indera manusia dalam keindahan dan kengerian yang ada di dalamnya.
Masih mutasyabih dalam makna, semisal firman Allah SWT dalam surat Al-Fath, 48:10
Dalam ayat diatas, terdapat dua kata yang sama, yaitu yaddun. Kata yang pertama
disandarkan kepada Allah SWT dan yang lainnya disandarkan kepada makhluk-Nya.
Padahal Allah SWT terbebas dari segala sesuatu yang meyerupai makhluknya. Sebagian
memahami, bahwa barang siapa yang berjanji setia kepada Rasulullah SAW berarti juga
berjanji setia kepada Allah SWT, yang pada masa itu ditandai dengan diletakkannya
tangan Rasulullah SAW diatas tangan mereka. Karena itu, sebagian memahami, seakan-
akan tangan Allah SWT diatas tangan mereka.
3. Mutasyabih dalam kata sekaligus makna. Dari segi keumuman atau kekhususan
kalimat, dari wajib atau sunnahnya hukum sebuah ketentuan, dan lainnya.
a. Umum atau khusus. Semisal firman Allah SWT dalam surat al-taubah, 9:5
“apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyirikin
itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka, kepunglah mereka dan
intailah ditempat pengintaian…”
b. Wajib atau sunnah. Semisal firman Allah SWT dalam surat Al-Nisa, 4:3
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) prempuan yang
yatim (bila kamu menikahinya), maka nikahilah prempuan-prempuan (lain) yang
kamu sukai: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kam takut tidak akan dapat berlaku
adil, maka (nikahilah) seseorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki…”
Muhkam adalah ayat yang hanya mengandung satu wajah, sedang mutasyabih mengandung
banyak wajah. Dengan adanya ayat-ayat muhkam dan ayat-ayat mutasyabih, mengajak manusia
berpikir dan merenungkan betapa Mahabesarnya Allah SWT. Dengan ayat-ayat Al-Qur’an,
manusia diajak untuk berpikir dan merenungkan apa yang dimaksud Allah yang tersirat dan
termaktub di dalam Al-Qur’an. Maka adanya ayat-ayat muhkamat, dapat memudahkan bagi
manusia mengetahui arti dan maksudnya. Juga memudahkan bagi mereka dalam menghayati
makna maksudnya agar mudah mengamalkan pelaksanaan ajaran-ajarannya. Serta mendorong
umat untuk giat memahami, menghayati, dan mengamalkan isi kandungan Al-Quran, karena lafal
ayat-ayatnya telah mudah diketahui, gampang dipahami, dan jelas pula untuk diamalkan. Begitu
juga dengan adanya ayat-ayat mutasyabihat, membuktikan kelemahan dan kebodohan manusia.
Sebesar apapun usaha dan persiapan manusia, masih ada kekurangan dan kelemahannya. Hal
tersebut menunjukkan betapa besar kekuasaan Allah SWT, dan kekuasaan ilmu-Nya yang Maha
Mengetahui segala sesuatu.
DAFTAR PUSTAKA
Endi, dkk. (2017). Pengantar Ulumul Qur’an. Yogjakarta: Spirit
Khoiruddin, Heri, (2016). Ilmu Al-Qur’an: dan Perannya dalam Al-Qur’an. Bandung: Fajar
Media
Chodijah, Siti. Ulumul Qur’an. Bandung: Lembaga Penelitian UIN Sunan Gunung Djati
Bandung.
https://ulumul.wordpress.com/2009/05/13/muhkam-dan-mutasybih/
https://www.materipendidikan.info/2017/09/pengertian-ayat-muhkam-dan-mutasyabih.html