NIM : 2381130208
KELAS : A6
2. Aspek-aspek Tasyabuh
Tasyabuh artinya kesamaran makna. Ada tiga aspek dalam ayat-ayat mutasyabihat, yaitu
segi lafal ayat, makna ayat, dan pada lafal dan makna ayat sekaligus.
1. Tasyabuh pada lafal ayat
Tasyabuh terjadi disebabkan oleh karena kosakata (mufrodat) yang digunakan oleh Al
Qur’an tidak umum dipakai oleh bangsa arab seperti penggunaan kata “abban” dalam
Surat Abasa ayat 31.
Dua orang sahabat yaitu Abu Bakar ash Shiddiq dan Umar ibn al Khathab tidak tahu
makna kata “abban” tersebut. Tatkala Abu Bakar ditanya apa makna kata itu, beliau
menjawab “Langit mana yang akan menaungiku, bumi mana tempat aku berpijak, jika
aku katakan sesuatu tentang Kitab Allah apa-apa yang aku tidak punya ilmu tentangnya”.
Senada dengan itu Umar juga menyatakan “Kata “fakihah” kita tahu, tetapi apa
maknanya “abban?”. Makna “abban” baru diketahui setelah dihubungkan dengan ayat
berikut.
Dari ayat ini baru jelas bahwa “fakihah atau buah-buahan” adalah kesenangan untuk
kamu, sedangkan “abban” kesenangan untuk binatang ternakmu. “abban” artinya
rumput-rumput untuk binatang ternak.
Tasyabuh juga disebabkan karena kata yang digunakan bersifat “musytarak” atau
mempunyai lebih dari satu pengertian, misalnya kata “quru” yang terdapat dalam Surat
Al Baqarah ayat 228.
Tasyabuh juga bisa terjadi disebabkan oleh susunan kalimat, baik kalimatnya ringkas,
luas atau karena susunan kalimatnya. Contohnya dalam surat An-Nisa ayat 3.
2. Tasyabuh pada makna ayat
Tasyabuh terjadi disebabkan oleh karena kendungan makna ayat itu sendiri yang
berbicara tentang hal-hal yang ghaib seperti sifat Allah SWT dan hal ihwal Hari Akhir.
Hal-hal ghaib seperti itu, sekalipun tahu artinya, tetapi tentu saja akal manusia tidak bisa
mengungkap hakikat sifat-sifat Allah SWT dan hal ikhwal mengenai Hari Akhir.
Jadi, tasyabuh bukan disebabkan oleh lafal yang gharib atau musyatarak, bukan pula dari
susunan kalimat, tetapi justru dari kandungan makna ayat-ayat itu sendiri.
3. Tasyabuh pada lafal dan makna ayat sekaligus
Tasyabuh terjadi disebabkan oleh karena lafal dan makna ayat sekaligus. Contohnya
dalam surat Al Baqarah ayat 189. Tasyabuh pada ayat ini terjadi karena lafalnya yang
padat dan juga dari segi makna.
1. Mazhab Salaf, dikenal dengan sebutan mazhab al-mufawwidah, yaitu golongan yang
menyerahkan maksud dari ayat-ayat mutasyâbihât kepada Allah swt. Setelah
membersihkanNya dari zahirnya teks-teks al-Qur’an yang berbicara sesuatu yang mustahil
bagi-Nya. Mereka berargumentasi dengan dua dalil; a) dalil aqli, mereka mengatakan bahwa
penentuan maksud dari ayat-ayat mutasyâbihât itu berlandaskan pada kaidah-kaidah bahasa
dan penggunaan orang-orang Arab. Kedua hal tersebut bersifat zann (asumsi), sedangkan
keyakinan atas sifatsifat Allah Swt. tidak cukup dengan asumsi, melainkan harus dengan
keyakinan. Padahal pada kenyataannya tidak ada jalan untuk menuju kesana, maka yang bisa
dilakukan hanya pasrah dan menyerahkannya kepada Allah yang Maha Tahu. b) dalil naqli,
mereka berpegang pada beberapa dalil: 1) hadis ‘Aisyah24; 2) hadis Abî Mâlik al-Asy’arî25;
3) hadis kakeknya Ibn Murdawih26; 4) hadis Sulaiman ibn Yasâr27; 5) apa yang
diriwayatkan dari Imam Malik.
2. Mazhab Khalaf, yaitu ulama yang menakwilkan lafaz yang makna lahirnya mustahil
bagi Allah kepada makna yag lain dengan dzat Allah. Karena itu mereka disebut juga dengan
mazhab muawwilah atau mazhab takwil. Mereka memaknakan istawâ` dengan ketinggian
yang abstrak, berupa pengendalian Allah terhadap alam ini tanpa merasa kepayahan.
Kedatangan Allah SWT diartikan kedatangan perintahnya, Allah berada di atas hambaNya
dengan Allah Maha Tinggi, bukan berada disuatu tempat, “sisi” Allah dengan hak Allah,
“wajah” dengan zat, “mata” dengan pengawasan, “tangan” dengan kekuasaan, dll. Demikian
metode penafsiran ayat-ayat mutasyâbihât yang ditempuh oleh ulama khalaf. Semua lafaz
yang mengandung makna “cinta”, “murka” dan “malu” bagi Allah ditakwil dengan makna
majaz yang terdekat. Mereka berkata: “setiap sifat yang makna hakikatnya mustahil bagi
Allah ditakwil dengan kelazimannya”. Pendapat ini dinisbatkan kepada Ibn Burhân dan
golongan muta`akhkhirîn.
3. Mazhab Moderat, yaitu golongan yang memerinci penafsiran; apabila takwilnya dekat
dengan lisan orang Arab maka tidak diingkari tetapi apabila takwilnya melenceng jauh kita
diam dan hanya meyakini sesuai apa yang dikehendaki-Nya. Seperti Firman Allah dalam QS.
al-Zumar: 56..Yang artinya“Supaya jangan ada orang yang mengatakan: "Amat besar
penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah, sedang aku
sesungguhnya termasuk orang-orang yang memperolok-olokkan (agama Allah)”.Menurut
mereka, “sisi Allah” diartikan dengan hak Allah. Pendapat ini dinukil dari Ibn Daqîq al-‘Îd
(alZarqânî, tth; Zarkasyi, 1391 H). Menurut al-Zarqânî, para ulama sepakat pada tiga hal
dalam memahami ayat-ayat mutasyâbihât dalam sifat Allah Swt. Pertama, ulama sepakat
untuk membelokkan pengertian zahirnya yang mustahil dan meyakini bahwa pengertian zahir
tidak dikehendaki oleh Allah Swt. Kedua, jika demi membela Islam memerlukan takwil,
maka wajib hukumnya mentakwil. Ketiga, jika ayat tersebut hanya memiliki satu pengertian
yang dekat, maka harus dengannya, seperti firman Allah Swt. wa huwa ma’akum ainamâ
kuntum (QS. AlHadîd :4). Keberadaan Dzat Allah Swt. bersama makhluk-Nya adalah
mustahil berdasarkan dalil qat’i. Karena itu tidak ada penakwilan lain kecuali dengan al-
ihâtah ‘ilman, sam’an, basharan, qudratan, wa irâdatan (luas pengetahuannya,
pendengarannya, penglihatan, kemampuan, dan kehendak) (‘Abd al-‘Azîm al-Zarqânî, 2001).
PENGERTIAN ASPEK TASYABUH CONTOH AYAT SIKAP PARA ULAMA HIKMAH AYAT