Anda di halaman 1dari 4

TUGAS MATA KULIAH ILMU AL QUR’AN

PRODI PJJ PAI –IAIN SYEKH NURJATI CIREBON

NAMA : Aziz Khusaeri

NIM : 2381130208

KELAS : A6

1. Pengertian muhkam dan mutasyabih


Muhkam adalah sesuatu yang kokoh, jelas, fasih dan membedakan antara yang hak dan
batil. Ihkam al-Kalam berarti mengokohkan perkataan dengan memisahkan berita yang
benar dari yang salah, dan urusan yang lurus dari yang sesat. Dengan pengertian inilah
Allah mensifati al-Qur’an bahwa seluruhnya adalah muhkam. “al-Qur’an itu
seluruhnya muhkam,” maksudnya al-Qur’an itu ayat-ayatnya itqam (kokoh, indah), yakni
ayat-ayatnya serupa dan sebagiannya membenarkan sebagian yang lain, dan membedakan
antara yang hak dan yang batil dan antara yang benar dengan yang dusta.
Mutasyabih al-kalam adalah kesamaan dan kesesuaian perkataan, karena sebagiannya
membetulkan sebagian yang lain. Dengan pengertian inilah Allah mensifati “al-Qur’an itu
seluruhnya mutasyabih,” maksudnya al-Qur’an itu sebagian kandungannya serupa dengan
sebagian yang lain dalam kesempurnaan dan keindahannya, dan sebagiannya membenarkan
sebagian yang lain serta sesuai pula maknanya.
Mengenai pengertian muhkam dan mutasyabih terdapat banyak perbedaan pendapat.
Yang terpenting di antaranya sebagai berikut:
a. Muhkam adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya,
sedangkan mutasyabih hanyalah diketahui maksudnya oleh Allah sendiri.
b. Muhkam adalah ayat yang hanya mengandung satu wajah
sedangkan mutasyabih mengandung banyak wajah.
c. Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara lansung tanpa memerlukan
keterangan lain, sedangkan mutasyabih memerlukan penjelasan dengan merujuk kepada
ayat-ayat lain.

2. Aspek-aspek Tasyabuh
Tasyabuh artinya kesamaran makna. Ada tiga aspek dalam ayat-ayat mutasyabihat, yaitu
segi lafal ayat, makna ayat, dan pada lafal dan makna ayat sekaligus.
1. Tasyabuh pada lafal ayat
Tasyabuh terjadi disebabkan oleh karena kosakata (mufrodat) yang digunakan oleh Al
Qur’an tidak umum dipakai oleh bangsa arab seperti penggunaan kata “abban” dalam
Surat Abasa ayat 31.
Dua orang sahabat yaitu Abu Bakar ash Shiddiq dan Umar ibn al Khathab tidak tahu
makna kata “abban” tersebut. Tatkala Abu Bakar ditanya apa makna kata itu, beliau
menjawab “Langit mana yang akan menaungiku, bumi mana tempat aku berpijak, jika
aku katakan sesuatu tentang Kitab Allah apa-apa yang aku tidak punya ilmu tentangnya”.
Senada dengan itu Umar juga menyatakan “Kata “fakihah” kita tahu, tetapi apa
maknanya “abban?”. Makna “abban” baru diketahui setelah dihubungkan dengan ayat
berikut.
Dari ayat ini baru jelas bahwa “fakihah atau buah-buahan” adalah kesenangan untuk
kamu, sedangkan “abban” kesenangan untuk binatang ternakmu. “abban” artinya
rumput-rumput untuk binatang ternak.
Tasyabuh juga disebabkan karena kata yang digunakan bersifat “musytarak” atau
mempunyai lebih dari satu pengertian, misalnya kata “quru” yang terdapat dalam Surat
Al Baqarah ayat 228.
Tasyabuh juga bisa terjadi disebabkan oleh susunan kalimat, baik kalimatnya ringkas,
luas atau karena susunan kalimatnya. Contohnya dalam surat An-Nisa ayat 3.
2. Tasyabuh pada makna ayat
Tasyabuh terjadi disebabkan oleh karena kendungan makna ayat itu sendiri yang
berbicara tentang hal-hal yang ghaib seperti sifat Allah SWT dan hal ihwal Hari Akhir.
Hal-hal ghaib seperti itu, sekalipun tahu artinya, tetapi tentu saja akal manusia tidak bisa
mengungkap hakikat sifat-sifat Allah SWT dan hal ikhwal mengenai Hari Akhir.
Jadi, tasyabuh bukan disebabkan oleh lafal yang gharib atau musyatarak, bukan pula dari
susunan kalimat, tetapi justru dari kandungan makna ayat-ayat itu sendiri.
3. Tasyabuh pada lafal dan makna ayat sekaligus
Tasyabuh terjadi disebabkan oleh karena lafal dan makna ayat sekaligus. Contohnya
dalam surat Al Baqarah ayat 189. Tasyabuh pada ayat ini terjadi karena lafalnya yang
padat dan juga dari segi makna.

3. Contoh-contoh ayat muhkam dan mutasyabih


1. Surah At-Thaha ayat 110
‫َي ْع َلُم َم ا َب ْي َن َأْيِديِه ْم َو َم ا َخ ْلَفُهْم َو اَل ُيِحيُط وَن ِبِه ِع ْلًما‬
Artinya, “Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang
mereka, sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya.”
2. Surah Al An’am ayat 103
‫اَل ُتْد ِر ُك ُه اَأْلْب َص اُر َو ُه َو ُيْد ِر ُك اَأْلْب َص اَر ۖ َو ُه َو الَّلِط يُف اْل َخ ِبيُر‬
Artinya, “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata sedang Dia dapat melihat segala
penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.”
3. Surah Ali Imran ayat 138
‫َو ُه ًد ى َو َم ْو ِع َظٌة ِلْلُم َّت ِقيَن َٰه َذ ا َبَي اٌن ِللَّن اِس‬
Artinya, “(Al-Qur’an) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta
pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.”

4. Sikap para ulama terhadap ayat-ayat mutashabih


Ulama berbeda pendapat dalam menyikapi ayat-ayat mutasyâbihât, apakah mungkin
diketahui artinya dengan cara ditakwil atau tidak mungkin diketahui sama sekali dan hanya
Allah Swt. yang mengetahui rahasia tersebut. Dalam hal ini ada tiga pendapat ulama:

1. Mazhab Salaf, dikenal dengan sebutan mazhab al-mufawwidah, yaitu golongan yang
menyerahkan maksud dari ayat-ayat mutasyâbihât kepada Allah swt. Setelah
membersihkanNya dari zahirnya teks-teks al-Qur’an yang berbicara sesuatu yang mustahil
bagi-Nya. Mereka berargumentasi dengan dua dalil; a) dalil aqli, mereka mengatakan bahwa
penentuan maksud dari ayat-ayat mutasyâbihât itu berlandaskan pada kaidah-kaidah bahasa
dan penggunaan orang-orang Arab. Kedua hal tersebut bersifat zann (asumsi), sedangkan
keyakinan atas sifatsifat Allah Swt. tidak cukup dengan asumsi, melainkan harus dengan
keyakinan. Padahal pada kenyataannya tidak ada jalan untuk menuju kesana, maka yang bisa
dilakukan hanya pasrah dan menyerahkannya kepada Allah yang Maha Tahu. b) dalil naqli,
mereka berpegang pada beberapa dalil: 1) hadis ‘Aisyah24; 2) hadis Abî Mâlik al-Asy’arî25;
3) hadis kakeknya Ibn Murdawih26; 4) hadis Sulaiman ibn Yasâr27; 5) apa yang
diriwayatkan dari Imam Malik.
2. Mazhab Khalaf, yaitu ulama yang menakwilkan lafaz yang makna lahirnya mustahil
bagi Allah kepada makna yag lain dengan dzat Allah. Karena itu mereka disebut juga dengan
mazhab muawwilah atau mazhab takwil. Mereka memaknakan istawâ` dengan ketinggian
yang abstrak, berupa pengendalian Allah terhadap alam ini tanpa merasa kepayahan.
Kedatangan Allah SWT diartikan kedatangan perintahnya, Allah berada di atas hambaNya
dengan Allah Maha Tinggi, bukan berada disuatu tempat, “sisi” Allah dengan hak Allah,
“wajah” dengan zat, “mata” dengan pengawasan, “tangan” dengan kekuasaan, dll. Demikian
metode penafsiran ayat-ayat mutasyâbihât yang ditempuh oleh ulama khalaf. Semua lafaz
yang mengandung makna “cinta”, “murka” dan “malu” bagi Allah ditakwil dengan makna
majaz yang terdekat. Mereka berkata: “setiap sifat yang makna hakikatnya mustahil bagi
Allah ditakwil dengan kelazimannya”. Pendapat ini dinisbatkan kepada Ibn Burhân dan
golongan muta`akhkhirîn.

3. Mazhab Moderat, yaitu golongan yang memerinci penafsiran; apabila takwilnya dekat
dengan lisan orang Arab maka tidak diingkari tetapi apabila takwilnya melenceng jauh kita
diam dan hanya meyakini sesuai apa yang dikehendaki-Nya. Seperti Firman Allah dalam QS.
al-Zumar: 56..Yang artinya“Supaya jangan ada orang yang mengatakan: "Amat besar
penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah, sedang aku
sesungguhnya termasuk orang-orang yang memperolok-olokkan (agama Allah)”.Menurut
mereka, “sisi Allah” diartikan dengan hak Allah. Pendapat ini dinukil dari Ibn Daqîq al-‘Îd
(alZarqânî, tth; Zarkasyi, 1391 H). Menurut al-Zarqânî, para ulama sepakat pada tiga hal
dalam memahami ayat-ayat mutasyâbihât dalam sifat Allah Swt. Pertama, ulama sepakat
untuk membelokkan pengertian zahirnya yang mustahil dan meyakini bahwa pengertian zahir
tidak dikehendaki oleh Allah Swt. Kedua, jika demi membela Islam memerlukan takwil,
maka wajib hukumnya mentakwil. Ketiga, jika ayat tersebut hanya memiliki satu pengertian
yang dekat, maka harus dengannya, seperti firman Allah Swt. wa huwa ma’akum ainamâ
kuntum (QS. AlHadîd :4). Keberadaan Dzat Allah Swt. bersama makhluk-Nya adalah
mustahil berdasarkan dalil qat’i. Karena itu tidak ada penakwilan lain kecuali dengan al-
ihâtah ‘ilman, sam’an, basharan, qudratan, wa irâdatan (luas pengetahuannya,
pendengarannya, penglihatan, kemampuan, dan kehendak) (‘Abd al-‘Azîm al-Zarqânî, 2001).

5. Hikmah ayat-ayat mutashabih


 Ayat-ayat mutasyabih mengharuskan upaya yang lebih banyak untuk mengungkap
maksudnya dengan jalan lebih giat belajar, tekun mengkaji sehingga menambah pahala
bagi orang yang mengkajinya.
 Keberadaan ayat-ayat ini juga merupakan cobaan dan ujian bagi manusia, apakah mereka
percaya atau tidak tentang hal-hal ghaib berdasarkan berita yang disampaikan oleh orang
benar.
 Sebagai bukti atas kelemahan dan kebodohan manusia. Bagaimanapun besar kesiapan
dan banyak ilmunya, namun Tuhan sendirilah yang mengetahui segala-galanya.
 Adanya ayat-ayat mutasyabih dalam al-Qur’an merupakan sebuah bukti
kemukjizatannya (Abdul Jalal, tth; Ramli Abdul Wahid; Yusuf Qardhawi).
MUHKAM DAN MUTASAYABIH

PENGERTIAN ASPEK TASYABUH CONTOH AYAT SIKAP PARA ULAMA HIKMAH AYAT

 Muhkam adalah sesuatu yang


kokoh, jelas, fasih dan  Upaya giat untuk
membedakan antara yang hak memepelajari Al-
 Tasyabuh pada lafal ayat
dan batil Qur’an
 Tasayabuh pada makna  Surat At Taha ayat 110  Mahzab Syalaf
 Cobaan dan ujian bagi
ayat  Surat Al An’am ayat 103  Mahzab Khalaf
 Mutasyabih al-kalam adalah manusia
 Tasyabuh pada lafal dan  Surat Al Imran ayat 138  Mahzab Moderat
kesamaan dan kesesuaian  Bukti kelemahan dan
makna ayat sekaligus
perkataan, karena sebagiannya keterbatasan manusia
membetulkan sebagian yang  Sebagai mukjizat
lain

Anda mungkin juga menyukai