Anda di halaman 1dari 4

C.

PENDAPAT ULAMA TENTANG TA’WIL PADA AYAT MUHKAM


MUTASYABIHAH
Ta’wil adalah penafsiran satu pembicaraan teks dan menerangkan maknanya, tanpa
mempersoalkan apakah keterangan itu sesuai dengan yang tersurat atau tidak. Ta’wil juga dapat
diartikan sebagai mengalihkan makna sebuah lafadz ayat ke makna lain yang lebih sesuai karena
alasan yang dapat diterima oleh akal.
Dalam al-qur’an terdapat ayat-ayat yang disebut dengan istilah ayat-ayat muhkam dan
juga terdapat ayat-ayat yang dikenal dengan sebutan ayat-ayat mutasyabihat. Ayat muhkam
adalah ayat yang sudah jelas makna dan maksudnya, sedangkan ayat mutasyabihat adalah ayat
yang memiliki banyak interpretasi makna.
1. Makna Muhkam
Al-Qur’an semuanya adalah muhkam. Ungkapan ini dimaksudkan bahwa
kemuhkaman al-Qur’an mencakup lafadz dan keindahan nadhamnya sungguh sangat
sempurna, tak ada sedikitpun terdapat kelemahan padanya, baik dalam segi lafadznya,
maupun dalam segi maknanya. Dan dengan pengertian seperti seperti inilah Allah SWT
menurunkan Al-Qur’an sebagaimana yang Allah tegaskan dalam firmannya :
CA TULIS ARABNYA YA
Alif Laam Raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta
dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi
Maha Tahu. (QS. 11 : 1)

2. Makna Mutasyabihat
Dan kita dapat juga mengatakan,bahwa seluruh Al-Qur’an adalah mutasyabih.
Jika yang kita maksudkan dengan kemutasyabihannya adalah kemutamatsilan (yaitu
serupa atau sebanding) anatara ayat-ayatnya, baik dalam bidang balaghoh maupun dalam
bidang I’jaz dan kesulitan kita menampakkan kelebihan sebahagian sukunya atau yang
lain. Dengan pengertian inilah Allah SWT berfirman :
CA AYATNYA 
Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur’an yang serupa (mutu
ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut
kepada Tuhannya. (QS. 39:23)

3. Beberapa pendapat Ulama


Makna muhkam dan mutasyabih dalam pengertian bahwa ayat-ayat Al-Qur’an
seluruhnya muhkam atau mutasyabihat bukanlah yang kita maksudkan dari muhkam dan
mutasyabihat yang akan kita bahas. Yang perlu digaris bawahi adalah bahwa yang
menyebabkan kita mengatakan istilah muhkam dan mutasyabih, landasannya adalah
firman Allah :
CA AYATNYA
Dialah yang menurunkan Al-kitab kepada kamu. Diantara (isi) nya ada ayat-ayat yang
muhkamat itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat.
Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka
mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk
mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah.
Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata : “Kami beriman kepada ayat-ayat
yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil
pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal (QS. 3:7)
Di dalam ayat itu telah dinyatakan, bahwasanya muhkam ialah imbangan atau
lawan dari mutasyabih. Dalam artian bahwa sebagian orang yang rasikh ilmunya adalah
imbangan dari orang-orang yang ada kesesatan dalam jiwanya. Para ulama telah
menjadikan imbangan-imbangan ini sebagai dasar untuk mendefinisikan muhkam dan
mutasyabih. Maka banyaklah pendapat-pendapat mereka dalam maudhu atau tema yang
bermacam-macam pula.
Namun demikian, pada akhirnya mereka menetapkan bahwasanya yang dikatakan
muhkam adalah yang menunjukan kepada maknanya yang jelas, sedikitpun tak ada yang
tersembunyi padanya. Sedangkan mutasyabih ialah yang kosong dari petunjuk yang kuat,
yang menunjuk pada maknanya. Maka masuklah kepada muhkam : nash dan dzahir. Dan
ke dalam mutasyabih : mujmal, muawwal dan musykil. Karena lafadz mujmal
memerlukan penjelasan. Lafadz muawwal tidak menunjukan kepada suatu makna,
terkecuali sesudah ditakwil, sedang musykil, tersembunyi petunjuknya. Pada pokoknya
ada kesamaran dan kemubhaman.
Jelasnya adalah pada ayat-ayat yang muhkam, menyebabkan kita tidak perlu
membahasnya, karena dengan kita membacanya, kita telah mengetahui apa maksudnya.
Tapi tersembunyinya maksud dari ayat-ayat mutasyabih, itulah yang menyebabkan kita
membahasnya, supaya kita mengetahui kemudian menjauhi dari golongan orang-orang
yang di dalam jiwanya ada kesesatan.
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa yang mutasyabih tidak ada yang
mengetahui takwilnya melainkan Allah SWT sendiri dan mereka mengharuskan kita
berwaqaf (berhenti) dalam membaca surat Ali Imran ayat 7 pada lafadz jalalah :
CAAAA ARABNYAAAA
Dan tidak ada yang mengetahui maknanya melainkan Allah. Adapun orang-orang
yang rasikh ilmunya, maka mereka hanya mengatakan : “aamannaa bihii kullu min indi
rabbina” (kami beriman kepadanya semuanya itu daripada Tuhan kami).
Sedangkan Abu Hasan Al Asy’ari berpendapat bahwa waqaf dilakukan pada :
“warrasikhuuna fil ilmi” dengan makna bahwa, mereka yang rasikh itu mengetahui takwil
mutasyabih. Pendapat ini dijelaskan oleh Abu Ishak Asy Syirozi (wafat pada th 476 H)
dan mendapatkan pembelaan dari beliau. Asy Syirozi berkata : “tak ada satupun dari
ayat-ayat Al-Qur’an yang Allah sendiri mengetahui maknanya.” Para ulama mengetahui
maksudnya, karena sesungguhnya Allah menyebut firmannya ini dalam rangka menguji
para ulama. Andaikata mereka tidak mengetahui makna mutasyabih, bersekutulah mereka
dengan orang-orang awam.
Ar-Raghib al-Ashfahani mengambil jalan tengah dalam menghadapi masalah ini.
Beliau membagi mutasyabih dari segi kemungkinan mengetahui maknanya kepada tiga
bagian :
1. Bagian yang tak ada jalan mengetahuinya, seperti waktu terjadi, keluar
binatang dari bumi dan yang sepertinya.
2. Bagian kedua, bagian manusia mengetahui sebab-sebab mengetahuinya,
seperti lafadz-lafadz yang ganjil dari hukum-hukum yang sulit atau rumit.
3. Bagian yang terakhir, bagian yang terletak antara dua urusan itu yang hanya
diketahui oleh sebagian ulama yang rasikh ilmunya, tidak diketahuinya oleh
sebagian yang lain.
Inilah yang diisyaratkan oleh Nabi dengan sabdanya kepada Ibnu Abbas ra.,
sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal :
CAAA HADITS NYA CAAA
Dari Ibnu Abbas ra, bahwa Rasulullah SAW meletakkan tangannya diatas
bahuku, kemudian berkata, “Ya Allah jadikanlah ia seseorang yang fakih dalam
agama dan ajarkanlah takwil kepadanya.” (HR. Ahmad)
Pendapat Ar-Raghib inilah yang imbang, tidak ifrath dan tidak tafrith. Dzat Allah
dan hakikat-hakikat sifat-Nya tak ada yang mengetahuinya selain dari Allah sendiri.
Dalam pengertian inilah mengatakan dalam doanya :
CAAA DOANYA CAAAA
“sebagaimana engkau telah menyanjung diri engkau. Aku tak dapat
menghinggakan puji dan sanjung atas diri engkau.”
Dalam membahas Fawatihus Suwar, kita akan menemukan berbagai takwil yang
diberikan para ulama. Semua pendapat para ulama berkisar pada permasalahan hikmah
wujudnya (Fawatihu Suwar), bukan sekitar hakikat-hakikatnya. Maka di dalam
ketidakmampuannya manusia menemukan hakikat-hakikat itu. Terasalah oleh manusia
kelemahannya. Dan diapun mengucapkan :
CAAA ayatnya CAAAA
“kami mengakui kesuciaan Engkau, tak ada ilmu bagi kami terkecuali apa yang
telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkau adalah Tuhan yang senantiasa
mengetahui lagi senantiasa menyelesaikan sesuatu dengan hikmah (Q.S 2:32).
Ulama Salaf mensucikan Allah dari kenyataan-kenyataan yang mustahil dan
mengimani apa yang diterangkan Al-Qur’an serta menyerahkan urusan hakikatnya
kepada Allah SWT. sedangkan Ulama Khalaf memaknakannya istiwa’ dengan ketinggian
yang berupa maknawi yaitu mengendalikan alam ini tanpa merasa payah, memaknakan
kedatangan Allah dengan kedatangan perintah-Nya, memaknakan Allah berada diatas
hamba-Nya dengan Allah Maha Tinggi.
Sementara para khalaf mentakwilkan sifat-sifat mutasyabihah dengan jalan
mempertanggungjawabkannya kepada majaz yang terdekat, sehingga makna dari ayat-
ayat mutasyabihat tersebut dapat dipahami.
Sebagai hamba Allah SWT, hendaknya kita memiliki kehati-hatian dalam
memahami ayat-ayat Al-Qur’an tersebut. Jangan sampai kita terjebak dalam pentakwilan
yang tidak ada nash dan dasarnya, yang justru akan menjerumuskan pada pemahaman
yang keliru. Namun, hendaknya juga jangan enggan untuk memahami ayat-ayat Al-
Quran, karena kita masih dapat merujuk ke kitab-kitab tafsir untuk dapat memahami
maksud dan makna yang terkandung di dalamnya.

Anda mungkin juga menyukai