Anda di halaman 1dari 13

MUHKAM WA AL-MUTASYABIHAT

Disusun Guna Memenuhi Tugas:

Mata Kuliah: Studi Al-Qur’an

Dosen Pengampu: Zaimul Asroor, S.Th.I, M.A.

Disusun Oleh:

1. Rizqy Fitria Zahwa Arofah (2320131667)


2. Luluk Nur Khasanah (2320131689)

FAKULTAS ILMU TARBIAH DAN KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM KHOZINATUL ‘ULUM BLORA

TAHUN 2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur’an adalah kalam Tuhan yang dijadikan pedoman dalam setiap


aspek kehidupan umat Islam, tentunya harus dipahami secara mendalam.
Pemahaman al-Qur’an dapat diperoleh dengan mendalami atau menguasai
ilmu-ilmu yang tercakup dalam ulum al-Qur’an. Salah satu bagian dari
cabang keilmuan ulum al-Qur’an adalah ilmu yang membahas
tentang Muhkam dan Mutasyabih ayat.

Muhkam Mutasyabih ayat hendaknya dapt dipahami secara


mendalam. Hal ini dikarenakan dua hal ini termasuk dalam objek yang urgen
dalam kajian atau pemahaman al-Qur’an. Berdalih agar tidak terjadi
ketimpangan dalam memahami ayat-ayat dalam al-Qur’an terkhususnya
dalam ranah Muhkam dan Mutasyabih. Maka kelompok kami menyusun
makalah yang membahas tentang kedua hal tersebut. Untuk keterangan lebih
lanjut mengenai ketentuan dan hal-hal yang berhubungan
dengan Muhkam dan Mutasyabih, akan dijelaskan dalam bab berikutnya
yaitu bab pembahasan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Muhkam dan Mutasyabih?
2. Bagaimana pandangan para ulama’ mengenai Muhkam dan Mutasyabih?
3. Bagaimanakah Fawatih as-Suwar itu?
4. Apakah hikmah dari keberadaan ayat Muhkam dan Mutasyabih?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari Muhkam dan Mutasyabih
2. Untuk mengetahui pandangan para ulama’
mengenai Muhkam dan Mutasyabih
3. Untuk mengetahui pengertian dari Fawatih as-Suwar

1
4. Untuk mengetahui hikmah keberadaan ayat Muhkam dan Mutasyabihat

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Muhkam dan Mutasyabih

Muhkam secara lughawi berasal dari kata hakama. Kata hukm berarti
memutuskan antara dua hal atau lebih perkara. Maka hakim adalah orang
yang mencegah yang zalim dan memisahkan dua pihak yang sedang bertikai.
Sedangkan muhkam adalah sesuatu yang dikokohkan, jelas, fasih, dan
membedakan antara yang hak dan yang bathil 1. Sedang dalam kitab Mabahits
fii Ulum al-Qur’an dijelaskan:

‫ ما استأثر هللا بعلمه‬:‫ ما عرف المراد منه – والمتشابه‬:‫المحكم‬.

Artinya:

“Muhkam adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya, sedangkan


mutasyabih hanyalah diketahui maksudnya oleh Allah sendiri2.”

Mutasyabih secara bahasa berasal dari kata tasyabuh yang berarti


keserupaan dan kesamaan yang biasanya membawa kesamaran antara dua
hal3. Adapun secara istilah, mutasyabih adalah lafadz yang maksud dan
maknanya hanya diketahui oleh Allah S.W.T., dan tidak dapat diketahui oleh
manusia4.

Mayoritas ulama ahli al-Fiqh mengemukakan, muhkam ialah lafadz


yang tidak dapat ditakwilkan kecuali hanya satu segi makna
saja. Mutasyabih ialah lafadz yang artinya dapat ditakwilkan ke dalam
beberapa segi karena masih terdapat kesamaran, seperti masalah surga,
neraka, dan lain sebagainya.

1
Muhammad Chirzin, Al Qur’an dan Ulumul Qur’an (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima
Yasa, 2000), hal 70.
2
Manna’ al-Qathan, Mabahits fii Ulum al-Qur’an (Mesir: Maktabah Wahbah, 1973), hal 216.
3
Ahmad Syadali dan Ahmad Rafi’i, Ulumul Qur’an I (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hal 199.
4
Usman, Ulumul Qur’an (Yogyakarta: Teras, 2000), hal 221.

3
B. Sikap Para Ulama’ terhadap Ayat-Ayat Muhkam dan Mutasyabih

Sumber perbedaan pendapat berpangkal pada masalah waqaf dalam ayat :

... }٧ : ‫ {العمران‬....‫َو َم ا َيْع َمُل َتْأِو ْيَلُۤه ِاَّلا ُهللا َو الَّر اِس ُخ وَن ِفى اْلِع ْلمِ َيُقْو ُلْو َن آَم َّناِبه‬

Pertama: apakah kedudukan lafadz ini sebagai mubtada’ yang khabarnya


adalah ‫ْو َن‬ ‫َيُقْو ُل‬, dengan “wawu” diperlakukan sebagai
huruf isti’nâf (permulaan) dan waqaf dilakukan pada lafadz ‫َو َم ا َيْع َم ُل َتْأِو ْيَل ُۤه‬
‫ِاَّلا ُهللا‬.

Kedua: ataukah ia ma’tȗf, sedang lafadz ‫ َيُقْو ُل ْو َن‬menjadi hâl dan waqafnya
pada lafadz ‫َو الَّر اِس ُخ وَن ِفى اْلِع ْلم‬.5

Ulama yang berpendapat mengenai ayat-


ayat muhkam dan mutasyabih terbagi menjadi dua, yakni: Madzhab Ulama
Salaf dan Madzhab Ulama Khalaf.

1. Madzhab Ulama Salaf

Orang-orang yang mempercayai dan mengimani sifat-


sifat mutasyabih itu dan menyerahkan hakikatnya kepada Allah sendiri.
Mereka mensucikan Allah dari pengertian-pengertian lahir bagi Allah dan
mengimaninya sebagaimana yang telah diterangkan dalam Al-Qur’an serta
menyerahkan urusan mengetahui hakikatnya kepada Allah sendiri. Ketika
Imam Malik ditanya tentang makna istiwa’, dia berkata:

‫َاِاْل ْس ِتَو اُء َم ْع ُلْو ٌم َو اْلَك ْيُف َم ْج ُهْو ٌل َو الَّس َؤ اُل َع ْنُه ِبْدَع ٌة َو َاُظُّنَك َرُج َل الُّسْو ِء َاْخ ِر ُج ْو ُه َع ِّنْي‬.

Artinya: Istiwa’ itu maklum, caranya tidak diketahui, mempertanyakannya


bid’ah (mengada-ada), saya duga engkau ini orang jahat. Keluarkan
olehmu orang ini dari majlis saya.

Maksud istiwa’ (bersemayam) telah kita ketahui, namun mengenai


bagaimana caranya kita tidak mengetahuinya. Iman kepada-Nya adalah
wajib dan menanyakan-Nya adalah bid’ah. “Rabi’ah bin Abdur-rahman,
guru Malik, jauh sebelumnya pernah berkata: “Arti istiwa’ sudah kita

5
Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hal 122.

4
ketahui, tetapi bagaimana caranya tidak diketahui. Hanya Allah lah yang
mengetahui apa yang terjadi sebenarnya. Rasul pun hanya menyampaikan,
sedang kita wajib mengimaninya.” Jadi, jelaslah bahwa arti istiwa’ itu
sendiri sudah diketahui tetapi caranyalah yang tidak diketahui6.

Dalam menerapkan sistem ini, madzhab salaf mempunyai dua


argumen, yaitu argumen aqli dan argumen naqli. Argumen aqli adalah
bahwa menentukan maksud dari ayat-ayat mutasyabihat hanyalah
berdasarkan kaidah-kaidah kebebasan dan pengunaannya di kalangan
bahasa Arab. Penentuan seperti ini hanya dapat menghasilkan ketentuan
yang bersifat zanni (tidak pasti). Lantaran dasar yang memutuskan
dan menyerahkan ketentuan maksudnya kepada Allah Yang Maha
Mengetahui dan Maha Mengenal7. Adapun dalam argumen naqli, mereka
mengemukakan beberapa hadits dan atsar. Diantaranya :

... ‫اَلى َقْو ِلِه‬... ‫ (ُهَو اَّلِذ ى َأْنَز َل َع َلْيَك اْلِكَتاب‬: ‫ ٰه َذ ا اٰاْل َيَة‬.‫ع‬.‫ َتاَل َو ُسْو ُل ِهللا ص‬: ‫َعْن َعاِئَش َة َقاَلْت‬
‫ َفِاَذ ا َر َأْيَت اَّلِذ ىَن َيَّتِبُعْو َن َم ا َتَشاَبَه ِم ْنُه َفُأوٰل ِئَك اَّلِذ ْيَن‬: .‫ع‬.‫ َقاَل َر ُس وُل ِهللا ص‬: ‫ُـوُلوا اْلَباِب) َقاَلْت‬
‫ –رواه البجارى و مسلم‬. ‫َس َّم ى ُهللا َفاْح َذ ْر ُهْم‬-

“Dari Aisyah, ia berkata: Rasulullah SAW. membaca ayat: “inilah yang


menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) kepadamu”, sampai kepada “orang-
orang yang berakal”, berkata ia: Rasul SAW. berkata: “jika engkau
melihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat
daripadanya maka mereka itulah orang-orang yang disebut Allah, maka
hati-hatilah terhadap mereka”. (dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dan
yang lainnya)8.

Ini menunjukkan bahwa wawu untuk isti’naf (permulaan). Di


samping itu, ayat tersebut juga mencela orang-orang yang mengikuti ayat-
ayat mutsyabihat dan memberikan mereka itu sebagai yang mempunyai
kecenderungan kepada kesesatan dan mencari fitnah. Sebaliknya, ayat
yang sama memuji orang-orang yang menyerahkan pengetahuan tentang
itu kepada Allah.

6
Ibid., hal 310.
7
Acep Hermawan, Ulumul Quran Ilmu Untuk Memahami Wahyu, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2011), hal 212.
8
Ibid., hal 213.

5
2. Madzhab Ulama Khalaf

Dalam madzhab ini berpendapat, bahwa waqaf (memberhentikan


bacaan) dalam ayat (surat Ali-Imran: 7) di atas adalah lafal : ‫َو الَّر اِس ُخ وَن ِفى‬
‫اْلِع ْلِم‬. dengan demikian, selain Allah, orang-orang yang mandalami ilmunya
juga dapat mengetahui takwil dari ayat-ayat mutâsyabihât itu.
Adapun wawu ( ‫ )َو‬pada lafal ayat tersebut adalah berkududukan
sebagai hurf ‘athf. Oleh karena itu, kata ‫ الَّر اِس ُخ وَن‬di-‘athaf-kan kepada

lafal ‫ ُهللا‬pada kalimat sebelumnya. Diantara ulama yang berpendapat


demikian –menurut Shubhi al-Shalih- adalah Abu Hasan al-‘Asy’ariy.
Pendapat ini diperjelas lagi oleh Abu Ishaq al-Syirazi yang sekaligus
mendukung dengan mengatakan, “bahwa pengetahuan Allah mengenai
takwil ayat-ayat mutasyabihat itu, juga dilimpahkan kepada para ulama
yang mendalami ilmunya. Sebab firman yang diturunkan itu merupakan
pujian bagi mereka yang luas dan mendalam ilmunya. Bila mereka
dianggap tidak mengetahui maknanya berarti tidak ada bedanya dengan
orang awam9.”

Mujtahid dan sahabat-sahabatnya, demikian juga al-Nawawi


cenderung kepada pendapat kedua ini. Menurut al-Nawawi, pendapat ini
lebih banyak diterima sebab tidak mungkin Allah akan mengkhithabkan
hamba-Nya dengan sesuatu yang tidak ada jalan untuk mengetahuinya.
Selanjutnya madzhab khalaf mengatakan, bahwa suatu hal yang
seyogyanya dilakukan dalam hal memahami ayat-ayat mutasyabihat itu
adalah memalingkan lafal dari kradaan kehampaan yang mengakibatkan
kebingungan manusia, sehingga membiarkan makna itu “terlantar” tidak
bermakna. Selama ayat tersebut memungkinkan untuk dilakukan
penakwilan terhadapnya dengan makna yang benar dan rasional, maka
tidak ada halangan bagi nalar manusia -dalam hal ini bagi mereka yang
sudah memiliki ilmu yang mendalam dan kemampan tinggi- untuk
melakukannya10.

9
Usman, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Teras), hal 244-245.
10
Ibid., hal 245.

6
Secara naqli, mereka mengemukakan atsar sahabat :

‫ َلْو َلْم َيْع َلُم ْو ا َتْأِو ْيَلُه َلْم َيْع َلُم ْو ا َناِس َخ ُه ِم ْن َم ْنُسْو ِخِه َو اَل َح اَل ُلُه ِم ْن َح َر اِمِه َو اَل‬: ‫َعْن الَّضَّح اِك َقاَل‬
‫ –اخرجه ابن ابى حاتم‬. ‫ُم ْح َك َم ُه ِم ْن ُم َتَشاِبِه‬-

Dari al-Dahhak, berkata ia: “orang-orang yang mendalam ilmunya


mengetahui takwilnya. Sekiranya mereka tidak mengetahuinya, niscaya
tidak mengetahui nasikh dan mansukhnya, halal dan haramnya, dan
muhkam ari mutasyabihnya”. (H.R. Ibn Abi Hatim)11.

C. Fawatih as-Suwar

Istilah fawatih as-suwar terdiri dari dua kata, yaitu fawatih dan as-
suwar. Fawatih nerupakan jamak taksir dari fatihah yang berarti pembuka.
Sedangkan as-suwar adalah jamak taksir dari kata surah, yang berarti surah.
Dengan demikian, istilah fawatih as-suwar secara harfiah berarti “pembuka
surah-surah”. Tokoh yang banyak mengkaji mengenai fawatih as-
suwar adalah Ibnu Abi Al-Ishba’ dengan karyanya Al-Khawathir As-Sawanih
fi Asrar Al-Fawatih. Para mufassir setelahnya, ketika membahas
ilmu fawatih as-suwar, banyak merujuk kepada buku tersebut12.

1. Bentuk Ungkapan Permulaan Surah

Surah-surah al-Qur’an dimulai dengan berbagai bentuk dan


bervariasi. As-Suyuti merujuk kepada Ibnu Abi Al-Ishba’ membagi
bentuk-bentuk huruf, kata, atau kalimat pembuka surah-surah al-Qur’an itu
sebanyak sepuluh macam, yaitu sebagai berikut:

a. Surah-surah yang dimulai dengan pujian, yaitu tahmid, tabaraka, dan


tasbih. Seperti lafadz ‫ الحمد هلل‬dan ‫تبارك‬

11
Acep Hermawan, Ulumul Quran Ilmu Untuk Memahami Wahyu, (Bandung: Remaja
Rosdakarya), hal 219.
12
Kadar M. Yusuf, Studi Alquran (Jakarta: Amzah, 2012), hal 53-54.

7
Contoh:

)١ :‫َاْلَح ْم ُد ِهّلِل َر ِّب اْلَعاَلِم ْيَن (الفاتحة‬

)١:‫َتَباَر َك اَّلِذْي ِبَيِدِه اْلُم ْلُك َو ُهَو َعلى ُك ِّل َش ْي ٍء َقِدْيٌر (الملك‬

b. Surah-surah yang dimulai dimulai dengan huruf–huruf hijaiyah atau


huruf muqaththa’ah (huruf potong). Terdapat 29 surah yang dimulai
dengan huruf potong tersebut. Adapun 29 surah itu terdiri dari lima
bentuk, yaitu sebagai berikut:
1) Surah yang dimulai dengan satu huruf, seperti: ‫ ص‬,‫ ن‬,‫ق‬
2) Surah yang dimulai dengan dua huruf, seperti: ‫ طس‬,‫ يس‬,‫ طه‬,‫حم‬
3) Surah yang dimulai dengan tiga huruf, seperti: ‫ طسم‬,‫ الر‬,‫الم‬
4) Surah yang dimulai dengan empat huruf, seperti: ‫ المر‬,‫المص‬
5) Surah yang dimulai dengan lima huruf, seperti: ‫كهيعص‬
c. Surah yang dimulai dengan panggilan (an-nida’), yaitu panggilan
kepada Nabi Muhammad saw., seperti:‫ ٰۤي َأُّيَه ا‬, ‫ ٰۤي ّأُّيَه ا اْلُم َّز ِّم ُل‬, ‫ٰۤي َأُّيَه ا الَّنِبُّي‬
‫ٰۤي‬ ‫ٰۤي‬
‫ اْلُم َّد ِثُر‬dan panggilan kepada umat, seperti: ‫ َأُّيَها الَّناُس‬,‫َأُّيَها اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْو ا‬
d. Surah yang dimulai dengan kalimat khabariyah (kalimat berita),
seperti: ‫ َقْد َأْفَلَح اْلُم ْؤ ِم ُنْو َن‬dan . ‫َيْسَئُلْو َنَك َع ِن اَأْلْنَفاِل‬
e. Surah yang dimulai dengan qasam (sumpah), seperti: ‫َو اْلَعْص ِر‬, dan ‫َو الَّلْيِل‬
f. Surah yang dimulai dengan jumlah syarthiyah.
Allah swt. menyebutkan dalam kejadian-kejadian
tertentu dengan mengaitkannya dengan syarat. Penyebutan
syarat tersebut dibagian pertama surat-surat tertentu untuk
menunjukkan bahwa kejadian itu merupakan hal yang pasti akan
terjadi, bukan hal yang mungkin terjadi atau mustahil terjadi. semuanya
itu pasti akan terjadi di dalam kenyataan yang tidak dapat dihindari,
karena syarat idza digunakan untuk hal-hal yang pasti terjadi.
Seperti: ‫ ِإَذ ا َو َقَعِة اْلَو اِقَعُة‬, ‫ِإَذ ا الَّش ْم ُس ُك ِّو َر ْت‬
g. Surat yang dimulai dengan kalimat perintah
Allah membuka surat-surat tertentu dengan menekankan al-
amr (perintah)-Nya yang diarahkan kepada Rasulullah, yang juga
kepada umatnya. Hal ini seperti terlihat dalam surah Al-‘Alaq:
)١ :‫ْقَر ْأ ِباْس ِم َر ِّبَك اَّلِذْي َخ َلَق (العلق‬

8
h. Surah yang dimulai dengan istifham (pertanyaan).

Allah itu bukanlah berarti tidak mengetahui masalah-masalah di


balik pertanyaan, tetapi sebagai metode atau jembatan dalam rangka
menjelaskan lebih jauh apa-apa yang hendak dipaparkan-Nya,
sehingga siapa pun yang menjadi mitra bicara Allah menjadi
tahu dengan jelas dan mengerti. Seperti: ‫َأَلْم تَر َك ْي َف َفَع َل َر ُّب َك ِبَأْص ٰح ِب اْلِفْي ِل‬
)١ :‫(الفيل‬

i. Surah yang dimulai dengan doa atau vonis.

Allah swt memvonis celaka kepada pihak-pihak yang mestinya


celaka di permulaan beberapa surah, yakni surah Al-Muthaffifin/83
dengan vonis ‫( َو ْي ٌل ِّلْلُم َطِّفِفْيَن‬celakalah bagi orang-orang yang curang);
dalam surah Al-Humazah/104 dengan vonis ‫( َو ْيٌل ِّلُك ِّل ُهَم َز ٍة ُّلَم َز ٍة‬celakalah
bagi setiap pengumpat dan pencela), dan dalam surah Al-Lahab/111
dengan vonis ‫( َتَّبْت َيَۤد ا َأِبْي َلَهٍب َّو َتَّب‬binasalah diri Abu Lahab, dan benar-
benar binasa dia).Vonis-vonis Allah tersebut disampaikan-Nya setimpal
dengan keburukan dan kejahatan masing-masing yang disebut dalam
surah-surah terkait.

j. Surah yang dimulai dengan ta’lil (ilat).

Allah dalam satu-satunya surah, yaitu surah Al-Quraisy


mengedepankan penjelasan alasan. Alasan dalam surah itu ditempatkan
lebih dahulu dari sesuatu yang diperintahkan-Nya seperti yang
diletakkan pada ayat 3. Dalam kata lain, dalam surah ini Allah lebih
mendahulukan keterangan alasan daripada penyebutan sesuatu yang
seharusnya dilakukan. (‫ )تقديم التعليل عن األم^^ر‬Jadi, Allah memerintahkan
sesuatu dengan terlebih dahulu disampaikan alasannya, agar perintah
yang disampaikan itu benar-benar diperhatikan atau dijalankan.

9
D. Hikmah Keberadaan Ayat Mutasyabihat dalam Al-Qur’an

Diantara hikmah keberadaan ayat-ayat mutasyabih di dalam al-Qur’an adalah


sebagai berikut:

A. Memperlihatkan kelemahan akal manusia

Akal sedang dicoba untuk meyakini keberadaan ayat-


ayat mutasyabih sebagaimana Allah memberi cobaan pada badan untuk
beribadah. Seandainya akal yang merupakan anggota badan paling mulia
itu tidak diuji, tentunya seseorang yang berpengetahuan tinggi akan
menyombongkan keilmuannya sehingga enggan tunduk kepada naluri
kehambaannya.

Ayat-ayat mutasyabihat merupakan sarana bagi penundukan akal


terhadap Allah karena kesadarannya akan ketidakmampuan akalnya untuk
mengungkap ayat-ayat mutasyabih itu.

B. Teguran bagi orang-orang yang mengotak-atik ayat mutasyabih

Padapenghujung surat Ali ‘Imran [3] ayat 7, Allah


menyebutkan ‫ َو َم ا َيَّذ َّك ُر ِإَۤاّل ُأوُلوا اَألْلَباِب‬sebagai cercaan bagi orang-orang yang
mengotak-atik ayat-ayat mutasyabih. Sebaliknya, memberikan pujian pada
orang-orang yang mendalami ilmunya, yakni orang-orang yang tidak
mengikuti hawa nafsunya untuk mengotak-atik ayat-
ayat mutasyabih sehingga mereka berkata ‫َر َّبَن ا َال ُت ِز ْغ ُقُلْو َبَن ا‬. Mereka
menyadari keterbatasan akalnya dan mengharapkan ilmu ladunni.

C. Memberikan pemahaman abstrak-ilahiah kepada manusia melalui


pengalaman indrawi yang biasa disaksikannya
Sebagaimana dimaklumi bahwa pemahaman diperoleh manusia
tatkala ia diberi gambaran indrawi terlebih dahulu. Dalam kasus sifat-sifat
Allah, sengaja Allah memberikan gambaran fisik agar manusia dapat lebih
mengenal sifat-sifat-Nya13.

13
Rosihon Anwar, Ulum al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hal 134-135.

10
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Muhkam adalah ayat-ayat yang maknanya sudah jelas, tidak samar lagi
dan tidak menimbulkan pertanyaan jika disebutkan.
2. Mutasyabih adalah ayat-ayat yang maknanya belum jelas dan artinya
hanya diketahui oleh Allah.
3. Para ulama yang berpendapat mengenai ayat ayat muhkam dan
mutasyabihat terbagi menjadi dua, yakni:
a. Madzhab Ulama Salaf, dalam menerapkan sistem ini, madzhab salaf
mempunyai dua argumen, yaitu argumen aqli dan
argumen naqli. Argumen aqli adalah menentukan maksud dari ayat-
ayat mutasyabihat hanyalah berdasarkan kaidah-kaidah kebebasan
dan pengunaannya di kalangan bahasa Arab. Dan argumen naqli,
mereka mengemukakan beberapa hadits dan atsar.
b. Madzhab Ulama Khalaf, yaitu selain Allah, orang-orang yang
mandalami ilmunya juga dapat mengetahui takwil dari ayat-ayat
mutâsyabihât.
4. Istilah fawatih as-suwar secara harfiah berarti “pembuka surah-surah”
5. Terdapat hikmah adanya ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat yaitu:
a. Memperlihatkan kelemahan akal manusia
b. Teguran bagi orang-orang yang mengotak-atik ayat mutasyabih
c. Memberikan pemahaman abstrak-ilahiah kepada manusia melalui
pengalaman indrawi yang biasa disaksikannya.

DAFTAR PUSTAKA

11
Al-Qattan, Manna’. Mabahits fi Ulum al-Qur’an. Mesir: Maktabah
Wahdah, 1973.
Anwar, Rosihon. Ulum al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Chirzin, Muhammad. Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Dana
Bhakti Prima Yasa, 2000.
Hermawan, Acep. Ulumul Qur’an: Ilmu Untuk Memahami Wahyu. Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2011.
Syadali, Ahmad dan Ahmad Rifa’i. Ulumul Qur’an I. Bandung: Pustaka
Setia, 2000.
Usman. Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Teras, 2000.
Yusuf, Kadar M. Studi Al-qur’an. Jakarta: Amzah, 2012.

12

Anda mungkin juga menyukai