Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

MUHKAM DAN MUTASYABIH


DALAM AYAT-AYAT AL-QUR’AN
Disusun untuk memenuhi tugas:
Mata Pelajaran: Ilmu Tafsir Kelas XI Agama II
Guru Pembimbing : Hernedi Ma’ruf M. Pd, I

DISUSUN OLEH KELOMPOK I:


1.Ario Ahlul Jannah P.A.N
2. Faizal Arfi Yansa
3. Muhammad Apriansyah Pratama
4. Mutia Wulandari
5. Rahmad Hidayat
6. Tia Puspita Sari
7. Vira Bella Nur Novriyantika
8. Wafiq Azizah

KEMENTRIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA


KEMENTRIAN AGAMA KABUPATEN REJANG LEBONG
MADRASAH ALIYAH NEGERI REJANG LEBONG
Jln.Let.jen soeprapto no 81 Talang Rimbo Baru, Curup Tengah, Rejang Lebong
Tahun pelajaran 2021/2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah yang berjudul Ayat-ayat Muhkam Dan
Mutasyabih dapat kami selesaikan dengan baik. Tim penulis berharap makalah ini dapat
menambah pengetahuan tentang Ayat Muhkam dan Mutasyabih dalam ayat-ayat Al-Qur’an.
Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada semua yang telah
memberikan semangat dan motivasi dalam pembuatan tugas makalah ini. Kepada guru
pembimbing kami Bapak Hernedi Ma’ruf M.Pd,I.Dan juga teman-teman yang membantu
berbagai hal. Harapan kami, informasi dan materi yang terdapat dalam makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca. Tidak ada yang sempurna di dunia, melainkan Allah SWT. Tuhan
Yang Maha Sempurna, karena itu kami memohon kritik dan yang membangun kami bagi
makalah kami selanjutnya.
Demikian makalah ini kami buat, apabila terdapat kesalah dalam penulisan, atau pun
ketidaksesuaian materi yang kami angkat pada makalah ini, kami mohon maaf. Kami tim
penulis menerima kritik dan saran seluas-luasnya dari pembaca agar bisa membuat karya
makalah yang lebih baik pada kesempatan berikutnya.
DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
2. Rumusan Masalah
3. Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
1. Pengertian Muhkam dan Mutasyabih
2. Bentuk Ayat-Ayat Muhkam dan Mutasyabih
BAB III PENUTUP
1. Kesimpulan
2. Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A Latar Belakang
Al-Qur’an dalam umat islam merupakan pedoman umat di dunia. Dalam Al-Qur’an
terkadang dating dengan lafadz, ungkapan dan uslub ( gaya Bahasa ) yang berbeda-beda
tetapi maknanya satu. Ayat-ayat Al-Qur’an ada yang bersifat samar ( mutasyabihat ) yang
memberikan peluang kepada para mujtahid yang handal ilmunya dapat mengembalikan
kepada makna yang sebenarnya.
Pemahaman Al-Qur’an dapat diperoleh dengan mendalami atau menguasai ilmu-ilmu
yang tercakup dalam ulum Al-Qur’an. Dan menjadi salah satu bagian cabang keilmuan
ulum Al- Qur’an adalah ilmu yang membahas tentang muhkam dan mutasyabih ayat
Muhkam dan Mutasyabih ayat hendaknya dapat dipahami secara mendalam hal ini
dikarenakan dua hal, ini termasuk dalam objek yang urgen dalam kajian atau pemahaman
Al-Qur’an. Berdalih agar tidak terjadi ketimpangan dalam memahami ayat-ayat Al-
Qur’an khususnya dalam ranah Muhkam dan Mutasyabih.
Dari hal inilah kami penulis dari makalah ini akan mengkaji lebih dalam materi
muhkam dan mutasyabih dalam ayat-ayat Al-Qur’an.

B. Rumusan Masalah
a) Bagaimana pengertian muhkam dan mutasyabih menurut terminologi yang dikatakan
oleh az-Zarqani ?
b) Bagaimana definisi lain yang dikemukakan oleh para mufassir tentang pengertian
muhkam?
c) Bagaimana Bentuk Ayat-Ayat Muhkam dan Mutasyabih secara umum?

C. Tujuan
a) Untuk mempelajari lebih dalam tentang Muhkam dan Mutasyabih
b) Untuk mengetahui lebih dalam dalam pengertian Muhkam dan Mutasyabih menurut
terminology yang dikatakan oleh az-Zarqani
c) Untuk mengetahui Bentuk Ayat-Ayat Muhkam dan Mutasyabih secara umum
BAB II
PEMBAHASAN

A Pengertian Muhkam dan Mutasyabih


1
Secara terminologi, banyak pendapat para ulama yang memberikan pengertian tentang
ayat al-muhkamat dan al mutasyabihat sebagaimana yang dikatakan oleh az-Zarqani
sebagai berikut:
1. Muhkam ialah ayat-ayat yang jelas maksudnya lagi nyata yang tidak mengandung
kemungkinan nasakh. Muta syabih ialah ayat yang tersembunyi (maknanya), tidak
diketahui maknanya baik secara aqli maupun naqli, dan inilah ayat-ayat yang hanya
Allah mengetahuinya, seperti datangnya hari kiamat, huruf-huruf yang terputus-putus
di awal surah (fawatih al-suwar). Pendapat ini dibangsakan al-Lusi kepada pemimpin-
pemimpin mazhab Hanafi.
2. Muhkam ialah ayat-ayat yang diketahui maksudnya, baik secara nyata maupun
melalui takwil. Mutasyabih ialah ayat-ayat yang hanya Allah yang mengetahui
maksud nya, seperti datang hari kiamat, keluarnya dajal, huruf huruf yang terputus-
putus di awal-awal surah (fawatih al-suwar) pendapat ini dibangsakan kepada ahli
Sunnah sebagai pendapat yang terpilih di kalangan mereka.
3. Muhkam ialah ayat-ayat yang tidak mengandung kecuali ayat yang mengandung
banyak kemungkinan makna takwil. Pendapat ini dibangsakan kepada Ibnu Abbas
dan kebanyakan ahli ushul fiqh mengikutinya.
4. Muhkam ialah ayat yang berdiri sendiri dan tidak me merlukan keterangan.
Mutasyabih ialah ayat yang tidak berdiri sendiri, tetapi memerlukan keterangan
tertentu dan kali yang lain diterangkan dengan ayat atau keterang an yang lain pula
karena terjadinya perbedaan dalam menakwilnya. Pendapat ini diceritakan dari Imam
Ahmad r.a.
5. Muhkam ialah ayat yang saksama susunan dan urutannya yang membawa kepada
kebangkitan makna yang tepat tanpa pertentangan. Mutasyabih ialah ayat yang makna
nya seharusnya tidak terjangkau dari segi bahasa kecuali bila ada bersamanya indikasi
atau melalui konteksnya. Lafal musytarak masuk ke dalam mutasyabih menurut
pengertian ini. Pendapat ini dibangsakan kepada Imam al-Haramain.
6. Muhkam ialah ayat yang jelas maknanya dan tidak masuk kepadanya isykal
(kepelikan). Mutasyabih ialah lawannya muhkam atas isim-isim (kata-kata benda)
musytarak dan lafal-lafalnya mubhamah (samar-samar). Ini adalah pen dapat al-Thibi.
7. Muhkam ialah ayat yang ditunjukkan makna kuat, yai tu lafal nash dan lafal zahir.
Mutasyabih ialah ayat yang ditunjukkan maknanya tidak kuat, yaitu lafal mujmal,
muawwal, dan musykil. Pendapat ini dibangsakan kepada Imam Al-Razi dan banyak
peneliti yang memilihnya.

2
Terdapat definisi lain yang di kemukakan oleh para musafir, yaitu muhkam
adalah ayat-ayat yang dapat diketahui maksudnya, baik secara zahir (berdasarkan
1
Ahmad Hamid, Lc., M.A., Pengantar Studi AL-Qur’an, (Jakarta, 2016), hlm.132-133
2
Dr. Kadar M. Yusuf, M. Ag., Study Al-Qur’an, (Jakarta, 2012), hlm.77-82
makna zahir) ataupun dengan cara menakwilkannya. Sedangkan mutasyahih berarti
ayat-ayat yang tidak dapat diketahui manusia maknanya; hanya Allah yang tahu,
seperti ayat mengenai berita tentang kiamat dan huruf-huruf potong (al-huruf al-
muqaththa'ah) yang terdapat di awal surah. Berdasarkan definisi ini, maka mutasyäbih
dalam definisi pertama di atas termasuk dalam kategori muhkam.

Al-Isfihani membagi ayat-ayat Al-Qur’an itu kepada tiga bagiam, yaitu


a. Muhkam secara mutlak;
b. Mutasyabih secara mutlak;
c. Muhkam dari suatu aspek mutasyabih dari aspek lain;

B. Bentuk Ayat-Ayat Muhkam dan Mutasyabih


1. Bentuk-Bentuk Muhkam
Ayat-ayat muhkam itu, secara umum dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian.
Pertama, ayat-ayat yang sangat jelas maksudnya sehingga orang biasa pun dapat
mengetahui maknanya, seperti firman Allah :
َ ِ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا ُكت‬
ِّ ‫ب َعلَ ْي ُك ُم ال‬
‫صيَا ُم‬
Hai orang-orang yang beriman diwajibkan kepadamu berpuasa. (QS. Al-Baqarah (2):
183)
Kata ash-shiyam dan perintah berpuasa dalam ayat ini sangat jelas maksudnya
sehingga orang biasa pun dapat memahaminya. Dan kedua adalah ayat-ayat yang hanya
dapat dipahami oleh para ulama berdasarkan ilmu alat yang mereka kuasai, seperti
ushul fiqh dan kaidah-kaidah ilmu balaghah. Hal ini seperti yang terlihat dalam ayat
berikut.
ْ ‫ۗ َمثَ ُل الَّ ِذ ْينَ يُ ْنفِقُوْ نَ اَ ْم َوالَهُ ْم فِ ْي َسبِ ْي ِل هّٰللا ِ َك َمثَ ِل َحبَّ ٍة اَ ۢ ْنبَت‬
‫َت َس ْب َع َسنَابِ َل فِ ْي ُك ِّل ُس ۢ ْنبُلَ ٍة ِّماَئةُ َحبَّ ٍة‬
“Penumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan
hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh
bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji.” (QS. Al-Baqarah (2): 261)
Arti ayat ini secara harfiah adalah "perumpamaan orang-orang yang menafkahkan
hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh
bulir, pada tiap-tiap bulir terdapat seratus biji". Yang dimaksud dengan "perumpamaan
orang-orang yang berinfak" dalam ini adalah erumpamaan pahala orang yang
menginfakkan hartanya". Jadi, ada kata yang dibuang dalam ayat, karena telah
dimaklumi. Kata yang dibuang adalah tsawah (pahala) atau ajr (balasan). Hal ini disebut
dengan majáz nuqshan.

2.Ayat-ayat mutasyäbih mempunyai tiga bentuk, yaitu sebagai berikut.


a. Mutasyabih dari aspek lafal saja. Artinya, terdapat lafal tertentu dalam suatu ayat yang
tidak pasti maksudnya disebabkan oleh 1) lafal tersebut gharib (asing) atau jarang
digunakan, 2)lafal tersebut musytarak (mempunyai makna ganda), 3) ringkasnya
ungkapan, dan 4) susunan lafalnya.
1) Mutasyäbih karena asingnya suatu lafal. Misalnya, kata al-abba dalam firman Allah
pada Surah 'Abasa (80) ayat 27-31:
٣١ ﴿ ‫﴾وفَا ِكهَةً َوَأبًّا‬
َ ٣٠ ﴿ ‫ق ُغ ْلبًا‬ َ ٢٩ ﴿ ‫﴾ َو َز ْيتُونًا َون َْخاًل‬٢٨ ﴿ ‫﴾ َو ِعنَبًا َوقَضْ بًا‬٢٧ ﴿ ‫﴾فََأ ْنبَ ْتنَا فِيهَا َحبًّا‬
َ ‫﴾و َحدَاِئ‬

Lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu, anggur dan sayur-sayuran, zaitun dan
kurma, kebun-kebun (yang) lebat, dan buah-buahan serta rumput-rumputan. (QS.
'Abasa (80): 27-31)
Kata jarang digunakan, sehingga maknanya tidak jelas atau tidak begitu populer.
Kata tersebut dalam ayat ini diartikan kepada rumput rumputan. Ash-Shabuni
memaknai kata itu dengan segala sesuatu yang tumbuh di bumi yang dimakan oleh
binatang, seperti rumpur".
yang terdapat dalam َ‫ يَ ِز ُّفوْ ن‬Contoh lain dari matasyahih lafal adalah firman Allah pada
Surah Ash-Shaffat (37) ayat 94:
َ‫فَا َ ْقبَلُ ْٓوا اِلَ ْي ِه يَ ِزفُّوْ ن‬
Kemudian kanannya datang kepadanya dengan bergegas. (QS. Ash-Shaffät (37): 94)
Kata yaziffin dalam ayat ini berarti "bergegas" atau semakna dengan kata
yasra'ima fi al-masyyi (mereka bersegera dalam berjalan).
2) Mutasyäbih disebabkan oleh gandanya makna suatu lafal (musytarak), seperti kata
dalam firman Allah Surah Al-Baqarah (2) ayat 228:
ُ ‫قُر ُۤوْ ۗ ٍء ثَ ٰلثَةَ بِا َ ْنفُ ِس ِه َّن يَتَ َربَّصْ نَ َو ْال ُمطَلَّ ٰق‬
‫ت‬
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. (QS.
Al-Baqarah (2): 228)
Quru' secara harfiah mempunyai dua arti, yaitu suci (ath-thahru) dan haid. Tidak ada
kejelasan dan kepastian mana di antara kedua makna itu yang harus dipakai dalam
ayat ini. Maka itulah sebabnya para ulama tidak sepakat memaknainya: ada yang
mengartikannya kepada suci dan ada pula yang mengartikannya kepada haid.
3) Mutasyabih dari segi susunan lafalnya adalah seperti yang terlihat dalam firman
Allah Surah An-Nisa' (4) ayat 3:
َ َ‫النِّ َس ۤا ِء ِّمنَ لَ ُك ْم ط‬
‫اب َما فَا ْن ِكحُوْ ا ْاليَ ٰتمٰ ى فِى تُ ْق ِسطُوْ ا اَاَّل ِخ ْفتُ ْم َواِ ْن‬
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain)
yang kamu senangi. (QS. An-Nisa' (4): 3)
Ayat ini diungkapkan dalam bentuk susunan yang sangat ringkas, sehingga jawab
syaratnya dibuang. Kata fankihú dalam ayat ini bukanlah jawab syarat sebelumnya,
sebab hal itu bisa bermakna bahwa suami tidak harus berlaku adil terhadap istrinya,
yang bukan anak yatim asuhannya. Maksud ayat itu adalah "jika ada di antara kamu
yang memelihara anak yatim, kemudian ingin menikahinya, tetapi merasa takut kalau
ia enggan memberikan mas kawin kepada anak yatim tersebut, maka janganlah
menikahi anak yatim itu. Nikahilah perempuan biasa yang kamu tidak merasa enggan
memberikan mas kawin kepadanya". Hal ini dapat dipahami dari sebab nuzul ayat.
Contoh lain mutasyábih dari susunan lafal dapat dilihat dalam firman Allah pada
Surah Al-Kahfi (18) ayat 1-2:
Allah yang telah menurunkan Al-Kitab kepada hamba-Nya dan Dia tidak mengadakan
kehengkokan di dalamnya. Yang lurus untuk memperingatkan
kesiksaan yang sangat pedih. (QS. Al-Kahfi (18): 1-2)
َ ‫) ِع َوجًا لَّهٗ يَجْ َعلْ َولَ ْم ْال ِك ٰت‬١( ‫ًا بَْأسًا لِّيُ ْن ِذ َر قَيِّ ًما‬¢ۜ‫َش ِد ْيد‬
ْٓ ‫ب َع ْب ِد ِه ع َٰلى اَ ْن َز َل الَّ ِذ‬
‫ي‬
Kata ‫ فَيِّ ًمالِّيُ ْن ِذ ًر‬sulit dipahami dan ia tidak mungkin sifat dari kata ‫ ِع َو َجا‬sebab makna
kedua kata itu saling bertentangan. Maka maksud ayat tersebut adalah ‫ِع َوجًا لَّهٗ يَجْ َعلْ َولَ ْم‬
ْٓ ‫ َز َل الَّ ِذ‬¢‫ ِد ِه ع َٰلى اَ ْن‬¢‫ب َع ْب‬
‫ي‬ َ ‫ ْال ِك ٰت‬dahulukan kata ‫ قَيِّ ًما‬dari ‫ ِع َو َجا‬, di mana qayyiman merupakan
keterangan mengenai Al-Kitab dan iwajan objek (mafil) dari yajal. Sehingga ayat itu
berarti: "Allah telah menurunkan Al-Kitab yang lurus kepada hamba-Nya, dan Dia
tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya".
b. Mutasyäbih dari aspek makna saja, seperti ayat-ayat yang menjelaskan sifat-sifat
Allah, keadaan hari kiamat, surga, dan neraka.
c.Mutasyäbih dari aspek lafal dan makna. Hal ini mencakup beberapa segi. yaitu
sebagai berikut.
1. Dari segi kuantitas, seperti umum dan khusus.
Jadi, lafal-lafal umum yang terdapat dalam suatu ayat termasuk ayat
mutasyäbih, sebab ia mengandung ketidakjelasan makna; apakah ia
diberlakukan secara umum atau ditakhsiskan oleh ayat yang lain.

2. Dari segi kualitas, seperti wajib dan sunnah.


Pada dasarnya, perintah itu menunjukkan kepada wajib, seperti yang
ditunjukkan oleh kaidah ushul ‫ب لِ ْل ُو ْمر أال فِي اَألصْ ُل‬
ِ ْ‫ جُو‬Akan tetapi, tidaklah semua
amar (kata ushul perintah) itu menunjukkan kepada wajib. Ungkapan amar
selain dalam makna wajib, ia juga mempunyai makna irsydd, sunnah, taswiyah,
tahdid, dan lain sebagainya. Maka suatu kata perintah yang terdapat dalam
Alquran mempunyai beberapa kemungkinan makna. Oleh sebab itu, ungkapan
perintah dalam Alquran termasuk dalam kategori ayat mutasyahih, kecuali
perintah tertentu yang telah disepakati maknanya sebagai wajib, seperti
perintah shalat dan berwudhu sebelum shalat. Disebabkan oleh ketidakjelasan
makna suatu kata perintah, maka muncul penafsiran yang berbeda antara
seorang ulama dengan ulama lainnya seperti perintah menulis dalam transaksi
jual beli tidak tunai.³
3. Dari segi masa, seperti nasikh dan mansukh.

4. Dari segi syarat sah melakukan perintah yang terkandung dalam suatu ayat.
Pembagian ayat mutasyäbih di atas didasarkan atas makna yang
terkandung di dalam ayat. Dan apabila dilihat dari aspek kemungkinan manusia
mengetahui maknanya, maka mutasyäbih dapat pula dikategorikan kepada dua
macam, yaitu sebagai berikut.
a) Ayat yang tertutup kemungkinan bagi manusia mengetahui maknanya.
b) Ayat yang dapat diketahui maksudnya oleh manusia.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan
lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber –
sumber yang lebih banyak yang tentunga dapat di pertanggung jawabkan.
Untuk saran bisa berisi kritik atau saran terhadap penulisan juga bisa untuk menanggapi
terhadap kesimpulan dari bahasan makalah yang telah di jelaskan. Untuk bagian terakhir
dari makalah adalah daftar pustaka. Pada kesempatan lain akan saya jelaskan tentang daftar
pustaka makalah.

Anda mungkin juga menyukai