AL MUHKAM WA AL MUTASYABIH
Dosen pengampu:
Dr. M. Taqiyyuddin , M.Pd.I
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Segala puji bagi Allah SWT yang telah
memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat
waktu. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi
Muhammad SAW yang kita nantikan syafa’atnya di akhirat kelak. Penulis mengucapkan
terimakasih kepada Dosen Pengampu Bapak Dr. M. Taqiyyuddin , M.Pd.I yang telah
memberikan amanah untuk menyelesaikan pembahasan tentang Al Muhkam Wa Al
Mutasyabih .Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu penulis mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................
A. Kesimpulan ......................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kalam Tuhan yang dijadikan pedoman dalam setiap aspek kehidupan
umat Islam, tentunya harus dipahami secara mendalam. Pemahaman al-Qur’an dapat diperoleh
dengan mendalami atau menguasai ilmu-ilmu yang tercakup dalam ulum al-Qur’an. Dan menjadi
salah satu bagian dari cabang keilmuan ulum al-Qur’an adalah ilmu yang memnahas tentang
Muhkam dan Mutasyabih ayat.
Muhkam Mutasyabih ayat hendaknya dapt dipahami secara mendalam. Hal ini
dikarenakan, dua hal ini termasuk dalam objek yang urgen dalam kajian atau pemahaman al-
Qur’an. Berdalih agar tidak terjadi ketimpangan dalm memahami ayat-ayat al-Qur’an khususnya
dalam ranah Muhkam dan Mutasyabih, maka kelompok kami menyusun makalah yang
membahas tentang kedua hal tersebut. Untuk keterangan lebih lanjut mengenai ketentuan dan
hal-hal yang berhubungan dengan Muhkam dan Mutasyabih, akan dijelaskan dalam bab
berikutnya yaitu bab pembahasan.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
Muhkam secara lughawi berasal dari kata hakama. Kata hukm berarti memutuskan antara
dua hal atau lebih perkara, maka hakim adalah orang yang mencegah yang zalim dan
memisahkan dua pihak yang sedang bertikai. Sedangkan muhkam adalah sesuatu yang
dikokohkan, jelas, fasih, dan membedakan antara yang hak dan yang bathil.1 Sedang dalam kitab
Mabahits fii Ulum al-Qur’an dijelaskan:
Mutasyabih secara bahasa berasal dari kata tasyabuh yang berarti keserupaan dan
kesamaan yang biasanya membawa kesamaran antara dua hal.3 Adapun secara istilah,
mutasyabih adalah lafadz yang maksud dan maknanya hanya diketahui oleh Allah S.W.T., dan
tidak dapat diketahui oleh manusia.4
Mayoritas ulama ahl al-Fiqh mengemukakan, muhkam ialah lafadz yang tidak dapat
ditakwilkan kecuali hanya satu segi makna saja. Mutasyabih ialah lafadz yang artinya dapat
ditakwilkan ke dalam beberapa segi karena masih terdapat kesamaran, seperti masalah surga,
neraka, dan lain sebagainya.
}٧ : {العمران....َو َما يَ ْع َم ُل تَْأ ِو ْيلَ ۤهُ اِاَّل هللاُ َوالرَّا ِس ُخونَ فِى ْال ِع ْلم ِيَقُوْ لُوْ نَ آ َمنَّابِه
Pertama : apakah kedudukan lafaz ini sebagai mubtada’ yang khabarnya adalah َيَقُوْ لُوْ ن,
dengan “wawu” diperlakukan sebagai huruf isti’nâf (permulaan) dan waqaf dilakukan pada lafaz
ُو َما يَ ْع َم ُل تَْأ ِو ْيلَ ۤهُ اِاَّل هللا.
َ
1
Muhammad Chirzin, Al Qur’an dan Ulumul Qur’an (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 2000), 70.
2
Manna’ al-Qathan, Mabahits fii Ulum al-Qur’an (Mesir: Maktabah Wahbah, 1973), 216.
3
Ahmad Syadali dan Ahmad Rafi’i, Ulumul Qur’an I (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 199.
4
Usman, Ulumul Qur’an (Yogyakarta: Teras, 2000), 221.
Kedua : ataukah ia ma’tȗf, sedang lafaz َ يَقُوْ لُوْ نmenjadi hâl dan waqafnya pada lafaz َوالرَّا ِس ُخونَ فِى
ال ِع ْلم.
ْ 5
Ulama yang berpendapat mengenai ayat-ayat muhkam dan mutasyabih terbagi menjadi
dua: Madzhab Ulama Salaf dan Madzhab Ulama Khalaf.
Orang-orang yang mempercayai dan mengimani sifat-sifat mutasyabih itu dan menyerahkan
hakikatnya kepada Allah sendiri. Mereka mensucikan Allah dari pengertian-pengertian lahir bagi
Allah dan mengimaninya sebagaimana yang diterangkan Al-Qur’an serta menyerahkan urusan
mengetahui hakikatnya kepada Allah sendiri. Ketika Imam Malik ditanya tentang makna istiwa’,
dia berkata:
َ ُّاَاْل ِ ْستِ َوا ُء َم ْعلُوْ ٌم َو ْال َكيْفُ َمجْ هُوْ ٌل َوالسََّؤ ا ُل َع ْنهُ بِ ْد َعةٌ َواَظُن.
ك َرج َُل السُّوْ ِء اَ ْخ ِرجُوْ هُ َعنِّ ْي
Artinya: Istiwa’ itu maklum, caranya tidak diketahui, mempertanyakannya bid’ah (mengada-
ada), saya duga engkau ini orang jahat. Keluarkan olehmu orang ini dari majlis saya.
Maksud istiwa’ (bersemayam) telah kita ketahui, namun mengenai bagaimana caranya kita tidak
mengetahuinya. Iman kepadanya adalah wajib dan menanyakan adalah bid’ah. “Rabi’ah bin
Abdur-rahman, guru Malik, jauh sebelumnya pernah berkata: “Arti istiwa’ sudah kita ketahui,
tetapi bagaimana caranya tidak diketahui. Hanya Allahlah yang mengetahui apa sebenarnya.
Rasul pun hanya menyampaikan, sedang kita wajib mengimaninya.” Jadi, jelaslah bahwa arti
istiwa’ itu sendiri sudah diketahui tetapi caranyalah yang tidak diketahui.6
Dalam menerapkan sistem ini, madzhab salaf mempunyai dua argumen, yaitu argumen
aqli dan argumen naqli. Argumen aqli adalah bahwa menentukan maksud dari ayat-ayat
mutasyabihat hanyalah berdasarkan kaidah-kaidah kebebasan dan pengunaannya di kalangan
bahasa Arab. Penentuan seperti ini hanya dapat menghasilkan ketentuan yang bersifat zanni
(tidak pasti). Lantaran dasar yang memutuskan dan menyerahkan ketentuan maksudnya kepada
Allah Yang Maha Mengetahui dan Maha Mengenal.7
5
Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 122.
6
Ibid., 310.
7
Acep Hermawan, “Ulumul Quran Ilmu Untuk Memahami Wahyu, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), 212.
Adapun dalam argumen naqli, mereka mengemukakan beberapa hadits dan atsar.
Diantaranya :
َ َ ق: ت
ال َرسُو ُل َ (هُ َو الَّ ِذى َأ ْن َز َل َعلَ ْي: َ ٰه َذا ااْل ٰ يَة.ع. تَاَل َوسُوْ ُل هللاِ ص: ت
ِ ـُولُوا ْالبَا... الَى قَوْ لِ ِه... ك ْال ِكتَاب
ْ َب) قَال ْ َع َْن عَاِئ َشةَ قَال
–رواه البجارى و مسلم.ولِئكَ الَّ ِذ ْينَ َس َّمى هللاُ فَاحْ َذرْ هُ ْم ٰ فَا ِ َذا َرَأيْتَ الَّ ِذىنَ يَتَّبِعُوْ نَ َما تَ َشابَهَ ِم ْنهُ فَُأ: .ع.هللاِ ص-
“Dari Aisyah, ia berkata: Rasul SAW. membaca ayat: “inilah yang menurunkan al-Kitab (al-
Qur’an) kepadamu”, sampai kepada “orang-orang yang berakal”, berkata ia : Rasul SAW.
berkata: “jika engkau melihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat yang musytabihat
daripadanya maka mereka itulah orang-orang yang disebut Allah, maka hati-hatilah terhadap
mereka”. (dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dan yang lainnya).8
Ini menunjukkan bahwa wawu untuk isti’naf(permulaan). Di samping itu, ayat tersebut
juga mencela orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutsyabihat dan memberikan mereka itu
sebagai yang mempunyai kecenderungan kepada kesesatan dan mencari fitnah. Sebaliknya, ayat
yang sama memuji orang-orang yang menyerahkan pengetahuan tentang itu kepada Allah.
Madzhab ini berpendapat, bahwa waqaf(memberhentikan bacaan) dalam ayat (surat Ali-
Imran: 7) di atas adalah lafal : َوالرَّا ِس ُخونَ فِى ْال ِع ْل ِم. dengan demikian, selain Allah, orang-orang
yang mendala ilmunya juga dapat mengetahui takwil dari ayat-ayat mutâsyabihât itu. Adapun
wawu ( ) َوpada lafal ayat tersebut adalah berkududukan sebagai hurf ‘athf. Oleh karena itu, kata
ََّاس ُخون
ِ الرdi-‘athaf-kan kepada lafal ُ هللاpada kalimat sebelumnya. Diantara ulama yang
berpendapat demikian –menurut Shubhi al-Shalih- adalah Abu Hasan al-‘Asy’ariy. Pendapat ini
diperjelas lagi oleh Abu Ishaq al-Syirazi yang sekaligus mendukung dengan mengatakan,
“bahwa pengetahuan Allah mengenai takwil ayat-ayat mutasyabihat itu, juga dilimpahkan
kepada para ulama yang mendalam ilmunya. Sebab firman yang diturunkan itu merupakan
pujian bagi mereka yang luas dan mendalam ilmunya. Bila mereka dianggap tidak mengetahui
maknanya berarti tidak ada bedanya dengan orang awam.”9
–اخرجه ابن. لَوْ لَ ْم يَ ْعلَ ُموْ ا تَْأ ِو ْيلَهُ لَ ْم يَ ْعلَ ُموْ ا نَا ِسخَ هُ ِم ْن َم ْنسُوْ ِخ ِه َواَل َحاَل لُهُ ِم ْن َح َرا ِم ِه َواَل ُمحْ َك َمهُ ِم ْن ُمتَ َشابِ ِه: ك قَا َل َّ ع َْن ال
ِ ضحَّا
ابى حاتم-
Dari al-Dahhak, berkata ia: “orang-orang yang mendalam ilmunya mengetahui takwilnya.
Sekiranya mereka tidak mengetahuinya, niscaya tidak mengetahui nasikh dan mansukhnya, halal
dan haramnya, dan muhkam ari mutasyabihnya”. (H.R. Ibn Abi Hatim).11
C. Fawatih as-Suwar
Istilah fawatih as-suwar terdiri dari dua kata, yaitu fawatih dan as-suwar. Fawatih
nerupakan jamak taksir dari fatihah yang berarti pembuka. Sedangkan as-suwar adalah jamak
taksir dari kata surah, yang berarti surah. Dengan demikian, istilah fawatih as-suwar secara
harfiah berarti “pembuka surah-surah”. Tokoh yang banyak mengkaji mengenai fawatih as-
suwar adalah Ibnu Abi Al-Ishba’ dengan karyanya Al-Khawathir As-Sawanih fi Asrar Al-
Fawatih. Para mufassir setelahnya, ketika membahas ilmu fawatih as-suwar, banyak merujuk
kepada buku tersebut.12
Surah-surah al-Qur’an dimulai dengan berbagai bentuk dan bervariasi. As-Suyuti merujuk
kepada Ibnu Abi Al-Ishba’ membagi bentuk-bentuk huruf, kata, atau kalimat pembuka surah-
surah al-Qur’an itu sebanyak sepuluh macam, yaitu sebagai berikut:
10
Ibid., 245.
11
Acep Hermawan, “Ulumul Quran Ilmu Untuk Memahami Wahyu, (Bandung: Remaja Rosdakarya), 219.
12
Kadar M. Yusuf, Studi Alquran (Jakarta: Amzah, 2012), 53-54.
a. Surah-surah yang dimulai dengan pujian, yaitu tahmid, tabaraka, dan tasbih. Seperti lafadz
الحمد هللdan تبارك
Contoh:
b. Surah-surah yang dimulai dimulai dengan huruf –huruf hijaiyah atau huruf muqaththa’ah
(huruf potong). Terdapat 29 surah yang dimulai dengan huruf potong tersebut. Adapun 29 surah
itu terdiri dari lima bentuk, yaitu sebagai berikut:
2) Surah yang dimulai dengan dua huruf, seperti: طس, يس, طه,حم
c.Surah yang dimulai dengan panggilan (an-nida’), yaitu panggilan kepada Nabi Muhammad
saw., seperti: ٰۤيَأيُّهَا ْال ُم َّدثِ ُر,ُ ٰۤيّأيُّهَا ْال ُم َّز ِّمل, ٰۤيَأيُّهَا النَّبِ ُّيdan panggilan kepada umat, seperti: ٰۤيَأيُّهَا,ٰۤيَأيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا
ُالنَّاس
d.Surah yang dimulai dengan kalimat khabariyah (kalimat berita), seperti: َ قَ ْد َأ ْفلَ َح ْال ُمْؤ ِمنُوْ نdan .
ِ َيَسَْئلُوْ نَكَ ع َِن اَأْل ْنف
ال
e. Surah yang dimulai dengan qasam (sumpah), seperti: َو ْال َعصْ ِر, dan َواللَّ ْي ِل
Allah membuka surat-surat tertentu dengan menekankan al-amr (perintah)-Nya yang diarahkan
kepada Rasulullah, yang juga kepada umatnya. Hal ini seperti terlihat dalam surah Al-‘Alaq:
Allah itu bukanlah berarti tidak mengetahui masalah-masalah di balik pertanyaan, tetapi sebagai
metode atau jembatan dalam rangka menjelaskan lebih jauh apa-apa yang hendak dipaparkan-
Nya, sehingga siapa pun yang menjadi mitra bicara Allah menjadi tahu dengan jelas dan
mengerti. Seperti: )١ :ب ْالفِ ْي ِل (الفيل
ِ ك بَِأصْ ٰح َ َألَ ْم
َ ُّتر َك ْيفَ فَ َع َل َرب
Allah swt memvonis celaka kepada pihak-pihak yang mestinya celaka di permulaan beberapa
surah, yakni surah Al-Muthaffifin/83 dengan vonis َ( َو ْي ٌل لِّ ْل ُمطَفِّفِ ْينcelakalah bagi orang-orang yang
curang); dalam surah Al-Humazah/104 dengan vonis ( َو ْي ٌل لِّ ُك ِّل هُ َمزَ ٍة ُّل َمزَ ٍةcelakalah bagi setiap
ٍ ََّت يَ ۤ َدا َأبِ ْي لَه
pengumpat dan pencela), dan dalam surah Al-Lahab/111 dengan vonis َّب َّوتَب ْ تَب
(binasalah diri Abu Lahab, dan benar-benar binasa dia).Vonis-vonis Allah tersebut disampaikan-
Nya setimpal dengan keburukan dan kejahatan masing-masing yang disebut dalam surah-surah
terkait.
Allah dalam satu-satunya surah, yaitu surah Al-Quraisy mengedepankan penjelasan alasan.
Alasan dalam surah itu ditempatkan lebih dahulu dari sesuatu yang diperintahkan-Nya seperti
yang diletakkan pada ayat 3. Dalam kata lain, dalam surah ini Allah lebih mendahulukan
keterangan alasan daripada penyebutan sesuatu yang seharusnya dilakukan. ()تقديم التعليل عن األمر
Jadi, Allah memerintahkan sesuatu dengan terlebih dahulu disampaikan alasannya, agar perintah
yang disampaikan itu benar-benar diperhatikan atau dijalankan.
D. Hikmah Keberadaan Ayat Mutasyabihat dalam Al-Qur’an
Diantara hikmah keberadaan ayat-ayat mutasyabih di dalam al-Qur’an adalah sebagai berikut:
Akal sedang dicoba untuk meyakini keberadaan ayat-ayat mutasyabih sebagaimana Allah
memberi cobaan pada badan untuk beribadah. Seandainya akal yang merupakan anggota badan
paling mulia itu tidak diuji, tentunya seseorang yang berpengetahuan tinggi akan
menyombongkan keilmuannyasehingga enggan tunduk kepada naluri kehambaannya.
Ayat-ayat mutasyabihat merupakan sarana bagi penundukan akal terhadap Allah karena
kesadarannya akan ketidakmampuan akalnya untuk mengungkap ayat-ayat mutasyabih itu.
13
Rosihon Anwar, Ulum al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 134-135.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Muhkam adalah ayat-ayat yang maknanya sudah jelas, tidak samar lagi dan tidak
menimbulkan pertanyaan jika disebutkan. Sedang mutasyabih adalah ayat-ayat yang maknanya
belum jelas.
Ulama’ berbeda pendapat dalam hal memahami ayat-ayat mutasyabih, yaitu antara bisa
tidaknya manusia memahami atau memaknai ayat-ayat mutasyabihat. Terdapat hikmah adanya
ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat yang secara garis besar masuk pada tataran pemahaman
dan penggunaan logika akal.
.
DAFTAR PUSTAKA
Chirzin, Muhammad. Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa,
2000.
Syadali, Ahmad dan Ahmad Rifa’i. Ulumul Qur’an I. Bandung: Pustaka Setia, 2000.