Anda di halaman 1dari 14

KAJIAN AK-QUR’AN DALAM STUDI ISLAM

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


“ METODOLOGI STUDI ISLAM”

Oleh:
1. Farida Zafi Rahmatika ( 301230002)
2. Hesti Nur Oktaviani ( 301230001)
3. Cut Nur Qolbi Sandy (301230045)

Dosen Pengampu
Mohammad Rozi Indrafuddin, Lc, M.Ag

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN & TAFSIR


FAKULTAS UHSULUDIN ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Segala puji kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, nikmat, dan karuniaNya,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna untuk memenuhi tugas mata kuliah
Metodologi Studi Islam yang berjudul “KAJIAN AL-QUR’AN DALAM STUDI ISLAM ”.

Kami menyadari dalam pembuatan makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak yang
dengan tulus memberikan doa, kritik, dan saran sehingga makalah ini dapat terselesaikan.

Kami menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini masih terdapat banyak kekurangan
karena terbatasnya ilmu dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu, kami mengharapkan
segala bentuk kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sehingga makalah ini bisa
menjadi lebih baik lagi kedepannya.N

Ponorogo , 22 April 2024

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul ............................................................................................................. i

Kata Pengantar ............................................................................................................ ii

Daftar Isi ....................................................................................................................... iii

Bab I Pendahuluan

A. Latar Belakang .................................................................................................. 5

B. Rumusan Masalah ............................................................................................. 5

C. Tujuan .............................................................................................................. 5

Bab II Pembahasan

A. Kaidah dalam Memahami Al-Qur’an .................................................................. 6

B. Metode Memahami Al-Qur’an ............................................................................ 11

C. Studi Al-Qur’an Secara Ilmiah ............................................................................ 13

Bab III Penutup

A. Kesimpulan ..................................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 16

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al- Qur’an adalah sumber utama ajaran Islam yang dianggap sebagai wahyu
Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Sebagai pedoman hidup umat Islam.
Pemahaman yang benar terhadap al-Qur’an sangatlah penting. Oleh karena itu, kajian
terhadap al-Qur’an menjadi bagian integral dari studi Islam. Dalam makalah ini akan
dibahas mengenai kaidah, metode, dan pendekatan ilmiah dalam memahami al-Qur’an.

B. Rumusan Masalah
1. Apa kaidah dalam memahami al-Qur’an?
2. Apa saja metode yang digunakan dalam memahami al-Qur’an?
3. Bagaimana studi al-Qur’an secara ilmiah?

C. Tujuan Pembahasan

Adanya pembahasan ini bertujuan untuk mengetahui dan lebih menganal tentang
kaidah,metode, dan pendekatan ilmiah dalam memahami al-Qur’an.

4
BAB II PEMBAHASAN

A. KAIDAH DALAM MEMAHAMI AL-QUR’AN


Untuk memudahkan dalam proses memahami dan mengkaji Al-Qur’an, para ulama memberikan
berbagai kaidah dalam penafsiran ayat Al-Quran. Tentu jumlah kaidah yang dihasilkan sangatlah
banyak, namun dalam kitab Buhuts fi Ushul al-Tafsir wa Manahijuh Syaikh Fahd al-Rumi
meringkas berbagai kaidah tersebut menjadi tujuh kaidah penting dalam proses penafsiran ayat Al-
Quran. Tujuh kaidah tersebut antara lain adalah:
1. Kull ‘Aam Yabqa ‘ala ‘Umumih hatta Ya’tiy ma Yukhashishuh
Kaidah ini bermakna bahwa setiap lafadz ayat yang mengandung makna lebih dari satu, maka ayat
tersebut juga ditafsirkan dengan berbagai ragam makna yang terkandung di dalamnya. Namun,
kaidah di atas tidak berlaku apabila terdapat dalil yang mengkhususkan pada salah satu makna
yang terkandung dalam ayat tersebut.
Syaikh Fahd al-Rumi mencontohkan implementasi kaidah ini dalam memahami Q.S. Quraisy
[106] ayat 4:
٤ – ࣖ ٍ‫ط َع َم ُه ْم ِِّم ْن ُج ْوعٍ ەۙ َّو ٰا َمنَ ُه ْم ِِّم ْن خ َْوف‬
ْ َ‫ي ا‬
ْْٓ ‫الَّ ِذ‬
“Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan
mereka dari rasa ketakutan”
Pemberian rasa aman dalam ayat tersebut bersifat umum, yaitu bisa bermakna rasa aman dari
musuh (‘aduw) ataupun dari penyakit kusta/lepra (judzam). Sehingga ayat tersebut tidak bisa
dimaknai hanya sebagai bentuk pengamanan dari musuh ataupun sebaliknya, tetapi harus
dibiarkan bermakna umum sebagaimana asal keumuman ayat tersebut.
2. Al-Ibrah bi ‘Umum al-Lafdzi La bi Khusus al-Sabab
Maksud kaidah ini adalah yang dijadikan dasar pemahaman ayat adalah keumuman lafadznya
bukan kekhususan sabab turunya ayat tersebut. Al-Allamah Abdurrahman ibn Sa’diy mengatakan
bahwa riwayat historis asbab nuzul dari sebuah ayat itu berguna sebagai pemisalan atau ilustrasi
untuk menjelaskan (taudhih) teks ayat. Sehingga makna ayat tidak bisa dibatasi hanya untuk
subjek yang berkaitan dengan konteks historis ayat tersebut.
Oleh karena itu, Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa apabila terdapat kalimat hadzih al-
ayah nazalat fi kadza, bukan bermaksud bahwa hukum ayat itu hanya berlaku pada pelaku historis
ayat tersebut, tetapi berlaku umum untuk semua orang. Contoh implementasi kaidah ini bisa
ditemukan dalam Q.S. al-Baqarah [2] ayat 204:

َ ِ‫ع ٰلى َما فِ ْي قَ ْل ِب ٖه ۙ َوه َُو اَلَدُّ ْالخ‬


٢٠٤ – ‫ص ِام‬ َ ‫اس َم ْن يُّ ْع ِجبُكَ قَ ْولُهٗ فِى ْال َح ٰيو ِة الدُّ ْن َيا َويُ ْش ِهد ُ ه‬
َ ‫ّٰللا‬ ِ َّ‫َومِنَ الن‬
“Dan di antara manusia ada yang pembicaraannya tentang kehidupan dunia mengagumkan
engkau (Muhammad), dan dia bersaksi kepada Allah mengenai isi hatinya, padahal dia adalah
penentang yang paling keras”

5
Diriwayatkan oleh al-Thabari dalam tafsirnya, bahwsanya Ka’ab al-Qardhi berkata:
“Sesungguhnya ayat ini turun berkenaan dengan seorang laki-laki, tetapi kemudian berlaku
umum”. Seorang laki-laki yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah al-Akhnas ibn Syuraiq,
namun karena lafal ayat bersifat umum maka diberlakukan untuk semua orang selain al-Akhnas.
3. Ikhtilaf al-Qira’at fi al-Ayah Yu’addid Ma’aniha
Syaikh Fahd al-Rumi menjelaskan bahwa perbedaan qira’at terjadi dalam dua keadaan: Pertama,
perbedaan qira’at pada ragam pembacaan huruf dan harakat, seperti
bacaan idzhar, idgham, imalah, mad, dan lain sebagainya. Kedua, perbedaan qira’at dalam
tataran kalimat ataupun harakat yang mengakibatkan adanya perbedaan makna.
Penguasaan terhadap keilmuan qira’at sangatlah penting dalam proses penafsiran Al-Qur’an.
Perangkat tersebut membantu mufasir dalam membedakan mana qira’at yang berakibat pada
perubahan atau penambahan makna dan yang tidak merubah makna. Hal ini dikarenakan apabila
ditemukan qira’at yang mengakibatkan perubahan atau perbedaan makna, maka hal tersebut
sangat mempengaruhi dalam penafsiran terhadap ayat Al-Qur’an.
4. Al-Ma’na Yakhtalif bi Ikhtilaf Rasm al-Kalimah
Terkadang terdapat sebagian kalimat yang memiliki multi makna. Namun, hal tersebut dapat
dibedakan dengan melihat format penulisan teks mushaf (rasm al-mushaf) yang digunakan.
Sehingga dalam hal ini, rasm al-kalimah memiliki peran penting dalam mentarjih antar ragam
makna yang terkandung, agar dapat dipilih satu makna yang sesuai. Contoh penggunaan kaidah
ini dapat dijelaskan dalam memahami Q.S. al-A’la [87] ayat 6:
٦ – ۖ ‫سنُ ْق ِرئُكَ فَ ََل ت َ ْنسٰ ْٓى‬
َ
“Kami akan membacakan (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) sehingga engkau tidak akan lupa”
Para ulama berbeda pendapat dalam memaknai kalimat (‫)فَل تنسى‬. Terdapat pendapat yang
memaknai kalimat tersebut sebagai bentuk penyangkalan (li al-nafyi) sehingga bermakna
pemberitaan. Namun, ada pendapat yang mengatakan bahwa kalimat tersebut sebagai bentuk
larangan (li al-nahyi). Untuk mengetahui pendapat mana yang lebih kuat, maka disinilah
fungsi rasm al-kalimah sebagai murajjih antar dua pendapat tersebut.

Setelah dilihat secara rasm al-kalimah, maka kalimat tersebut lebih sesuai berfungsi
sebagai kalimat penyangkalan. Hal ini dikarenakan dalam kalimat tersebut terdapat al-alif al-
maqshurah (‫ )ى‬setelah huruf sin. Andaikan kalimat tersebut bermakna larangan maka
seharusnya rasm al-kalimah-nya hanya tansa (‫ )تنس‬tanpa al-alif al-maqshurah. Hal ini disebabkan
apabila (‫ )ال‬dalam kalimat tersebut li al-nahyi maka fi’il setelahnya akan menjadi majzum. Dan
konsekuensi dari majzum adalah penghilangan huruf illah (hadf al-harf al-mu’tal) pada lam fi’il-
nyaSetelah dilihat secara rasm al-kalimah, maka kalimat tersebut lebih sesuai berfungsi sebagai

6
kalimat penyangkalan. Hal ini dikarenakan dalam kalimat tersebut terdapat al-alif al-
maqshurah (‫ )ى‬setelah huruf sin. Andaikan kalimat tersebut bermakna larangan maka
seharusnya rasm al-kalimah-nya hanya tansa (‫ )تنس‬tanpa al-alif al-maqshurah. Hal ini disebabkan
apabila (‫ )ال‬dalam kalimat tersebut li al-nahyi maka fi’il setelahnya akan menjadi majzum. Dan
konsekuensi dari majzum adalah penghilangan huruf illah (hadf al-harf al-mu’tal) pada lam fi’il-
nya.

5. Al-Siyaq al-Qur’aniy

Kaidah kelima ini mengingatkan kepada setiap mufasir agar dalam proses penafsiran Al-Qur’an
tidak hanya fokus pada satu ayat saja, tetapi juga dilakukan peninjauan terhadap ayat-ayat lain
yang memiliki korelasi, keterkaitan dan hubungan terhadap ayat yang sedang dikaji. Cara yang
demikian dapat membantu dalam penetapan makna yang mendekati terhadap apa yang
dikehendaki Al-Qur’an, walaupun dalam kata atau kalimat ayat tersebut mengandung banyak
makna.
Pentingnya penguasaan terhadap kaidah ini dapat dilihat dalam menafsirkan Q.S. al-Baqarah [2]
ayat 121:

ٰٰۤ ُ ٰٰۤ ُ ٖۗ
١٢١ – ࣖ َ‫ولىِٕكَ هُ ُم ْال ٰخس ُِر ْون‬ ‫ولىِٕكَ يُؤْ ِمنُ ْونَ ِب ٖه ٖۗ َو َم ْن يَّ ْكفُ ْر بِ ٖه فَا‬ َ ‫اَلَّ ِذيْنَ ٰات َ ْي ٰن ُه ُم ْال ِك ٰت‬
‫ب َيتْلُ ْونَهٗ َح َّق ت ََِل َوت ِٖه ا‬

“Orang-orang yang telah Kami beri Kitab, mereka membacanya sebagaimana mestinya, mereka
itulah yang beriman kepadanya. Dan barangsiapa ingkar kepadanya, mereka itulah orang-orang
yang rugi”
Dikutip oleh al-Thabari dalam tafsirnya, bahwasanya Qatadah mengatakan jika ayat tersebut
berbicara berkenaan dengan para sahabat Nabi. Namun, ulama lain berbendapat bahwa ayat di atas
bercerita tentang ahli kitab dari bani Israil yang menjadi pengikut Nabi Muhammad. Dalam
menyikapi hal ini, al-Thabari lebih memilih pendapat yang kedua. Hal ini dikarenakan pada ayat-
ayat sebelumnya menjelaskan tentang cerita ahli kitab, sehingga ada siyaq (korelasi) antara ayat
yang dikaji dengan ayat sebelumnya.

6. Al-Tafsir Yakun bi al-Aghlab al-Dzahir min al-Lughah

Karena Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab, maka tidak boleh jika hasil tafsirnya terhadap
ayat Al-Qur’an menyelisihi makna dan aspek kebahasaan yang digunakan oleh lisan orang-orang
Arab saat itu. Oleh karena itu, penguasaan terhadap aspek kebahasaan menjadi sebuah hal yang
sangat urgen dalam proses penafsiran ayat Al-Qur’an.
Contoh penerapan kaidah ini dapat diketahui dalam penafsiran Q.S. al-Baqarah [2] ayat 102:

7
١٠٢ – َ‫س ُه ْم ٖۗ لَ ْو كَانُ ْوا َي ْعلَ ُم ْون‬ َ ْ‫ق ٖۗ َولَ ِبئ‬
َ ُ‫س َماش ََر ْوا ِب ٖ ْٓه ا َ ْنف‬ ٰ ْ ‫ع ِل ُم ْوا لَ َم ِن ا ْشت َٰرىهُ َما لَ ٗه فِى‬
ٍ ‫االخِ َر ِة م ِْن خ َََل‬ َ ْ‫… َولَقَد‬

“Dan sungguh, mereka sudah tahu, barangsiapa membeli (menggunakan sihir) itu, niscaya tidak
akan mendapat keuntungan di akhirat. Dan sungguh, sangatlah buruk perbuatan mereka yang
menjual dirinya dengan sihir, sekiranya mereka tahu”

Dalam memaknai kata khalaq, Ibnu Jarir al-Thabari mengartikanya sebagai keberuntungan
(al-nashib). Argumentasi al-Thabari dalam pemilihan makna tersebut dikarenakan
kata khalaq dalam konteks ucapan orang Arab saat itu dimaknai sebagai nashib (keberuntungan).

7. Taqdim al-Ma’na al-Syar’iy ‘ala al-Ma’na al-Lughawiy

Apabila dalam satu kata terdapat dua makna atau lebih, dimana dalam ragam makna tersebut
terdapat dimensi makna lughawiy dan syar’iy, serta antara makna lughawiy dan syar’iy juga
saling bertentangan, maka yang didahulukan adalah dimensi makna syar’iy. Mengapa demikian?
Karena Al-Qur’an diturunkan berfungsi sebagai penjelas syari’at, bukan untuk menjelaskan makna
kebahasaan, kecuali ada hal yang mengharuskan penggunaan makna lughawiy.
Contoh penerapan kaidah ini dapat diketahui dalam memahami Q.S. al-Taubah [9] ayat 84:

ْٓ ‫و َال تُص ِّل‬


ِ ‫ع ٰلى قَب ِْر ٖ ٖۗه اِنَّ ُه ْم َكف َُر ْوا بِ ه‬
٨٤ – َ‫اّٰلل َو َرسُ ْول ِٖه َو َمات ُ ْوا َوهُ ْم ٰف ِسقُ ْون‬ َ ‫ع ٰلى ا َ َح ٍد ِِّم ْن ُه ْم َّماتَ اَبَدًا َّو َال تَقُ ْم‬
َ ِ َ َ

Kata tushalli dalam ayat tersebut mengandung dua dimensi makna yaitu
dimensi lughawiy bermakna do’a. Kemudian juga dimensi syar’iy yang bermakna shalat jenazah.
Maka dalam hal ini, secara umum yang didahulukan adalah makna syari’atnya yaitu shalat jenazah.
Namun sebaliknya, bisa jadi makna lughawiy lebih didahulukan apabila ada hal yang mendukung
penggunaan makna lughawiy tersebut. Seperti dalam Q.S. al-Taubah [9] ayat 103:

١٠٣ – ‫ع ِل ْي ٌم‬
َ ‫س ِم ْي ٌع‬
َ ُ‫ّٰللا‬ َ َ‫ص ٰلوتَك‬
‫سك ٌَن لَّ ُه ٖۗ ْم َو ه‬ َ ‫علَ ْي ِه ٖۗ ْم ا َِّن‬ َ ُ ‫صدَقَةً ت‬
َ ‫ط ِِّه ُرهُ ْم َوتُزَ ِ ِّك ْي ِه ْم بِ َها َو‬
َ ‫ص ِِّل‬ َ ‫ُخذْ م ِْن ا َ ْم َوا ِل ِه ْم‬

kata wa shalli dalam ayat di atas tidak bermakna perintah shalat, sebagaimana jika dipahami
dengan dimensi makna syar’iy. Namun, kata tersebut lebih sesuai dimaknai dengan dimensi
makna lughawiy yaitu do’a. Hal ini dikarenakan adanya hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim dengan nomor hadis 1078 yang mengindikasikan bahwa pemaknaan lughawiy lebih tepat
dalam memaknai kata wa shalli dalam ayat di atas. Hadis tersebut tertulis sebagaimana berikut:

َ ‫ اَللَّ ُه َّم‬: َ‫صدَقَتِ ِه ْم قَال‬


‫ص ِِّل‬ َ ِ‫ َكانَ َرسُ ْو ُل هللاِ – صلى هللا عليه وسلم – إِذَا أَت َاهُ قَ ْو ٌم ب‬:‫ع ْب ِد هللاِ ْب ِن أَبِ ْي أ َ ْوفَى – رضى هللا عنه – قَا َل‬
َ ‫ع ْن‬
َ ‫َو‬
‫علَ ْي ِه ْم‬
َ

8
“Dari Abdullah ibn Abi Aufa, ia berkata: bahwasanya Rasulullah SAW ketika terdapat suatu kaum
yang datang kepadanya dengan membawa zakat mereka, maka Rasulullah bersabda: Ya Allah
berkahilah mereka”
Dengan demikian dapat diketahui bahwa tujuh kaidah yang telah dijelaskan di atas merupakan
kaidah dasar yang sangat urgen untuk dikuasai oleh setiap pengkaji Al-Qur’an. Hal ini dikarenakan
kaidah-kaidah tersebut sangat membantu dalam proses penafsiran makna ayat Al-Qur’an. Wallahu
A’lam

B. METODE MEMAHAMI AL-QUR’AN

Salah satu metode dalam memahami Al-Qur’an yaitu tafsir al-Qur’an adalah penjelasan
dari firman-firman Allah sesuai kemampuan manusia. Kemampuan ini bertingkat tingkat
sehingga apa yang dicerna dan diperoleh para mufasir juga berbeda-beda. Disamping itu,
terdapat kajian teologis yang dapat dikatakan kajian yang radikal dan menyentuh masalah
hukum. Terdapat pula kajian sufustik, yang mengkaji masalah masalah tentang ketenangan jiwa
dan hati serta hubungan dengan Allah SWT. Ada juga metode filosofis.
Metode diatas dikaji ulang menuju tradisi keilmuan yang berwawasan al-Qur’an dan as-
sunnah untuk mengembalikan kebudayaan islam dikarenakan metode diatas hampir lenyap dari
permukaan bumi. Berikut metode yang dilakukan dalam memahami al-Qur’an.
1) Metode Tahlili

Metode ini menjelaskan kandungan ayat- ayat al-Qur’an dari berbagai segi, sesuai dengan
pandangan, kecenderungan, dan keinginan mufasirnya yang dihidangkan secara runtut
sesuai dengan perurutan ayat ayat dalam mushaf. Biasanya yang dihidangkan adalah
mencangkup pengertian kosa kata ayat, munasabah/hubungan antar ayat dengan ayat
sebelumnya, saba an-nuzul,makna global ayat, hukum yang dapat ditarik, yang tidak
jarang menghidangkan aneka pendapat ulama madzhab. Juga ada yang meambahkan
aneka Qira’at, I’rab ayat ayat yang ditafsirkan, serta keistimewaan susunan katanya.
Metode ini memiliki beragam jenis hidangan yang ditekankan penafsirannya, ada yang
bersifat kebahasaan, hukum, social budaya, filsafat/sains dan ilmu pengetahuan,
tasawuf/isyari dan lain-lain.
2) Metode Ijmali/Global

Metode ini hanya mengutarakan makna-makna umum yang dikandung oleh ayat yang
ditafsirkan, namun sang penafsir diharapkan dapat menghidangkan makna- makna dalam
bingkai suasana Qur’ani. Metode ini langsung menjelaskan kandungan dari ayat secara
umum atau hukum dan hikmah yang dapat ditarik tanpa menyinggung an-nuzul atau
munasabah apalagi makna kosakata dan segi-segi keindahan bahasa.

3) Metode Muqarin/Perbandingan

9
Hidangan metode ini adalah :
a. ayat-ayat al-Qur’an yang berbeda redaksinya satu dengan yang lain, padahal sepintas
terlihat bahwa ayat-ayat tersebut berbicara tentang persoalan yang sama
b. ayat ayat yang berbeda kandungan informasinya dengan hadits Nabi saw
c. perbedaan pendapat ulama menyangkut penafsiran ayat yang sama.

4) Metode Maudhui/Tematik

Metode ini adalah metode yang mengarahkan pandangan kepada sutu tema tertentu, lalu
mencari pandangan al-Qur’an tentang tema tersebut dengan jalan menghimpun semua
ayat yang membicarakannya, menganalisis dan memahami ayat demi ayat, lalu
menghimpunnya dalam benak ayat yang bersifat umum dikaitkan dengan yang khusus,
yang mutlak digandengkan dengan yang Muqayyad, dan lain-lain, sambil memperkaya
uraian dengan hadits- hadits yang berkaitan untuk kemudian disimpulkan dalam satu
tulisan pandangan menyeluruh dan tuntas menyangkut tema yang dibahas.

Langkah-langakah penerapan metode maudhu’iy adalah sebagai berikut :


a. menetapkan masalah yang akan dibahas
b. melacak dan menghimpun masalah yang dibahas tersebut dengan menghimpun ayat
ayat al-Qur’an yang membicarakannya
c. mempelajari ayat demi ayat yang berbicara tentang tema yang dipilih sambil
memperhatikan asbab an-nuzul
d. menyusun runtun ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan ayat ayat sesuai masa
turunnya
e. menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna, sitematis dan utuh
f. menghimpun masing-masing ayat pada kelompok uraian ayat.

C. STUDI AL-QUR’AN SECARA ILMIAH


Studi Al-Qur’an adalah pengkajian terhadap Islam secara ilmiah, baik Islam sebagai sumber
ajaran, pemahaman, maupun pengalaman. Atau ilmu yang mempelajari seluk-beluk Al-Qur’an
seperti ilmu asbabun nuzul, penyusunan surah dan ayatnya, pengumpulannya, penulisannya, cara
membacanya, menafsirkannya, nasikh dan mansuknya, serta muhkam dan mutasyabih-nya.
Istilah lain dalam ilmu ini dikenal dengan ‘Ulumul Qur’an. Al-Ilmu dalam bahasa Arab
berasal dari bentuk kata masdar yang bermakna al-fahmu, al-ma’rifah, al-idrak, dan al-yakin.
Secara terminologi ada tiga pengertian yang dikemukakan oleh para ulama. Pertama, ilmu adalah
suatu keyakinan terhadap sesuatu. Kedua, yaitu ilmu pengetahuan tentang Allah dan segala
sesuatu yang berhubungan dengan-Nya seperti sifat-sifat-Nya, mengetahui apa-apa yang
dihalalkan dan yang diharamkan-Nya. Ketiga, yaitu pengetahuan tentang terungkapnya segala

10
sesuatu yang tersembunyi. Menurut ahli tadwin, ilmu merupakan kumpulan dari beberapa
masalah yang saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Misalnya, ilmu hadits dan
periwayatannya. Ada juga yang mendefinisikan al-ilmu sebagai al-idrak (penemuan), al-fan
(profesi atau keahlian). Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ilmu
adalah keseluruhan sistem pengetahuan yang didapat melalui proses tertentu dan sistematis, bisa
dilihat, dirasakan, dan diuji kebenarannya.
Studi Al-Qur’an (ilmu Al-Qur’an) sebagai sebuah disiplin ilmu tidak lahir secara sekaligus,
namun melalui proses dan tahapan. Pada masa Rasulullah dan empat khalifahnya studi Al-
Qur’an disampaikan secara lisan atau dengan cara periwayatan. Pada abad ke-2 H., studi Al-
Qur’an mengalami perkembangan, yaitu mulai dibukukan bersama hadits. Pada abad ke-3 H.,
studi Al-Qur’an sudah dibukukan secara independen dan mulai digunakan istilah ‘Ulum Al-
Qur’an.
Studi Al-Qur’an sangat membantu dan bermanfaat dalam pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an
secara benar dan beragam, penulisan ayat-ayat Al-Qur’an secara benar, pemahaman isi yang
tertuang di dalam ayat-ayat Al-Qur’an secara tepat dan benar, penghayatan dan pengamalan
terhadap berbagai petunjuk, berbagai hukum, dan hikmahnya, juga penggalian makna dan
pengistinbatan hukum Islam dari Al-Qur’an secara komprehensif, di samping kemampuan
mengungkap kemukjizatan Al-Qur’an baik dari sisi bahasa, makna yang dimuat, sampai pada
pembuktian ilmu pengetahuan.
Ilmu-ilmu Al-Qur’an juga sangat banyak manfaatnya bagi umat manusia yang tekun
menggalinya, tidak hanya memberikan hidayah tetapi juga memberikan inspirasi lahirnya ilmu
pengetahuan yang melimpah, baik ilmu-ilmu klasik maupun mutakhir. Di sisi lain, studi Al-
Qur’an berguna memperkuat keyakinan akan kebenaran dan keaslian Al-Qur’an sekaligus bekal
untuk menyusun argumentasi yang melandasi keyakinan tersebut sehingga mampu menepis
tuduhan dan keraguan akan otentisitas Al-Qur’an. Secara praktis ilmu-ilmu Al-Qur’an juga
membantu memberikan solusi bagi segala persoalan kehidupan manusia dalam bermasyarakat
dan berbangsa yang termasuk masalah-masalah fiqhiyah atau ijtihadiyah.
Pada bagian terdahulu telah dikemukakan sejumlah tokoh ‘Ulum Al-Qur’an beserta karya
ilmiahnya. Di antara mereka terutama yang hidup sebelum abad ke-5 H, hanya membahas
bagian-bagian tertentu dari ‘Ulum Al-Qur’an. Maka pada bagian ini akan dikemukakan sejumlah
tokoh yang membahas ‘Ulum Al-Qur’an dengan merangkum cabang-cabang ‘Ulum Al-Qur’an
dalam karya-karya mereka. Dan kitab-kitab mereka inilah yang sebenarnya disebut kitab ‘Ulum
Al-Qur’an. tokoh-tokoh yang dimaksud:
1. Ali ibn Ibrahim ibn Sa’id al-Hafi karyanya : al-Burhan fiy ‘Ulum al-Qur’an.
2. Ibn al-Jauziy, karyanya: Funun al-Afinan fiy Aja’ib ‘Ulum dan al-Mujtaba’ fiy ‘Ulum
Tata’allaq bi al-Qur’an.
3. Abu Syamah, karyanya: al-Mursyid al-Wajiz Fi Ma Yata’allaq bi alQur’an al-Aziz
4. Badr al-Din al-Zarkasyi karyanya : al-Burhan fiy ‘Ulum al-Qur’an.

11
5. Jalal al-Din al-Sayuti, karyanya: al-Tahbir fiy ‘Ulum al-Tafsir dan al-Itqan fiy ‘Ulum al-
Qur’an.
6. Tahir al-Juzairi, al-Tibyan fiy ‘Ulum al-Qur’an.
7. Muhammad Ali Salamah, Manhaj al-Furqan fiy ‘Ulum al-Qur’an
8. Muhammadi Abd al-Azim al-Zarqaniy, karyanya :Manahil irfan fiy ‘Ulum al-Qur’an.
9. Ahmad Ali, Karyanya: Muzakkarah ‘Ulum al-Qur’an.
10. Subhi Salim, Mabahis fiy ‘Ulum al-Qur’an.
11. Manna al-Qattan, karyanya : Mabahis fiy ‘Ulum al-Qur’an.
12. Ahmad Muhammad Ali Daud, karyanya: ‘Ulum al-Qur’an wa al-Hadis.
13. Abu Bakar Ismail, Dirasat fiy ‘Ulum al-Qur’an.
14. Muhammad Ali al-Sabuniy, al-Tirbyan fiy ‘Ulum al-Qur’an.
Masih banyak tokoh dan kitab yang membahas tentang ‘Ulum Al-Qur’an. Namun tokoh-
tokoh yang telah disebutkan inilah yang lebih dikenal, dan buku-buku mereka menjadi rujukan
bagi penulis dan peneliti tentang ‘Ulum Al-Qur’an saat ini. Di antara mereka yang paling
terkenal adalah al-Sayuti dengan kitabnya al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an. Kitab ini terdiri atas dua
juz, dan membahas 80 jenis ‘Ulum Al-Qur’an. Begitu pula al-Zarkasyi yang lebih dahulu dari al-
Sayuti, dalam kitabnya al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an yang terdiri dari 4 jilid beliau membahas
47 jenis ‘Ulum Al-Qur’an.

12
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN

Guna memudahkan dalam proses memahami dan mengkaji Al-Qur’an, para ulama
memberikan berbagai kaidah dalam penafsiran ayat Al-Quran. Tentu jumlah kaidah yang
dihasilkan sangatlah banyak, namun dalam kitab Buhuts fi Ushul al-Tafsir wa Manahijuh
Syaikh Fahd al-Rumi meringkas berbagai kaidah tersebut menjadi tujuh kaidah penting dalam
proses penafsiran ayat Al-Quran sebagaimana disebutkan diatas. Al-Qur’an telah dipelajari
dan digali isi kandungannya dengan berbagai macam metode dan pendekatan diantaranya
metode tahlili, metode ijmali,metode muqarin dan metode maudhui. Studi yang dikenal
mempelajari dan mendalami al-Qur’an adalah Ulumul Qur’an.

13
DAFTAR PUSTAKA
Badruzzaman, Abuy Sodikin. (2000). METODOLOGI STUDI ISLAM. Bandung: Tunas
Nusantara
Damanik, Nurliana. (2023). METODOLOGI STUDI ISLAM. Medan: CV. prokreatif
Bahri, Samsul. (2023). Metodologi Penelitian AL-QUR'AN DAN TAFSIR. Aceh:
Bandar Publishing.
UIN SUNAN AMPEL SURABAYA. (2018). BAHAN AJAR STUDI AL-QUR'AN .
Surabaya : UIN SA Press.

Moch Rafly Try Ramadhani, "Tujuh Kaidah Penting dalam Proses Penafsiran Ayat Al-
Qur'an," (2020), diakses pada 22 Februari 2022,https://tafsiralquran.id/tujuh-kaidah-
penting-dalam-proses-penafsiran-ayat-al-quran/

14

Anda mungkin juga menyukai