Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH ILMU AL-QUR’AN

“KAIDAH-KAIDAH TAFSIR AL-QUR’AN”


Dosen : Prof. Dr. H. Syarifuddin Ondeng, M. Ag.

Di Susun Oleh :
• Fadlul Amir ( 20200122005 )
• Aulia Rahmah ( 20200122025 )

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN


PRODI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR
2022/2023
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................i
DAFTAR ISI...............................................................ii
BAB I PENDAHULUAN............................................1
A. Latar Belakang...............................................................4
B. Rumus Masalah.................................................................4
C. Tujuan..........................................................................4
BAB II PEMBAHASAN...............................................5
1. Pengertian Kaidah dan Tafsir......................................................5
2. Kedudukan Tafsir..............................................................6
3. Macam-macam Kaidah Tafsir....................................................6

BAB III PENUTUP...................................................13


1. Kesimpulan...................................................................13
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya,sehingga kami dapat menyelesaikan ini guna memenuhi
tugas kelompok untuk mata kuliah Ilmu Al-Qur’an,dengan judul :“Kaidah- Kaidah Tafsir Al-
Qur’an”.
Tidak lupa kami ucapkan terimakasih kepada dosen Ilmu Al-Qur’an yang setia
membimbing kami dalam penugasan makalah ini dan tidak terlepas dari bantuan teman-
teman yang mendukung,memberikan doa,dan saran dalam menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna di karenakan terbatasnya
pengetahuan yang kami miliki.Oleh karena itu,kami mengharapkan segala bentuk saran dan
masukan serta kritik dari dosen maupun teman-teman demi tercapainya makalah yang
sempurna,dan kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi teman-
teman dan pihak lainnya.

Gowa, 10 September 2022


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar
Belakang

Al-Qur’an adalah mukjizat yang di turunkan kepada kita dengan perantara nabi
Muhammad SAW.Di dalamnya terdapat begitu banyak khazanah (Kumpulan atau
kelompok tertentu)ilmu dan sumber pengetahuan.Satu ayat saja bahkan satu huruf
saja dalam al-qur’an mempunyai multi dimensi makna yang saling berkaitan antara
satu dengan yang lain (antara satu ayat dengan ayat lainnya atau antara satu huruf
dengan huruf yang lainnya),al- qur’an merupakan sumber dari segala sumber.
Mengapa tafsir Al-Qur’an? Karena,persoalan tafsir al-qur’an dalam konteks kekinian
menjadi isu menarik,relevansinya dengan kondisi dan perkembangan zaman
sekarang yang di pandang sangat jauh ke adaannya apabila di bandingkan dengan
masa ketika awal al-qur’an di turunkan dan di sampaikan oleh Nabi Muhammad
SAW.

B. Rumus Masalah
1. Apa saja kaidah dalam penafsiran Al-Qur’an?

2. Apa fungsi kedudukan tafsir ?

3. Apa saja macam-macam kaidah tafsir?


C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian kaidah dan tafsir

2. Untuk mengetahui kedudukan tafsir

3. Untuk mengetahui macam-macam kaidah tafsir

BAB II
PEMBAHAS
AN
1. Pengertian Kaidah Dan Tafsir
Secara etimologis tafsir berarti menjelaskan dan mengungkapkan.Sedangkan menurut
istilah,tafsir ilmu yang membahas tentang cara mengungkapkan lafadz- lafadz Al-
Qur’an,makna-makna yang di tunjukkannya dan hukum-hukumnya,baik ketika berdiri
sendiri atau tersusun,serta makna-makna yang di mungkinkannya ketika dalam keadaan
tersusun.
Secara terminologis terdapat banyak definisi yang di ungkap oleh para ahli,seperti syekh
Al-Zarqani yang mengungkapkan bahwa tafsir adalah “Suatu ilmu yang membahas perihal
Al-Qur’an dari segi dalilahnya sesuai maksud Allah SWT berdasarkan kadar kemampuan
manusiawi.Menurut Al-Zarqani,kata tafsir berasal dari kata al-fasr,kemudian di ubah
menjadi bentuk taf’ilyaitu menjadi al-tafsiryang berarti penjelasan atau keterangan.Tafsir bisa di
artikan dengan alat atau ilmu pengetahuan dalam memahami petunjuk-petunjuk dalam Al-
Qur’an.Sedangkan orang yang menjelaskan atau menerangkan isi Al-Qur’an disebut sebagai
mufassir atau penafsir.
Begitu pula imam Al-Qurtubi yang mengatakan,tafsir adalah penjelasan tentang
lafadz,sedangkan As-Suyuti yang di kutip Al-Dzahabi mendefinisikan tafsir dengan “Ilmu
yang membahas maksud Allah SWT sesuai dengan kadar kemampuan manusiawi yang
mencakup segala sesuatu yang berkaitan dengan pemahaman dan penjelasan makna.
Berdasarkan penjelasan tersebut,kaidah-kaidah tafsir dapat di artikan sebagai pedoman
dasar yang di gunakan secara umum guna mendapatkan pemahaman atas petunjuk-petunjuk
Al-Qur’an.Pengembangan kaidah-kaidah tafsir telah di lakukan oleh para ulama sejak awal
munculnya ilmu Al-Qur’an (Ulumul Al- Qur’an),seperti usaha yang di lakukan oleh Abd Ar-
Rahman ibn Nasir Al-Sa’adi dalam kitabnya Al-Qawaidu Al-Hisan li Tafsir Al-Qur’an dan
seperti kitab-kitab lainnya yang membahas tentang ulumul Qur’an,oleh Mannan Al-Qattan
dalam MabahitsFiUlumulAl-Qur’an.
Namun dari berbagai kaidah yang di susun oleh para ulama Ulumul Qur’an,tidak
terdapat kesamaan konseptual antara yang satu dengan yang lainnya.Ada yang
mengembangkan kaidah-kaidah secara umum melalui pendekatan pemahaman
keagamaan,misalnya hukum dan tauhid,seperti yang di lakukan oleh Abd Ar- Rahman ibn
Nasir Al-Sa’adi.Adapula yang membahasnya secara teknis dan detail,yang di lakukan oleh
Mannan Al-Qattan.Meskipun demikian,keberadaan kaidah penafsiran yang di susun para
ulama tetap sangat penting.Kaidah-kaidah tersebut bisa di jadikan sebagai kerangka
metodologi dalam melakukan penafsiran Al-Qur’an dengan menggunakan metode yang
sama.
2. Kedudukan Tafsir

Kedudukan tafsir sangat tergantung pada materi atau masalah yang di


tafsirkan.Al-Qur’an sebagai materi tafsir jelas mempunyai kedudukan amat
muliah,sebab ia adalah kitabullah ‘azza wa jalla. Ar-Raghib Al-Ashfahani
mengatakan “karya yang termulia adalah ke sanggupan menafsirkan dan
menta’wilkan Al-Qur’an.Betapa agung nilai karya menafsirkan Al-Qur’an dapat di
buktikan oleh kalimat kalam itu sendiri yang merupakan sumber segala hikmah dan
segala yang utama.
Al-Qur’an banyak memuat ayat yang mengunggah perhatian orang untuk
menafsirkannya,di antaranya :
• “Apakah mereka tidak memikirkan Al-Qur’an,ataukah hati mereka memang
telah tertutup”.(Q.S.Muhammad : 24)
• “Apakah mereka tidak memperhatikan firman kami,atau apakah mereka telah
menerima apa yang dahulu tidak pernah di terima oleh nenek moyang
mereka”.(Q.S.Al-Mu’minun : 68)
• “Ini adalah sebuah kitab (Al-Qur’an) yang telah kami turunkan kepada kamu
(Hai Muhammad) dengan penuh berkah,agar mereka memperhatikan ayat-
ayatnya,dan agar mereka mau berfikir dapat memperoleh pelajaran”.(
Q.S.As-Shad : 29).

3. Macam- macam Kaidah Tafsir

Kaidah-kaidah tafsir yang berkembang dalam sejarah penafsiran Al- Qur’an


sangat beragam.Berdasarkan perkembangan tersebut,jika dipetakan kaidah-kaidah
tafsir dapat di kelompokkan menjadi kaidah dasar,umum,khusus.
a. Kaidah Dasar Tafsir

Kaidah dasar berkaitan dengan penggunaan sumber pokok dalam menafsirkan Al-
Qur’an yang meliputi Al-Qur’an,hadits,penjelasan sahabat,dan perkataan tabi’in.Dalam
kaidah dasar ini,seorang mufassir pertama-tama harus kembali kepada Al-Qur’an
dan menelitinya secara cermat dalam rangka mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an
tentang suatu tema atau pokok persoalan.Kemudian menghubungkan dan
memperbandingkan kandungan ayat-ayat yang mengandung arti mujmal yang di perinci
oleh ayat lain,atau suatu ayat masalahnya di sebut secara singakat,maka di perluas
oleh ayat lain.
Kemudian mufassir juga harus memperhatikan hadits-hadist Nabi.Bila
mendapatkan hadits shahih,ia harus menafsirkan ayat berdasarkan hadits
tersebut.Ada yang berpendapat termasuk tafsir bial-ma’sur dengan alasan
bahwa itu di terima dari sahabat nabi.Namun ada juga yang menganggapnya sebagai
tafsir bial-ra’yi,seperti tafsir para mufassir lainnya setelah tabi’in.
b. Kaidah Umum Tafsir

Kaidah umum yang di maksud di sini adalah seperangkat ilmu pengetahuan yang
di butuhkan oleh seorang mufassir dalam menafsirkan Al- Qur’an.Para ulama
menyebutkan beberapa syarat yang harus dimiliki oleh seseorang yang hendak
menafsirkan Al-Qur’an.Syarat-syarat tersebut,di antaranya ; mempunyai aqidah
yang lurus,bersih dari hawa nafsu,dan menguasai ilmu tafsir (Ilmu-ilmu Al-Qur’an
beserta pendukungnya).
Ilmu-ilmu Al-Qur’an misalnya : Ilmu Asbab An nuzul (Sebab-sebab turunnya
ayat),ilmu makki wal madani,ilmu nasikh wal Mansukh,ilmu muhkamwalmutasyabih dan
lain sebagainya.Adapun ilmu lainnya sebagai pendukung yang harus di miliki oleh
seorang mufassir meliputi ilmu Bahasa Arab,nahwu,sharaf,isytiqaq,balagah(ma’ani,bayan,dan
badi’),ushul fiqih,dan ilmu qira’at.Ilmu Bahasa (Lingustik) berfungsi
untuk mengetahui kosa kata,konotasi,dan konteks Al-Qur’an.Melalui ilmu nahwu
(Tata Bahasa),seorang mufassir akan mengetahui bahwa sebuah makna akan berubah
seiring dengan perubahan I’rob.Dengan ilmu sharaf (Kongjungsi),seorang mufassir
dapat melihat bentuk,asal dan pola sebuah kata.Sementara kaidah isytiqaq (derivasi
kata,etimologi) di gunakan untuk mengetahui akar atau kata dasar dari suatu kata.Ilmu
balaghah berperan dalam membimbing mufassir untuk mengetahui karakteristik
susunan sebuah ungkapan yang dilihat dari makna yang di hasilkannya atau retorika
(ma’ani),perbedaan-perbedaan maksudnya (bayan)dan sisi-sisi ke indahan sebuah
ungkapan (badi’).Adapun ilmu ushul Fiqih dapat membantu mufassir dalam
mempelajari cara pengambilan dan perumusan dalil- dalilhukum.Sedangkan ilmu
Qiraat di gunakan oleh mufassir untuk mengetahui cara-cara melafalkan Al-Qur’an.
Berikut ini adalah beberapa contoh penerapan kaidah penafsiran berdasarkan
ilmu-ilmu tersebut:
1. Penggunaan Isim Al-ma’rifah Dan Al-nakiroh

Penggunaan isim al-ma’rifah mempunyai beberapa fungsi yang berbedai


sesuai dengan macamnya.Ta’arif dengan isim al-dhamir berfungsi untuk
menunjukkan keadaan.Ta’arif dengan nama berfungsi untuk menghadirkan
pemilik nama itu dalam hati pendengar dengan cara menyebutkan namanya yang
khas,memuliakan (QS.Al-Fath : 29) danjuga menghinakan (QS.Al-Lahab : 1)
Ta’arif dengan isim al-isyarat (kata tunjuk)berfungsi untuk menjelaskan bahwa sesuatu
yang ditunjuk itu jelas (QS.Luqman : 11),menjelaskan keadaannya dengan
menggunakan kata tunjuk jauh (QS.Al-Baqarah : 5),menghina dengan memakai
kata tunjuk dekat (QS.Al-Angkabut : 64),memuliakan dengan memakai kata
tunjuk jauh (QS.Al-Baqarah:2),dan mengingatkan bahwa sesuatu yang di tunjuk
yang di beri beberapa sifat itu sangat layak dengan sifat yang di sebutkan sesudah
isim al-isyarat tersebut (QS.Al-Baqarah :2-5).
Ta’arif dengan isim al-mausul (Kata ganti penghubung) berfungsi untuk
menunjukkan tidak di sukainya menyebutkan nama sebenarnya untuk menutupi
atau sebab lain (QS.Yusuf : 23),untuk menunjukka arti umum (QS.Al-Angkabut :
69),untuk meringkas kalimat (QS.Al-Azhab : 69).
Ta’arif dengan alif-lam berfungsi untuk menunjukkan sesuatu yang sudah di
ketahui karena telah di sebutkan (QS.An-Nur : 35),menunjukkan sesuatu yang
sudah di ketahui pendengar (QS.Al-Fath : 18),menunjukkan sesuatu yang sudah
di ketahui karena ia hadir pada saat itu (QS.Al- Maidah : 3),mencakup semua
satuannya (QS.Al-Ashr : 2),menunjukkan segala karakteristik jenis (QS.Al-
Baqarah : 2),menerangkan esensi,hakikat,dan jenis (QS.Al-Anbiya : 30).
2. Pengulangan kata benda (Isim)

Apabila sebuah ismi disebutkan dua kali maka dalam hal ini ada empat
kemungkinan, yakni keduanya ma’rifah, keduanya nakirah, yang pertama nakirah
sedang yang kedua makrifah, dan yang pertama ma’rifahdan yang kedua nakirah.
Adapun kaidahnya adalah sebagai berikut: Apabila kedua-duanya ma’rifah maka
pada umumnya yang kedua adalah hakikat
yang pertama (QS. al-Faatihah 6-7) Apabila keduanya nakirah, maka yangkedua
biasanya bukan yang pertama (QS. al-Ruum 54) Jika yang pertama nakirahdan yang
kedua ma’rifahberarti sudah diketahui (QS. al- Muzzammil 15-16). Jika yang pertama
ma’rifah dan yang kedua nakirah, berarti apa yang dimaksudkan bergantung
pada qarinah hal mana terkadang qarinah menunjukkan bahwa keduanya itu
berbeda (QS. Az- Zumar 27-28).
3. Mufrad dan Jamak
Dalam Al-Quran ada sebagian kata yang berbeda penggunaannya ketika
berada dalam bentuk mufraddanjamak. Adapun kaidahnya adalah sebagai berikut:
Kata al-rih, dalam bentuk jamak berarti rahmat, sedangkan dalam bentuk mufrad
berarti azab. Hal ini menunjukkan bahwa rahmat Allah dimaknai lebih luas
dari pada azab-Nya.
Kata An-nur dan sabilal-haqselalu dalam bentuk mufrad. Sedangkan kata al-
dzulumat dan sabil al-bathil selalu dalam bentuk jamak. Ini menunjukkan bahwa
jalan kebenaran hanya satu sedangkan jalan kebatilan sangat beragam. Kaidah
yang sama juga berlaku untuk kalimat Waliyal-Mu’minindan AuliyaAl-kafirin.
4. Kata-kata yang seolah-olah sinonim (Mutaradif)

Dalam Al-Quran banyak kata yang memiliki makna yang sama, namun
seorang Mufassir harus jeli dalam melihatnya, karena kata-kata tersebut seringkali
memiliki makna yang berbeda. Beberapa kata yang termasuk dalam kaidah ini
antara lain : Al-Khaufdan Al-Khasyyahyang berarti takut. Kata al-khasyahdigunakan
untuk menunjukkan rasa takut yang timbul karena agungnya pihak yang ditakuti
meskipun pihak yang mengalami takut itu seorang yang kuat. Sedangkan kata al-
khaufberarti rasa takut yang muncul karena lemahnya pihak yang merasa takut
kendati pihak yang ditakuti itu merupakan hal yang kecil.
Kata al-syuhhdan al-bukhlyang berarti kikir.Al-Syuhhmemiliki makna yang
lebih dalam, yakni kikir yang disertai dengan ketamakan, sedangkan al-
bukhlhanya kikir saja.
5. Pertanyaan dan Jawaban

Pada dasarnya jawaban itu harus sesuai dengan apa yang pertanyaan. Apabila
terjadi penyimpangan dari pertanyaan yang dikehendaki, hal inimengingatkan
bahwa jawaban itulah yang seharusnya ditanyakan (QS. 2: 189).
6. Penerapan kaidah ushul fiqh dalam penafsiran Alquran
Di antara kaidah tafsir yang berkaitan dengan ushul fiqih adalah sebagai
berikut: Patokan memahami ayat adalah berdasarkan redaksinya yang bersifat
umum, bukan sebab khusus yang melatarbelakangi turunnya ayat (QS. An-Nur
6) Sesuatu yang mubah dilarang jika menimbulkan yang haram atau
mengabaikan yang wajib (QS. Al-Jumu’ah 9) Perintah atas sesuatu berarti
larangan atas kebalikannya dan larangan atas sesuatu berarti perintah atas
kebalikannya (QS. Al- Muzzammil 10)
Selain kaidah-kaidah di atas masih banyak kaidah lainnya, di antaranya
kaidah tentang al-jumlat al-ismiyat dan fi’liyah, ‘athaf, kata fa’ala, kana,
kada, ja’ala, la’alla dan ‘asa. Penerapan kaidah-kaidah tersebut dibahas
secara panjang lebar oleh Manna al-Qattan dalam MabahitsFiUlumal-Quran.

c. Kaidah Khusus Tafsir Kontenporer

Adapun kaidah penafsiran secara umum dalam menjelaskan ayat-


ayat Allah Swt. banyak cara yang ditempuh para pakar tafsir. Ada yang menyajikannya sesuai
urutan ayat-ayat sebagaimana tertulis dalam mushaf Al- Quran. Misalnya dari ayat pertama surat
al-Faatihah hingga ayat terakhir,kemudian beralih ke ayat pertama surat kedua (al-Baqarah)
hingga berakhir pula dan seterusnya. Pesan dan kandungan Alquran disajikan dengan rinci dan
luas mencakup aneka persoalan yang muncul dalam pikiran sang mufassir, baik yang
berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan ayat yang ditafsirkannya. Cara penafsiran
seperti ini dikenal dengan sebutan tafsir tahlily. Ada juga yang memilih topik tertentu,
kemudian menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan topik tersebut di manapun ayat
tersebut ditemukan. Selanjutnya disajikan
kandungan dan pesan-pesan yang berkaitan dengan topik yang dipilihnya tanpa terikat
dengan urutan ayat dan surah sebagaimana tersebut dalam mushaf dan tanpa menjelaskan
hal-hal yang tidak berkaitan dengan topik walau hal yang berkaitan itu secara tegas
dikemukakan oleh ayat dibahasnya. Cara ini dikenal dengan sebutan tafsir maudhu’iy
Penafsiran dengan metode tafsir maudhu’iy inilah yang penulis sebut deengan tafsir
kontemporer. Hal tersebut karena dengan metode tafsirmaudhu’iy, tafsir Alquran akan
mampu menjawab tantangan zaman dan selalu relevan dengan perkembangan zaman
modern.
Tafsir maudhu’iy terdiri dari dua kata, yaitu kata tafsir dan kata maudhu’iy.
Kata tafsir termasuk bentuk masdar (kata benda) yang berarti penjelasan, keterangan,
uraian.12Dengan kata lain tafsir berarti klarifikasi, ekspansi dan ilustrasi.13 Kata maudhu’iy
di nisbatkan kepada kata maudhu’, isim maf’ul dari fi’il madhi wadha’a yang memiliki makna
beraneka ragam, yaitu yang diletakkan, yang diantar, yang ditaruh14, atau yang dibuat-buat,
yang dibicarakan, tema, atau topik tertentu.
Secara terminologi Abdul Hayyi al-Farmawi mendefinisikan bahwa tafsir
maudhu’iy adalah menghimpun ayat-ayat Alquran yang mempunyai maksud yang sama dalam
arti sama-sama membicarakan satu topik masalah dan menyusunnya berdasarkan kronologi
serta sebab turunnya ayat-ayat tersebut. Kemudian penafsir mulai memberikan keterangan
dan penjelasan,serta mengambil kesimpulan.
Kitab-kitab tafsir yang sudah banyak membahas masalah-masalah tertentu rupanya
masih dianggap belum memadai untuk menjawab aneka ragam permasalahan dalam
masyarakat. Di sini para mufassir mendapat inspirasi baru dan bermunculan karya-karya
tafsir yang menetapkan satu topik tertentu, dengan jalan menghimpun beberapa ayat dari
beberapa surat yang berbicara tentang topik tersebut, sehingga pada akhirnya diambil
kesimpulan dari masalah tersebut menurut pandangan alquran. Metode tafsir maudhu’iy ini
di Mesir pertama kali dicetuskan oleh.Ahmad Sayyid al-Kumi, Ketua Jurusan Tafsir pada
Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar Kairo sampai tahun 1981.
Beberapa kitab tafsir yang menggunakan metode tafsir maudhu’iytersebut antara
lain: Al-Futuhat al-Rahbaniyah fi al-Tafsir al-Mawdhu’iy li al-Ayat al-Qur’aniyah karya Al-
Husaini Abu Farhah dan Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdhu’iy karya Abdul
Hayyi al-Farmawi.

Hal-hal yang harus diperhatikan oleh seorang penafsir maudhu’iy bahwa dengan
metode ini, ia tidak berarti telah sepenuhnya menafsirkan Alquran. Sebab Alquran itu
sungguh mengandung maksud-maksud yang tidak tersembunyi, mengandung yang tidak
seluruhnya, dan dapat dicapai oleh manusia. Penafsir maudhu’iy harus selalu ingat bahwa ia
hanya ingin membahas satu masalah bahasan, tidak seluruhnya, memperhatikan tahapan-
tahapan Alquran di dalam menurunkan hukumnya, dan harus konsisten dalam menerapkan
semua prinsip dan langkah-langkah oprasional metode maudhu’iy.
Menurut pendapat Ahmad Sayid al-Kumi, hidup di zaman modern sekarang ini sangat
membutuhkan kehadiran corak tafsir maudhu’iy. Karena dengan cara penafsiran yang
sedemikian itu memungkinkan seseorangsemua prinsip dan langkah-langkah
operasional metode maudhu’iy.
BAB III
PENUT
UP
1.Kesimpulan

Kaidah tafsir dapat diartikan sebagai pedoman dasar yang digunakan secara umum guna
mendapatkan pemahaman atas petunjuk-petunjuk Al-Quran. Oleh karena penafsiran
merupakan suatu aktivitas yang senantiasa berkembang, sesuai dengan perkembangan
sosial, ilmu pengetahuan dan bahasa, kaidah- kaidah penafsiran akan lebih tepat jika
dilihat sebagai suatu prosedur kerja.
Dengan pengertian ini, kaidah tersebut tidak mengikat kepada mufassir lain agar
menggunakan prosedur kerja yang sama. Setiap mufassir berhak menggunakan prosedur
yang berbeda asalkan memiliki kerangka metodologi yang dapat di pertanggungjawabkan.
Pada era kontemporer kaidah tafsir semakin berkembang seiring dengan perkembangan
intelektualitas para pemikir Muslim dan juga sesuai dengan perkembangan intelektualitas
global. Para pemikir Muslim mengembangkan kaidah dan metode penafsiran sesuai
dengan situasi sosio-historis yang dihadapinya masing-masing, dalam hal ini metode tafsir
maudhu’iy adalah salah satu pilihan mereka.
DAFTAR PUSTAKA

Nizham,Abu. 2008” Buku pintar al quran”..Jakarta:Qultum Media.


Asy syirbashi, Ahmad. 1994.”Sejarah Tafsir Quran”.. Jakarta:Pustaka Firdaus. Al
Utsaimin, Muhammad bin Saleh.1989”Dasar-dasar penafsiran Al Quran”.
Semarang:Dina Utama.

Shihab, M. Quraish. 1999. “Membumikan Al-Qur’an”.Bandung : MizanSupiana-M.


Parman, 2002. “Ulum ul Qur’an”.Bandung : Pustaka Islamika.
Ash shiddieqy,hasbi.1972.ilmu-ilmu al quran. Jakarta: bulan bintang

Ash shiddieqi,teungku muhammad hasbi.1999. “sejarah dan pengantar ilmu al quran dan
tafsir”. Semarang : pustaka rizki utama

Anda mungkin juga menyukai