Di Susun Oleh :
• Fadlul Amir ( 20200122005 )
• Aulia Rahmah ( 20200122025 )
Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya,sehingga kami dapat menyelesaikan ini guna memenuhi
tugas kelompok untuk mata kuliah Ilmu Al-Qur’an,dengan judul :“Kaidah- Kaidah Tafsir Al-
Qur’an”.
Tidak lupa kami ucapkan terimakasih kepada dosen Ilmu Al-Qur’an yang setia
membimbing kami dalam penugasan makalah ini dan tidak terlepas dari bantuan teman-
teman yang mendukung,memberikan doa,dan saran dalam menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna di karenakan terbatasnya
pengetahuan yang kami miliki.Oleh karena itu,kami mengharapkan segala bentuk saran dan
masukan serta kritik dari dosen maupun teman-teman demi tercapainya makalah yang
sempurna,dan kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi teman-
teman dan pihak lainnya.
A. Latar
Belakang
Al-Qur’an adalah mukjizat yang di turunkan kepada kita dengan perantara nabi
Muhammad SAW.Di dalamnya terdapat begitu banyak khazanah (Kumpulan atau
kelompok tertentu)ilmu dan sumber pengetahuan.Satu ayat saja bahkan satu huruf
saja dalam al-qur’an mempunyai multi dimensi makna yang saling berkaitan antara
satu dengan yang lain (antara satu ayat dengan ayat lainnya atau antara satu huruf
dengan huruf yang lainnya),al- qur’an merupakan sumber dari segala sumber.
Mengapa tafsir Al-Qur’an? Karena,persoalan tafsir al-qur’an dalam konteks kekinian
menjadi isu menarik,relevansinya dengan kondisi dan perkembangan zaman
sekarang yang di pandang sangat jauh ke adaannya apabila di bandingkan dengan
masa ketika awal al-qur’an di turunkan dan di sampaikan oleh Nabi Muhammad
SAW.
B. Rumus Masalah
1. Apa saja kaidah dalam penafsiran Al-Qur’an?
BAB II
PEMBAHAS
AN
1. Pengertian Kaidah Dan Tafsir
Secara etimologis tafsir berarti menjelaskan dan mengungkapkan.Sedangkan menurut
istilah,tafsir ilmu yang membahas tentang cara mengungkapkan lafadz- lafadz Al-
Qur’an,makna-makna yang di tunjukkannya dan hukum-hukumnya,baik ketika berdiri
sendiri atau tersusun,serta makna-makna yang di mungkinkannya ketika dalam keadaan
tersusun.
Secara terminologis terdapat banyak definisi yang di ungkap oleh para ahli,seperti syekh
Al-Zarqani yang mengungkapkan bahwa tafsir adalah “Suatu ilmu yang membahas perihal
Al-Qur’an dari segi dalilahnya sesuai maksud Allah SWT berdasarkan kadar kemampuan
manusiawi.Menurut Al-Zarqani,kata tafsir berasal dari kata al-fasr,kemudian di ubah
menjadi bentuk taf’ilyaitu menjadi al-tafsiryang berarti penjelasan atau keterangan.Tafsir bisa di
artikan dengan alat atau ilmu pengetahuan dalam memahami petunjuk-petunjuk dalam Al-
Qur’an.Sedangkan orang yang menjelaskan atau menerangkan isi Al-Qur’an disebut sebagai
mufassir atau penafsir.
Begitu pula imam Al-Qurtubi yang mengatakan,tafsir adalah penjelasan tentang
lafadz,sedangkan As-Suyuti yang di kutip Al-Dzahabi mendefinisikan tafsir dengan “Ilmu
yang membahas maksud Allah SWT sesuai dengan kadar kemampuan manusiawi yang
mencakup segala sesuatu yang berkaitan dengan pemahaman dan penjelasan makna.
Berdasarkan penjelasan tersebut,kaidah-kaidah tafsir dapat di artikan sebagai pedoman
dasar yang di gunakan secara umum guna mendapatkan pemahaman atas petunjuk-petunjuk
Al-Qur’an.Pengembangan kaidah-kaidah tafsir telah di lakukan oleh para ulama sejak awal
munculnya ilmu Al-Qur’an (Ulumul Al- Qur’an),seperti usaha yang di lakukan oleh Abd Ar-
Rahman ibn Nasir Al-Sa’adi dalam kitabnya Al-Qawaidu Al-Hisan li Tafsir Al-Qur’an dan
seperti kitab-kitab lainnya yang membahas tentang ulumul Qur’an,oleh Mannan Al-Qattan
dalam MabahitsFiUlumulAl-Qur’an.
Namun dari berbagai kaidah yang di susun oleh para ulama Ulumul Qur’an,tidak
terdapat kesamaan konseptual antara yang satu dengan yang lainnya.Ada yang
mengembangkan kaidah-kaidah secara umum melalui pendekatan pemahaman
keagamaan,misalnya hukum dan tauhid,seperti yang di lakukan oleh Abd Ar- Rahman ibn
Nasir Al-Sa’adi.Adapula yang membahasnya secara teknis dan detail,yang di lakukan oleh
Mannan Al-Qattan.Meskipun demikian,keberadaan kaidah penafsiran yang di susun para
ulama tetap sangat penting.Kaidah-kaidah tersebut bisa di jadikan sebagai kerangka
metodologi dalam melakukan penafsiran Al-Qur’an dengan menggunakan metode yang
sama.
2. Kedudukan Tafsir
Kaidah dasar berkaitan dengan penggunaan sumber pokok dalam menafsirkan Al-
Qur’an yang meliputi Al-Qur’an,hadits,penjelasan sahabat,dan perkataan tabi’in.Dalam
kaidah dasar ini,seorang mufassir pertama-tama harus kembali kepada Al-Qur’an
dan menelitinya secara cermat dalam rangka mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an
tentang suatu tema atau pokok persoalan.Kemudian menghubungkan dan
memperbandingkan kandungan ayat-ayat yang mengandung arti mujmal yang di perinci
oleh ayat lain,atau suatu ayat masalahnya di sebut secara singakat,maka di perluas
oleh ayat lain.
Kemudian mufassir juga harus memperhatikan hadits-hadist Nabi.Bila
mendapatkan hadits shahih,ia harus menafsirkan ayat berdasarkan hadits
tersebut.Ada yang berpendapat termasuk tafsir bial-ma’sur dengan alasan
bahwa itu di terima dari sahabat nabi.Namun ada juga yang menganggapnya sebagai
tafsir bial-ra’yi,seperti tafsir para mufassir lainnya setelah tabi’in.
b. Kaidah Umum Tafsir
Kaidah umum yang di maksud di sini adalah seperangkat ilmu pengetahuan yang
di butuhkan oleh seorang mufassir dalam menafsirkan Al- Qur’an.Para ulama
menyebutkan beberapa syarat yang harus dimiliki oleh seseorang yang hendak
menafsirkan Al-Qur’an.Syarat-syarat tersebut,di antaranya ; mempunyai aqidah
yang lurus,bersih dari hawa nafsu,dan menguasai ilmu tafsir (Ilmu-ilmu Al-Qur’an
beserta pendukungnya).
Ilmu-ilmu Al-Qur’an misalnya : Ilmu Asbab An nuzul (Sebab-sebab turunnya
ayat),ilmu makki wal madani,ilmu nasikh wal Mansukh,ilmu muhkamwalmutasyabih dan
lain sebagainya.Adapun ilmu lainnya sebagai pendukung yang harus di miliki oleh
seorang mufassir meliputi ilmu Bahasa Arab,nahwu,sharaf,isytiqaq,balagah(ma’ani,bayan,dan
badi’),ushul fiqih,dan ilmu qira’at.Ilmu Bahasa (Lingustik) berfungsi
untuk mengetahui kosa kata,konotasi,dan konteks Al-Qur’an.Melalui ilmu nahwu
(Tata Bahasa),seorang mufassir akan mengetahui bahwa sebuah makna akan berubah
seiring dengan perubahan I’rob.Dengan ilmu sharaf (Kongjungsi),seorang mufassir
dapat melihat bentuk,asal dan pola sebuah kata.Sementara kaidah isytiqaq (derivasi
kata,etimologi) di gunakan untuk mengetahui akar atau kata dasar dari suatu kata.Ilmu
balaghah berperan dalam membimbing mufassir untuk mengetahui karakteristik
susunan sebuah ungkapan yang dilihat dari makna yang di hasilkannya atau retorika
(ma’ani),perbedaan-perbedaan maksudnya (bayan)dan sisi-sisi ke indahan sebuah
ungkapan (badi’).Adapun ilmu ushul Fiqih dapat membantu mufassir dalam
mempelajari cara pengambilan dan perumusan dalil- dalilhukum.Sedangkan ilmu
Qiraat di gunakan oleh mufassir untuk mengetahui cara-cara melafalkan Al-Qur’an.
Berikut ini adalah beberapa contoh penerapan kaidah penafsiran berdasarkan
ilmu-ilmu tersebut:
1. Penggunaan Isim Al-ma’rifah Dan Al-nakiroh
Apabila sebuah ismi disebutkan dua kali maka dalam hal ini ada empat
kemungkinan, yakni keduanya ma’rifah, keduanya nakirah, yang pertama nakirah
sedang yang kedua makrifah, dan yang pertama ma’rifahdan yang kedua nakirah.
Adapun kaidahnya adalah sebagai berikut: Apabila kedua-duanya ma’rifah maka
pada umumnya yang kedua adalah hakikat
yang pertama (QS. al-Faatihah 6-7) Apabila keduanya nakirah, maka yangkedua
biasanya bukan yang pertama (QS. al-Ruum 54) Jika yang pertama nakirahdan yang
kedua ma’rifahberarti sudah diketahui (QS. al- Muzzammil 15-16). Jika yang pertama
ma’rifah dan yang kedua nakirah, berarti apa yang dimaksudkan bergantung
pada qarinah hal mana terkadang qarinah menunjukkan bahwa keduanya itu
berbeda (QS. Az- Zumar 27-28).
3. Mufrad dan Jamak
Dalam Al-Quran ada sebagian kata yang berbeda penggunaannya ketika
berada dalam bentuk mufraddanjamak. Adapun kaidahnya adalah sebagai berikut:
Kata al-rih, dalam bentuk jamak berarti rahmat, sedangkan dalam bentuk mufrad
berarti azab. Hal ini menunjukkan bahwa rahmat Allah dimaknai lebih luas
dari pada azab-Nya.
Kata An-nur dan sabilal-haqselalu dalam bentuk mufrad. Sedangkan kata al-
dzulumat dan sabil al-bathil selalu dalam bentuk jamak. Ini menunjukkan bahwa
jalan kebenaran hanya satu sedangkan jalan kebatilan sangat beragam. Kaidah
yang sama juga berlaku untuk kalimat Waliyal-Mu’minindan AuliyaAl-kafirin.
4. Kata-kata yang seolah-olah sinonim (Mutaradif)
Dalam Al-Quran banyak kata yang memiliki makna yang sama, namun
seorang Mufassir harus jeli dalam melihatnya, karena kata-kata tersebut seringkali
memiliki makna yang berbeda. Beberapa kata yang termasuk dalam kaidah ini
antara lain : Al-Khaufdan Al-Khasyyahyang berarti takut. Kata al-khasyahdigunakan
untuk menunjukkan rasa takut yang timbul karena agungnya pihak yang ditakuti
meskipun pihak yang mengalami takut itu seorang yang kuat. Sedangkan kata al-
khaufberarti rasa takut yang muncul karena lemahnya pihak yang merasa takut
kendati pihak yang ditakuti itu merupakan hal yang kecil.
Kata al-syuhhdan al-bukhlyang berarti kikir.Al-Syuhhmemiliki makna yang
lebih dalam, yakni kikir yang disertai dengan ketamakan, sedangkan al-
bukhlhanya kikir saja.
5. Pertanyaan dan Jawaban
Pada dasarnya jawaban itu harus sesuai dengan apa yang pertanyaan. Apabila
terjadi penyimpangan dari pertanyaan yang dikehendaki, hal inimengingatkan
bahwa jawaban itulah yang seharusnya ditanyakan (QS. 2: 189).
6. Penerapan kaidah ushul fiqh dalam penafsiran Alquran
Di antara kaidah tafsir yang berkaitan dengan ushul fiqih adalah sebagai
berikut: Patokan memahami ayat adalah berdasarkan redaksinya yang bersifat
umum, bukan sebab khusus yang melatarbelakangi turunnya ayat (QS. An-Nur
6) Sesuatu yang mubah dilarang jika menimbulkan yang haram atau
mengabaikan yang wajib (QS. Al-Jumu’ah 9) Perintah atas sesuatu berarti
larangan atas kebalikannya dan larangan atas sesuatu berarti perintah atas
kebalikannya (QS. Al- Muzzammil 10)
Selain kaidah-kaidah di atas masih banyak kaidah lainnya, di antaranya
kaidah tentang al-jumlat al-ismiyat dan fi’liyah, ‘athaf, kata fa’ala, kana,
kada, ja’ala, la’alla dan ‘asa. Penerapan kaidah-kaidah tersebut dibahas
secara panjang lebar oleh Manna al-Qattan dalam MabahitsFiUlumal-Quran.
Hal-hal yang harus diperhatikan oleh seorang penafsir maudhu’iy bahwa dengan
metode ini, ia tidak berarti telah sepenuhnya menafsirkan Alquran. Sebab Alquran itu
sungguh mengandung maksud-maksud yang tidak tersembunyi, mengandung yang tidak
seluruhnya, dan dapat dicapai oleh manusia. Penafsir maudhu’iy harus selalu ingat bahwa ia
hanya ingin membahas satu masalah bahasan, tidak seluruhnya, memperhatikan tahapan-
tahapan Alquran di dalam menurunkan hukumnya, dan harus konsisten dalam menerapkan
semua prinsip dan langkah-langkah oprasional metode maudhu’iy.
Menurut pendapat Ahmad Sayid al-Kumi, hidup di zaman modern sekarang ini sangat
membutuhkan kehadiran corak tafsir maudhu’iy. Karena dengan cara penafsiran yang
sedemikian itu memungkinkan seseorangsemua prinsip dan langkah-langkah
operasional metode maudhu’iy.
BAB III
PENUT
UP
1.Kesimpulan
Kaidah tafsir dapat diartikan sebagai pedoman dasar yang digunakan secara umum guna
mendapatkan pemahaman atas petunjuk-petunjuk Al-Quran. Oleh karena penafsiran
merupakan suatu aktivitas yang senantiasa berkembang, sesuai dengan perkembangan
sosial, ilmu pengetahuan dan bahasa, kaidah- kaidah penafsiran akan lebih tepat jika
dilihat sebagai suatu prosedur kerja.
Dengan pengertian ini, kaidah tersebut tidak mengikat kepada mufassir lain agar
menggunakan prosedur kerja yang sama. Setiap mufassir berhak menggunakan prosedur
yang berbeda asalkan memiliki kerangka metodologi yang dapat di pertanggungjawabkan.
Pada era kontemporer kaidah tafsir semakin berkembang seiring dengan perkembangan
intelektualitas para pemikir Muslim dan juga sesuai dengan perkembangan intelektualitas
global. Para pemikir Muslim mengembangkan kaidah dan metode penafsiran sesuai
dengan situasi sosio-historis yang dihadapinya masing-masing, dalam hal ini metode tafsir
maudhu’iy adalah salah satu pilihan mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Ash shiddieqi,teungku muhammad hasbi.1999. “sejarah dan pengantar ilmu al quran dan
tafsir”. Semarang : pustaka rizki utama