Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................................... i
DAFTAR ISI............................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................... 1
A. Latar Belakang............................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................................... 2
A. Pengertian Metode Penafsiran Al-Qur’an...................................................................... 2
B. Metode Penafsiran Al-Qur’an........................................................................................ 2
a. Metode Tafsir Taḥlīlī (Analisis)............................................................................... 2
b. Metode Tafsir Ijmāli (Global).................................................................................. 3
c. Metode Tafsir Muqārin (Perbandingan)................................................................... 4
d. Metode Tafsir Maudhū’i (Tematik)........................................................................ 5
BAB III PENUTUP .................................................................................................................. 7
A. Kesimpulan.................................................................................................................... 7
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an dalah kitab petunjuk yang di dalamnya memuat ajaran moral
universal bagi umat manusia sepanjang masa.Ajaran moral itu yang menjadi
landasan hidup manusia di dunia.1
Al-Qur’an secara teks memang tidak berubah, tetapi penafsiran atas teks,
selalu berubah sesuai dengan konteks ruang dan waktu manusia. Karenanya al-
Qur’anselalu membuka diri untuk dianalisis, dipersepsi, dan diinpretasikan dengan
berbagai alat, metode, dan pendekatan untuk menguak isi sejatinya. Aneka metode dan
tafsir diajukan sebagai jalan untuk membedahmakna terdalam dari al-Qur’an.2
Al-Qur’andi dalamnya sudah sangat lengkap dan tidak ada satu
kekurangan, jikalau ada kekurangan munurut seseorang, maka itu bukan
disebabkan al-Qur’anyang tidak sempurna, melainkan hanya pengetahuan manusia
sajalah yang belum sempurna.3
Dalam menafsirkan al-Qur’an, pada mulanya berdasarkan sumber dari
penafsiran Rasul Saw., penafsiran-penafsiran sahabat-sahabat, serta penafsiran
tabi’in yang disebut Tafsīr bi al-Ma`tsur, kemudian muncul penafsiran yang
diakibatkan oleh perkembangan zaman dengan menggunakan ijtihad atauyang
disebut dengan Tafsīr bi al-Ra’yu.4
B. Batasan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan metode penafsiran al-qur'an?
2. Jelaskan apa saja metode penafsiran alqur'an?
1
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir kontemporer, (Yogyakarta: LkiS Printing Cemerlang, 2010), h. V
2
Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur’an, (Jakarta: PT. Penamadani, 2005), h. 3
3
Muhibbin Noor, Tafsir Ijmali, (Semarang: Fatawa Publishing, 2016), h. 1
4
Quraish Shihab, Membumikaan Al-Qu’an, (Bandung: Mizan, 1994), h. 71
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Metode Penafsiran Al-Qur’an
Metode dalam bahasa Arab disebut manhaj jamaknya manāhij yang
diterjemahkan dengan jalan yang nyata. Di dalam surat alMa’idah ayat 48 disebutkan
“untuk tiap-tiap umat di antara kamu kami berikan aturan dan minhaj (jalan yang
terang). Sementara itu kata tafsīr merupakan bentuk taf ’īl dari kata al-fasr yang berarti
al-bayān wa al-kasyf (penjelasan dan penyingkapan).
Jadi metode tafsir yang dimaksud adalah cara (langkah dan prosedur) yang
digunakan oleh mufassir untuk menjelaskan ayat al-Qur’an. Dengan kata lain metode
mengandung seperangkat kaidah dan aturan-aturan yang harus diperhatikan oleh para
mufassir agar terhindar dari kesalahan-kesalahan dan penyimpangan-penyimpangan
dalam menafsirkan ayat al-Qur’an.8
5
Muhammad Husain al-Dzahabi, al Tafsīr wa al-Mufassirūn, (Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah,
1976), Jilid. 1, cet. 2, h. 2.
6
Badr al-Din al Zarkasyi, al Burhān f ‘ulūm al-Qur’an (Beirut: Dar al-Kutub al ‘Ilmiyahh,2008),
Jilid 1, h. 13
7
Abd al ‘Azhim al-Zarqani, Manāhil al-Irfān f ‘ulum al-Qur’an, (Mesir: Mustafa al-Babi al-Habi,
t.th), Jilid II, h. 6.
8
Supiana dan M.Karman, ‘Ulumul Qur’an dan Pengenalan Metodologi Tafsir, (Bnadung: Pustaka
Islamika, 2012), h.302.
9
Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur’an, (Bandung: CV Pustaka Setia,
2004), h. 94.
10
Muhammad bin Mukrim bin Manzur al Afriqy al Mishry Jamaluddin Abu Fadh, Lisān al-
‘Arabi, Juz 11, (Beirut: Dar Sadir, 2010), h.163.
2
Metode tafsir taḥlīlī adalah salah satu metode tafsir yang sistematis karena kandungan
al-Qur’an dijelaskan berdasarkan urutan ayat-ayat di dalam mushaf yang ditinjau dari berbagai
aspeknya meliputi mufaradāt ayat, munāsabah ayat yaitu melihat hubungan antara ayat
sebelum dan sesudahnya, sebab turun ayat, makna ayat secara global, tinjauan hukum yang
terkandung dan tambahan penjelasan tentang qira’at, i’rab dan keistimewaan susunanan kata-
kata pada ayat-ayat yang ditafsirkan serta diperkaya dengan pendapat imam mazhab.11
Metode taḥlīlī memliki ciri tersendiri dibandingkan dengan metode tafsir yang lain.
Berikut ini beberapa ciri-ciri dari metode tafsir taḥlīlī : Membahas segala sesuatu yang
menyangkut satu ayat itu. Tafsir taḥlīlīterbagi sesuai dengan bahasan yang ditonjolkannya,
seperti hukum, riwayat dan lain-lain. Pembahasannya disesuikan menurut urutan ayat. Titik
beratnya adalah lafadznya. Menyebutkan munasābah ayat, sekaligus untuk menunjukkan
wihdah al-Qur’an. Menggunakan asbab nuzul ayat. Mufasir beranjak ke ayat lain setelah ayat
itu dianggap selesai meskipun masalahnya belum selesai, karena akan diselesaikan oleh ayat
lain. Persoalan yang dibahas tuntas.12
Oleh karena itu metode taḥlīlī memiliki ciri khas dibandingkan metode tafsir yang lain
yaitu penafsiran al-Qur’an dengan menggunakan metode tahlili merupakan penafsiran yang
bersifat luas dan menyeluruh (komprehensif). Ciri yang paling dominan dari metode tafsir
taḥlīlī ini tidak hanya pada penafsiran al-Qur’an dari awal mushaf sampai akhir, melainkan
terletak pada pola pembahasan dan analisisnya.13
3
Realitas sejarah yang demikian sangat kondusif dalam menyuburkan persemaian
metode Ijmali, karena sahabat tidak memerlukan penjelasan yang rinci dari Nabi, tetapi cukup
dengan isyarat dan uraian sederhana, sebagaimana yang dilakukan beliau ketika menafsirkan
kata Zulm dengan Syirk. Boleh dikatakan bahwa pada awal-awal islam metode ijmali menjadi
satu-satunya opsi dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur`an. Prosedur metode Ijmali yang
praktis dan mudah dipahami rupanya turut memotivasi ulama tafsir belakangan untuk menulis
karya tafsir dengan menerapkan metode ini. Di antara mereka adalah Jalal al-Din al-Mahalli
(w.864H) dan Jalal al-Din al-Suyuthi (w.911 H) yang mempublikasikan kitab tafsir yang sangat
popular dengan judul tafsir al-Jalalain. Lebih jauh, akar dari metode penafsiran ini barangkali
merujuk pada karya tafsir yang diatributkan kepada sahabat `Abd Allah bin Abbas, Tanwir al-
Miqbas fi Tafsir ibn Abbas, yang ditulis oleh al-Fairuzzabady (w.1414 M).15 Langkah-langkah
yang ditempuh para mufassir dalam penafsiran metode Ijmali:
1. Membahas ayat demi ayat sesuai dengan urutan yang tertuang dalam mushaf.
2. Mengemukakan arti global yang dimaksud oleh ayat tersebut.
3. Makna yang diutarakan biasanya diletakkan di dalam rangkaian ayat (ayat diletakkan
di antara dua tanda kurung, sementara tafsirnya diletakkan di luar tanda kurung
tersebut) atau menurut pola yang diakui oleh jumhur Ulama dan mudah dipahami
semua orang.
4. Bahasa yang digunakan, diupayakan lafaznya mirip bahkan sama dengan lafaz yang
digunakan Al-Qur`an.16
Kelebihan dan Kelemahan Metode Tafsir Ijmali Tafsir sebagai produk pemahaman
manusia terhadap teks ayat-ayat Al-Qur`an, tentu tidak lepas dari kelebihan dan
kelemahannya, demikian juga dengan metode tafsir Ijmali, pasti memiliki kelebihan dan
kelemahan yang kalau kita analisa akan saling melengkapi antara yang satu dengan yang
lainnya. Berikut kelebihan dan kelemahan metode tafsir Ijmali:
1. Kelebihan
• Memiliki karakter yang simplistis dan mudah dimengerti.
• Tidak mengandung elemen penafsiran israiliyat.
• Lebih mendekati bahasa Al-Qur`an
2. Kelemahan
• Menjadikan petunjuk Al-Quran bersifat parsial.
• Tidak membuka ruang untuk mengemukakan analisis yang memadai.17
15
Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Al-Qur`an Kontemporer dalam pandangan Fazlur Rahman, (Jakarta:
Sulthan Thaha Press, 2007), 47-48.
16
Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Al-Qur`an Kontemporer dalam pandangan Fazlur Rahman, (Jakarta:
Sulthan Thaha Press, 2007), 48
17
Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Al-Qur`an Kontemporer dalam pandangan Fazlur Rahman, (Jakarta:
Sulthan Thaha Press, 2007), 49
4
ditentukan oleh disiplin ilmu yang dikuasainya. Ada diantara mereka yang menitikberatkan
pada bidang nahwu, yakni segi-segi i’râb, seperti Imam az-Zarkasyi. Ada yang corak
penafsirannya ditentukan oleh kecenderungan kepada bidang balâghah, seperti ‘Abd al-Qahhar
al-Jurjaniy dalam kitab tafsirnya I’jâz al-Qurân dan Abu Ubaidah Ma’mar Ibn al-Mustanna
dalam kitab tafsirnya al-Majâz, dimana ia memberi perhatian pada penjelasan ilmu ma’âniy,
bayân, badî’, haqîqah dan majâz. Jadi metode tafsir muqâran adalah menafsirkan sekelompok
ayat al-Quran dengan cara membandingkan antar-ayat dengan ayat, atau antara ayat dengan
hadis, atau antara pendapat ulama tafsir dengan menonjolkan aspek-aspek perbedaan tertentu
dari objek yang dibandingkan itu.
Ulama lain seperti Ali Hasan al-‘Aridl mengemukakan defenisi bahwa yang dimaksud
dengan tafsir muqaran adalah “ penafsiran yang ditempuh seorang penafsir dengan cara
mengambil sejumlah ayat Alquran kemudian mengemukakan penafsiran para ulama terhadap
ayat–ayat tersebut baik dari kalangan salaf maupun khalaf yang mempunyai kecenderungan
yang berbeda-beda dan mengungkapkan pendapat mereka serta membandingkan segi – segi
kecenderungan masing-masing”. Selain itu, kajian tafsir muqaran juga mencakup
perbandingan antara ayat-ayat Alquran yang berbicara tentang satu masalah yang sama atau
membandingkan antara ayat-ayat Alquran yang berbicara tentang satu masalah yang sama atau
membandingkan antara ayat-ayat Alquran denga Hadis Nabi yang secara lahiriah tampak
berbeda, lalu mencoba menkompromikan dan menghilangkan dugaan adanya pertentangan
antara keduanya.
Defenisi yang lebih rinci di kemukakan oleh Quraish Shihab sebagaimana dikutip oleh
Nawir Yuslem yang menyatakan bahwa metode muqaran ( komparasi) yaitu :Membandingkan
ayat-ayat Alquran antara satu dan yang lainnya yang memiliki kesamaan redaksi dalam dua
masalah atau kasus yang berbedaatau yang memiliki redaksi yang berbeda bagi satu masalah
atau kasus yang sama atau yang diduga sama dan atau membandingkan ayat-ayat Alquran
dengan Hadis-hadis Nabi SAW yang secara lahiriah bertentangan, serta membandingkan
antara pendapat-pendapat para ulama tafsir menyangkut penafsiran Alquran.
Melihat beberapa defenisi diatas dapat ditegaskan bahwa ruang lingkup tafsir muqaran
adalah sebagai berikut:
1. Membandingkan ayat-ayat Alquran antara satu dan yang lainnya yang memiliki
kesamaan /Membandingkan ayat-ayat Alquran antara satu dan yang lainnya yang
memiliki kesamaan /kemiripan redaksi dalam dua masalah yang berbeda atau lebih,
atau dalam satu masalah yang sama atau yang diduga sama.
2. Membandingkan ayat-ayat Alquran dengan Hadis Rasulullah SAW yang secara
lahiriah tampak bertentangan.
3. Membandingkan antara pendapat ulama-ulama tafsir menyangkut penafsiran
Alquran. Misalnya membandingkan penafsiran yang bercorak tafsir ahkam. Dengan
penafsiran yang bercorak tafsir adab al-ijtima’i terhadap ayat yang sama.
18
Abdul Hayy Al-Farmawi, Al-Bidayah Fi Al-Tafsir Al-Maudhu’i, (Mesir: Dirasat Manhajiyyah Maudhu‟iyyah,
1997), h. 41.
Al-Qur‟an memang sesungguhnya menghimpun tema-tema yang perlu digali dengan
menggunkan metode maudhu’i. Jika menafsirkan alQur‟an dengan metode yang seperti ini kita
akan bisa menetapkan syari‟at yang cocok untuk setiap waktu dan tempat. Dari sana kita bisa
menetapkan undang-undang kehidupan yang siap berhadapan dengan perubahan dinamika
kehidupan, undang-undang wadh’iyyah dan unsur eksternal yang kita hadapi dalam
keberagaman sehari-hari.19
Sesuai dengan namanya tematik, maka yang menjadi ciri utama dari metode ini ialah
menonjolkan tema, judul, atau topik pembahasan, jadi ada yang menyebut sebagai metode
topikal. Mufassir akan mencari tema-tema yang ada ditengah masyarakat yang ada di dalam
al-Qur‟an ataupun dari yang lainnya. Tema-tema yang dipilih akan dikaji secara tuntas dari
berbagai aspek sesuai dengan petunjuk dalam ayat-ayat yang akan ditafsirkan. Masalah-
masalah yang ada harus dikaji secara tuntas dan menyeluruh agar mendapatkan sebuah solusi
dari permasalahan tersebut.20
Dalam penerapan metode ini, ada beberapa langkah yang harus ditempuh oleh
mufassir. Seperti yang dikemukakan oleh al-Farmawi sebagai berikut:21
1. Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik).
2. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan suatu masalah tertentu.
3. Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertaipengetahuan tentang
asbāb an-nuzūl.
4. Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-masing.
5. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (out line).
6. Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan dengan pokok bahasan.
7. Mempelajari ayat-ayat yang ditafsirkan secara keseluruhan dengan jalan menghimpun
ayat-ayat tersebut yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan
antara yang „am (umum) dan yang khas (khusus, mutlak dan muqayyad (terikat) ),
atau yang pada lahirnya bertentangan sehingga semuanya bertemu dalam satu muara
tanpa perbedaan ataupun pemaksaan dalam penafsiran.
5
19
Abdul Hayy Al-Farmawi, Al-Bidayah Fi Al-Tafsir Al-Maudhu’i,..
20
Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an,... h. 152.
21
Abdul Hayy Al-Farmawi, Al-Bidayah Fi Al-Tafsir Al-Maudhu’i,... h. 48. Bandingkan
dengan Mustofa Muslim, Mabahis fi Tafsir Al-Maudhu’i, Juz I (Tt: Dar Al-Qalam, 2005), h. 37.
6
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Metode tafsir Al-Qur’an adalah cara (langkah dan prosedur) yang digunakan oleh
mufassir untuk menjelaskan ayat al-Qur’an. Dengan kata lain metode mengandung seperangkat
kaidah dan aturan-aturan yang harus diperhatikan oleh para mufassir agar terhindar dari
kesalahan-kesalahan dan penyimpangan-penyimpangan dalam menafsirkan ayat al-Qur’an.
Metode penafsiran Al-Qura’an diklasifkasikan menjadi empat metode yaitu: tafsir
Ijmāli (global), metode tafsir Taḥlīlī (analisis), metode tafsir Maudhū’i (tematik), dan metode
tafsir Muqārin (perbandingan). Tafsir ijmali yaitu menafsirkan Al-Qur`an secara singkat dan
global. Metode tafsir taḥlīlī adalah salah satu metode tafsir yang sistematis karena kandungan
al-Qur’an dijelaskan berdasarkan urutan ayat-ayat di dalam mushaf yang ditinjau dari berbagai
aspeknya meliputi mufaradāt ayat. Metode tafsir maudhu’i berarti metode panafsiran dengan
cara pengelompokan menurut tema atao topiknya. Metode tafsir muqâran adalah menafsirkan
sekelompok ayat al-Quran dengan cara membandingkan antar-ayat dengan ayat, atau antara
ayat dengan hadis, atau antara pendapat ulama tafsir dengan menonjolkan aspek-aspek
perbedaan tertentu dari objek yang dibandingkan itu.
7
DAFTAR PUSTAKA
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati.2001
Saleh, Ahmad Syukri, Metodologi Tafsir Al-Qur`an Kontemporer dalam pandangan Fazlur
Rahman, Jakarta: Sulthan Thaha Press.2007
https://journal.alhikmahjkt.ac.id/index.php/HIKMAH/article/download/134/98
https://jurnal.uisu.ac.id/index.php/wahana/article/download/2637/1760
http://eprints.walisongo.ac.id/6961/2/BAB%20I.pdf/
iii