Anda di halaman 1dari 17

HAMALAN COVER

MAKALAH TAFSIR TARBAWI


“Kaidah – Kaidah Tafsir”

Disusun sebagai bahan diskusi pada mata kuliah Tafsir Tarbawi


Dosen: Misbahul Munir, S.Pd., M.Pd.

DISUSUN OLEH KELOMPOK 3 :


Abdul Ghofur
Fifin Nur Santi
Aulia Rohmatin

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL MUHAMMAD CEPU


TAHUN AKADEMIK 2019/2020
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
penulis panjatkan puja dan puji syukur kehadirat-NYA yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, serta inayahNya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
Masail Fiqiyah mengenai “Kaidah – Kaidah Tafsir” ini dengan lancar, shalawat serta salam
senantiasa penulis panjatkan kepada baginda Nabi Asy-Syafaat nabi besar nabi Muhammad
SAW yang telah menujukkan jalan terang ilahi robbi.
Makalah yang berjudul “Kaidah – Kaidah Tafsir” ini disusun untuk bahan diskusi
kelas Mata Kuliah Tafsir Tarbawi jurusan Program Pendidikan Agama Islam, Sekolah Tinggi
Agama Islam Al Muhammad Cepu.
Adapun makalah ini telah kami usahakan secara maksimal dan tentunya dengan
bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar dalam penyusunan makalah. Untuk itu
kami tidak lupa menyampaikan banyak terima kasih kepada :
1. Dosen Mata Kuliah Tafsir Tarbawi, Bapak Misbahul Munir, S.Pd.I., M.Pd.
2. Orang tua penulis yang selalu memberi dukungan kepada penulis serta rela menjadi
donatur demi kelancaran penyusunan makalah ini.
3. Rekan-rekan kelompok yang mau bekerjasama dalam menyelesaikan makalah.
4. Serta semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Dengan ini penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini jauh dari
kesempurnaan, karena kesempurnaan semata hanya milik Allah SWT, untuk itu segala kritik
dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami nantikan.

Purwodadi, November 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HAMALAN COVER ............................................................................................................ 1


KATA PENGANTAR ........................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................................ iii
BAB I..................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN ................................................................................................................. 4
A. Latar Belakang............................................................................................................ 4
B. Rumusan Masalah ...................................................................................................... 4
C. Tujuan Penulisan ........................................................................................................ 4
BAB II ................................................................................................................................... 5
PEMBAHASAN.................................................................................................................... 5
A. Pengertian Kaidah Tafsir ............................................................................................ 5
B. Fungsi Kaidah Tafsir .................................................................................................. 6
C. Macam – Macam Kaidah tafsir .................................................................................. 6
1. Kaidah Qur’aniyah .................................................................................................. 7
2. Kaidah Sunnah ........................................................................................................ 8
3. Kaidah Bahasa ........................................................................................................ 9
4. Kaidah Ushul al-Fiqh ............................................................................................ 13
PENUTUP ........................................................................................................................... 15
A. Kesimpulan ............................................................................................................... 15
B. Kritik dan Saran ........................................................................................................ 15
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................... 16

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam upaya lebih memperdalam suatu ilmu pengetahuan, setiap orang dituntut
untuk mengetahui dasar-dasar umum dan kekhasan ilmu pengetahuan tersebut. Selain itu, ia
dituntut pula untuk memiliki pengetahuan yang cukup dan mendalam tentang beberapa ilmu
lain yang berkaitan dengannya. Hal ini dimaksudkan agar dalam upaya lebih memperdalam
pengetahuan tentang ilmu itu, ia tidak mengalami kesulitan yang menyebabkan
pengkajiannya terhadap suatu ilmu tidak mencapai sasarannya.
Sehubungan dengan hal tersebut, untuk mengkaji ilmu pengetahuan, khususnya ilmu
tafsir, diperlukan beberapa hal yang mendasar agar sasaran atau tujuan mempelajari ilmu
tersebut tercapai. Diantaranya, harus digunakan kaidah- kaidah yang bertalian dengan
keperluan suatu ilmu, khususnya ilmu tafsir.
Melihat betapa urgen dan sentralnya posisi sebuah penafsiran atas al- Qur’an,
maka penafsiran terhadapnya juga perlu dilakukan secara hati-hati dan penuh kesungguhan,
yaitu dengan tetap berpegang kepada kaidah-kaidah tafsir atau pedoman-pedoman serta
prinsip-prinsip dasar yang diperlukan bagi sebuah penafsiran. Hal ini dilakukan untuk
menghindari kesalahan yang fatal dalam menafsirkan al-Qur’an.1
Prof. Dr. M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa kaidah-kaidah tafsir serupa dengan
ilmu Mantiq (logika), dimana ilmu Mantiq merupakan ilmu yang memelihara
penggunaannya dari keterjerumusan dalam kesalahan. Atau serupa dengan Ushul Fiqh yang
rumusannya dapat digunakan dalam menetapkan aneka hukum yang diperlukan.2
Dengan adanya pernyataan di atas, penulis mencoba untuk menulis sebuah karya
ilmiah dengan judul: Kaidah-kaidah Tafsir, agar dapat mengetahui dan sekaligus
memilah-milah ayat-ayat al-Qur’an, baik yang menyangkut ketauhidan, ibadah maupun
yang berkaitan dengan mumalah.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian kaidah tafsir?
2. Apa fungsi kaidah tafsir?
3. Apa saja macam-macam kaidah tafsir?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian kaidah tafsir.
2. Untuk mengetahui fungsi kaidah tafsir.
3. Untuk mengetahui macam-macam kaidah tafsir.
4. Sebagai bahan diskusi kelas pada mata kuliah Tafsir Tarbawi

1
Abd. Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2010), h. 53.
2
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tanggerang: Lentera Hati, 2013), h. 14

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kaidah Tafsir


Kaidah-kaidah tafsir dalam Bahasa Arab dikenal dengan istilah qawa’id al- tafsir,
terdiri dari dua kata yaitu qawa’id dan al-tafsir. Kata qawa’id merupakan bentuk jamak
dari qa’idah yang berarti undang-undang, peraturan, dan asas. Secara istilah
didefinisikan dengan undanng-undang, sumber, dasar yang digunakan secara umum
yang mencakup semua yang partikular.3
Adapun kata Al-Tafsir secara bahasa berasal dari kata Fassara, Yufassiru,
Tafsiraan yang berarti mengungkapkan atau menampakkan. 4 Menurut al-
Zarkasyi tafsir merupakan ilmu yang dengannya didapatkan pemahaman terhadap kitab
Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. mengenai penjelasan maknanya,
serta pengambilan hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya. Sedangkan menurut al-
Zarqani arti tafsir adalah ilmu yang di dalamnya dibahas petunjuk-petunjuk al- Quran
yang dimaksudkan oleh Allah SWT dan diperoleh berdasarkan atas kemampuan manusia.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa ‫ ﻗﻭﺍﻋﺩﺍﻠﺗﻔﺴﻴﺮ‬adalah
pedoman-pedoman yang disusun oleh ulama’ dengan kajian yang mendalam guna
mendapatkan hasil yang maksimal dalam memahami makna-makna al-Quran, hukum-
hukum, dan petunjuk-petunjuk yang terkandung di dalamnya.5
Kaidah-kaidah tafsir yang dimaksud dalam bahasan ini adalah ketentuan-
ketentuan atau prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh para ulama untuk dijadikan pedoman
dalam menafsirkan al-Qur’an. Dengan kata lain, sebagai suatu aturan yang dapat
membantu mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an. Dengan kata lain, sebagai suatu aturan
yang dapat membantu mufassir dalam menafsirkan berbagai ayat yang memiliki sifat dan
ciri yang sama.6
Dalam diskursus ulumul qur’an, para ulama tafsir berbeda pendapat mengenai
adanya atau tidaknya kaidah – kaidah yang dapat dijadikan pedoman dalam menafsirkan
al qur’an. Sebagaimana pendapat yang mengatakan bahwa kemampuan menafsirkan
alqur’an bukan berdasarkan pada kaidah – kaidah tertentu. Tetapi harus digali langsung
dari al qur’an atas petunjuk nabi dan para sahabatnya. Sedangkan pendapat lain
mengatakan bahwa menafsirkan al qur’an diperlukan kaidah – kaidah tertentu, terutama
kaidah kaidah bahasa.

3
Abd. Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2010), h. 54
4
Ibid.
5
M. Alfatih Suryadilaga, dkk. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras. 2005. h. 55
6
Rachmat Syafi’i, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), 227.

5
Dari kedua pendapat diatas, mayoritas ulama cenderung mendukung pendapat
kedua. Alasannya, dengan menguasai kaidah – kaidah penafsiran memudahkan seseorang
dalam menafsirkan menafsirkan alqur’an. Sebalikanya, pendapat pertama cenderung
mempersulit seseorang yang ingin memperdalam al qur’an. Prof Quraish Shihab
mengemukakan pendapatnya tentang Qawaid Al Tafsir mencakup beberapa komponen.
Pertama, ketentuan – ketentuan dalam menafsirkan al qur’an. Kedua,sistematika
penafsiran. Ketiga, aturan – aturan khusus untuk membantu memahami ayat – ayat al
qur’an, seperti bahasa, ushul fiqh, dan lain – lain.7

B. Fungsi Kaidah Tafsir


Pemahaman tentang kaidah penafsiran sangat membantu seseorang mufassir
dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an. Dalam arti, menarik makna-makna yang
mengantarnya mengungkap rahasia dan menjelaskan kemusykilan yang boleh jadi timbul
dari ungkapan-ungkapan al-Qur’an. Oleh karena itu, kaidah-kaidah tafsir ibarat alat
yang membantu terhindar dari kesalahan, membedakan antara penafsiran yang
diterima dengan penafsiran yang hendaknya ditolak. menjadi tolok ukur bagi mufassir
dalam penafsiran yang dia temukan atau kemukakan serta patokan yang dapat
menghindarkannya dari kesalahan sebagaimana fungsi kaidah-kaidah yang lain.
Pentingnya kaidah dalam memahami makna Alquran bukanlah sesuatu yang
hanya sekedar formalitas saja, melainkan ia merupakan keharusan dalam upaya
mengetahui makna dan kedudukan sebuah ayat Alquran sehingga darinya kita dapat lebih
memahami serta dapat menjabarkannya ke dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana
diketahui bahwa Alquran sangat kaya akan makna yang masih memerlukan pengkajian
untuk mengetahui apa dan bagaimana hakikat kandungannya. Untuk itu diperlukan
beberapa kaidah-kaidah tafsir dalam memahaminya. Dalam hubungan inilah tulisan ini
akan memperkenalkan tiga kaidah penafsiran Alquran, yaitu kaidah bahasa, kaidah ushul
dan kaidah logika.

C. Macam – Macam Kaidah tafsir


Kaidah-kaidah ilmu tafsir Al-Quran sangat tinggi nilainya, dan manfaatnya juga
sangat besar. Serta dapat membantu kita untuk memahami kalamullah dan dapat
dijadikan penuntun untuk mendapatkan pemahaman yang sempurna. Kaidah-kaidah
memberikan seseorang metode-metode menafsirkan Al-Quran dan merintis jalan
kepada manhajj (sistem) pemahaman tentang Allah.8
Secara ringkas kaidah-kaidah ilmu tafsir al-Quran ada lima, yaitu kaidah
quraniyah, kaidah sunnah, kaidah bahasa, kaidah ushul al-fiqh, dan kaidah ilmu

7
Seperti yang kutip oleh Supiana, dan M. Karman, dalam Ulumul Qur’an dan pengenalan metodologi tafsir.
Pustaka Islamika.
8
Syaikh Abdurrahman Nashir as-Sa’di. 70 Kaidah Penafsiran Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2001. h. 1.

6
pengetahuan. Berikut akan dijelaskan mengenai kaidah-kaidah ilmu tafsir al-Quran satu-
persatu.

1. Kaidah Qur’aniyah
Kaidah qur’aniyah ialah penafsiran al-Quran yang diambil oleh ulumul quran dari
al-Quran. Beberapa kaidah yang lazim digunakan dalam menjelaskan kaidah quraniyah
antara lain sebagai berikut:

9
a. ‫ﺍﻠﻌﺑﺮﺓﺑﻌﻤﻭﻢﺍﻠﻠﻔﻅﻻﺑﺧﺻﻭﺺﺍﻠﺴﺑﺐ‬
Maksudnya yaitu jika satu nas menggunakan redaksi yang bersifat umum, maka
tidak ada pilihan lain selain menerapkan nas tersebut, sekalipun nas tersebut turun untuk
menanggapi suatu peristiwa tertentu. Kaidah ini dipegang oleh mayoritas ulama dengan
argumentasinya yang bervariatif.10 Misalnya pada QS Al-Maidah: 38
‫َوٱ َّلس ِار ُق َوٱ َّلس ِارقَ ُة فَٱ ۡق َط ُع ٓو ْا َٱيۡ ِدَيَ ُ َما َج َزا ٓ َۢ َء ِب َما َك َس َبا نَ َك ٰـ ً۬ال ِم َن ٱ َّ ِّللۗ َوٱ َّ ُّلل ََ ِززز ََ ِك ً۬م‬
Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan
dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Dalam menanggapi ayat tersebut jumhur ulama terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Menerapkan langsung hukum tersebut tanpa memandang latar belakang dan
sabab al-nuzul. Maksudnya yaitu Allah swt Maha Perkasa dan Maha Bijaksana,
maka Ia memerintahkan memotong tangan pencuri dan menetapkan sanksi
kepada orang-orang yang melampaui batas sebagai hukum, takdir, dan ganjaran
bagi mereka.
2. Mengetahui sebab nuzulnya kemudian menganalisa unsur-unsur yang
melingkupinya, baik kualitas peristiwa, pelaku, tempat, maupun waktunya.
Maksudnya yaitu Allah Maha Bijaksana maka apabila orang tersebut bertaubat
dan kembali ke jalan Allah, maka Allah akan mengampuni dan mengasihinya.
Maka demikian pula hendaknya kita sebagai manusia juga bisa memaafkan
orang tersebut.
b. Kandungan suatu ayat yang memiliki keterkaitan dengan nama Allah
menunjukkan bahwa hukum yang terkandung berkaitan dengan nama yang mulia.
Misalnya QS Al-Baqarah: 32
َ ‫قَالُو ْا ُس ۡب َح ٰـنَ َك ََل ِع ۡ َۡل لَنَا ٓ ا ََّل َما عَل َّ ۡمتَنَاۖ ٓ اَّ ََّك َٱ‬
‫ََّ ٱلۡ َع ِل ُم ٱلۡ َح ِك ُم‬
ِ ِ

9
Abd al-Mun’im al-Namr. ‘Ulum al-Qur’an al-Karim. Beirut: Dar Kitab al-Lubnan. 1983. hlm. 100-101.
10
M. Alfatih Suryadilaga, dkk. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras. 2005. h. 56.

7
Artinya: Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain
dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Ayat tersebut merupakan lanjutan dari ayat sebelumnya mengenai dialog Tuhan
dengan para malaikat berkenaan dengan pengangkatan Adam sebagai khalifah di
bumi. Terhadap upaya Tuhan yang demikian, malaikat heran dan mengatakan:
“Apakah Engkau akan menjadikan manusia sebagai khalifah, padahal manusia sering
membuat kerusakan dan saling membunuh?” untuk membuktikan kamahatahuan
Tuhan, Dia mengajarkan Adam nama-nama benda yang tidak diketahui malaikat.
Ketidakmampuan malaikat dalam hal ini mengakui kemahatahuan Tuhan,
kesempurnaan hikmah-Nya dan membuktikan keterbatasannya. Kekeliruan
pandangan malaikat ini digambarkan dalam ungkapan: ‫ََّ ٱلۡ َع ِل ُم ٱلۡ َح ِك ُم‬
َ ‫اَّ ََّك َٱ‬
ِ
c. Kaidah yang bertalian dengan mutasyabihat dan muhkamat.
Ayat yang muhkamaat ialah ayat-ayat yang terang dan tegas maksudnya, dapat
dipahami dengan mudah. Sedangkan pengertian ayat-ayat mutasyaabihaat adalah
ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana
yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam; atau ayat-ayat yang
pengertiannya hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang berhubungan
dengan yang ghaib-ghaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari kiamat, surga,
neraka dan lain-lain.11
Contoh ayat muhkamat adalah QS Al- An’am: 154

ۡ ِِّ ِ ‫َش ً۬ء َوه ً۬اُدى َو َر ۡ َۡح ً۬اة ل َّ َعلَُُّ ِب ِلََا ٓ ِء َر‬ ِ ُ ‫وَس ٱ ۡل ِكتَ ٰـ َب تَ َما اما عَ ََل ٱ َّ َِّل ٓى َٱ َۡ َس َن َوتَ ۡف ِصي ً۬ال ِل‬
َۡ ‫ك‬ َ ‫ُ َُّث َءاتَيۡنَا ُم‬
َ ُ‫يُ ۡؤ ِمن‬
‫ون‬
Artinya: Kemudian Kami telah memberikan kepada Musa Kitab (Taurat) untuk
menyempurnakan (nikmat Kami) kepada orang yang berbuat kebaikan, untuk
menjelaskan segala sesuatu dan sebagai petunjuk dan rahmat agar mereka beriman akan
adanya pertemuan dengan Tuhannya.
Sedangkan contoh ayat mutasyabihat adalah huruf-huruf penggalan (al-huruf al-
muqatha’ah) yang terdapat pada awal surat, seperti lafad alif-lam-mim, alif-lam-ra,
ha-mim, dan sebagainya.12

2. Kaidah Sunnah
Berdasarkan QS An-Nahl ayat 44 dan 64,

11
Penjelasan Al Quran tentang Surat Ali Imran: 7
12
Sayyid Muhammad Husain al-Thabaththabai. Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, jld. 3. Libanon: Mansyurat Muassasah
Al-A’lamiy li al-Mathbu’at. 1991. h. 38

8
ۡ ‫بِٱلۡ َب ِينَ ٰـ َِ َوٱ ُّلزبُ ِرۗ َو َٱ َنزلۡنَا ٓ الَ ۡي َك ٱ َِّل‬
َ ‫ۡ َر ِل ُت َب ِ َِّ ِلنَّ ِاِ َما نُ ِز ََ الَ ۡيِِ ۡ َولَ َعلَُُّ ۡ يَتَ َفكَّ ُر‬
‫ون‬
ِ ِ
Artinya : keterangan-keterangan [mu’jizat] dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan
kepadamu Al Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka [2] dan supaya mereka memikirkan.

َ ُ‫َو َما ٓ َٱ َنزلۡنَا عَلَ ۡي َك ٱ ۡل ِكتَ ٰـ َب ا ََّل ِل ُت َب ِ َِّ لَُُ ُ ٱ َّ َِّلى ٱ ۡختَلَ ُفو ْا ِفي ِهۙ َوه ً۬اُدى َو َر ۡ َۡح ً۬اة ِلََ ۡو ً۬ ٍ۬ يُ ۡؤ ِمن‬
‫ون‬
ِ
Artinya : Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al Kitab [Al Qur’an] ini,
melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan
itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.
Nabi Muhammad sebagai Rasul yang datang untuk menjelaskan ayat-ayat yang
diturunkan Tuhan. Dengan demikian, maka rasul merupakan sumber penjelas tentang
makna-makna Al-Quran. Beliau tidak menafsirkan menurut akal pikiran, tetapi menurut
wahyu Ilahi.13
Kaidah yang dipergunakan diantaranya ialah:
a. Sunnah harus dipakai sesuai dengan petunjuk Al Quran. Secara logika
penjelasan itu tidak boleh bertentangan dengan al-Quran sebagai materi yang
dijelaskannya. Dengan demikian penjelasan Nabi saw selalu dalam kerangka al-
Quran. Hal itu terbukti dengan tidak ditemukannya hadis shahih yang
bertentangan dengan al-Quran.
b. Menghimpun hadis yang pokok bahasannya sama. Hadis yang dimaksud
dalam hal ini adalah hadis yang shahih, yaitu dengan cara mengembalikan
kandungan yang mutasyabih kepada yang muhkam, mengkaitkan yang mutlak
kepada yang muqayyad, dan menkhususkan yang umum. Dengan demikian, akan
didapatkan suatu pemahaman yang benar dan utuh berdasarkan suatu ketetapan
bahwa hadis berfungsi manafsirkan al-Quran dan menjelaskan maknanya,
menjelaskan makna globalnya, menjelaskan makna yang belum terungkap, dan
sebagainya.

3. Kaidah Bahasa
Al Quranul Karim diturunkan kepada umat manusia dengan berbahasa Arab. Hal
ini dapat dibuktikan dalam QS Yusuf: 2

َ ُ‫اَّنَّ ٓ َٱ َنزلۡنَ ٰـ ُه قُ ۡر َءٲَّنا ََ َرب ًِ۬يا ل َّ َعل َّ ُ ُۡك تَ ۡع َِل‬


‫ون‬
ِ
Artinya: Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan
berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.

13
Abd Muin Salim. Beberapa Aspek Metodologi Tafsir al-Quran. Ujung Pandang: LSKI. 1990. h. 67

9
Oleh karena itu, berarti tidak ada jalan lain bagi umat Islam untuk memahaminya
kecuali dengan menguasai dan memahami bahasa Arab. Di antara kaidah-kaidah yang
harus dipahami antara lain:
a. Dhomir
Secara bahasa dhamir berasal dari kata dasar al-dhumur yang berarti kurus
kering, sebab dilihat dari bentuknya memang terlihat ringkas dan kecil.
Kata dhamir juga bisa diambil dari kata al-adhmar yang berarti tersembunyi, sebab
banyak yang tidak tampak dalam bentuk nyatanya.14 Sedangkan secara
istilah, dhamir adalah lafazh yang digunakan sebagai pengganti, baik kata ganti untuk
orang pertama (dhamir mutakallim), orang kedua (dhamir mukhattab), maupun orang
ketiga (dhamir ghaib).15
b. Al-Ta’rif dan Al-Tankir (Isim Ma’rifah dan Isim Nakirah)
Secara terminologis para ahli bahasa (ahl an-nahw) mendefinisikan isim ma’rifah
sebagai isim yang menunjukkan sesuatu yang sudah jelas.16 Dalam bahasa Arab ism
al-ma’rifah mempunyai peran penting, baik secara sintaksis maupun sistematis.
Secara umum dapat dikatakan bahwa fungsi ism al-ma’rifah adalah untuk
menunjukkan bahwa kata yang bersangkutan adalah ma’ruf (diketahi) atau untuk
ta,rif.17 Sedangkan yang dimaksud dengan ism al-nakirah merupakan kebalikan dari
ism al-ma’rifah, yaitu isim yang menujukkan sesuatu yang belum jelas pengertiannya.
Definisi lain menyebutkan bahwa ism al-nakirah adalah setiap isim yang pantas
baginya kemasukkan alif-lam.18
c. As-Sual wa Al-Jawab
Kaidah yang dipergunakan antara lain:
1) Jawaban menyimpang dari soal
Misalnya: QS al-Baqarah: 189
ِِّۗ ‫يَ ِلنَّ ِاِ َوٱلۡ َح‬ َ ِ ۡۡ ُ‫ي َۡسـَلُوَّ ََك ََ ِن ٱ ۡ َۡل ِه َّ ِّلۖ ق‬
ُ ‫ِ َم َوٲ ِق‬
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: bulan
sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji.
Asbab al-Nuzul ayat ini adalah bahwa ada sekelompok orang yang menanyakan
kepada Rasulullah saw tentang bulan sabit (al-ahillah), kenapa semula ia tampak kecil

14
Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin. Dasar-Dasar Penafsiran Al-Quran. Semarang: Dina Utama. 1989. h. 80
15
Syaikh Musthafa al-Ghalayaini. Tarjamah Jami’ud Durusil Arabiyyah. Semarang: Asy-Syifa’. 1992. h. 219-
220.
16
Ibid. h. 277.
17
Nor Ichwan. Memahami Bahasa Al-Qur’an Refleksi atas Persoalan Linguistik. Semarang: Pustaka
Pelajar. 2002. h. 3
18
Syaikh Muhammad bin Abdullah bin Malik al-Andalusy. Tarjamah Matan Alfiyah. Jakarta: PT Al-Ma’arif.
1990. h. 35.

10
seperti benang, kemudian lama-kelamaan berubah sedikit demi sedikit menjadi
purnama, lalu ia menyusut kembali seperti keadaan seperti semula?19
Secara logika, pertanyaan itu seharusnya dijawab dengan menerangkan proses
perubahan yang terjadi pada bulan tersebut. Namun terhadap pertanyaan yang
demikian itu, jawaban yang diberikan al-quran kepada mereka adalah berupa
penjelasan tentang hikmahnya, dengan alasan untuk mengingatkan mereka bahwa
yang lebih penting untuk dipertanyakan adalah hikmah dari bulan sabit, bukan seperti
yang mereka pertanyakan.20
2) Jawaban lebih umum dari apa yang ditanyakan, karena memang hal itu
dianggap perlu.21
Misalnya: QS Thaha: 18
‫ۡ ُؤ ْا عَلَ ۡيَِا َو َٱه ُُّش ِبَِا عَ َ َٰل غَنَ ِمى َو ِ َل ِفيَِا َمـَ ِار ُ ۡٱخ َۡر ٰى‬ َ ِ ََ ‫قَا‬
َّ ‫ِ ََ َص َاى َٱت ََو‬
Artinya: Berkata Musa: Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya dan aku
pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lain keperluan yang lain
padanya.
Ayat tersebut merupakan jawaban dari pertanyaan yang disebutkan pada ayat
sebelumnya, yaitu QS Thaha: 17

َ ۡ ‫َو َما ِت‬


ٰ َ ‫ۡل ِب َي ِمي ِن َك ي َ ٰـ ُم‬
‫وَس‬
Artinya: Apakah ini yang di tanganmu, hai Musa?
Dalam ayat ini, sebenarnya Allah hanya mempertanyakan kepada Nabi Musa
perihal apa yang ada di tangan kanannya. Kemudian, pertanyaan itu oleh Nabi Musa
dijawab bahwa yang ada di tangan kanannya adalah tongkat. Dengan jawaban yang
demikian, sebenarnya sudah mencukupi bagi si penanya dan sudah dapat dipahami,
namun Nabi Musa menambahkan dalam jawabannya sesuatu yang terkait dengan
fungsi tongkat tersebut, yaitu untuk bertelekan, memukul daun, dan beberapa fungsi
lainnya. Hal yang demikian, dilakukan Nabi Musa karena ia merasa senang dengan
pertanyaan yang dilontarkan Allah kepadanya.22
3) Jawaban terhadap suatu pertanyaan yang diajukan bersifat lebih sempit
cakupannya.
Misalnya: QS Yunus: 15
ۙ ً۬ ‫َوا َذا تُ ۡت َ َٰل عَلَۡيۡ ِ ۡ َء َاَيتُنَا ب َ ِينَ ٰـ‬
َ
ِ
19
Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidiy al-Naisabury. Asbab al-Nuzul. Beirut: Dar al-Fikr. 1988. h. 32
20
Nor Ichwan. Memahami Bahasa Al-Qur’an Refleksi atas Persoalan Linguistik. Semarang: Pustaka
Pelajar. 2002. h. 3
21
Manna’ Khalil al-Qattan. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa. 1998. h. 291.
22
Nor Ichwan. Memahami Bahasa Al-Qur’an Refleksi atas Persoalan Linguistik. Semarang: Pustaka
Pelajar. 2002. h. 77

11
Artinya: Katakanlah: Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku
sendiri.
Ayat tersebut merupakan jawaban terhadap pertanyaan yang disebutkan
sebelumnya (pada ayat yang sama), yaitu:

‌‫قَا ََ ٱ َّ َِّل َزن ََل زَ ۡر ُج َون ِلََا ٓ َءَّنَ ٱئۡ َِ ِب َُ ۡر َءان غَ ۡ ِۡي َه ٰـ َذا ٓ َٱ ۡو ب َ ِد ۡ ُ ۚل‬
Artinya: Orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan kami
berkata: Datangkanlah kitab selain Al-Qur’an ini atau gantilah.
Dalam ayat tersebut setidaknya ada dua pertanyaan pokok, yaitu perintah untuk
mendatangkan al-Quran yang lain, dan jikalau tidak dapat maka disuruh untuk
menggantinya. Terhadap pertanyaan ini, jawaban yang diberikan al-Quran tidak
mencakup kedua hal dimaksud, tetapi hanya terfokus pada satu hal, yaitu yang terkait
dengan perintah untuk menggantinya. Hal ini mengingat bahwa mengganti itu lebih
mudah daripada menciptakan kembali. Jika mengganti saja sudah tidak mampu,
apalagi untuk menciptakan pasti akan lebih sulit.23
d. Jumlah Ismiyah dan Jumlah Fi’liyah
Jumlah ismiyah atau kalimat nominal menunjukkan arti subut (tetap)
dan istimrar (terus-menerus), sedang jumlah fi’liyah atau kalimat verbal
menunjukkan arti tajaddud (timbulnya sesuatu) dan hudus (temporal). Masing-
masing kalimat ini mempunyai tempat tersendiri yang tidak bisa ditempai oleh yang
lain. Misalnya tentang infaq yang diungkapkan dengan kalimat verbal (jumlah
fi’liyah), seperti dalam surah Ali Imran:134
َِّ ‫لَّضا ٓ ِء َوٱلۡڪَ ٰـ ِظ ِم َِّ ٱلۡغَ ۡيظَ َوٱلۡ َعا ِف َِّ ََ ِن ٱلنَّ ِاِۗ َوٱ َّ ُّلل ُ ُِ ُّب ٱلۡ ُم ۡح ِس ِن‬
َّ َّ ‫لَّسا ٓ ِء َوٱ‬ َ َُ ‫ٱ َّ َِّل َزن يُن ِف‬
َّ َّ ‫ون ِِف ٱ‬
Artinya: (Yaitu) orang-orang yang berinfaq, baik di waktu lapang maupun sempit
dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain.
Dan Allah mencintai orang-orang berbuat kebaikan.
Contoh kalimat nominal (jumlah ismiyah) yaitu tentang keimanan, seperti dalam
QS al-Hujurat:15

ِ ‫ولۦ ُ َُّث لَ ۡ زَ ۡرَتَ بُو ْا َو َج ٰـَُدُ و ْا ِبٱَ ۡم َوٲ ِلُِ ۡ َو َٱَّ ُف ِسُِ ۡ ِِف َسب‬
‫ِيۡ ٱ َّ ِّللۚ ۡٱ ْولَ ٰـِٕٓ َك‬ ِ ِ ‫اَّ َّ َما ٱلۡ ُم ۡؤ ِمنُو َن ٱ َّ َِّل َزن َءا َمنُو ْا بِٱ َّ ِّلل َو َر ُس‬
ِ ِ
‫ون‬َ ُ‫ُ ُُه ٱ َّلص ٰـ ِدق‬
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang mukmin yang sebenarnya adalah
mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu
dan mereka berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah. Mereka itulah orang-
orang yang benar.

23
Ibid. h. 78.

12
Hal ini dikarenakan infaq merupakan suatu perbuatan yang bersifat temporal yang
terkadang ada dan terkadang tidak ada. Lain halnya dengan keimanan, ia mempunyai
hakikat yang tetap berlangsung selama hal-hal yang menghendakinya masih ada.24
e. Mashdar
Cara menunjukkan sesuatu yang diwajibkan adalah dengan menggunakan
mashdar dengan bacaan marfu’ ( _ ) dan cara menunjukkan sesuatu yang disunatkan
adalah dengan menggunakan mashdar dengan bacaan manshub ( _ ).25
Contoh:
1. QS Al-Baqarah: 229

…… ۗ‫َّس َُۢح ِِ َۡ َس ٰـ ً۬ن‬


ِ ۡ َ َ ‫ٱ َّلطلَ ٰـ ُق َم َّرَتَ ِنۖ فَا ۡم َس َُۢا ُۢ ِب َم ۡع ُروٍ َٱ ۡو‬
ِ ِ
Artinya: Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat)
menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik …
Kata ‫( ﺇﻣﺴﺎﻙ‬menahan) dan ‫( ﺗﺴﺭﻳﺢ‬melepaskan) dengan bacaan marfu’
menunjukkan wajibnya ruju’ dan wajibnya cerai.
2. QS Muhammad: 4

ۡ َ َ‫يُت ٱ َّ َِّل َزن َك َف ُرو ْا ف‬


ِ ‫َّض َ ٱ ِلرقَا‬ ُ ُ َِ َ‫فَا َذا ل‬
ِ
Artinya: Maka apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan
perang), maka pukullah batang leher mereka. …..
Kata ‫( ﻓﻀﺭﺏﺍﻟﺭﻗﺎﺏ‬pukullah batang leher) dibaca manshub, menunjukkan sunah
memukul kuduk orang kafir dalam keadaan perang.

4. Kaidah Ushul al-Fiqh


Di antara kaidah-kaidah ini adalah:
a. Kaidah yang berkaitan dengan al-amr wa al-nahy
Al-amr adalah tuntutan untuk melaksanakan sesuatu pekerjaan dari pihak yang
lebih tinggi derajatnya kapada pihak yang lebih rendah. Sedangkan al-nahy
merupakan kebalikan dari al-amr. Apabila Allah swt memerintahkan sesuatu berarti
melarang untuk melakukan sebaliknya. Apabila Dia memuji terhadap diri-Nya atau
kekasih-Nya dengan meniadakan kekurangan sedikit pun berarti menetapkan
kesempurnaan. Contoh: Allah memerintahkan berbuat adil berarti Dia melarang
berbuat zalim. Larangan berdusta berarti perintah berbuat jujur. Penafian sifat kadzib
Rasul saw, berarti penetapan sifat jujurnya.26
b. Kaidah-kaidah ushuli lainnya antara lain:

24
Manna’ Khalil al-Qattan. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa. 1998. h. 291-292.
25
M. Alfatih Suryadilaga. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras. 2005. h. 68
26
M. Alfatih Suryadilaga. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras. 2005. h. 69.

13
1. Am dan Khash. Am adalah lafazh yang mencakup seluruh satuan-satuan yang
pantas baginya dan tidak terbatas dalam jumlah tertentu. 27 Sedangkan
lafazh khash merupakan kebalikan dari lafazh am, yaitu yang tidak menghabiskan
semua apa yang pantas baginya tanpa ada pembatasan.
2. Mujmal dan Mubayyan. Mujmal adalah lafazh yang mengandung dua makna atau
lebih, yang kesemuanya masih sulit untuk ditentukan secara pasti mana yang
lebih tepat untuknya, karena makna yang dikandung oleh lafazh tersebut sama-
sama kuatnya.28 Sedangkan mubayyan merupakan penjelas terhadap lafazh yang
masih mujmal pengertiannya.
3. Manthuq dan Mafhum. Manthuq adalah sesuatu (makna) yang ditunjukkan oleh
ucapan lafazh itu sendiri.29 Dengan kata lain, pengucapan lafazh itu sendirilah
yang memberi jalan bagi kita untuk dapat mengerti maksud kandungannya
sehingga tidak ada kemungkinan makna lain kecuali apa yang dapat dimengerti
dari teks itu sendiri.30 Sedangkan mafhum adalah sesuatu (makna) dari suatu
lafazh yang ditunjukkan secara tersirat.
4. Muthlaq dan Muqayyad. Muthlaq adalah suatu lafazh yang menunjukkan kepada
satu-satuan tertentu tetapi tanpa adanya pembatasan. Sedangkan yang dimaksud
lafazh muqayyad adalah kebalikan dari lafazh muthlaq. Manna’ al-Qaththan
dalam Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an, mendefinisikannya sebagai suatu lafazh yang
menunjukkan atas suatu hakikat dengan adanya batasan.
5. Hakikat dan Majas. Hakikat merupakan suatu lafazh yang tetap pada makna
aslinya, dan tidak ada taqdim (makna yang didahulukan) dan ta’khir (makna yang
diakhirkan) di dalamnya.31 Sedangkan majaz adalah lafazh yang digunakan untuk
suatu arti, yang semua lafazh itu bukan diciptakan untuknya.32

27
Jalal al-Din al-Suyuthi al-Syafi’i. Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, jld. 2. Beirut: Muassasah al-Kutub al-
Tsaqafiyah. 1996. h. 41
28
Nor Ichwan. Memahami Bahasa Al-Qur’an Refleksi atas Persoalan Linguistik. Semarang: Pustaka
Pelajar. 2002. h. 149
29
Jalal al-Din al-Suyuthi al-Syafi’i. Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, jld. 2. Beirut: Muassasah al-Kutub al-
Tsaqafiyah. 1996. h. 84
30
Nor Ichwan. Memahami Bahasa Al-Qur’an Refleksi atas Persoalan Linguistik. Semarang: Pustaka
Pelajar. 2002. h. 127.
31
Jalal al-Din al-Suyuthi al-Syafi’i. Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, jld. 2. Beirut: Muassasah al-Kutub al-
Tsaqafiyah. 1996. h. 97.
32
Nor Ichwan. Memahami Bahasa Al-Qur’an Refleksi atas Persoalan Linguistik. Semarang: Pustaka
Pelajar. 2002. h. 219

14
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
‫ ﻗﻭﺍﻋﺩﺍﻠﺗﻔﺴﻴﺮ‬adalah pedoman-pedoman yang disusun oleh ulama’ dengan kajian
yang mendalam guna mendapatkan hasil yang maksimal dalam memahami makna-makna
al-Quran, hukum-hukum, dan petunjuk-petunjuk yang terkandung di dalamnya.33
Kaidah penafsiran berfungsi membantu seseorang mufassir dalam memahami
ayat-ayat al-Qur’an. Dalam arti, menarik makna-makna yang mengantarnya mengungkap
rahasia dan menjelaskan kemusykilan yang boleh jadi timbul dari ungkapan-ungkapan al-
Qur’an. Oleh karena itu, kaidah-kaidah tafsir ibarat alat yang membantu terhindar
dari kesalahan, membedakan antara penafsiran yang diterima dengan penafsiran yang
hendaknya ditolak. menjadi tolok ukur bagi mufassir dalam penafsiran yang dia temukan
atau kemukakan serta patokan yang dapat menghindarkannya dari kesalahan
sebagaimana fungsi kaidah-kaidah yang lain.
Macam – macam kaidah setidaknya terbagi kedalam 4 tema besar, yaitu
1) Kaidah Qur’aniyyah
Penafsiran al-Quran yang diambil dari al-Quran.
2) Kaidah Sunnah
Kaidah yang digunakan dalam menafsirkan alqur’an dengan menggunakan
sunnah Nabi Muhammad SAW sampai dengan sahabat sahabatnya.
3) Kaidah Bahasa
Kaidah penafsiran tentang bahasa – bahasa yang digunakan di al Qur’an
4) Kaidah Ushul Fiqh
Kaidah penafsiran Tentang hukum – hukum syari’at.

B. Kritik dan Saran


Penulis sadar bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan dan masih terdapat banyak hal yang harus diperbaiki.Oleh karena itu kritik
dan saran sangat kami harapkan guna perbaikan untuk makalah selanjutnya.

33
M. Alfatih Suryadilaga, dkk. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras. 2005. h. 55

15
DAFTAR PUSTAKA

al-Andalusy, Muhammad bin Abdullah bin Malik. 1990. Terjamah Matan Alfiyah. Jakarta: PT
Al-Ma’arif.
al-Ghalayaini, Musthafa. 1992. Terjamah Jami’ud Durusil Arabiyyah. Semarang: Asy-Syifa’.
al-Naisabury, Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidiy. 1988. Asbab al-Nuzul. Beirut: Dar al-
Fikr.
al-Qattan , Manna’ Khalil. 1998. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa.
al-Syafi’i, Jalal al-Din al-Suyuthi. 1996. Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, jld. 2. Beirut: Muassasah
al-Kutub al-Tsaqafiyah.
al-‘Utsaimin, Muhammad bin Shaleh. 1989. Dasar-Dasar Penafsiran Al-Quran. Semarang: Dina
Utama.
Ichwan, Nor. 2002. Memahami Bahasa Al-Qur’an Refleksi atas Persoalan Linguistik.
Semarang: Pustaka Pelajar.
Suryadilaga, M. Alfatih. 2005. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras.

Anda mungkin juga menyukai