Anda di halaman 1dari 13

ULUMUL QURAN

TA’WIL AL - QURAN

Dosen Pengampu : Oscar Maulana, S.H.I,M.H

Oleh :

Siti Kolela

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI


JURUSAN TARBIYAH DAN KEGURUAN
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
BENGKALIS
2022M/1443 H

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan
hidayah - Nya sehingga makalah yang berjudul “ Takwil Al-quran” dapat kami susun dengan
baik. Sholawat beserta salam semoga tetap terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW,
yang telah membawa umat manusia menuju jalan kebenaran.

Makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas kuliah Ulumul Quran pada program
studi Pendidikan Anak Usia Dini di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri dan dapat digunakan
untuk sumber - sumber pembahasan dalam belajar.

Kami menyadari bahwa penulisan makalah ini tidak luput dari kesalahan,oleh karena
itu kami mengharapkan kepada pembaca untuk memberikan masukan - masukan yang
bersifat membangun agar makalah ini menjadi lebih baik.

Bengkalis, 18 Oktober 2022

Siti Kolela

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................ii


DAFTAR ISI ...............................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..........................................................................................1
B. Rumusan Masalah .....................................................................................1
C. Tujuan Penulisan .......................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Ta’wil...................................................................................... 2
B. Syarat Ta’wil..............................................................................................2
C. Perbedaan Tafsir dan Ta’wil.......................................................................4
D. Contoh Ta’wil al-Quran.............................................................................6
BAB III PENUTUP
A.Kesimpulan ................................................................................................8
B.Saran ...........................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemahaman literal terhadap teks ayat Al-Quran tidak jarang menimbulkan problem
atau ganjalan - ganjalan dalam pemikiran, apalagi ketika pemahaman tersebut dihadapkan
dengan kenyataan sosial, hakikat ilmiah atau keagamaan.

Dahulu sebagian ‘ulama merasa puas dengan menyatakan “Allahu a’lam bi muradihi”
(Allah maha mengetahui maksudnya). Pernyataan demikian tidak memuaskan banyak pihak,
terutama dewasa ini. Karena itu, sedikit demi sedikit sikap seperti ini berubah dan para
mufassir akhirnya beralih pandangan dengan jalan menggunakan ta’wil, tamsil atau metafora.
Memang, literalisme (terjemah harfiah) seringkali mempersempit makna, berbeda dengan
pen-ta’wil-an yang memperluas namun secara bersamaan tidak menyimpang darinya.

Karena itu, dalam makalah ini penulis membahas ta’rif ta’wil atau definisi ta’wil,
perbedaan antaranya dengan tafsir dan beberapa contoh ta’wil.

B. Rumusan Masalah Penulisan


1. Apa ta’rif (definisi) ta’wil Al-Quran?
2. Apa syarat ta’wil?
3. Apa perbedaan tafsir dengan ta’wil ?
4. Apa contoh-contoh ta’wil al-Quran?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa tarif (definisi) Ta’wil Al-Quran.
2. Untuk mengetahui syarat ta’wil
3. Untuk memahami perbedaan Tafsir dengan Ta’wil Al-Quran.
4. Untuk mengetahui contoh-contoh ta’wil al-Quran.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ta’wil

Secara Bahasa kata Ta’wil diambil dari kata “aul”, yang bermakna kembali dan
berpaling. Dilafadhkan dengan shighat ta’wil untuk mem-faedahkan ta’diyah (supaya berarti
mengembalikan). Ada juga yang mengatakan diambil dari kata “ail” yang berarti
“memalingkan”, yakni : memalingkan ayat dari makna yang dhahir kepada suatu makna yang
dapat diterima olehnya. Atau akibat (al-‘aqîbah) dan kesudahan (al-mashîr) (Az-Zarkasyi, Al
- Burhan, II / 164). Namun, menurut Az - Zarqani, makna bahasa yang paling masyhur untuk
ta’wil adalah sinonim dengan tafsir, yaitu menjelaskan ( bayan ) ( Manâhil al -‘Irfân, II / 4 ).

Secara Istilah Menurut sebagian ulama : Ta’wil ialah mengembalikan sesuatu kepada
ghayahnya ( tujuannya ), yakni menerangkan apa yang dimaksud dari padanya”

Sebahagian yang lain menyatakan : “Ta’wil ialah : menerangkan salah satu makna yang dapat
diterima oleh lafazh”

Menurut As-Said Al-Jurjany (w.816H) : “Ta’wil ialah : memalingkan lafazh dari makna
yang dzhahir kepada makna yang muhtamil, apabila makna yang muhtamil ( makna lain yang
masih bisa dikandungnya ) atau tidak berlawanan dengan Al - Quran dan As – Sunnah.

Menurut Al-Amidi : Ta’wil adalah mengartikan kata bukan ke makna lahiriahnya menuju
makna lain yang masih dapat dikandungnya, karena adanya dalil yang menghendakinya.

B. Syarat Ta’wil

Al - Sathibi mengemukakan dua syarat pokok bagi pen - ta’wil - an ayat Al – Quran :

1. Makna yang dipilih sesuai dengan hakikat kebenaran yang diakui oleh mereka yang
memiliki otoritas.
2. Arti yang dipilih dikenal oleh bahasa Arab klasik.

Syarat yang dikemukakan ini lebih longgar dibandingkan syarat yang dikemukakan oleh
kelompok Al - Zhahiriyah yang menyatakan bahwa arti yang dipilih tersebut harus telah
dikenal secara populer oleh masyarakat Arab pada masa awal.

Dalam syarat Al-Syatibi diatas, terbaca bahwa popularitas arti kosakata tidak disinggung
lagi. Bahkan lebih jauh. Al-Syahibi menegaskan bahwa kata-kata yang bersifat

2
ambigu/musytarak (mempunyai lebih dari satu makna yang kesemua maknanya dapat
digunakan bagi pengertian teks tersebut selama tidang bertentangan satu dengan lainnya.

Aliran tafsir Muhammad Abduh mengembangkan lagi syarat pen-ta’wil-an, sehingga ia


lebih banyak mengandalkan akal, sedangkan faktor kebahasaan dicukupkannya selama ada
kaitan makna pen-ta’wil-an dengan kata yang di-ta’wil-kan. Karena itu, kaja “Jin” yang
berarti “sesuatu yang tertutup”, diartikan oleh muridnya, Rasyid Ridha, sebagai kuman yang
tertutup (tidak terlihat oleh pandangan mata). Pendapat ini mirip dengan pendapat Bint Al-
Syathi’ yang secara tegas menyatakan bahwa “pengertian kata jin tidak harus dipahami
terbatas pada apa yang biasa dipahami tentang makhluk halus yang ‘tampak’ pada saat
ketakutan seseirang di waktu malam atau dalam ilusinya. Tetapi, pengertiannya dapat
mencakup segala jenis bukan manusia yang hidup di alam-alam yang tidak terlihat, tidak
terjangkau, dan yang berada diluar alam manusia di mana kita berada.

Ta’wil dalam prakteknya tidak bisa didasarkan hanya pada pertimbangan akal dan
mengabaikan faktor kebahasaan yang terdapat dalam teks ayat apalagi jika bertentangan
dengan kaidah bahasa arab. Adapun menurut ‘ulama ushul agar hasil dari ta’wil bisa diterima
(maqbul) dan shahih maka harus memenuhi 4 syarat, yaitu:

1. Takwil yang dihasilkan harus sesuai dengan makna bahasa Arab, makna syariat, atau
makna ‘urfi (makna kebiasaan orang Arab). Misalnya, takwil kata qurû‘ (dalam QS
al - Baqarah [2] : 228) dengan arti haid atau suci adalah takwil sahih, karena sesuai
dengan makna bahasa Arab untuk qurû’. Takwil yang tidak sesuai makna bahasa,
syariat, atau ‘urfi, tidak diterima.

2. Takwil harus berdasarkan dalil yang sahih dan râjih ( kuat ), misalkan
mengkhususkan nash umum berdasarkan dalil pengkhusus ( takhshîsh ), atau
memberikan batasan ( taqyîd ) nash mutlak berdasarkan dalil yang men – taqyîd -
kan. Karena itu takwil yang tanpa dalil, atau dengan dalil tetapi dalilnya marjûh
(lemah), atau musawi ( sederajat kekuatannya ) dengan kata yang ditakwil, tidak
diterima.

3. Kata yang ada memang memungkinkan untuk ditakwil (qâbil li at-ta’wîl). Misalkan,
katanya adalah kata umum yang dapat di-takhshîsh, atau kata mutlak yang dapat
diberi taqyîd, atau kata bermakna hakiki yang dapat diartikan secara makna majazi

3
( metaforis ), dan sebagainya. Karena itu, jika takwil dilakukan pada nash khusus
( bukan nash umum ), tidak diterima.
4. Orang yang menakwil memiliki kapasitas keilmuan untuk melakukan takwil (Al-
Amidi, Al-Ihkâm, III/38). Karena itu, takwil yang dilakukan orang bodoh (jâhil)
dalam bahasa Arab atau ilmu-ilmu syariat (al - ma‘ârif al - syar‘îyyah) tidak dapat
diterima. Sebab, orang yang hendak melakukan takwil haruslah berkualifikasi
mujtahid yang memiliki bekal ilmu-ilmu bahasa Arab dan ilmu - ilmu syariat.

Ta’wil sebagaimana dikemukakan diatas, akan sangat membantu dalam memahami dan
membumikan Al-Quran di tengah kehiduoan modern dewasa ini dan masa-masa yang akan
datang.

C. Perbedaan Tafsir dan Ta’wil

Para mufassirin telah berselisih pendapat dalam memberikan makna tafsir dan ta’wil.
Menurut Abu ‘Ubaidah: “Tafsir dan Ta’wil satu makna”. Pengertian tersebut kemudian
dibantah oleh segolongan ‘Ulama. Di antaranya Abu Bakar ibn Habib An Naisabury.

Menurut Az-Zuhaili, tafsir merujuk pada makna lahiriah, sedangkan ta’wil mengacu pada
makna lain yang bukan makna lahiriah, yang masih dapat dikandung ayat, berdasarkan
dalil.dengan ringkas An - Nabhani mengatakan, tafsir merupakan penjelasan apa yang
dimaksud oleh kata (bayân al - murâd bi al - lafzh), sedangkan ta’wil merupakan penjelasan
apa yang dimaksud oleh makna ( bayân al - murâd bi al - ma’na ).

Menurut pendapat Ar Raghib Al Asfahany: “Tafsir lebih umum dari ta’wil. Dia lebih
banyak dipakai mengenai kata-kata tunggal. Sedang ta’wil lebih banyak dipakai mengenai
makna dan susunan kalimat.

Menurut sebagian Ulama: “Tafsir menerangkan makna lafadz yang tak menerima selain
dari satu arti. Ta’wil menetapkan makna yang dikehendaki oleh suatu lafadz yang dapat
menerima banyak makna, lantaran ada dalil - dalil yang menghendaki”

Menurut Al-Maturidy: “Tafsir adalah menetapkan apa yang dikehendaki oleh ayat
( lafadz ) dan dengan sungguh - sungguh menetapkan : demikian yang dikehendaki Allah.
Maka jika dalil yang membenarkan penetapan itu, dipandanglah tafsir yang shahih. Kalau
tidak, dipandanglah tafsir yang berdasarkan fikiran yang tidak dibenarkan. Ta’wil ialah,
mentarjihkan salah satu makna yang mungkin diterima oleh ayat (lafadz), yakni salah satu

4
muhtamilah, dengan tidak meyakini bahwa demikianlah yang sungguh-sungguh dikehendaki
Allah.”

Menurut Abu Thalib Ats Tsa’laby: “Tafsir ialah, menerangkan makna lafadz, baik makna
hakikatnya maupun makna majaznya, seperti mentafsirkan makna Ash Shirath dengan jalan
dan Ash Shayib dengan hujan. Ta’wil ialah, mentafsirkan bathin lafadz. Jadi tafsir bersifat
menerangkan petunjuk yang dikehendaki, sedang ta’wil menerangkan hakikat yang
dikehendaki.

Ada juga ulama yang menerangkan, bahwa sesuata yang jelas diterangkan dalam Al-
Quran atau Assunnah, itulah yang dinamai tafsir. Dan tidak boleh bagi seseorang
menjalankan ijtihadnya lagi mengenai ayat-ayat atau sunnah-sunnah yang telah terang tegas
itu. Dan sesuatu yang diistinbathkan oleh ‘ulama-ulama yang mengetahui baik ilmu-ilmu alat,
itulah yang dinamai ta’wil.

Serta menurut sebagian ulama: Tafsir berpaut dengan riwayat, sedang ta’wil berpaut
dengan dirayat. Hal ini mengingat, bahwa tafsir dilakukan dengan apa yang dinukilkan dari
Sahabat, sedang ta’wil difahamkan dari ayat dengan mempergunakan undang-undang/ tata
aturan bahasa ‘Arab.

Menurut Al-Baghawi: “Tafsir ialah memperkatakan sebab-sebab turun ayat, keadaan-


keadaannya,dan kisah-kisahnya.”

Maka mengenai urusan-urusan ini tidak dibolehkan kita mempergunakan selain dari
sam’i (pendengaran = nukilan) saja, sesudah dibenarkan datangnya nukilan itu dengan jalan
akal.

Adapun ta’wil adalah: “memalingkan ayat kepada sesuatu makna yang sesuai dengan makna
yang sebelumnya dan makna yang demikian itu diterima pula oleh ayat, serta tiada bersalahan
dengan susatu ayat, atau sunnah, yang dihasilkan oleh istinbath.”

Ibnu Jarir mempergunakan kata ta’wil dengan ma’na tafsir. Adapun ta’rif ini sebagaimana
dijelaskan oleh Al - Maraghy dalam bukunya Al -Akhlak wal Wajibat :

Tafsir ialah : tersembunyi makna ayat kepada sebagian pendengar maka apabila engkau
syarahkan lafadz - lafadzny dari jurusan lughat ( Bahasa ), nahwu dan balaghah, difahamilah
oleh pendengar itu dengan baik dan tenanglah jiwanya kepada makna tersebut. Adapun

5
ta’wil, iala : ayat mempunyai beberapa makna yang semuanya dapat diterima, dia ragu-ragu
tak tahu

mana yang harus dipilihnya. Karena inilah ta’wil itu banyak sekali dipakai pada ayat
mustasyabihat, sedang tafsir banyak dipakai pada ayat-ayat muhkamat”

Ayat - ayat Mutasyabihat ialah: ayat-ayat yang tidak terang atau jelas maknanya. Adapun
ayat-ayat muhkamat ialah ayat-ayat yang terang dan tegas penegrtian yang dimaksudkannya.

Maka kebanyakan ta’wil dilakukan para mufassirin mengenai aya-ayat mutasyabihat.


Sedangkan ayat-ayat muhkamat tidak memmerlukan ta’wil, cukup dengan tafsir
(penafsirannya saja)

Dalam pandangan ‘ulama - ulama salaf dan ulama mutaqaddimin ( terdahulu ) jumlah
ayat mutasyabihat tidak terlalu banyak karena bagi mereka ayat - ayat tersebut masih sanggup
difahami dengan jelas. Dahulu, yang dimaksud dengan ayat mutasyabihat hanyalah yang
telah diterangkan dalam Al - Quran tentang ke - mutasyabihan nya. Adapun pada masa
sekarang seiring kekuatan pemahaman bahasa Arab yang semakin melemah maka jumlah
ayat mutasyabihat dipandang bertambah menjadi lebih banyak.

Kebanyakan ayat yang dikatakan mutasyabihat oleh mutaakhirin atau generasi


belakangan ini lebih disebabkan oleh melemahnya kemampuan memahami bahasa arab. Serta
perlu dipertegas, bahwa ayat - ayat mutasyabihat kebanyakan mengenai kepercayaan dan
urusan akhirat, sangat jarang yang berkaitan dengan urusan keduniaan.

Menurut ‘ulama bayan, tafsir itu ialah menghilangkan ke – musykil - an ( kesulitan ) faham
pada sesuatu pembicaraan dengan menambah perkataan.

D. Contoh Ta’wil al-Quran

Misalnya firman Allah SWT dalam surat Al-Fajr ayat : 14

َ ْ‫اِ َّن َرب ََّك لَبِ ْال ِمر‬


‫صا ۗ ِد‬
Artinya : Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi.

Tafsirnya ialah, bahwasanya Allah senantiasa dalam mengintai-intai memperhatikan keadaan


hamba-Nya. Adapun ta’wilnya adalah menakutkan manusia dari berlalai-lalai, dari lengah
mempersiapkan persiapan yang perlu.

6
Misalnya dalam firman Allah SWT di dalam surat Al - An’am ayat – 95

ُ ‫ت ِم َن ْال َح ِّي ٰۗذلِ ُك ُم هّٰللا‬


ِ ِّ‫ت َو ُم ْخ ِر ُج ْال َمي‬
ِ ِّ‫ي ِم َن ْال َمي‬ ُ ِ‫اِ َّن هّٰللا َ فَال‬
َّ ‫ق ْال َحبِّ َوالنَّ ٰو ۗى ي ُْخ ِر ُج ْال َح‬
‫فَا َ ٰنّى تُْؤ فَ ُك ْو َن‬
Artinya : Sungguh, Allah yang menumbuhkan butir (padi-padian) dan biji (kurma). Dia
mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup. Itulah
(kekuasaan) Allah, maka mengapa kamu masih berpaling?

Maka jika kita katakan bahwa yang dikehendaki oleh ayat ini, mengeluarkan burung dari
telur, dinamailah ia tafsir. Dan jika dikatakan bahwa yang dikehendaki, mengeluarkan yang
‘alim dari yang bodoh, yang beriman dari yang kafir, dinamakanlah ini ta’wil.

Misalnya dalam firman Allah SWT dalam surat Al – Baqarah ayat - 2

‫ْب فِ ْي ِه هُدًى لِّ ْل ُمتَّقِي ۙ َْن‬ َ ِ‫ٰذل‬


َ ‫ك ْال ِك ٰتبُ اَل َري‬
Artinya : Kitab (Al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang
bertakwa,

lâ rayba fîhi (tidak ada keraguan di dalamnya). Jika diartikan, “lâ syakka fîhi (tidak ada
kebimbangan di dalamnya),” maka ini adalah tafsir. Jika diartikan, “tidak ada keraguan di
kalangan kaum yang beriman” maka ini adalah takwil.

Misal lainnya, ta’wil Imam Syafi’I atas firman Allah SWT dalam surat An – Nur ayat - 31

‫َواَل يُ ْب ِدي َْن ِز ْينَتَه َُّن اِاَّل لِبُع ُْولَتِ ِه َّن اَ ْو ٰابَ ۤا ِٕى ِه َّن اَ ْو ٰابَ ۤا ِء بُع ُْولَتِ ِه َّن‬
Artinya : Janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak
darinya.

Frasa illâ mâ zhahara minhâ asalnya bermakna umum (kecuali yang tampak darinya). Lalu
Imam Asy-Syafi’i menakwilkannya dengan, “illâ al-wajh wa al-kaffayn” (kecuali wajah dan
dua telapak tangannya). Takwil ini berdasarkan hadis yanhg dituturkan Aisyah ra. bahwa
Nabi saw. pernah berkata kepada Asma’ binti Abu Bakar:

7
Hai Asma’, sesungguhnya wanita itu, jika sudah haid, tidak pantas dilihat darinya kecuali ini
dan ini (Nabi saw. menunjuk pada wajah dan kedua telapak tangannya). (HR Abu Dawud).

BAB III

KESIMPULAN

Ta’wil adalah pengertian yang tersirat yang diistimbathkan dari ayat Alquran berdasarkan
alasan-alasan tertentu. Adapun perbedaan tafsir, ta’wil dan terjemah, yaitu:

1. Tafsir.

Menerangkan makna lafazh yang telah diterima selama satu hari, selain itu juga
menetapkan apa yang dikehendaki ayat yang dikehendaki Allah SWT.

a) Pemakaiannya banyak terdapat pada lafal-lafal dan leksikologi (mufradat).


b) Jelas diterangkan dalam al-Qur’an dan hadits-hadits shahih.
c) Banyak berhubungan dengan riwayat.
d) Digunakan dalam ayat-ayat muhkamat (jelas, terang).
e) Bersifat menerangkan petunjuk yang dikehendaki teks.
2. Ta’wil

Menetapkan makna yang dikehendaki suatu lafazh yang dapat menerima banyak makna
karena didukung oleh dalil.

Mengoleksi salah satu makna yang mungkin diterima oleh suatu ayat tanpa menyakinkan
bahwa itulah yang dikehendaki Allah SWT serta menafsirkan batin lafazh.

a) Penggunaannya lebih banyak pada makna-makna dan susunan kalimanat.


b) Kebanyakan diistimbatkan oleh para ’ulama.
c) Lebih banyak berhubungan dengan dirayah (nalar, aqliy).
d) Digunakan dalam ayat-ayat mustasyibihat (samar, samar tidak jelas).
e) Menerangkan hakikat yang dikehendaki.

8
DAFTAR PUSTAKA

Al-Amidi, S. (1996). Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Juz III. Beirut, Libanon: Dar Al-Fikr.

Al-Jurjani. (t.thn.). At-Ta'rifat. Jeddah: Al-Haramayn.

Al-Qattan, M. K. (2001). Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran. Bogor: Pustaka Litera Antarnusa.

Ash-Shiddieqiy, H. (1992). Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran/Tafsir. Jakarta: PT. Bulan
Bintang.

Asy-Syaukani. (t.thn.). Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haq min 'Ilm al-Ushul. Beirut, Libanon:
Dar al-Fikr.

Az-Zuhaili, W. (2001). Ushul al-Fiqh Al-Islami. Beirut, Libanon: Dar Al-Fikr.

Shihab, M. Q. (2013). Membumikan Al-Quran. Bandung: Penerbit Mizan.

9
10

Anda mungkin juga menyukai