Anda di halaman 1dari 15

TAKHSHISH

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Al-Qawaid al-Ushuliyah yang dibina oleh
Bapak Abdul Jalil, M.H.I

Disusun Oleh:
Muhammad Yoga Dwicahyo P. (21382011027)
Ahmad Reyadi (21382011040)
Risqina Utami Trie R. (21382012031)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MADURA
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul Takhshish ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
dari dosen pada mata kuliah Al-Qawaid al-Ushuliyah. Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan bagi para pembaca dan juga bagi penyusun.
kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Abdul Jalil, M.H.I.
selaku dosen mata kuliah Al-Qawaid al-Ushuliyah yang telah memberikan tugas
ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang
studi yang kami tekuni.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah
ini.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

Pamekasan, 10 Oktober 2022

Penyusun
Kelompok 4

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.........................................................................................................i
KATA PENGANTAR......................................................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1
A. Latar Belakang.......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................................1
C. Tujuan Pembahasan................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................2
A. Pengertian Takhshish.............................................................................................2
B. Kebolehan Mentakshish lafazh yang umum...........................................................2
C. Ketentuan takhshish yang muttashil.......................................................................5
D. Ketentuan takhshish yang munfashil......................................................................7
BAB III PENUTUP........................................................................................................10
A. Kesimpulan..........................................................................................................10
B. Saran....................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................12

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konteks syar’iyyah daalam Al-Qur’an dan Al-Hadis merupakan dua sumber
hukum yang redaksinya menetapkan hukum syar’i. Konteks tersebut bisa berupa
lafadz umum atau khusus. Lafadz yang umum (al-‘am), ketetapan hukumnya
harus diartikan kepada semua satuannya secara pasti bila disana tidak ada dalil
yang mengkhususkannya. Lafadz yang khusus (khash), hukum bisa ditetapkan
secara pasti selama tidak ada dalil yang mentakwilkan atau memindahkan dan
menghendaki arti yang lain.
Takhshish adalah salah satu cara untuk memahami sebuah hadis, takhshish
sanat erat kaitannya dengan Am dan Khas, karena tanpa adanya takhshish kita
tidak akan bisa memahami makna lafadz secara baik, walaupun ada lafadz Am
dan Khas yang tidak perlu adanya takhshish.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu takhshish?
2. Bagaimana kebolehan mentakshish lafazh yang umum?
3. Bagaimana ketentuan takhshish yang muttashil?
4. Bagaimana ketentuan takhshish yang munfashil?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui pengertian takhshish
2. Untuk mengetahui kebolehan mentakhshish lafazh yang umum
3. Untuk mengetahui ketentuan takhshish yang muttashil
4. Untuk mengetahui ketentuan takhshish yang munfashil

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Takhshish
Takhshish secara bahasa bermakna: membeda-kan, mengkhususkan,
mengecualikan, mengistimewakan, dan lain sebagainya yang membawa
pengertian tidak ada yang sama dengan lainnya. Namun, yang dimaksud dengan
mentakh-shishkan ayat adalah membatasi dalalahnya pada sebagian dari cakupan
maknanya, sehingga dalalahnya itu tidak lagi berlaku untuk keseluruhan
satuannya, tetapi hanya mencakup sebagiannya. Artinya, sebagian dari cakupan
dalalah-nya dikeluarkan atau dikecualikan dari perintah atau larangan yang
terkandung dalam ayat tersebut, sehingga yang dikecualikan itu tidak sama
hukumnya dengan yang lain. Seperti membatasi cakupan makna kata ”‫اس‬AA‫”الن‬

‫هّٰلِل‬
ِ ‫اس ِحجُّ ْالبَ ْي‬
dalam ayat " ‫ت َم ِن ا ْستَطَا َع اِلَ ْي ِه َسبِ ْياًل‬ ِ َّ‫( " َو ِ َعلَى الن‬QS. Ali Imran [3]: 97), pada
orang mukmin yang sudah baligh dan berakal saja; sedangkan orang kafir, anak-
anak, dan orang yang tidak berakal dikecualikan dari kewajiban itu.1
B. Kebolehan Mentakshish lafazh yang umum
1. Takhshih Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Ulama telah sepakat menetapkan bolehnya Al-Qur’an mentakshish
Al-Qur’an. Hanya sebagian kecil ulama yang tidak sependapat.
Jumhur ulama berpendapat bahwa Al-Qur’an dapat mentakhshish Al-
Qur’an. Mereka beragumen dengan dalil ‘aqli dan naqli. Dalil naqli yang
dikemukakan jumhur adalah kenyataan banyaknya ayat Al-Qur’an yang
mentakhshish lafadz ‘am dalam Al-Qur’an.
Sebagian ulama berpendapat tidak boleh Al-Qur’an mentakhshish Al-
Qur’an. Argumen mereka adalah:
a. Mentakhshish keumuman perempuan yang bercerai dalam surat
Al-Baqarah(2):229 itu mungkin saja dengan sunnah, tidak harus
dengan ayat Al-Qur’an lagi.

1
Fikri Mahmud, Qawa’id Tafsir Kaidah-Kaidah Menafsirkan Al-Qur’an, (Bengkulu, El-Markazi,
2021), 78.

2
b. Tambahan lagi Allah menjelaskan kepada Nabi untuk bertindak
sebagai bayan (penjelas).
2. Takhshih Al-Qur’an dengan Sunnah
Untuk Sunnah yang kekuatannya mutawatir, para ulama tidak berbeda
pendapat tentang bolehnya Sunnah itu mentakhshish Al-Qur’an. Tetapi
untuk yang kekuatannya abad, para ulama berbeda pendapat tentang boleh
tidaknya mentakhshish Al-Qur’an.
a. Imam mazhab yang keempat (Syafi’i, Maliki, Hanafi dan
Hamnbali) berpendapat bolehnya mentakhshish Al-Qur’an dengan
khabar ahad. Pendapat ini juga dianut oleh kalangan ulama
Syafi’iyah dan Hanabilah.
b. Segolongan kecil ulama kalam menolak takhshish Al-Qur’an
dengan sunnah secara mutlak.
3. Takhshih Sunnah dengan Al-Qur’an
Seperti halnya dalam hal takhshish Al-Qur’an dengan Sunnah yang
melahirkan perbedaan pendapat, demikian pula dalam hal takhshish
Sunnah dengan Al-Qur’an. Pendapat mereka adalah sebagai berikut:
a. Kebanyakan ulama fiqh dan ulama kalam yang juga diikuti oleh
pengikut mazhab, Hanbali dan Syafi’i berpendapat boleh
mentakhshish Sunnah dengan Al-Qur’an.
b. Sebagian ulama Syafi’i dan satu riwayat dari Ahmad berpendapat
tidak boleh Sunnah ditakhshish oleh Al-Qur’an.
4. Takhshih Sunnah dengan Sunnah
Dalam hal kemungkinan takhshish Sunnah dengan Sunnah terdapat
pula perbedaan pendapat di kalangan ulama:
a. Jumhur ulama berpendapat boleh takhshish Sunnah dengan
Sunnah, baik Sunnah itu dalam bentuk qaulia (ucapan), fi’liyah
(perbuatan) atau takririyah (pembiaran).
b. Sebagian ulama menolak takhshish Sunnah dengan Sunnah
berdasarkan firman Allah dalam surat an-Nahl (16):44 yang

3
menyatakan bahwa yang akan dijelaskan oleh Nabi itu adalah Al-
Qur’an, bukan Sunnah.
5. Takhshih dengan Ijma’
Takshish dengan Ijma’ adalah mengetahui maksud suatu dengan
lafadz ‘am melalui Ijma’ ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah
sebagian dari apa yang dikehendaki lafadz ‘am tersebut.
Dalam hal ini, menurut sebagian ulama, takhshish itu melalui petunjuk
Ijma’ itu menetapkan suatu hukum yang mentakhshish keumuman ayat
Al-Qur’an atau Sunnah.
Dengan adanya Ijma’ ini bahwa larangan berwasiat lebih dari
sepertiga itu bila tidak mendapat persetujuan dari ahli waris.
6. Takhshih dengan Qiyas
Takhshish dengan qiyas ialah suatu kejadian yang tidak ada
hukumnya diqiyaskan kepada hukum yang terdapat dalam nash Al-Qur’an
atau Hadis berdasarkan adanya ‘illat yang sama. Kemudian hukum yang
dihasilkan dari temuan mujahid ini digunakan untuk membatasi umumnya
ayat Al-Qur’an dan Hadis.
Para ulama berbeda pendapat mengenai bolehnya takhshish dengan
qiyas:
a. Ulama Zhahiri menolak takhshish dengan qiyas secara mutlak.
Pada dasarnya mereka ini memang menolak qiyas, baik untuk
menetapkan hukum, maupun mentakshshish keumuman
hukum.
b. Segolongan ulama menempuh jalan tengah dengan merinci
masalahnya. Menurut mereka ada beberapa bentuk qiyas, ada
yang dapat menjadi mukhashshish dan ada yang tidak dapat
menjadi mukhashshish.
7. Takhshih dengan Mafbum
Takhshih Qur’an dan Sunnah dengan mafbum artinya hukum khusus
yang dapat diambil dibalik apa yang tersurat itu dijadikan dalil untuk
membatas (mentakhshish) keumuman Al-Qur’an dan Sunnah.

4
Para ulama berbeda pendapat kebolehan mentakhshish keumuman Al-
Qur’an dengan mafbum tersebut, baik mukhalafah atau muwafaqah.
a. Jumhur ulama membolehkan takhshish Al-Qur’an atau Sunnah
dengan mafbum, baik muwafaqah maupun mukhalafah.
Contoh: takhshish dengan mafbum muwafaqah adalah hadis
Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan lainnya.
Orang yang enggan membayar hutang sedangkan ia
mempunyai harta untuk membayarnya, boleh dibentuk dan
disiksa.
b. Sebagian ulama tidak membolehkan takhshish dengan
mafbum. Alasannya bahwa petunjuk lafadz ’am terhadap apa
yang ditunjuk oleh mafbum, sebenarnya adalah dengan
manthuq, bukan dengan mafbum. Manthuq itu harus
didahulukan atas mafbum.2
C. Ketentuan takhshish yang muttashil
Mukhassis Muttasil yaitu lafadz yang tak dapat beriri sendiri/memberikan
faedah dengan sendirinya kecuali bersamaan dengan lafadz ‘aam. Dan ini dibagi
menjadi lima bentuk yaitu:
1. Istitsna’ bi nafsih
Yaitu mengecualikan lafadz ‘aam dengan menggunakan adat/alat istitsna’.
Contoh:
23 ۙ ‫َواَل َتقُ ْولَنَّ لِ َش ۟ايْ ٍء ِا ِّنيْ َفاعِ ٌل ٰذل َِك َغ ًدا‬
‫هّٰللا‬
24 َ ‫ْت َوقُ ْل َع ٰ ٓسى اَنْ َّي ْه ِد َي ِ*ن َربِّيْ اِل َ ْق َر‬
‫ب مِنْ ٰه َذا َر َش ًدا‬ َ ‫ِآاَّل اَنْ َّي َش ۤا َء ُ َۖو ْاذ ُكرْ رَّ َّب‬
َ ‫ك ِا َذا َنسِ ي‬
Artinya: “Dan jangan sekali-sekali menyatakan terhadap
sesuatu,"sesungguhnya aku akan mengerjakan esok pagi, kecuali (dengan
menyebut) Insya Allah”.)QS. Al-Kafh:23-24)
2. Syarat bi Nafsih
Yaitu lafadz yang dapaat berfaedah apabila bersambung dengan lafadz
yang lain, dan harus ada jawab yang kembali kepada zatnya lafadz yang
menjadi syarat.
2
Misbahuddin, Ushul Fiqh II, (Makassar: Alauddin Press, 2015), 18-21.

5
Contoh: ‫َمنْ يَّعْ َم ْل س ُْۤوءًا يُّجْ َز ِب ٖۙه‬
Artinya: Barang siapa mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi
pembalasan dengan kejahatan itu.(QS. An-Nisa’:123)
3. Na’at atau sifat
Yaitu lafadz yang mengikuti menjadi sifat, dan menjelaskan terhadap
lafadz yang diikuti.
Contoh:‫وقفت او الدى مع اوالدكم المحتاجين‬
4. Ghoyah
Yaitu lafadz yang menjadi akhir (penghabisan) dari lafadz ‘aam yang
mendahuluinya, dan lafadz tersebut masuk dalam kandungan lafadz ‘aam
sebagai tolok ukur dari makna yang dikandung lafadz ‘aam itu.
Contoh:
‫َقا ِتلُوا الَّ ِذي َْن اَل يُْؤ ِم ُن ْو َن ِباهّٰلل ِ َواَل ِب ْال َي ْو ِم ااْل ٰ خ ِِر َواَل ي َُحرِّ م ُْو َن َما َحرَّ َم هّٰللا ُ َو َرس ُْولُ ٗه َواَل َي ِد ْي ُن ْو َ*ن ِدي َْن‬
‫صاغِ ر ُْو َن‬ َ ‫طوا ْال ِج ْز َي َة َعنْ َّي ٍد وَّ ُه ْم‬ُ ْ‫ب َح ٰ ّتى يُع‬ َ ‫ْال َح ِّق م َِن الَّ ِذي َْن ا ُ ْو ُتوا ْالك ِٰت‬
Artinya: Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan
tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa
yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasulnya, dan tidak beragama
dengan agama yang benar (Agama Allah), yaitu orang-orang yang
diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah
(pajak) dengan patuh, sedang mereka dalam keadaan tunduk.(QS. At-
Taubah:29)
5. Badalul ba’di minal kull
Yaitu lafadz pengganti yang mengandung arti sebagian dari bentuk
lafadz yang mempunyai arti umum.
Contoh: ‫اع ِالَ ْي ِه َس ِب ْياًل‬ ‫هّٰلِل‬
ِ ‫اس ِح ُّج ْال َب ْي‬
َ ‫ت َم ِن اسْ َت َط‬ ِ ‫ۗ و ِ َعلَى ال َّن‬  َ
Artinya: Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah,
yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.
(QS. Ali Imran:97)3

3
Muslimin, “Urgensi Memahami Lafadz”, 2 (Juli, 2012), 109-111.

6
D. Ketentuan takhshish yang munfashil
Mukhassis Munfashil adalah lafadz yang dapat berdiri sendiri/memberikan
faedah dengan sendirinya, baik lafadznya itu sendirian atau bersamaan dengan
yang lainnya. Namun harus tetap dipahami bahwa kata Mukhassis adalah bentuk
kata benda yang menunjukkan pelaku pekerjaan, sedangkan kata taksis adalah
bentuk pekerjaannya, sehingga diantara keduanya mempunyai hakekat makna
yang sama. Hal ini disampaikan agar dimengerti bahwa mukhassis muttashil bisa
disebut “takhshis muttashil” dan Mukhassis munfashil bisa disebut takhshis
munfashil. Takshish Munfashil dibagi menjadi beberapa bagian yaitu.
1. Takhsish Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Contoh: َّ‫ت َح ٰ ّتى يُْؤ مِن‬
ِ ‫َۗ واَل َت ْن ِكحُوا ْال ُم ْش ِر ٰك‬
Artinya: Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman.(QS. Al-Baqarah:221)
2. Takshish Al-Qur’an dengan As-Sunnah
Contoh: ‫ي ُْوصِ ْي ُك ُم هّٰللا ُ ف ِْٓي اَ ْواَل ِد ُك ْم‬
Artinya: Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. ...(QS. An-Nisa’:11)
Ditakshish dengan Sabda Nabi :
)‫اليرث المسلم الكافر وال الكافر المسلم (رواه المسلم‬
Artinya: Orang islam tidak diperbolehkan mewarisi (hartanya orang
kafir, dan orang kafir tidak ula diperbolehkan mewarisi orang islam.
3. Takhshish As-Sunah dengan Al-Qur’an
Contoh: )‫ال تقبل احدكم اذا احدث حتى يتوضا (رواه ابن عوانة‬
Artinya: Tidaklah diterima shalat kalian apabila dalam keadaan hadats
sehingga (kamu mengambil air untuk)berwudlu’.
Ditakshish dengan:
‫ضى اَ ْو َع ٰلى َس َف ٍر اَ ْو َج ۤا َء اَ َح ٌد ِّم ْن ُك ْم م َِّن ْال َغ ۤا ِٕىطِ اَ ْو ٰل َمسْ ُت ُم ال ِّن َس ۤا َء َفلَ ْم َت ِج ُد ْوا َم ۤا ًء َف َت َي َّمم ُْوا‬
ٓ ٰ ْ‫َواِنْ ُك ْن ُت ْم مَّر‬
‫ص ِع ْي ًدا َط ِّيبًا‬
َ
Artinya: Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali
dari tempat baung air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian

7
kamu tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah
yang suci ...(QS. An-Nisa’:43)
4. Takhshish As-Sunah dengan As-Sunah
Contoh: ...)‫فيما سقت السماء العش (رواه احمد‬
Artinya: ...terhadap apa-apa yang dihasilkan oleh siraman air hujan,
maka (zakatnya) diambil seper sepuluh.
Ditakhshish dengan:
...)‫(رواه البخارى‬...‫قال ابو عبدهللا هذا تفسير االول اذا قال ليس دون خمسة او سق صغة‬
Artinya: ...Abu ‘Abdillah berkata: ini adalah penafsiran pertama ketika
Nabi bersabda “tidak (wajib) shadaqah apabila kurang dari lima ausuq
(takar) ....
5. Takhshish Al-Qur’an dengan Qiyas
Contoh: ‫الزانِيْ َفاجْ لِ ُد ْوا ُك َّل َوا ِح ٍد ِّم ْن ُه َما ِماَئ َة َج ْل َد ٍة‬
َّ ‫لزا ِن َي ُة َو‬
َّ َ‫ۖ ا‬
Artinya: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka
deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.(QS. An-Nur:2)
Kemudian ditakhshish dengan qiyas, yaitu bahwa untuk Ammat (‫)امة‬
hanya dipukul 50 kali. Dan kata ‘Abd. (‫ )ابد‬juga diqiyaskan dengan lafadz
amah (‫)امه‬
6. Takhsis As-Sunah dengan Qiyas
Contoh: )‫قال النبى صلى هللا عليه وسلم من بدل دينه فاقتلوه (رواه البخارى‬
Artinya: ...Nabi Muhammad SAW. bersabda: “Barang siapa mengganti
(murtad dari) agamanya, maka bunuhlah ia.
Takhsis dari hadits tersebut adalah bagi orang murtad.
Dan contoh lain:
)‫فنهى رسول هللا صلى هللا عليه وسلم عن قتل النساء والصبيان (رواه البخارى‬
Artinya: ...Maka Rasulullah melarang untuk membunuh wanita dan anak-
anak.
Takhsis dari hadits tersebut adalah wanita selain kafir harbi dan wanita
murtad.
7. Takhsis dengan mafhum Muwafaqah
Contoh: ‫َفاَل َتقُ ْل لَّ ُه َمٓا اُفٍّ َّواَل َت ْن َهرْ ُه َما َوقُ ْل لَّ ُه َما َق ْواًل َك ِر ْيمًا‬

8
Artinya: ...Maka sekali-kali janganlah kamu membentak kepada keduanya
(dengan) perkataan “ah”, dan janganlah kamu membantah mereka, dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.(QS. Al-Isra’:23)
Bahwa arti uffin (‫ ) اف‬dan tanhar ( ‫ )تنهز‬ayat di atas adalah mengumpat dan
membentak. Maka mafhum muwafaqah dari kedua lafazd tersebut adalah
segala hal yang menyakitkan hati
8. Takhsis dengan Mafhum Mukhalafah
Contoh: )‫اذا بلخ الماء قلتين لم يذجسه شئ (رواه ابن ماجه‬
Artinya: Apabila air sudah sampai dua qolah, maka tidak ada sesuatu yang
dapat menjadikannya najis.
Ditakhsis dengan mafhumnya hadits Ibnu Majjah yang lainnya, yaitu:
)‫ان الماء الينجسه شئ اال ما غلب على ريحه و طعمه و لونه (رواه ابن ماجه‬
Artinya: Sesungguhnya air itu tidak menjadi najis karena adanya sesuatu,
kecuali perkara tersebut dapat merubah bau, rasa dan warnanya.4

4
Ibid 111- 115

9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Takhshish secara bahasa bermakna: membeda-kan, mengkhususkan,
mengecualikan, mengistimewakan, dan lain sebagainya membawa pengertian
tidak ada yang sama dengan lainnya.
Kebolehan Mentakshish lafazh yang umum, yaitu Takhshih Al-Qur’an
dengan Al-Qur’an, Ulama telah sepakat menetapkan bolehnya Al-Qur’an
mentakshish Al-Qur’an. Sebagian kecil ulama yang tidak sependapat. Takhshih
Al-Qur’an dengan Sunnah, Untuk Sunnah kekuatannya mutawatir, para ulama
tidak berbeda pendapat bolehnya Sunnah itu mentakhshish Al-Qur’an. Takhshih
Sunnah dengan Al-Qur’an, Kebanyakan ulama fiqh dan ulama kalam berpendapat
boleh mentakhshish Sunnah dengan Al-Qur’an. Sebagian ulama Syafi’i dan satu
riwayat dari Ahmad berpendapat tidak boleh Sunnah ditakhshish oleh Al-Qur’an.
Takhshih Sunnah dengan Sunnah, Jumhur ulama berpendapat memperbolehkan,
baik Sunnah itu dalam bentuk qaulia (ucapan), fi’liyah (perbuatan) atau takririyah
(pembiaran). Dan Sebagian menolak menyatakan bahwa yang dijelaskan oleh
Nabi itu adalah Al-Qur’an bukan Sunnah. Takhshih dengan Ijma’, Menurut
sebagian ulama, takhshish melalui petunjuk Ijma’ menetapkan suatu hukum
mentakhshish keumuman ayat Al-Qur’an atau Sunnah. Takhshih dengan Qiyas,
Ulama Zhahiri menolak takhshish dengan qiyas secara mutlak. Segolongan ulama
mencari jalan tengah yaitu sebagian bentuk qiyas dapat menjadi mukhashshish
dan ada yang tidak dapat menjadi mukhashshish. Takhshih dengan Mafbum,
Jumhur ulama membolehkan, baik muwafaqah maupun mukhalafah. Sebagian
tidak membolehkan. Alasannya petunjuk lafadz ’am terhadap ditunjuk oleh
mafbum, adalah dengan manthuq, bukan dengan mafbum.
Ketentuan pada muttasil adalah Istitsna’ bi nafsih, Syarat bi nafsih, Na’at
atau sifat, Ghoyah, dan Badalul ba’di minal kull.
Ketentuan pada munfashil dibagi beberapa bagian, yaitu takhshish Al-Qur’an
dengan Al-Qur’an, takhshish Al-Qur’an dengan As-Sunnah, takhshish As-Sunah
dengan Al-Qur’an, As-Sunah dengan As-Sunah, Al-Qur’an dengan Qiyas, As-

10
Sunah dengan Qiyas, takhshish dengan mafbum muwafaqah, takhshish dengan
mafbum mukhalafah
B. Saran
Demikianlah makalah yang dibuat, besar harapan semoga dapat bermanfaat
bagi kalangan banyak. Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan
agar makalah ini dapat disusun menjadi lebih baik lagi.

11
DAFTAR PUSTAKA
Mahmud, Fikri. Qawa’id Tafsir Kaidah-Kaidah Menafsirkan Al-Qur’an, Bengkulu,
El-Markazi, 2021.
Misbahuddin, Ushul Fiqh II, Makassar: Alauddin Press, 2015.
Muslimin, “Urgensi Memahami Lafadz”, 2 (Juli, 2012).

12

Anda mungkin juga menyukai