Anda di halaman 1dari 23

Al-Qowaidul Fiqhiah (1)

Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Terstruktur Mata Kuliah
Ushul Fiqh
Dosen Pengampu: Bapak Udung Hari Darifah, M.Pd.I

Disusun Oleh
Kelompok 10:

1. Moch Didan Denadi NPM: 2103003909


2. Aas Nurhasanah NPM: 2103003863

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)


SEMESTER 5-A
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM (IAID) CIAMIS
TAHUN AKADEMIK 2023
Jln. Kyai Haji Ahmad Fadlil 1, Cijeungjing, Dewasari, Kec. Ciamis, Kab. Ciamis, Jawa Barat 46271
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah Swt., karena dengan rahmat dan
hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan pembuatan makalah ini dengan baik meskipun
masih banyak kekurangan di dalamnya. Selawat dan salam semoga tercurah limpahkan
kepada junjungan besar kita, yakni Nabi Muhammad saw., dan semoga kita akan
mendapat syafaat-Nya kelak di akhirat.

Ucapan terima kasih penyusun sampaikan kepada Bapak Udung Hari Darifah,
M.Pd.I selaku dosen pengampu mata kuliah Ushul Fiqh yang telah memberikan tugas
pembuatan makalah yang Insya Allah dapat menambah wawasan dan rasa ingin tahu
penyusun dan pembaca mengenai makalah yang berjudul “Al-Qowaidul Fiqhiah (1)”.
Tidak lupa kami berterima kasih kepada berbagai pihak yang telah berkontribusi dalam
penyusunan makalah ini.

Kami sangat berharap makalah ini dapat bermanfaat dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita, dan kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam
makalah ini masih terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu,
kami berharap adanya kritik dan saran demi perbaikan makalah yang telah kami buat di
masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang
membangun.

Ciamis, 24 November 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................ii
DAFTAR ISI..............................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah.................................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................................................1
C. Tujuan Penulisan..............................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN............................................................................................................2
A. Pengertian Al-Qowaidul Fiqhiah.....................................................................................2
B. Pembagian Macam-macam Al-Qowaidul Fiqhiah.........................................................4
C. Perbedaan antara Al-Qowaidul Fiqhiah dengan Al-Qowaidul Ushuliah...................15
BAB III PENUTUP..................................................................................................................17
A. Kesimpulan.....................................................................................................................17
B. Saran................................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................19

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Konsep al-qowaidul fiqhiah memegang peran penting dalam pemahaman dan
penerapan hukum syariat, namun masih terdapat banyak kalangan yang kurang
memahami secara menyeluruh. Adanya perbedaan pemahaman di antara
masyarakat umum dan bahkan di kalangan pelajar keagamaan menunjukkan
perlunya penjelasan yang komprehensif mengenai al-qowaidul fiqhiah.
Dalam makalah ini, penting untuk menyoroti peran krusial al-qowaidul
fiqhiah dalam memudahkan pemahaman hukum-hukum syariat yang bersifat
umum. Pemahaman yang kurang atau salah terhadap konsep ini dapat
mengakibatkan penafsiran yang keliru terhadap berbagai masalah fiqh yang
umumnya kompleks. Selain itu, perlu ditekankan pentingnya pembedaan antara al-
qowaidul fiqhiah dan al-qowaidul ushuliah. Kejelasan perbedaan keduanya menjadi
relevan untuk mencegah penafsiran yang salah dan menciptakan pemahaman yang
lebih mendalam.
Dengan menguraikan latar belakang masalah ini, diharapkan makalah dapat
memberikan kontribusi signifikan dalam meningkatkan pemahaman umum
terhadap al-qowaidul fiqhiah serta memperjelas peran dan perbedaannya dengan
al-qowaidul ushuliah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian al-qowaidul fiqhiah?
2. Bagaimana pembagian macam-macam al-qowaidul fiqhiah?
3. Bagaimana perbedaan antara al-qowaidul fiqhiah dengan al-qowaidul
ushuliah?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian al-qowaidul fiqhiah.
2. Untuk mengetahui pembagian macam-macam al-qowaidul fiqhiah.
3. Untuk mengetahui perbedaan antara al-qowaidul fiqhiah dengan al-qowaidul
ushuliah.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Al-Qowaidul Fiqhiah
Al-Qowaidul fiqhiah berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari 2 kata, yaitu
Al-Qowaid dan Fiqhiah. Kata qowaid merupakan bentuk jamak dari kata qo’idah
yang secara bahasa berarti asas atau dasar, baik dalam bentuk indrawi maupun
maknawi. Kata qo’idah yang berarti dasar dalam bentuk indrawi dapat diamati
dalam ungkapan bahasa Arab, yaitu qowaid al-bait yang berarti dasar atau pondasi
rumah. Sementara kata qo’idah yang berarti dasar dalam bentuk maknawi dapat
diamati dalam ungkapan qowaid al-din yang berarti dasar atau asas agama.
Pengertian secara indrawi bisa ditemukan dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 127 yang
berbunyi:

‫َوِاْذ َيْر َفُع ِاْبٰر ٖه ُم اْلَقَو اِع َد ِم َن اْلَبْيِت َو ِاْسٰم ِع ْيُۗل َرَّبَنا َتَقَّبْل ِم َّنۗا ِاَّنَك َاْنَت الَّسِمْيُع اْلَعِلْيُم‬
Artinya: Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar
Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): “Ya Tuhan kami terimalah daripada kami
(amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui” (Firdaus, 2015: 7-8).
Sementara kata fiqh secara bahasa, berasal dari kata fiqhan (‫ )فقه@@ا‬yang
merupakan masdar dari fi’il madhi faqiha (‫ )فقه‬dan fi’il mudhori’nya yafqahu (‫)يفقه‬
berarti paham (Al-Fadl dalam Firdaus, 2015: 8). Kata fiqh dengan arti paham atau
memahami dapat ditemukan dalam Q.S. Hud ayat 91 yang berbunyi:
‫َقاُلو۟ا َٰي ُش َعْيُب َم ا َنْفَقُه َك ِثيًر ا ِّمَّم ا َتُقوُل َو ِإَّنا َلَنَر ٰى َك ِفيَنا َض ِع يًفاۖ َو َلْو اَل َر ْه ُطَك َلَرَج ْم َٰن َك ۖ َو َم ٓا‬
‫َأنَت َع َلْيَنا ِبَعِزيٍز‬
Artinya: Mereka berkata: “Wahai Syu’aib kami tidak banyak mengerti dengan apa
yang engkau katakan itu dan sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu
seorang yang paling lemah diantara kami; kalau tidaklah karena keluargamu tentu
kami telah merajammu, sedang kamu pun bukan orang yang berwibawa di sisi
kami”. Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa kata fiqh berarti paham
mendalam untuk sampai kepadanya perlu mengerahkan pemikiran secara sungguh-

2
sungguh. Kedua arti fiqh ini dipakai para ulama dan masing-masingnya mempunyai
alasan yang kuat (Firdaus, 2015: 8-9).
Sementara secara istilah, pemakalah mengambil dari pendapat Abd al-
Wahhab al-Khallaf yang mendefinisikan fiqh, yaitu pengetahuan tentang hukum-
hukum syara’ yang bersifat amaliah yang digali dari dalil-dalil terperinci (Al-
Qarafy dalam Firdaus, 2015: 9). Definisi ini menggambarkan bahwa fiqh
merupakan hasil ijtihad para ulama melalui pengkajian terhadap dalil-dalil tentang
suatu persoalan hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis. Ini
mengisyaratkan bahwa fiqh bukan dihasilkan para ulama melalui taklid (Firdaus,
2015: 9).
Secara bahasa, al-qowaidul fiqhiah/kaidah fiqh adalah dasar-dasar atau asas-
asas yang berhubungan dengan masalah-masalah atau jenis-jenis fiqh (Rahman
dalam Djazuli, 2017: 2). Adapun beberapa definisi al-qowaidul fiqhiah/kaidah fiqh
secara istilah yang dikemukakan, yaitu sebagai berikut:
1. Imam al-Suyuthi dalam kitabnya Al-Ashbah wa Al-Nadza’ir memberikan
definisi kaidah dengan: “Hukum kulli (menyeluruh) yang meliputi bagian-
bagiannya”.
2. Al-Jurjani mendefinisikan kaidah dengan: “Ketetapan yang kulli (menyeluruh)
yang mencakup seluruh bagian-bagiannya”.
3. Imam Tajuddin al-Subki mendefinisikan kaidah dengan: “Kaidah adalah
sesuatu yang bersifat general yang meliputi bagian yang banyak sekali, yang
bisa dipahami hukum bagian tersebut dengan kaidah tadi”.
4. Muhammad Abu Zahrah mendefinisikan kaidah dengan: “Kumpulan hukum-
hukum yang serupa yang kembali kepada qiyas yang mengumpulkannya”
(Rohim, 2019: 2).
5. Al-Nadwi mengemukakan definisi al-qowaidul fiqhiah/kaidah fiqh, yaitu:
”Hukum syara` tentang peristiwa yang bersifat mayoritas, yang darinya dapat
dikenali hukum berbagai peristiwa yang masuk ke dalam ruang lingkupnya”.
Dan ia juga mengemukakan pengertian lain, yaitu:

3
“Dasar fiqh yang bersifat universal, mengandung hukum-hukum syara` yang
bersifat umum dalam berbagai bab tentang peristiwa-peristiwa yang masuk ke
dalam ruang lingkupnya” (Al-Nadwi dalam Andiko, 2011: 5).
6. Zarqa’ merumuskan definisi al-qowaidul fiqhiah, yaitu kaidah fiqh yang
bersifat umum tersusun dalam teks-teks (nash) yang singkat lagi mendasar
mengandung hukum-hukum syara’ yang bersifat umum tentang sejumlah
peristiwa yang masuk dalam objeknya (Zarqa’ dalam Firdaus, 2015: 10).
Pada intinya al-qowaidul fiqhiah/kaidah fiqh adalah suatu konsep hukum
dalam Islam yang mencakup prinsip-prinsip umum yang berlaku menyeluruh, dan
dapat digunakan sebagai dasar untuk memahami dan menetapkan hukum-hukum
syariat terkait dengan berbagai peristiwa. Kaidah ini mencakup hukum-hukum
yang bersifat umum dan kembali kepada qiyas atau analogi yang
mengumpulkannya yang tersusun dalam teks-teks (nash) yang singkat.
B. Pembagian Macam-macam Al-Qowaidul Fiqhiah
Dalam berbagai literatur al-qowaidul fiqhiah terdapat macam-macam kaidah
fiqh yang secara umum disusun dengan sistematika sebagai berikut: Pertama,
kaidah-kaidah fiqh induk (al-qawaid al-asasiyah). Disebut induk, karena banyak
kaidah-kaidah cabang yang dapat dikembalikan atau diproyeksikan kepadanya.
Kedua, kaidah-kaidah fiqh cabang yang disepakati oleh mayoritas ulama. Ketiga,
kaidah-kaidah fiqh cabang yang diperselisihkan oleh para ulama (Ibrahim, 2019:
41).
1. Kaidah-kaidah Fiqh Induk
Kaidah Pertama:

‫َاُأْلُم ْو ُر ِبَم َقاِص ِد َها‬

Artinya: “Segala perkara tergantung dengan niatnya” (As-Suyuthi dalam


Ibrahim, 2019: 42). Kaidah ini diambil dan disarikan dari sejumlah nash-nash
Al-Qur’an dan Hadis. Umpamanya dalam Q.S. Ali Imran ayat 145 yang
berbunyi:

4
‫َو َم ا َك اَن ِلَنْفٍس َاْن َتُم ْو َت ِااَّل ِبِاْذ ِن ِهّٰللا ِكٰت ًبا ُّم َؤ َّج ۗاًل َو َم ْن ُّيِرْد َثَو اَب الُّد ْنَيا ُنْؤ ِتٖه ِم ْنَهۚا َو َم ْن‬
‫ُّيِرْد َثَو اَب اٰاْل ِخ َر ِة ُنْؤ ِتٖه ِم ْنَهۗا َو َس َنْج ِزى الّٰش ِكِرْيَن‬
Artinya: “Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin
Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa
menghendaki pahala dunia, niscaya kami berikan kepadanya pahala dunia. dan
barang siapa menghendaki pahala akhirat, kami berikan (pula) kepadanya
pahala akhirat itu. Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang
bersyukur”. Adapun Hadis Nabi yang berbunyi:
‫ َو ِإَّنَم ا ِلُك ِّل اْم ِرٍئ َم ا َنَو ى‬،‫ِإَّنَم ا اَألْع َم اُل ِبالِّنَّياِت‬
Artinya: “Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung dengan yang telah
diniatkan. Bagi setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang diniatkannya”
(HR. Bukhari) (Ibrahim, 2019: 42-46).
Ada beberapa hal yang dapat dipahami dari kaidah di atas: Pertama,
tujuan niat, Pada dasarnya, tujuan dan fungsi niat itu adalah untuk
membedakan antara perbuatan ibadat dari perbuatan adat dan untuk penentuan
(at-ta’yin) spesifikasi atau kekhususan antara mandi dan berwudu untuk salat
dengan mandi dan mencuci anggota badan untuk kebersihan biasa. Kedua,
persoalan fiqh yang dapat dirujuk kepada kaidah di atas adalah hukum Islam
bidang ibadah dan bidang muamalah dalam arti luas. Ketiga, segala amal
perbuatan manusia, yang dinilai adalah niat yang melakukannya, dan amal
perbuatan itu haruslah yang masuk dalam kategori perbuatan yang
diperbolehkan. Perbuatan yang haram, sekalipun dengan niat baik, tetap tidak
boleh dilakukan, kecuali hal-hal yang pada saat tertentu memang dibenarkan
oleh hukum (Ibrahim, 2019: 44-46).
Kaidah Kedua:

‫َاْلَيِقْيُن َال ُيَزاُل ِبالَّشِّك‬

Artinya: “Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan” (As-Suyuthi


dalam Ibrahim, 2019: 56).

5
Perlu dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan al-yaqin (yakin) dalam
kaidah di atas adalah: Sesuatu yang pasti, berdasarkan pemikiran mendalam
atau berdasarkan dalil. Sedangkan yang dimaksud dengan asy-syakk (ragu),
yaitu sesuatu yang keadaannya belum pasti, antara kemungkinan adanya dan
tidak adanya, sulit dipastikan mana yang lebih kuat dari salah satu kedua
kemungkinan tersebut. Kaidah ini diambil dari Hadis sebagai berikut:
‫ِإَذ ا َو َج َد َأَح ُد ُك ْم ِفى َبْطِنِه َشْيًئا َفَأْش َك َل َع َلْيِه َأَخ َرَج ِم ْنُه َش ْى ٌء َأْم َال َفَال َيْخ ُرَج َّن ِم َن‬
‫اْلَم ْس ِج ِد َح َّتى َيْس َم َع َصْو ًتا َأْو َيِج َد ِريًح ا‬
Artinya: “Apabila salah seorang kamu mendapatkan sesuatu di dalam perutnya,
lalu timbul persoalan apakah sesuatu itu telah keluar atau belum, maka
janganlah keluar dari masjid hingga ia mendengar suara atau mendapatkan
baunya” (HR. Muslim). Hadis ini menjelaskan tentang seorang yang semula
dalam keadaan berwudu lalu ia ragu apakah telah mengeluarkan angin atau
belum, maka dalam hal ini ia harus dianggap masih keadaan berwudu. Sebab,
keadaan berwudu inilah yang sejak semula sudah menjadi keyakinan (al-yaqin)
sedangkan keraguan (asy-syakk) baru muncul kemudian. Keyakinan yang ada
itu tidak dapat dihapus dengan keraguan (Ibrahim, 2019: 56-57).
Kaidah Ketiga:
‫َاْلَم َش َّقُة َتْج ِلُب الَّتْيِس ْيَر‬
Artinya: “Kesulitan mendatangkan kemudahan” (As-Suyuthi dalam
Ibrahim, 2019: 68). Kaidah ini diambil dari ayat Al-Qur’an dan Hadis Rasul
saw.
Misalnya dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 185:
‫ُيِريُد ُهَّللا ِبُك ْم اْلُيْسَر َو اَل ُيِريُد ِبُك ْم اْلُعْسَر‬
Artinya: “Allah menginginkan kemudahan untukmu dan tidak menginginkan
kesulitan”. Umpamanya seseorang sulit menunaikan salat dengan cara berdiri,
maka ia dibolehkan duduk, bila masih sulit dibolehkan berbaring, bila masih
sulit maka bisa diperbolehkan dengan cara mengedipkan mata (Ibrahim, 2019:
68-72).
Kaidah Keempat:

6
‫َالَّضَر ُر ُيَزاُل‬
Artinya: “Kemudaratan itu hendaklah dihilangkan” (As-Suyuthi dalam
Ibrahim, 2019: 78). Kaidah ini diambil dari ayat Al- Qur’an dan Hadis
Rasulullah saw. Umpamanya dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 173:

‫ِاَّنَم ا َح َّر َم َع َلْيُك ُم اْلَم ْيَتَة َو الَّد َم َو َلْح َم اْلِخ ْنِزْيِر َو َم ٓا ُاِهَّل ِبٖه ِلَغْيِر ِهّٰللاۚ َفَمِن اْض ُطَّر َغ ْيَر َباٍغ‬
‫َّو اَل َعاٍد َفٓاَل ِاْثَم َع َلْيِهۗ ِاَّن َهّٰللا َغُفْو ٌر َّرِح ْيٌم‬
Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah,
daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.
Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa
baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Adapun dalam Hadis Nabi yang berbunyi:
‫اَل َض َر َر َو اَل ِض َر اَر‬
Artinya: “Tidak boleh membuat kemudaratan dan membalas kemudaratan”.
Kaidah ini sangat berperan dalam pembinaan hukum Islam, terutama untuk
menghindari berbagai kemudaratan dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena
itu, hukum Islam membolehkan pengembalian barang yang telah dibeli karena
cacat, mengajarkan khiyar dalam jual beli, mengajarkan perwalian untuk
membantu orang yang tidak cakap, mengajarkan hak syuf’ah bagi tetangga
(Ibrahim, 2019: 78-81).
Kaidah Kelima:
‫َاْلَعاَد ُة ُم َح َّك َم ٌة‬
Artinya: “Adat kebiasaan itu dapat ditetapkan sebagai hukum” (as-Suyuthi
dalam Ibrahim, 2019: 90). Kaidah ini diambil dari Hadis sebagai berikut:
‫َم ا َر آُه اْلُم ْسِلُم وَن َح َس ًنا َفُهَو ِع ْنَد ِهَّللا َح َس ٌن‬
Artinya: “Apa yang dipandang baik kaum muslimin maka baik juga di sisi
Allah”. Atas dasar ini, maka adat yang baik (Al-urf al-shahih), yakni yang
tidak bertentangan dengan syariat Islam dapat dijadikan sebagai aturan hukum.
Banyak sekali aturan hukum Islam atau fiqh yang ditetapkan dengan
mempertimbangkan adat kebiasaan ini. Umpamanya, jual beli ta’athi

7
(mengambil barang atau benda, kemudian memberikan sejumlah uang atau alat
tukar lainnya yang telah diketahui), penempelan atau pelabelan harga barang
seperti yang sering dilakukan di mal-mal atau super market, atau pengumuman
melalui lisan atau tulisan (Ibrahim, 2019: 90-92).
2. Kaidah-kaidah Fiqh Cabang yang Disepakati oleh Mayoritas Ulama
Pemakalah merujuk kepada pendapat As-Suyuthi yang menyatakan
bahwa kaidah-kaidah fiqh cabang yang disepakati oleh mayoritas ulama
berjumlah 40 kaidah. Akan tetapi, pemakalah hanya mencatumkan 10 kaidah
saja.

Kaidah Pertama:
Artinya: “Ijtihad tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad” (As-Suyuthi dalam
Ibrahim, 2019: 101).
Kaidah ini memberikan penjelasan bahwa pada prinsipnya suatu hasil
ijtihad yang dilakukan pada masa yang lalu tidak boleh dibatalkan oleh ijtihad
yang dilakukan kemudian, baik oleh seseorang mujtahid itu sendiri maupun
mujtahid yang lain. Kaidah dirumuskan berdasarkan pendapat-pendapat para
sahabat ini, dapat dicontohkan pada masalah pembagian harta warisan yang
ahli warisnya terdiri dari suami, ibu, dan dua orang saudara seibu dan saudara
sekandung. Pada mulanya, Umar berdasarkan ijtihadnya menetapkan bahwa
saudara kandung yang ashabah itu tidak mendapat bagian karena tidak ada sisa
lagi. Pada saat yang lain, dalam kasus yang sama Umar menetapkan bahwa
saudara kandung tersebut sama dengan dua orang saudara seibu dalam
pembagian warisan, yakni (1/3) harta peninggalan. Keputusan berdasarkan
hasil ijtihad terakhir ini, tidak membatalkan keputusan berdasarkan hasil
ijtihadnya terdahulu (Ibrahim, 2019: 101-102).
Kaidah Kedua:
Yang artinya: “Perbedaan hukum-hukum ijtihadiyah disebabkan perbedaan
lingkungan dan wilayah” (As-Suyuthi dalam Ibrahim, 2019: 103).
Kaidah ini sesungguhnya berasal dari ungkapan Umar bin Khatab, yang
karena telah memenuhi kriteria dapat dipandang sebagai kaidah fiqh. Produk

8
hukum dari ijtihad, baik yang dilakukan secara individu maupun kolektif,
tidaklah dimaksudkan untuk diberlakukan untuk setiap tempat dan sepanjang
masa, melainkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, sesuai kondisi
lingkungan dan wilayah mereka yang tentunya dipengaruhi oleh tradisi yang
berbeda (Ibrahim, 2019: 103).
Kaidah Ketiga:
Yang artinya: “Apabila berkumpul halal dan haram, maka dimenangkan yang
haram”. Yakni dipegangi hukum yang haram (As-Suyuthi dalam Ibrahim,
2019: 103).
Untuk memahami kaidah ini diilustrasikan terlebih dahulu sebagai
berikut: Seorang pemburu menembak seekor binatang buruan (umpamanya
rusa), tembakannya kena tetapi binatang rusa itu terus berlari ke suatu tempat
yang tinggi. Dari tempat yang tinggi itu, binatang tersebut tergelincir dan jatuh
hingga mati. Dalam kondisi semacam ini, pemburu tersebut diharamkan untuk
makan daging binatang tersebut. Karena kematian binatang itu ada
kemungkinan karena luka tembakan (sehingga halal dimakan) dan ada
kemungkinan kematiannya itu karena terjatuh (sehingga haram dimakan).
Manakala berkumpul kemungkinan halal dan haram ini, maka menurut kaidah
di atas, seorang pemburu itu tidak dibolehkan makan binatang rusa tersebut
(Ibrahim, 2019: 104).
Kaidah Keempat:
Yang artinya: “Mengutamakan orang lain dalam urusan ibadah adalah makruh
dan dalam urusan selainnya (urusan dunia) adalah disenangi” (As-Suyuthi
dalam Ibrahim, 2019: 104).
Dari kaidah ini dipahami bahwa mengutamakan orang lain dalam
pengambilan shaf (barisan) terdepan untuk salat berjemaah adalah makruh.
Tetapi mengutamakan orang lain dalam hal menerima infak adalah disenangi
atau dipuji agama (Ibrahim, 2019: 105).
Kaidah Kelima:
Yang artinya: “Pengikut itu adalah pihak yang mengikut” (As-Suyuthi dalam
Ibrahim, 2019: 105).

9
Hukum yang ada pada yang diikuti diberlakukan juga pada yang
mengikuti. Dari kaidah di atas, maka dapat dicontohkan apabila ada transaksi
jual beli binatang yang sedang bunting, maka anak dalam kandungannya
tersebut termasuk ke dalam akad jual beli yang diadakan itu (Ibrahim, 2019:
105).
Kaidah Keenam:
Yang artinya: “Tindakan pemimpin (Imam) terhadap rakyatnya harus dikaitkan
dengan kemaslahatan (As-Suyuthi dalam Ibrahim, 2019: 110).
Kaidah ini merupakan acuan para pemimpin atau pemerintah dalam
mengambil kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan rakyat. Sebagai
pemegang amanat, para pemimpin diharapkan mempertimbangkan
kemaslahatan rakyatnya dalam menentukan kebijakan (Ibrahim, 2019: 110).
Kaidah Ketujuh:
Yang artinya: “Hukuman had gugur karena syubhat (samar-samar)” (As-
Suyuthi dalam Ibrahim, 2019: 113-114).
Kaidah ini mengandung makna bahwa manakala sebelum didapatkan
bukti yang menunjukkan perbuatan yang dilakukan seseorang itu adalah
melanggar aturan maka seseorang itu tidak dapat dijatuhi hukuman had (yang
telah ditentukan syara’). Sebelum memberikan hukuman, seorang hakim harus
benar-benar yakin bahwa yang melakukan kejahatan itu benar-benar
melakukan pelanggaran nash atau undang-undang yang jelas. Oleh karena itu,
manakala masih ada keraguan (syubhat), maka hukuman had belum dapat
diterapkan terhadap pelaku (Ibrahim, 2019: 114-115).
Kaidah Kedelapan:
Yang artinya: “Yang mengelilingi larangan hukumnya sama dengan yang
dikelilingi” (As-Suyuthi dalam Ibrahim, 2019: 118).
Harim dimaksudkan dalam konteks ini adalah sesuatu yang mengelilingi
sesuatu yang haram. Umpamanya, dua belah paha yang mengelilingi kemaluan.
Harim dari sesuatu perbuatan wajib adalah sesuatu yang tidak akan sempurna
yang wajib itu, kecuali kalau ada dia. Atas dasar ini, maka wajib menutup
bagian pusar dan lutut, ketika menutup aurat (Ibrahim, 2019: 118).

10
Kaidah Kesembilan:
Yang artinya: “Apabila berkumpul dua perkara satu jenis, dan tidak berbeda
maksud dari keduanya, maka menurut biasanya yang satu masuk kepada yang
lain” (As-Suyuthi dalam Ibrahim, 2019: 119).
Dari kaidah ini dapat dipahami bahwa apabila ada dua perkara yang
masuk kepada yang lain, maka cukup dikerjakan salah satu yang lebih besar
dari dua perkara tersebut, karena sebenarnya yang lebih besar itu telah
mencakup yang lebih kecil. Umpamanya, manakala seseorang berhadas kecil
dan hadas besar (junub), maka cukup bersuci dengan mandi saja. Demikian
juga, seseorang masuk masjid kemudian salat fardu, dalam hal ini sudah
tercakup salat tahiyyatul masjid (Ibrahim, 2019: 119).
Kaidah Kesepuluh:
Yang artinya: “Mengamalkan maksud suatu kalimat, lebih utama daripada
mengabaikannya” (As-Suyuthi dalam Ibrahim, 2019: 119).
Manakala suatu perkataan itu jelas maksudnya, maka haruslah diamalkan
sesuai dengan yang dimaksud. Tetapi, manakala suatu perkataan itu belum
jelas maksudnya, maka mengamalkan lebih baik dari pada meniadakannya.
Umpamanya, ada seseorang yang mewasiatkan hartanya ditujukan kepada
anak-anaknya, padahal ia tidak mempunyai anak lagi, yang ada hanya cucu-
cucunya. Maka dalam hal ini harta wasiat tersebut wajib diberikan kepada
cucu-cucunya (Ibrahim, 2019: 120).
3. Kaidah-kaidah Fiqh Cabang yang Diperselisihkan oleh Para Ulama
Pemakalah merujuk kepada pendapat As-Suyuthi yang menyatakan
bahwa kaidah-kaidah fiqh cabang yang diperselisihkan oleh para ulama
berjumlah 20 kaidah. Akan tetapi, pemakalah hanya mencatumkan 10 kaidah
saja.
Kaidah Pertama:
Yang artinya: “Salat jumat itu adalah salat zuhur yang dipendekkan atau salat
sebagaimana adanya” (As-Suyuthi dalam Ibrahim, 2019: 155).
Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat ulama. Pertama, ulama yang
berpendapat bahwa salat jumat itu adalah salat zuhur yang dipendekkan.

11
Implikasinya adalah bahwa salat jumat boleh dijamak (digabung) dengan salat
asar. Kedua, ulama yang berpendapat bahwa salat jumat adalah salat
sebagaimana adanya, bukan salat zuhur yang dipendekkan. Implikasinya, salat
jumat tidak boleh dijamak dengan salat asar (Ibrahim, 2019: 155).
Kaidah Kedua:
Yang artinya: “Salat di belakang orang yang berhadas namun tidak diketahui
keadaannya. Apabila menurut kita sah, apakah salat itu adalah salat berjemaah
atau salat sendirian” (As-Suyuthi dalam Ibrahim, 2019: 156).
Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat ulama. Pertama, ulama yang
berpendapat bahwa dalam kasus seseorang makmum mengikuti imam yang
berhadas tapi tidak diketahui keadaannya, bila kita berpendapat sah maka
salatnya itu adalah salat berjemaah. Kedua, ulama yang berpendapat bahwa
dalam kasus semacam ini salat itu dianggap salat sendirian (Ibrahim, 2019:
156).
Kaidah Ketiga:
Yang artinya: “Siapa yang melakukan sesuatu yang menafikan fardu bukan
sunnah, baik pada awal fardu maupun pertengahannya, niscaya batalah
fardunya. Tetapi apakah salatnya itu menjadi sunnah atau batal sama sekali?”
(As-Suyuthi dalam Ibrahim, 2019: 156).
Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat ulama. Pertama, ulama yang
berpendapat bahwa orang yang menafikan fardu, maka batal salat fardunya
(umpamanya seorang itu meninggalkan syarat atau rukun), dan salat yang
dilaksanakannya itu menjadi salat sunnah. Kedua, ulama yang berpendapat
bahwa dalam kasus semacam ini, salat yang dilakukannya itu batal sama sekali
(Ibrahim, 2019: 157).
Kaidah Keempat:
Yang artinya: “Nazar itu apakah diberlakukan sebagai wajib atau jaiz” (As-
Suyuthi dalam Ibrahim, 2019: 157).
Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat ulama. Pertama, ulama yang
berpendapat bahwa nazar itu diberlakukan sebagai hal yang wajib.
Umpamanya, apabila seseorang menunaikan puasa nazar, maka ia harus berniat

12
di malam hari sebagaimana puasa wajib. Kedua, ulama yang berpendapat
bahwa nazar itu diberlakukan sebagai hal yang jaiz atau mubah. Sebab itu,
apabila seseorang akan menunaikan puasa nazar maka dibolehkan berniat di
waktu pagi, tidak perlu di malam hari (Ibrahim, 2019: 157).
Kaidah Kelima:
Yang artinya: “Apakah yang dipertimbangkan itu lafaz akad ataukah
maknanya?” (As-Suyuthi dalam Ibrahim, 2019: 158).
Sebagai contoh: “Ada seseorang yang mengadakan transaksi, dengan
mengatakan saya beli laptop engkau dengan syarat model yang terbaru, harga
Rp. 5.000.000”. Kemudian penjual menjawab: “Ya, jadi”. Dilihat dari bentuk
akadnya adalah akad jual beli, sedangkan menurut maknanya adalah akad
salam (pesanan). Demikian juga seseorang berkata kepada temannya: “Ini,
engkau akan aku beri uang, tetapi nanti engkau kembali dari pasar, saya minta
sehelai bajunya”. Hal ini terjadi perbedaan pendapat ulama. Menurut sebagian
ulama, ucapan semacam ini adalah akad hibah, sedangkan menurut ulama yang
lain, ucapan seseorang tersebut adalah akad jual beli” (Ibrahim, 2019: 158).
Kaidah Keenam:
Yang artinya: “Barang yang dipinjam untuk gadai, apakah pantas sebagai
jaminan ataukah sebagai pinjaman?” (As-Suyuthi dalam Ibrahim, 2019: 158).
Umpamanya, seseorang meminjam motor honda dari temannya dan terus
terang mengatakan bahwa motor honda tersebut akan digadaikan. Setelah
motor digadaikan tiba-tiba motor tersebut dicuri orang. Sebagian ulama
berpendapat bahwa pihak penggadai tidak wajib mengganti, demikian pula
penerima gadai. Sebagian lain berpendapat, bahwa penggadai sebagai
pemimjam dan yang menggadaikan motor itu wajib menggantinya (Ibrahim,
2019: 159).
Kaidah Ketujuh:
Yang artinya: “Hiwalah, apakah ia jual beli atau kewajiban yang dipenuhi?”
(As-Suyuthi dalam Ibrahim, 2019: 159).
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat: Pertama, ulama yang
berpendapat bahwa hiwalah adalah akad jual beli. Kedua, ulama yang

13
berpendapat bahwa akad hiwalah itu dianggap sebagai pembayaran saja.
Umpamanya, Elan mempunyai tanggungan utang sebesar Rp. 1.000.000 yang
harus dilunasinya kepada Ujang, sedangkan Ujang juga masih harus membayar
hutangnya sejumlah Rp.1.000.000 kepada Fikri. Jadi, Ujang di satu sisi wajib
membayar utang kepada Fikri, di sisi lain ia berhak menerima pembayaran
utang dari Elan dengan jumlah yang sama. Ujang berkata kepada Elan: “Uang
saya Rp.1.000.000 yang harus engkau bayarkan nanti, dibayarkan saja kepada
Fikri, sebab saya berutang Rp 1.000.000 kepadanya”. Kepada Fikri, Ujang
berkata: “Hutang saya Rp 1.000.00 kepadamu nanti akan dibayar oleh Elan”.
Akad hiwalah semacam ini, boleh khiyar, sebab hiwalah itu berarti jual beli.
Namun, sebagian ulama berpendapat bahwa akad hiwalah semacam ini tidak
ada khiyar, sebab hilawah itu berarti pembayaran (Ibrahim, 2019: 159-160).
Kaidah Kedelapan:
Yang artinya: “Pembebasan utang, apakah sebagai pengguguran utang atau
merupakan pemberian untuk dimiliki” (As-Suyuthi dalam Ibrahim, 2019: 160).
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Pertama, ulama yang
berpendapat bahwa pembebasan utang tersebut adalah pengguguran utang.
Kedua, ulama yang berpendapat bahwa pembebasan utang itu adalah
kepemilikan saja. Umpamanya, seorang buruh meminjam uang sebesar Rp
100.000 kepada majikannya. Mengingat buruh tersebut membebaskan utang
buruhnya tersebut. Dalam hal ini berbeda pendapat ulama. Pertama, ulama
yang berpendapat bahwa majikan boleh menarik kembali “pembebasan
utangnya”, sebab pembebasan sama dengan pemilikan. Kedua, ulama yang
berpendapat bahwa majikan tidak boleh menarik “pembebasan utangnya”,
karena pembebasan berarti pengguguran (Ibrahim, 2019: 160-161).
Kaidah Kesembilan:
Yang artinya: “Al-iqalah (pencabutan jual beli terhadap orang yang menyesal)
itu, apakah fasakh (pembatalan jual beli), ataukah bai’ (jual beli kembali)” (As-
Suyuthi dalam Ibrahim, 2019: 161).
Umpamanya, ada seseorang yang membeli sebuah rumah mewah, tetapi
karena merasa harganya mahal, maka pembeli merasa menyesal. Lantas si

14
penjual menginginkan iqalah (pencabutan jual beli terhadap orang yang
menyesal). Dalam hal ini, seandainya iqalah dianggap sebagai fasakh
(pembatalan jual beli), maka tidak perlu ijab kabul. Tetapi, kalau dianggap
sebagai jual beli, maka harus ada ijab kabul (Ibrahim, 2019: 161).
Kaidah Kesepuluh:
Yang artinya: “Maskawin yang sudah ditentukan dan masih dalam genggaman
suami yang belum diterima oleh istri, hal itu merupakan barang yang dijamin
dengan dhoman akad ataukah dengan dhoman yad?” (As-Suyuthi dalam
Ibrahim, 2019: 161-162).
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Pertama, ulama yang
berpendapat bahwa masalah maskawin yang sudah ditentukan tapi masih
dalam genggaman suami ditanggung dengan dhaman akad. Konsekuensinya,
maskawin itu apabila dianggap sebagai barang yang ditanggung akad, maka
tidak sah untuk dijual sebelum diterima. Kedua, ulama yang berpendapat
bahwa masalah ini adalah ditanggung dengan dhaman yad. Konsekuensinya,
maskawin itu apabila dianggap sebagai barang yang dianggap dhaman yad,
maka boleh dijual walaupun masih berada ditangan suami (Ibrahim, 2019:
162).
C. Perbedaan antara Al-Qowaidul Fiqhiah dengan Al-Qowaidul Ushuliah
Kaidah fiqh dan kaidah ushul fiqh dapat dibedakan secara lebih rinci dan jelas
dalam uraian di bawah ini dalam perspektif perbandingan, yaitu sebagai berikut
(Al-Nadwi dalam Firdaus, 2015: 12-13):
1. Al-qowaidul ushuliah adalah kaidah-kaidah bersifat kulli (umum) yang dapat
diterapkan pada semua bagian-bagian dan objeknya. Sementara al-qowaidul
fiqhiah adalah himpunan hukum-hukum yang biasanya dapat diterapkan pada
mayoritas bagian-bagiannya. Namun, kadangkala ada pengecualian dari
kebiasaan yang berlaku umum tersebut.
2. Al-qowaidul ushuliah atau ushul fiqh merupakan metode untuk
mengistinbathkan hukum secara benar dan terhindar dari kesalahan.
Kedudukannya persis sama dengan ilmu nahwu yang berfungsi melahirkan
pembicaraan dan tulisan yang benar. Al-qowaidul ushuliah sebagai metode

15
melahirkan hukum dari dalil-dalil terperinci sehingga objek kajiannya selalu
berkisar tentang dalil dan hukum. Misalnya, setiap amar atau perintah
menunjukkan wajib dan setiap larangan menunjukkan untuk hukum haram.
Sementara al-qowaidul fiqhiah adalah ketentuan (hukum) yang bersifat kulli
(umum) atau kebanyakan yang bagian-bagiannya meliputi sebagian masalah
fiqh. Objek kajian al-qowaidul fiqhiah selalu menyangkut perbuatan mukallaf.
3. Al-qowaidul ushuliah sebagai pintu untuk mengistinbathkan hukum syara’
yang bersifat amaliah. Sementara al-qowaidul fiqhiah merupakan himpunan
sejumlah hukum-hukum fiqh yang serupa dengan ada satu illat (sifat) untuk
menghimpunnya secara bersamaan. Tujuan adanya qowaid fiqhiah untuk
menghimpun dan memudahkan memahami fiqh.
4. Al-qowaidul ushuliah ada sebelum ada furu’ (fiqh). Sebab, al-qowaidul
ushuliah ini digunakan ahli fiqh untuk melahirkan hukum (furu’). Sedangkan
al-qowaidul fiqhiah muncul dan ada setelah ada furu’ (fiqh). Sebab, al-
qowaidul fiqhiah berasal dari kumpulan sejumlah masalah fiqh yang serupa, ada
hubungan dan sama substansinya.

16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pengertian Al-Qowaidul Fiqhiah
Suatu konsep hukum dalam Islam yang mencakup prinsip-prinsip umum
yang berlaku menyeluruh, dan dapat digunakan sebagai dasar untuk memahami
dan menetapkan hukum-hukum syariat terkait dengan berbagai peristiwa.
Kaidah ini mencakup hukum-hukum yang bersifat umum dan kembali kepada
qiyas atau analogi yang mengumpulkannya yang tersusun dalam teks-teks
(nash) yang singkat.
2. Pembagian Macam-macam Al-Qowaidul Fiqhiah
a. Kaidah-kaidah fiqh induk (al-qawaid al-asasiyah).
b. Kaidah-kaidah fiqh cabang yang disepakati oleh mayoritas ulama.
c. Kaidah-kaidah fiqh cabang yang diperselisihkan oleh para ulama.
3. Perbedaan antara Al-Qowaidul Fiqhiah dengan Al-Qowaidul Ushuliah
a. Al-qowaidul ushuliah adalah kaidah-kaidah bersifat kulli (umum) yang
dapat diterapkan pada semua bagian-bagian dan objeknya. Sementara al-
qowaidul fiqhiah adalah himpunan hukum-hukum yang biasanya dapat
diterapkan pada mayoritas bagian-bagiannya, namun terkadang ada
pengecualian dari kebiasaan yang berlaku umum tersebut.

17
b. Al-qowaidul ushuliah sebagai metode melahirkan hukum dari dalil-dalil
terperinci sehingga objek kajiannya selalu berkisar tentang dalil dan hukum.
Sementara al-qowaidul fiqhiah adalah ketentuan (hukum) yang bersifat kulli
(umum) atau kebanyakan yang bagian-bagiannya meliputi sebagian masalah
fiqh. Objek kajian al-qowaidul fiqhiah selalu menyangkut perbuatan
mukallaf.
c. Al-qowaidul ushuliah sebagai pintu untuk mengistinbathkan hukum syara’
yang bersifat amaliah. Sementara al-qowaidul fiqhiah merupakan himpunan
sejumlah hukum-hukum fiqh yang serupa dengan ada satu illat (sifat) untuk
menghimpunnya secara bersamaan.
d. Al-qowaidul ushuliah ada sebelum ada furu’ (fiqh).
B. Saran
Seseorang yang ingin menggali keilmuan di bidang hukum Islam sebaiknya
tidak hanya memfokuskan diri pada pemahaman ushul fiqh dan fiqh, tetapi juga
memperdalam kaidah-kaidah fiqh. Ini diperlukan agar pemahaman terhadap
masalah-masalah dalam fiqh menjadi lebih menyeluruh. Pengetahuan tentang
kaidah-kaidah fiqh juga membantu dalam menanggapi perbedaan pendapat di
kalangan ulama, memberikan landasan untuk menemukan solusi dalam situasi-
situasi kontroversial, dan memperkuat keyakinan seseorang sesuai dengan prinsip-
prinsip yang telah mapan. Oleh karena itu, untuk memperdalam studi hukum Islam,
disarankan agar pembelajaran kaidah-kaidah fiqh diintegrasikan sebagai bagian tak
terpisahkan dari pendidikan hukum, yang pada gilirannya akan mengembangkan
perspektif yang lebih komprehensif dan keterampilan analitis yang kuat dalam
merespons dan memahami masalah-masalah fiqh yang kompleks.
Penulis mengundang pembaca untuk memberikan saran dan kritik terhadap
tulisan ini. Partisipasi pembaca sangat dihargai sebagai motivasi dan panduan
berharga untuk meningkatkan kualitas penulisan di masa mendatang. Dengan
berbagi pandangan, para pembaca turut berperan dalam pengembangan konten,
memastikan bahwa tulisan tidak hanya bermanfaat tetapi juga mencapai standar
yang diharapkan. Keterbukaan penulis terhadap umpan balik adalah kunci

18
pertumbuhan dan penyempurnaan, dan setiap kontribusi dari pembaca akan
dihargai sepenuh hati.

DAFTAR PUSTAKA

Andiko, Toha. 2011. ILMU QAWA’ID FIQHIYYAH Panduan Praktis Dalam Merespon
Problematika Hukum Islam Kontemporer. Yogyakarta: Penerbit Teras.
Djazuli. 2017. KAIDAH-KAIDAH FIKIH: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
Masalah-masalah yang Praktis. Jakarta: KENCANA.
Firdaus. 2015. Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah: Membahas Kaidah-Kaidah Pokok dan Populer Fiqh.
Padang: Imam Bonjol Press.
Ibrahim, Duski. 2019. AL-QAWA`ID AL-FIQHIYAH (KAIDAH-KAIDAH FIQIH). Palembang:
CV. AMANAH.
Rohim, Mif. 2019. Buku Ajar Qawa’id Fiqhiyyah (Inspirasi dan Dasar Penetapan Hukum).
Jombang: LPPM UNHASY TEBUIRENG JOMBANG.

19
20

Anda mungkin juga menyukai