Bismillahirrahmanirrahim
Puji serta syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kelompok kami dapat menyelesaikan makalah Qowaid Fiqhiyah
Muamalah yang berjudul “Kaidah Fiqih Al umur bi Maqashidiha” ini tepat pada waktunya.
Adapun maksud dan tujuan makalah ini dibuat adalah untuk memenuhi tugas
terstruktur pada mata kuliah Qowaid Fiqhiyah Muamalah. Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan mengenai konsep qawaid fiqih bagi pembaca maupun
penulis.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran dari pembaca yang membangun kami harapkan demi kesempurnaan
makalah ini.
Akhir kata kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak terutama
kepada bapak Fairuz ‘Ainun Na’im, c. MA. selaku dosen pengampu pada mata kuliah,
Qowaid Fiqhiyah Muamalah yang turut memberikan bantuan dan dukungan kepada kami.
Kami harapkan semoga makalah yang kami buat bisa bermanfaat bagi semua.
Kelompok 02
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................................2
DAFTAR ISI.................................................................................................................................. 3
BAB I...............................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.......................................................................................................................... 4
A. Latar Belakang....................................................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah.................................................................................................................. 5
C. Tujuan Penulisan....................................................................................................................5
BAB II............................................................................................................................................. 6
PEMBAHASAN............................................................................................................................. 6
B. Dalil Kaidah........................................................................................................................ 8
C. Cabang Kaidah................................................................................................................... 9
Contoh Kaidah............................................................................................................................. 13
Kesimpulan............................................................................................................................... 14
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-umur maqoshiduha dalam Islam mengacu pada pentingnya mempertimbangkan
niat atau tujuan yang benar saat menentukan usia seseorang untuk melakukan sesuatu.
Dalam banyak hukum Islam (fiqh), usia seseorang sering menjadi faktor penting dalam
menentukan apakah seseorang memenuhi syarat untuk melakukan tindakan tertentu, seperti
menikah atau menjalankan ibadah tertentu. Al-umur maqoshiduha juga mengingatkan
bahwa penting untuk memahami dan mempertimbangkan niat atau tujuan sejati di balik
aturan tersebut. Sebagai contoh, ketika seorang individu mencapai usia yang ditentukan
untuk menikah, penting bagi mereka untuk memiliki niat yang tulus dan benar saat
memasuki ikatan pernikahan. Ini berarti bahwa niat untuk menikah harus sesuai dengan
prinsip-prinsip dan maksud hukum Islam, yaitu menjaga keturunan, akal, dan agama.
Niat merupakan hal yang penting dalam kajian Islam, tidak hanya
diimplementasikan pada ibadah (wajib maupun sunnah), niat juga dimplementasikan dalam
kegiatan muamalah. Karena niat, seseorang bisa dinilai mengerjakan kebajikan atau
kejahatan. Dengan niat sesorang juga dapat diganjar pahala atau dosa. Seseorang bisa
dianggap berdosa meskipun melakukan kegiatan yang secara tangible (tampak) merupakan
ibadah, Misalnya seseorang yang melakukan shodaqoh dari hasil korupsinya dengan niat
mengelabui pihak lain dan agar terlihat baik di depan orang lain. Jika kita hanya mengamati
saja, kita bisa menganggap orang tersebut akan mendapatkan pahala dari shodaqohnya,
namun karena tersimpan niat ingin menutupi kejahatannya (korupsi) dan karena memiliki
niatan ingin dipuji oleh orang lain. Namun di sisi lain, seseorang akan dapat mendapatkan
pahala hanya karena berniat akan melakukan hal baik, meskipun hal baik itu belum sempat
dilakukan. Misalnya jika sebelum tidur seseorang berniat bangun untuk sholat tahajud,
namun ternyata dia baru terbangun saat adzan subuh, maka meskipun dia tidak melakukan
tahajud, hal yang sudah diniatkan tetap diganjar pahala oleh Allah.1
Dalam kajian Fiqh ada kaidah maa yustaroru fiihi ta'yin, falkhotoou fiihi mubtal,
yang merupakan kaidah yang berkenaan dengan niat.akar dari kaidah Al-Umuru Bi
maqasidiha sama berkaitan tentang niat. Dalam tataran filosofis, berfikir dan merasa dinilai
sebagai sebuah kodrat alamiah yang dimiliki manusia. Pikiran dan perasaan akan
menopang manusia untuk melakukan suatu perbutan agar lebih bermakna. Dengan
pikiranya, manusia berusaha untuk membangun tujuan hidup dan idealismenya. Dengan
1
Rachmad Risqy K, “Pentingnya Menghadirkan Niat Secara Benar dalam Hal Bermuamalah”, Journal of
Economics and Business Innovation, (2021), hal 2.
4
tujuan dan idealism itulah manusia bisa memaknai hidup melalui jalur fitrah secara
berkualitas. Tanpa sebuah tujuan, maka nilai perbuatan yang dilakukan manusia menjadi
absurd tanpa makna. Dalam tataran realitas kitapun mengakui bahwa setiap perbuatan yang
kita kerjakan pasti didasari motivasi ataupun tujuan tertentu. Jika tidak ada tujuan, maka
perbuatan itu pastilah bersifat spekulatif.2
B. Rumusan Masalah
Mengacu pada latar belakang yang telah diuraikan, permasalahan yang dapat
dilihatdalam makalah ini yaitu:
C. Tujuan Penulisan
BAB II
PEMBAHASAN
2
Syamsul Bahri, “Aktualisasi Kaidah Al-Umuru Bi Maqashidiha dalam Pencatatan Perkawinan di
Indonesia”, Jurnal Studi Keislaman, Vol 7, No. 2 (2022), hal 242.
5
A. Pengertian kaidah al-Umur bi Maqashidiha
Kaidah al-umuru bi maqashidiha terbentuk dari dua unsur yakni lafadz al-umuru
dan al- maqashid terbentuk dari lafadz al-amru dan al-maqshid. Secara etimologi lafadz
al-umuru merupakan bentuk dari lafadz al-amru yang berarti keadaan, kebutuhan,
peristiwa dan perbuatan. jadi, dalam bab ini lafadz al-umuru bi maqashidiha diartikan
sebagai perbuatan dari salah satu anggota.
Sedangkan menurut terminologi berarti perbutan dan tindakan mukallaf baik
ucapan atau tingkah laku, yang dikenai hukum syara’ sesuai dengan maksud dari
pekerjaan yang dilakukan. Sedangkan maqashid secara bahasa adalah jamak dari
maqshad, dan maqsad mashdar mimi dari fi’il qashada, dapat dikatakan: qashada-
yaqshidu-qashdan-wamaksadan, al qashdu dan al maqshadu artinya sama, beberapa arti
alqashdu adalah ali’timad berpegang teguh, al amma, condong, mendatangi sesuatu dan
menuju.
Kaidah pertama ini (al-umuru bi maqasidiha) menegaskan bahwa semua urusan
sesuai dengan maksud pelakunya kaidah itu berbunyi: “( اأﻟﻤﻮر ﺑﻤﻘـﺎﺻﺪھﺎsegala perkara
tergantung kepada niatnya”). Niat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun
makna perbuatan seseorang, apakah seseorang melakukan perbuatan itu dengan niat
ibadah kepada Allah dengan melakukan perintah dan menjauhi laranganNya. Atau dia
tidak niat karena Allah, tetapi agar disanjung orang lain. Pengertian kaidah ini bahwa
hukum yang berimplikasi terhadap suatu perkara yang timbul dari perbuatan atau
perkataan subjek hukum (mukallaf) tergantung pada maksud dan tujuan dari perkara
tersebut. Kaidah ini berkaitan dengan setiap perbuatan atau perkara-perkara hukum yang
dilarang dalam syari’at Islam
Niat itu diperlukan karena Untuk membedakan amalan yang bernilai ibadah
dengan yang hanya bersifat adat (kebiasaan). Seperti halnya makan, minum, tidur dan
lain-lain. hal itu merupakan suatu keniscayaan bagi kita sebagai manusia, disadari atau
tidak kita butuh keberadaanya karena hal yang seperti itu termasuk kategori kebutuhan
primer. Akan tetapi jika dalam aktualisasinya kita iringi dengan niat untuk mempertegar
tubuh sehingga lebih konsentrasi dalam berinteraksi dengan Tuhan maka disamping kita
bisa memenuhi kebutuhan juga akan bernilai ibadah di sisi Allah. Jika seseorang
mencaburkan diri ke dalam sungai apabila tidak berniat maka berarti ia mandi biasa,
tetapi jika ia berniat untuk berwudhu maka ia dihukumkan berwudhu. Akan tetapi bagi
amalan-amalan yang secara eksplisit sudah berbeda dengan amalan yang tidak bernilai
ibadah maka tidak diperlukan adanya niat seperti halnya iman, dzikir dan membaca al-
Qur’an. Dan juga termasuk amalan yang tidak membutuhkan niat adalah meninggalkan
6
hal-hal yang dilarang oleh agama. Untuk membedakan satu ibadah dengan ibadah yang
lainnya. Dengan niat itu kita bisa menciptakan beraneka ragam ibadah dengan tingkatan
yang berbeda namun dengan tata cara yang sama seperti halnya wudhu’, mandi besar,
shalat dan puasa.
Sebagai syarat diterimanya perbuatan ibadah. Ada tiga syarat yang harus dipenuhi.
Pertama, adalah dengan adanya niat yang ikhlas. Kedua adalah perbuatan atau pekerjaan
tersebut harus sesuai dengan yang disyariatkan oleh Allah dan dicontohkan oleh Rasul-
Nya. Ketiga, adalah meng-istishhab-kan niat sampai akhir pekerjaan ibadah. Niat yang
ikhlas yaitu keberadaan niat harus disertai dengan menghilangkan segala keburukan
nafsu dan keduniaan.Niatnya itu hanya semata-mata perintah Allah. Hal ini dijelaskan
oleh Allah dalam beberapa ayat, antara lain pada surah al-Nisa ayat 125;
ُﱠ# وَٱﺗﱠﺒَﻊَ ﻣِﻠﱠﺔَ إِﺑۡﺮَٰھِﯿﻢَ ﺣَﻨِﯿﻔٗﺎۗ وَٱﺗﱠﺨَﺬَ ٱٞﱠِ وَھُﻮَ ﻣُﺤۡﺴِﻦ# وَﻣَﻦۡ أَﺣۡﺴَﻦُ دِﯾﻨٗﺎ ﻣﱢﻤﱠﻦۡ أَﺳۡﻠَﻢَ وَﺟۡﮭَﮫُۥ
ٗإِﺑۡﺮَٰھِﯿﻢَ ﺧَﻠِﯿﻼ١٢٥
Artinya; Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas
menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia
mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi
kesayangan-Nya.
Menyerahkan dirinya kepada Allah artinya, mengikhlaskan amal kepada Allah,
mengamalkan dengan iman dan mengharapkan ganjaran dari Allah. Adapun ibadah itu
mengikuti petunjuk Rasulullah SAW. karena apabila menyalahi dari petunjuk Rasulullah
SAW. maka ibadah itu tertolak. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW.
Artinya; “Barangsiapa yang beramal tanpa adanya perintah dari kami, maka
amalan tersebut tertolak”. 3
B. Dalil Kaidah
Kaidah Fikih adalah adalah rumusan dasar hukum yang disusun dalam kata-kata
yang ringkas tapi memuat cakupan dalil-dalil hukum yang luas untuk menjawab suatu
permasalahan hukum. kaidah berasal dari bahasa Arab yaitu Qa’idah yang berarti asas,
dasar atau pondasi.4
Dalam bentuk plural disebut Qawa’id yang bermakna asas dan pondasi sesuatu,
baik secara zahir ataupun maknawi. Kaidah-kaidah fikih dibagi kepada dua kategori,
3
http://catatansimol.blogspot.com/2017/11/qaidah-fiqih-al-umuru-bi-maqasidiha-dan.html. Diakses pada
15 September 2023.
4
Tahqiq Muhammad SK (Mesir: Mushtafa Al-Babiy Al-Halabiy, 1961). Hal 32.
7
yaitu kaidah pokok (kulliy) dan kaidah cabang (juz’iy) yang merupakan turunannya.
Salah satu kaidah fikih yang populer tentang niat adalah adalah:
َأﻻُْﻣُﻮْرُ ﺑِﻤَﻘَﺎﺻِﺪِھﺎ
“semua urusan tergantung niat dan tujuannya”.
Ibnu Nujaim merumuskan pula sebuah kaidah lain tentang niat :
ُﻓَﮭِﺠْﺮَ ﺗُﮫ،ِ وَإِﻟَﻰ رَﺳُﻮﻟِﮫ،ِّ ﻓَﻤَﻦْ ﻛَﺎﻧَﺖْ ھِﺠْﺮَﺗُﮫُ إِﻟَﻰ ﷲ، وَﻟِﻜُﻞﱢ اﻣْﺮِيْ ﻣَﺎﻧَﻮَى،ِإِﻧﱠﻤَﺎ اﻷْﻋْﻤَﺎلُ ﺑِﺎﻟﻨﱢﯿﱠﺎت
ِ ﻓَﮭِﺠْﺮَﺗُﮫُ إﻟَﻰ ﻣَﺎ ھَﺎﺟَﺮَ إِﻟَﯿْﮫ، أَو اﻣْﺮَأَةٍ ﯾَﺘَﺰَوﱠﺟُﮭَﺎ، وَﻣَﻦْ ھِﺠْﺮَﺗُﮫُ ﻟِﺪُﻧْﯿَﺎ ﯾُﺼِﯿﺒُﮭَﺎ،ِ وَإِﻟَﻰ رَﺳُﻮﻟِﮫ،ِّ#إ
“Sesungguhnya setiap perbuatan itu hanya diberikan nilai terkait dengan niatnya,
dan setiap orang hanya akan dibalas sesuai apa yang diniatkannya, jika niat hijrahnya
karena Allah dan RasulNya, maka hijrahnya dinilai karena Allah dan RasulNya. Namun
jika niat hijrahnya karena berorientasi pada dunia, atau sebab wanita yang ingin
dinikahinya, maka ia akan mendapatkan hanya apa yang diniatkannya.”
Selain hadis di atas, landasan hukum dari kaidah fikih ini juga dapat dirujuk
dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
1. Al-Qur’an
a. Q.S. An-Nisa’ ayat 100
وَﻣَﻦْ ﯾﱠﺨْﺮِجْ ﻣِﻦْ ﺑَﯿْﺘِﮫِ ﻣُﮭَﺎ ﺟِﯿﺮًا إﻟَﻰ ﷲِّ وَرَﺳُﻮﻟِﮫِ ﺷُﻢﱠ ﻓَﻘَﺪْ وَﻗَﻊَ اَﺟْﺮُه ﻋَﻠَﻰ ﷲِّ وَﻛَﻦَ ﷲُّ ﻏَﻔُﻮرًا
“Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah karena Allah dan
Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju),
maka sungguh, pahalanya telah ditetapkan di sisi Allah. Dan Allah Maha Pengampun,
Maha Penyayang”.
2. Hadist
Selain dijelaskan oleh Al-Qur’an, pentingnya kedudukan niat juga ditegaskan
dalam hadis-hadis nabi, di antaranya :
Dan dari hadis Ibnu Mas’ud dalam Musnad Ahmad berbunyi
5
Ibnu Nujaim, (Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyyah, 1999), h. 17.
8
ِرَبﱠ ﻗَﺘِﯿﻞٍ ﺑَﯿْﻦَ اﻟﺼﱠﻔَﯿْﻦِ ﷲُّ أﻋْﻠَﻢُ ﺑِﻨِﯿﱠﺘِﮫ6
“Berapa banyak golongan yang berperang, sedang Allah yang Maha Tahu tentang
niatnya.”
C. Cabang Kaidah
Dalam Qaidah ini memiliki beberapa cabang yang didalamnya membahas lebih
dalam tentang niat, sekurang-kurangnya ada enam cabang Qaidah Al-Umuru bi
maqashidiha, cabang-cabangnya sebagai berikut :
a. Qaidah 1
Misalnya : seseorang hendak melakukan shalat dhuhur kemudian niat shalat ashar
atau sebaliknya, maka shalatnya tidak sah. Demikian pula seseorang hendak berpuasa
untuk membayar kafarat zihar dengan niat puasa kafarat sumpah, maka puasanya tidak
sah.
b. Qaidah 2
Suatu amalan yang harus dijelaskan secara global dan tidak disyaratkan untuk
dirinci, kemudian dijelaskan secara rinci dan ternyata salah, maka membahayakan
(tidak sah).
c. Qaidah 3
6
Ahmad bin Hanbal, (t.tp: Muassasah Al-Risalah, 2001). Juz 6, h. 316.
9
Amalan yang tidak disyaratkan untuk dijelaskan baik secara garis besar maupun
secara rinci , apabila ditentukan (dijelaskan) dan ternyata keliru, maka kekeliruannya
tidak membahayakan (tidak membatalkan).
d. Qaidah 4
Niat dalam sumpah mengkhususkan lafadz umum, tetapi tidak menjadikan umum
pada lafadz yang khusus. Qaidah tersebut dari Imam al-Rafi’i, lalu disebutkan oleh
Imam al-Nawawi dalam kitab al-Raudhah. Contoh : orang yang bersumpah tidak akan
bicara dengan seseorang tetapi yang dimaksud seseorang adalah Umar, maka
sumpahnya hanya berlaku pada Umar.
Orang yang bersumpah tidak akan minum air dari orang lain karena dahaga maka
sumpahnya hanya berlaku pada air, yakni dia tidak melanggar sumpah dengan makan
makanan dari orang lain tadi.
e. Qaidah 5
Maksud suatu lafadz mengikuti niat orang yang mengungkapkan, kecuali dalam
satu tempat, yaitu lafadz sumpah di hadapan qadhi, maka maksud lafadz mengikuti
niat qadhi, bukan niat orang yang bersumpah.
Contoh : orang junub membaca dzikir dari ayat Al-Quran, maka hukumnya haram,
bila niat dzikir maka membawa Al-Quran bersama barang lain, bila niat membawa Al-
Quran maka hukumnya haram, dan bila niat membawa barang atau niat membawa
kedua-keduanya maka hukumnya tidak haram.
f. Qaidah 6
Seseorang yang tidak dapat melaksanakan ibadah, karena suatu halangan padahal
ia berniat untuk melakukannya jika tiada halangan maka ia mendapatkan pahala.
7
Syamsul Bahri, “Aktualisasi Kaidah Al-Umuru Bi Maqashidiha dalam Pencatatan Perkawinan di
11
D. Penerapan dan Contoh Kaidah
ﻣﺎ ﯾﺸﺘﺮط ﻓﯿﮫ اﻟﺘﻌﯿﻦ ﻓﺎﻟﺨﻄﺄ ﻓﯿﮫ ﻣﺒﻄﻞ
Artinya: “ maksud dari kata lafadz itu tergantung pada niat orang yang mengatakannya “.
Maksud dari kaedah ini setiap ucapan atau perkataan itu tergantungpada niat
dihati orang tersebut contoh missal nya ada seseorang mengatakan bahwa ini shodaqoh
sunnah padahal itu adalah niat zakat mall yang wajib ia keluarkan maka uang yang
diberikan tersebut berupa zakat bukan shodaqoh sunnah , karna sesuai sama qoidah di
atas, perkataan ada pada niat orang tersebut.
Contoh lain missal ada orang yang berkata ” ini saya hibah kan kepada anda tapi
berikan saya uang sejumlah 1 juta” meskipun ia mengatakan hibah akadnya tetep batal tpi
dengan permintaan uang itu menandakan bukan hibah melainkan jual beli dengan segala
akibatnya.
Artinya perbuatan yang secara keseluruhan diharuskan niat, tetapi secara perinci
tidak diharuskan menyatakan niat nya, maka ketika dinyatakan ternyata keliru maka itu
berbahaya. Contoh misalnya : dia niat memberikan zakat tidak harus menyebutkan secara
terperinci namun jika dia menyebutkan secara terperinci misalnya: seseorang ingin
memberikan zakat keepada agil namun mslsh diberikan kepada akil maka niatnya batal.
Niat zakat adalah wajib pembeda antara menggugurkan kewajiban atau shodaqoh
sunnah.namun didalam niat nya tidak perlu menjelaskan secara terperinci kepada siapa
diberikannya.8
Contoh penerapannya:
Apabila seseorang membeli anggur dengan tujuan/niat memakan atau menjual maka
hukumnya boleh. Akan tetapi bila beliau membeli menggunakan tujuan/niat
mengakibatkan khamr, atau menjual di orang yang akan menjadikannya sebagai khamr,
maka hukumnya haram.
Apabila seorang menemukan di jalan sebuah dompet yg berisi sejumlah uang kemudian
mengambilnya menggunakan tujuan/niat mengembalikan kepada pemiliknya, maka hal
itu tidak mengganti bila dompet itu hilang tanpa sengaja. Tapi bila beliau mengambilnya
menggunakan tujuan/niat untuk memilikinya, maka beliau dihukumkan sama
menggunakan ghashib (orang yang merampas harta orang). Bila dompet itu hilang, maka
ia wajib merubahnya secara mutlak.
Contoh Kaidah
Apabila seseorang membeli anggur dengan tujuan/niat memakan atau menjual maka
hukumnya boleh. Akan tetapi apabila ia membeli dengan tujuan/niat menjadikan khamr, atau
menjual pada orang yang akan menjadikannya sebagai khamr, maka hukumnya haram.
Apabila seseorang menemukan di jalan sebuah dompet yang berisi sejumlah uang lalu
mengambilnya dengan tujuan/niat mengembalikan kepada pemiliknya, maka hal itu tidak
mengganti jika dompet itu hilang tanpa sengaja.
BAB III
PENUTUP
9
A. Ghazali Ihsan, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Semarang: Basscom Multimedia Grafika, 2015), hlm.
32-37
13
Kesimpulan
Dari pemaparan materi mengenai “Kaidah Fiqih Al-umur bi Maqashidiha” maka dapat
ditarik kesimpulan yaitu Pertama, Kaidah fikih "Al-Umur Bi Maqasidiha" merupakan prinsip
hukum Islam yang mengacu pada penilaian hukum berdasarkan tujuan atau maksud di balik
suatu peraturan atau perbuatan. Dalam konteks ini, hukum Islam tidak hanya dilihat dari aspek
tekstual atau literal, tetapi juga mempertimbangkan niat atau tujuan yang ingin dicapai oleh
peraturan tersebut.
Kedua, Dalil kaidah fikih adalah adalah rumusan dasar hukum yang disusun dalam kata-
kata yang ringkas tapi memuat cakupan dalil-dalil hukum yang luas untuk menjawab suatu
permasalahan hukum. kaidah berasal dari bahasa Arab yaitu Qa’idah yang berarti asas, dasar
atau pondasi. Selain adanya dalil terkait hadist, landasan hukum dari kaidah fikih ini juga dapat
dirujuk dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Ketiga, cabang-cabang atau prinsip-prinsip turunan dari kaidah ini. Beberapa di
antaranya meliputi, Maqasid al-Shari'ah, Istihsan (Analogi Berdasarkan Kepentingan), Istislah
(Kepentingan Umum), Mudarat (Menghindari Kerusakan), Uruf (Kepentingan Kebiasaan.
Dalam praktiknya, kaidah "Al-Umur Bi Maqosidiha" dan cabang-cabang yang terkait diterapkan
oleh ulama untuk memahami dan menerapkan hukum Islam dengan lebih kontekstual dan
berorientasi pada tujuan.
Keempat, Adapun penerapan dan contoh kaidah yaitu¸ penerapannya dan contoh-
contohnya itu¸Zakat: Kaidah ini memungkinkan pemahaman bahwa tujuan utama zakat adalah
untuk membantu fakir miskin dan memerlukan. Puasa, Tujuan puasa adalah untuk mencapai
ketaqwaan dan kesucian diri, Hukum-hukum keuangan Islam: Dalam perbankan syariah, kaidah
"Al-Umur Bi Maqashiduha" digunakan untuk mengembangkan produk dan layanan keuangan
yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, dengan tujuan menghindari riba dan mempromosikan
keadilan ekonomi. Hukuman dalam Islam, Ketika menjatuhkan hukuman dalam hukum pidana
Islam, prinsip ini digunakan untuk memastikan bahwa tujuan pemulihan, perbaikan, dan keadilan
dipertimbangkan, bukan hanya hukuman sebagai hukuman.
DAFTAR PUSTAKA
14
Risqy, Rachmad, K. “Pentingnya Menghadirkan Niat Secara Benar dalam Hal Bermuamalah”,
Journal of Economics and Business Innovation, (2021).
Bahri, Syamsul. “Aktualisasi Kaidah Al-Umuru Bi Maqashidiha dalam Pencatatan
Perkawinan di Indonesia”, ,Jurnal Studi Keislaman, Vol 7, No. 2 (2022).
http://catatansimol.blogspot.com/2017/11/qaidah-fiqih-al-umuru-bi-maqasidiha-dan.html.
Diakses pada 15 September 2023.
Muhammad, Tahqiq, SK. (Mesir: Mushtafa Al-Babiy Al-Halabiy), (1961).
Nujaim, Ibnu, (Beirut : Dar al-Kitab al-Ilmiyyah), (1999).
Hanbal Bin Ahmad, (t.tp: Muassasah Al-Risalah), (2001).
Ihsan, Ghazali, A, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, ( Semarang: Basscom Multimedia Grafika),
(2015).
15