Anda di halaman 1dari 12

PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan


Pancasila

Dosen Pengampu: Fisa Nurul Faizar, S.H.

Disusun oleh:

1.Muhamad Hilmi Fauzan R.T (2103004043)

2.Syifa Rowanda (-)

3.Wina Solihatussa’adah (2103003893)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM CIAMIS

2021/2022
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang.
Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah tentang “Pancasila Sebagai Etika Politik”. Makalah ini
telah kami susun dengan maksimal dan tentunya dengan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi
dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu, dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki makalah ini.  Akhir kata kami berharap semoga
makalah tentang “Pancasila Sebagai Etika Politik” ini dapat memberikan manfaat
maupun inpirasi terhadap pembaca.

Ciamis, 23 Oktober 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................1
A. Latar Belakang ..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................1
C. Tujuan............................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................2
A. Nilai, norma dan moral..................................................................................2
B. Hubungan nilai, norma dan moral..................................................................3
C. Etika politik....................................................................................................4
BAB IV PENUTUP..................................................................................................8
A. Kesimpulan...................................................................................................8
B. Saran..............................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................9

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu


nilai sehingga merupakan sumber dari segala penjabaran norma, baik norma
hukum, norma moral maupun norma kenegaraan lainnya. Sebagai suatu nilai,
Pancasila memberikan dasa-dasar yang bersifat fundamental dan universal bagi
manusia baik dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Adapun
nilai-nilai tersebut akan dijabarkan dalam kehidupan yang bersifat praksis atau
kehidupan yang nyata dalam masyarakat, bangsa, maupun bernegara maka nilai-
nilai tersebut kemudian dijabarkan dalam suatu norma-norma yang jelas sehingga
merupakan suatu pedoman. Pancasila berkedudukan sebagai sumber dari segala
sumber hukum di negara Indonesia. Sebagai sumber dari segala sumber hukum
nilai-nilai Pancasila yang sejak dahulu telah merupakan suatu cita-cita moral yang
luhur yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia sebelum
membentuk negara. Atas dasar pengertian inilah maka nilai-nilai Pancasila
sebenarnya berasal dari bangsa Indonesia sendiri atau dengan lain perkataan
bangsa Indonesia sebagain asal mula materi (kausa materialis) nilai-nilai
Pancasila.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan nilai, norma dan moral?
2. Bagiamana hubungan nilai, norma dan moral??
3. Apa yang dimaksud dengan etika politik?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa itu nilai, norma dan moral.
2. Untuk mengetahui bagaimana hubungan niai, norma dan moral.
3. Untuk mengetahui maksud dari etika politik.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Nilai, Norma, dan Moral


1. Pengertian Nilai
Nilai atau “Value” (bhs inggris) termasuk bidang kajian filsafat.
Persoalan-persoalan tentang nilai dibahas dan dipelajari salah satu cabang
filsafat yaitu Filsafat Nilai (Axiology, Theory of Value). Istilah nilai di dalam
filsafat dipakai untuk menunjuk kata abstrak yang artinya “kebehargaan”
(worth) atau ‘kebaikan (goodness), dan kata kerja yang artinya suatu tindakan
kejiwaan tertentu dalam menilai atau melakukan penilaian, (Frankena, 229)
( Kaelan, 2004:87).
Di dalam Dictionary of Sosciology and Related Sciences dikemukakan
bahwa nilai adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda
untuk manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat
seseorang atau kelompok, (The Belived capacity of any object to statisfy a
human desire). Jadi, nilai itu pada hakikatnya adalah sifat atau kualitas yang
melekat pada suatu objek, bukan objek itu sendiri. Dengan demikian maka
nilai adalah suatu kenyataan yang “tersembunyi” di balik kenyataan-
kenyataan lainnya (Kaelan, 2004:87).

2. Hierarki Nilai
Terdapat berbagai macam pandangan tentang nilai hal ini sangat
tergantung pada titik tolak dan sudut pandangnya serta hierarkhi nilai.
Misalnya kalangan terialis memandang bahwa nilai yang tertinggi adalah
material. Kalangan hedonis berpandangan bahwa nilai yang tertinggi adalah
nilai kenikmatan. Max Sceler mengemukakan bahwa nilai-nilai yang ada,
tidak sama luhurnya, dan sama tingginya. Menurut tinggi rendahnya, nilai-
nilai dapat dikelompokan dalam empat tingkatan:
1) Nilai-nilai kenikmatan: dalam tingkatan ini terdapat deretan nilai-nilai
yang mengenakkan (die wertreihe des Angenehmen und Unangehmen).
Yang menyebabkan orang senang atau menderita tidak enak.

2
2) Nilai-nilai kehidupan : dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai yang
penting bagi kehidupan (werte des vitalen fuhlens) misalnya kesehatan,
kesegaran jasmani, kesejahteraan umum.
3) Nilai-nilai kejiwaan : dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai kejiwaan
(geistige werte) yang sama sekali tidak tergantung dari keadaan jasmani
maupun lingkungan, misalnya keindahan, kebenaran, dan pengetahuan
murni yang dicapai dalam filsafat.
4) Nilai-nilai kerohanian : dalam tingkat ini terdapat modalitas nilai dari
yang suci dan tak suci (wermodalitas des Heligen ung Unheligen).
Nilai-nilai semacam ini terdiri dari nilai-nilai pribadi (Kaelan, 2004:89).

Selain nilai-nilai yang dikemukakan oleh para tokoh aksiologi


menyangkut tentang wujud dan macamnya,nilai-nilai tersebut juga berkaitan
dengan tingkatan- tingkatannya. Hal ini kita lihat secara objektif karena nilai-
nilai tersebut menyangkut segala aspek kehidupan manusia. Ada sekelompok
nilai yang memiliki kedudukan atau hierarkhi yang lebih tinggi dibandingkan
dengan nilai-nilai lainnya ada yang lebih rendah bahkan ada tingkatan nilai
yang bersifat mutlak. Namun, demikian hal ini sangat tergantung pada filsafat
dari masyarakat atau bangsa sebagai subjek pendukung nilai-nilai tersebut.

3. Hubungan Nilai, Norma, dan Moral


Nilai berbeda dengan fakta dimana fakta dapat diobservasi melalui
suatu verifikasi empiris, sedangkan nilai bersifat abstrak yang hanya dapat
dipahami, dipikirkan, dimengerti dan dihayati oleh manusia. Nilai dengan
demikian tidak bersifat konkrit yaitu tidak dapat ditangakap dengan indra
manusia, dan nilai dapat bersifat subjektif maupun objektif. Agar nilai
tersebut menjadi lebih berguna dalam menuntun sikap dan tingkah laku
manusia, maka perlu dikonkritkan lagi serta diformulasikan menjadi lebih
objektif sehingga memudahkan manusia untuk menjabarkannya dalam
tingkah laku secara konkrit. Maka wujud yang lebih konkrit dari nilai tersebut
adalah merupakan suatu norma. Selanjutnya nilai dan norma senantiasa
berkaitan dengan moral dan etika. Istilah moral mengandung integritas dan

3
martabat pribadi manusia. Derajat kepribadian seseorang amat ditentukan
oleh moralitas yang dimilikinya. Makna moral yang terkandung dalam
kepribadian seseorang itu tercermin dari sikap dan tingkah lakunya. Dalam
pengertian inilah maka kita memasuki wilayah norma sebagai penuntun sikap
dan tingkah laku manusia. Demikianlah hubungan yang sistematik antara
nilai, norma, dan moral yang pada gilirannya ketiga aspek tersebut terwujud
dalam suatu tingkah laku praksis dalam kehidupan manusia.
B. Etika Politik
1. Pengertian Politik
Politik berasal dari kosa kata “politics” yang memiliki makna
bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara yang
menyangkut proses penentuan tujuan-tujuan dari sistem itu dan diikuti
dengan pelaksanaan tujuan-tujuan itu. Untuk melaksanakan tujuan-tujuan itu
perlu ditentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan umum atau public policies,
yang menyangkut pengaturan dan pembagian atau distributions dari sumber-
sumber yang ada. Untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan itu, diperlukan
suatu kekuasaan (power) dan kewenangan (authority), yang akan dipakai baik
untuk membina kerja sama maupun untuk melaksanakan konflik yang
mumgkin timbul dalan proses ini (Kaelan, 2004:95).

Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public


goals). Selain itu politik menyangkut kegiatan berbagai kelompok termasuk
partai politik, lembaga masyarakat, maupun perseorangan. Berdasarkan
pengertian-pengertian pokok tentang politik maka secara operasional bidang
politik menyangkut konsep-konsep pokok yang berkaitan dengan negara
(state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decisionmaking),
kebijaksanaan (policy), pembagian ( distribution), serta alokasi (allocation)
(Budiardjo,1981:8,9) (Kaelan, 2004:96).

2. Dimensi Politis Manusia


a. Manusia sebagai Makhluk Individu-Sosial

4
Paham individualisme yang merupakan cikal bakal paham
liberalisme, memandan manusia sebagai makhluk individu yang bebas.
Segala hak dan kewajiban dalam kehidupan bersama senantiasa diukur
berdasarkan kepentingan dan tujuan berdasarkan paradigma sifat kodrat
manusia sebagai individu. Kalangan kolektivisme merupakan cikal bakal
sosialisme dan komunisme memandang sifat kodrat manusia sebagai
makhluk sosial saja. Manusia di pandang sebagai sekedar sarana bagi
masyarakat. Segala hak dan kewajiban baik moral maupun hukum, dalam
hubungan masyarakat, bangsa dan negara senantiasa diukur berdasarkan
filosofi manusia sebagai makhluk sosial.
Manusia sebagai makhluk yang berbudaya, kebebasan sebagai
individu dan segala aktivitas dan kreativitas dalam hidupnya senantiasa
tergantung pada orang lain, hal ini di karenakan manusia sebagai warga
masyrakat atau sebagai makhluk sosial. Manusia di dalam hidupnya
mampu bereksistensi karena orang lain dan ia hanya dapat hidup dan
berkembang karena dalam hubungannya dengan orang lain. Segala
keterampilan yang dibutuhkannya agar berhasil dalam segala
kehidupannya serta berpartisipasi dalam kebudayaan diperolehnya dari
masyarakat. Dasar filosofis sebagai mana terkandung dalam Pancasila
yang nilainya terdapat dalam budaya bangsa, senantiasa mendasarkan
hakikat sifat kodrat manusia adalah bersifat ‘monodualis’. Maka sifat
serta ciri khas kebangsaan dan kenegaraan Indonesia, bukanlah totalitas
individualistis ataupun sosialistis melainkan monodualistis.
b. Dimensi Politis Kehidupan Manusia
Berdasarkan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan
sosial, dimensi politis mencakup lingkaran kelembagan hukum dan
negara, sistem – sitem nilai serta ideologi yang memberikan legitmimasi
kepadanya. Dalam hubungan dengan sifat kodrat manusia sebagai
makhluk individu dan sosial, dimensi politis manusia senntiasa berkaitan
dengan kehidupan negara dan hukum, sehingga senantiasa berkaitn
dengan kehidupan masyrakat secara keseluruhan. Sebuah keputusan
bersifat politis manakala diambil dengan memperhatikan kepentingan

5
masyarakat sebagai suatu keseluruhan. Dengan demikian dimensi politis
manusia dapat ditentukan sebagai suatu kesadaran manusia akan dirinya
sendiri sebagai anggota masyarakat sebagai sutu keseluruhan yang
menentukan kerangka kehidupannya dan di tentukan kembali oleh
kerangka kehidupannya serta ditentukan kembali oleh tindakan –
tindakannya.
Dimensi politis manusia ini memiliki dua segi fundmental, yaitu
pengertian dan kehendak untuk bertindak. Sehingga dua segi
fundamental itu dapat diamati dalam setiap aspek kehidupan manusia.
Dua aspek ini yang senantiasa berhadapan dengan tindakkan moral
manusia.
c. Nilai-nilai Pancasila sebagai Sumber Etika Politik

Sila pertama ‘Ketuhanan yang Maha Esa’ serta sila kedua ‘


Kemanusiaan yang Adil dan Beradab’ adalah merupakan sumber nilai –
nilai moral bagi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.
Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, etika politik menuntut
agar kekuasaan dalam negeri di jalankan sesuai dengan:
1. Asas legalitas (legitimasi hukum).
2. Di sahkan dan dijalankan secara demokratis ( legitimasi
demokratis)
3. Dilaksanakan berdasarkan prinsip – prinsip moral / tidak
bertentangan dengannya (legitimasi moral).
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki tiga dasar
tersebut. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, baik
menyangkut kekuasan, kenijaksanan yang menyangkut publik,
pembagian serta kewenangan harus berdasarka legitimasi moral religius (
sila 1 ) serta moral kemanusiaan ( sila 2). Negara Indonesia adalah negara
hukum, oleh krena itu ‘ keadilan’ dalam hidup bersama ( keadilan sosial )
sebgai mana terkandung dalam sila 5, adalah merupakan tujuan dalam
kehidupan negara. Oleh karena itu dalam pelaksanaan dan pnyelenggraan
negara, segala kebijakan, kekuasaan, kewenangan, serta pembagian
senantiasa harus berdasarkan atas hukum yang berlaku.

6
Negara adalah berasal dari rakyat dan segala kebijaksanaan dan
kekuasaan yang dilakukan senantiasa untuk rakyat ( sila 4). Oleh karena
itu rakyat adalah merupakan asal mula kekuasan negara. Oleh karena itu
pelaksanaan dan pnyelenggraan negara segala kebijaksanaan, kekuasaan,
serta kewenangan harus dikembalikan pada rakyat sebagai pendukung
pokok Negara.

7
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Etika politik adalah termasuk lingkup etika sosial manusia yang secara
harfiah berkaitan dengan bidang kehidupan politik. Pancasila memang tidak boleh
dilepaskan dari semua aspek-aspek didalam penyelenggaraan sebuah negara.
Dalam pelaksanaan Negara segala kebijaksanaan, kekuasaan serta kewenangan
harus di kembalikan kepada rakyat sebagai pendukung pokok negara. Maka dalam
pelaksanaan politik praktis hal-hal yang menyangkut kekuasaan ekskutif,
legislatif, yudikatif, konsep pengambilan keputusan, pengawasan serta partisipasi
harus berdasarkan legitimasi dari rakyat, atau dengan lain perkataan harus
memiliki legitimasi demokratis.
Pancasila juga merupakan suatu system filsafat yang pada hakikatnya
merupakan nilai sehingga merupakan sumber dari segala penjabaran norma baik
norma hukum, norma moral maupun norma kenegaraan lainya.  Suatu pemikiran
filsafat tidak secara langsung menyajikan norma – norma yang merupakan
pedoman dalam suatu tindakan atau aspek praktis melainkan nilai – nilai yang
bersifat mendasar. Sehingga penerapan Pancasila sebagai etika politik wajib
dilakasanakan dengan sebaik mungkin.
B. SARAN
Saran kami adalah marilah kita mempelajari Pancasila sebagai etika politik
ini dengan sebaik-baiknya, sehingga benar-benar paham. Karena hal ini
menyangkut moralitas dan kepentingan masyarakat banyak. Dan marilah kita
mencoba mempraktekannya dalam kehidupan berorganisasi dikampus dan dalam
kehidupan bermasyarakat.

8
DAFTAR PUSTAKA

Kaelan, 2004, Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma

https://mas-wijaya.blogspot.com/2013/11/pancasila-sebagai-etika-
politik.html 22 Oktober 2021:13.34

Anda mungkin juga menyukai