Nama anggota:
Ibnu Abbas
Ali Habiburrohman Al Azizy
Guruh Abdul Latif Bahari
Agung Mulyana
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, puji syukur kita panjatkan.
Shalawat serta salam tak lupa kita curahkan kepada baginda alam Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa rahmat bagi
seluruh alam yang telah menjadikan Islam sebagai agama yang menuntun manusia untuk mendekatkan diri kepada-Nya,
semoga kita mendapatkan syafa’at beliau di akhir nanti aamiin. Dan karena Rahmat-Nya pula, kami dapat menyelesaikan
makalah ini.
Adapun tujuan pembuatan makalah ini yakni untuk memenuhi tugas wajib mata kuliah Pancasila.
Penyelesaian makalah ini membutuhkan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, kami mengucapkan terimakasih
kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya masih banyak kekurangan dari segi tata bahasa maupun
susunan kalimat, maka dari itu kami berlapang dada menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami lebih baik
lagi memperbaiki makalah ini semoga makalah ini bermanfaaat bagi kita semua aamiin yaarabbal alamin. Semoga makalah
yang berjudul “PANCASILA” ini dapat memenuhi tugas wajib dalam mata kuliah Pancasila dengan sempurna dan
mendapatkan nilai yang memuaskan. Selain itu dapat menambah pengetahuan bagi pembaca, serta dapat dijadikan acuan
pembaca dalam pembuatan makalah yang akan datang.
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Konsep-konsep yang berkaitan dengan etika meliputi nilai, norma, dan moral. Jika
konsep ini dihubungkan dengan Pancasila, maka ketiganya akan memberikan pemahaman
yang saling menyempurnakan satu sama lain. Pancasila merupakan suatu sistem filsafat yang
merupakan sumber nilai norma baik norma hukum, norma moral maupun norma kenegaran.
Selain itu terkandung juga pemikiran-pemikiran yang bersifat kritis, mendasar, rasional,
sistematis dan komprehensif. Oleh karena itu, suatu pemikiran filsafat adalah suatu nilai-nilai
yang bersifat mendasar yang memberikan landasan bagi manusia dalam hidup bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai tersebut dijabarkan dalam kehidupan yang bersifat praksis
atau kehidupan nyata dalam masyarakat, bangsa dan negara maka diwujudkan dalam
normanorma yang kemudian menjadi pedoman.
Mengaktualisasikan Pancasila sebagai sistem etika merupakan suatu keniscayaan yang harus
dimiliki oleh seorang mahasiswa dalam kehidupannya. Dengan demikian, mahasiswa dapat mengembangkan
karakter yang pancasilais melalui berbagai sikap yang positif, seperti jujur, disiplin, tanggung jawab, mandiri,
dan lainnya. Hal ini kemudian dapat menjadikan mahasiswa sebagai insan akademis yang bermoral pancasila
dan berkontribusi langsung dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai perwujudan sikap tanggung
jawab warga negara. Tanggung jawab tersebut diimplementasikan melalui sikap menjunjung tinggi moralitas
dan menghormati hukum yang berlaku. Untuk itu, diperlukan penguasaan pengetahuan tentang pengertian
etika, aliran etika, dan pemahaman Pancasila sebagai sistem etika sehingga mahasiswa memiliki keterampilan
menganalisis persoalan-persoalan
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka permasalahan yang
menjadi bahan kajian dalam makalah ini adalah sebagai berikut
1. Apa Pengertian Etika
2. Macam-Macam Aliran Etika
3. Apa Itu Etika Pancasila
Tujuan Penulisan
Etika merupakan cabang dari filsafat yang membicarakan tentang nilai baik-buruk.
Etika yang disebut filsafat moral, membicarakan tentang pertimbangan tentang tindakan baik
dan buruk, susila dan tidak susila dalam hubungan antar manusia. Kajian mengenai etika
sebagai cabang dari filsafat membahas sistem nilai, norma dan moral yang berlaku. Secara
umum, etika diklasifikasikan menjadi dua jenis;
1. Etika deskriptif yang menekan pada pengkajian ajaran moral yang berlaku, membicarakan
masalah baik-buruk tindakan manusia dalam hidup bersama.
2. Etika normatif, yang merupakan kajian terhadap ajaran norma baik-buruk
sebagai suatu fakta, tidak untuk diajukan secara rasional tetapi merefleksikan
sebagai suatu keharusan. Etika ini terbagi menjadi dua yaitu etika umum yang
membicarakan tentang kebaikan secara umum, dan etika khusus yang
membicarakan pertimbangan baik-buruk dalam bidang tertentu. (Sri Rahayu
Wilujeng, Filsafat, Etika dan Ilmu: Upaya memahami Hakikat Ilmu dalam Konteks
Keindonesiaan, 2011)
Berbeda halnya dengan pendapat Plato dan Aristoles, menurut mereka nilai itu bersifat objektif.
Artinya, nilai suatu objek melekat pada objeknya dan tidak tergantung pada subjek yang
menilainya. Hakikat nilai lebih utama dari pada pemahaman psikologis seseorang yang
melihatnya. Melihat perbedaan pemaknaan tersebut, maka nilai diklasifikasikan menjadi dua,
yaitu:
A. Nilai Instrumental, yaitu nilai yang dianggap baik karena bernilai untuk sesuatu yang lain.
Nilai ini dikategorikan sebagai nilai yang bersifat relatif dan subjektif
B. Nilai instrinsik, yaitu nilai yang dianggap baik, tidak untuk sesuatu yang lain melainkan
didalam dan dirinya sendiri. Nilai ini lebih tinggi daripada nilai instrumenta
Kualitas nilai secara aksiologis, dibagi menjadi ke dalam nilai baik dan
buruk yang dipelajari oleh etika, dan nilai indah dan tidak indah yang dipelajari oleh
estetika. Nilai kemudian berkembang menjadi beraneka ragam, tergantung pada
kategori penggolongannya. Seperti nilai kemanusiaan, nilai sosial, nilai budaya, nilai
ekonomis, nilai praktis, nilai teorits, dll. Nilai menurut Robert W. Richey dibagi
menjadi tujuh macam, yaitu: nilai intelektual, nilai personal dan fisik, nilai kerja, nilai
penyesuaian, nilai sosial, nilai keindahan, dan nilai rekreasi. Sedangkan
Notonegoro membagi nilai menjadi tiga macam, yaitu:
A. Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi unsur jasmani manusia
B. Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk mengadakan
kegiatan atau aktivitas
C. Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia, meliputi;
1. Nilai kebenaran atau kenyataan-kenyataan yang bersumber pada unsur akal manusia
(rasio, budi, cipta);
3. Nilai kebaikan atau moral yang bersumber pada kehendak atau kemauan manusia (karsa,
etis); dan
4. Nilai relegius yang merupakan nilai Ketuhanan, nilai kerohanian yang tertinggi dan
mutlak. (Nilai dan Norma, diakses 10 Agustus 2018)
2. Norma
Norma memiliki arti ukuran, garis pengarah, aturan, kaidah pertimbangan
dan penilaian. Norma dimaknai sebagai nilai yang menjadi milik bersama dalam
suatu masyarakat yang telah tertanam menjadi kesepakatan bersama. klasifikasi
norma seperti norma sopan santun, norma hukum, norma kesusilaan (moral), dan
norma agama. Menurut Durkheim dan Weber, norma merupakan sesuatu yang
fundamental bagi semua kelompok sosial dalam masyarakat baik yang bersifat
mekanik maupun organik atau tradisional maupun rasional.jika dilihat dari
perspektif sosiologi, norma merupakan “rules” yang diharapkan diikuti oleh
masyarakat. Norma-norma ini pada umumnya tidak dinyatakan secara eksplisit
seperti dalam kitab undang-undang. 7 Biasanya diteruskan melalui proses
sosialisasi tentang bagaimana orang harus berperilaku secara wajar.
Di dalam norma, ada tiga elemen yang termuat yakni; Nilai (value),
memuat ide-ide yang penting bagi dan oleh masyarakat; penghargaan (rewards),
dan sanksi (punishment), bersifat konkrit kerena langsung menentukan perilaku
manusia. ( Ruman, Jurnal Hukum Prioris, No. 2, Februari 2009, 109-111)
3. Moral
Moral berasal dari kata “mores” yang berarti cara hidup atau adat, yang
tertuju pada tindakan atau perbuatan yang sedang dinilai, dan bisa juga dimaknai
sebagai sistem ajaran tentang nilai baik buruk. Menurut Gilligan dalam “Implications
for Moral Theory” mengatakan bahwa moral memiliki keterkaitan dengan
kepedulian seseorang terhadap orang lain, tidak hanya terkait tingkah laku tetapi
lebih luas lagi yaitu mengarahkan seseorang untuk dapat berbuat baik kepada
oranglain. Moral melibatkan emosi, kognisi dan tindakan yang saling berkaitan.
(Gilligan, Chicago Junal 2009, 474-476)
1. Etika Keutamaan
Etika keutamaan merupakan teori etika yang berpendapat bahwa filsafat moral tidak
hanya tentang benar atau salahnya tindakan manusia menurut norma atau prinsip moral tertentu,
akan teapi mengenai baik burukya kelakuan atau watak manusia. Etika keutamaan lebih
menekankan pada bagaimana manusia sebagai manusia hidup ( what should I be?) bukan pada
tindakan mana yang harus dilakukan. Menilai baik-buruknya perilaku mengacu pada proses dan
usaha untuk mencapainya, atau dapat dikata mengambil bagian dalam tujuan hidup sejati manusia.
Etika keutamaan fokus mengarahkan pada ethics of being. Para penganut etika keutamaan
umumnya menyayangkan banyak teori etika modern terlalu menekankan prinsip atau peraturan
yang memberi batas-batas bagi tugas dan kewajiban moral, tetapi tidak memberi perhatian pada
cita-cita keluhuran watak atau kepribadian manusia. Orang yang setia menjalankan kewajibannya
saja belumlah cukup untuk dijadikan ideal hidup orang yang bermoral. Contohnya kejujuran atau
keadilan, tidak dimaknai sebagai sebagai jenis tindakan yang memenuhi kewajiban dalam
hubungan dengan sesama, melainkan sebagai suatu keutamaan suatu kualitas keluhuran watak.
Gufron, Jurnal , Yaqzhan, No. 1, Juni 2016, 104-106)
1. Etika Teologis
Etika teologis merupakan teori yang menyatakan bahwa hasil dari tindakan moral dapat
menentukan nilai suatu tindakan/kebenaran tindakan. Etika ini bersifat situsional dan subjektif, dalam artian
akan dinilai benar jika akibatnya baik dan dinilai salah jika akibatnya buruk. Seseorang dapat bertindak berbeda
dalam situasi yang lain tergantung dari penilaian tentang akibat dari tindakan tersebut. Demikian pula, suatu
tindakan yang jelas-jelas bertentangan dengan norma dan nilai moral bisa dibenarkan oleh etika teleologi hanya
karena tindakan itu membawa akibat yang baik. Etika teleologi digolongkan menjadi dua, yaitu:
A. Egoisme Etis yaitu menilai suatu tindakan sebagai baik karena berakibat baik bagi pelakunya. Walaupun
bersifat egoistis, tindakan ini dinilai baik secara moral karena setiap orang dibenarkan untuk mengejar
kebahagiaan bagi dirinya.
B. Utilitarianisme yaitu menilai baik buruknya suatu tindakan berdasarkan akibatnya bagi banyak orang. Dalam
hal ini dapat dicontohkan seperti kebijakan sosial, kebijakan ekonomi dan kebijakan sosial yang berdampak
bagi banyak orang. Dasar dari kebijakan tersebut adalah “manfaat atau akibat yang berguna” atau sebaliknya
kerugian bagi orang-orang terkait
3. Etika Deontologis
Etika deontologis menekankan pada kualitas etis suatu tindakan bukan tergantung pada akibat
tindakan itu melainkan tindakan itu sendiri betul atau salah dalam arti moral, tanpa melihat pada akibatnya.
Menurut Franz Magnis Suseno, aliran ini dianut oleh Immanuel Kant yang menyatakan bahwa etika memberikan
pengertian agar semua tindakan moral manusia baik. Etika dipandang sebagai suatu kewajiban moral, bukan
tujuan atau pun akibat. Kewajiban moral mengandung keharusan melakukan tindakan baik. Suatu tindakan
dianggap baik apabila tindakan itu memang baik pada dirinya sendiri, sehingga merupakan kewajiban yang
harus kita lakukan.
Sebaliknya, suatu tindakan dinilai buruk secara moral karena tindakan itu memang buruk secara
moral sehingga tidak menjadi kewajiban untuk kita lakukan. Sebagai contoh, bersikap adil merupakan tindakan
yang baik, dan sudah kewajiban kita untuk bertindak demikian. Sebaliknya, pelanggaran terhadap hak orang lain
atau mencurangi orang lain adalah tindakan yang buruk pada dirinya sendiri sehingga wajib dihindari. Contoh
lain misalnya membuang sampah ke sungai, dinilai buruk secara moral bukan karena akibatnya yang merugikan.
Tindakan tersebut merupakan tindakan yang buruk karena tidak menghargai dan melestarikan alam (respect for
nature). Penekanan pada etika deontologi didasarkan pada motivasi, kemauan keras, baik dan watak yang kuat
untuk bertindak sesuai dengan kewajiban. (Ratnawati, http://repository.ut.ac.id/, 2014, 122-132)
Aliran Etika dan Karakteristiknya
Aliran Orientasi Watak Nilai Keterangan
Etika Keutamaan Keutamaan atau Disiplin, Kejujuran, Etika keutamaan pada
Kebajikan Belas kasih, dll umumnya dianut oleh
moralitas yang
didasarkan pada
agama
Etika Teologis Konsekuensi atau Kebenaran dan Hasil dari aliran etika
akibat kesalahan didasarkan ini: Efoisme etis dan
pada tujuan akhir Utilitariarisme
2. Sila kedua, “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, mengandung dimensi humanisme, yang menjadikan
manusia lebih manusiawi dalam upaya peningkatan kualitas kemanusian dalam pergaulan antar bangsa.
3. Sila ketiga, “Persatuan Indonesia”, mengandung dimensi nilai-nilai solidaritas yang tinggi, rasa
kebersamaan, dan rasa cinta terhadap tanah air. Berjuang bersama dalam rangka bela negara.
4. Sila keempat, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan”, mengandung dimensi nilai sikap menghargai orang lain, mempunyai kemauan untuk
mendengar pendapat orang lain, saling menghargai jika berlainan pendapat, tidak memaksakan kehendak
dan tidak bersikap ekslusif merasa pendapat dan cara pandan sendiri paling benar.
5. Sila kelima, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, mengandung dimensi peduli terhadap
orang lain, ikut serta dalam membantu kesusahan, musibah atau bencana yang terjadi kepada orang lain.
Etika pancasila juga mencakup keutamaan moral, seperti cinta kasih terhadap
Pencipta dan sesama, pengendalian diri, penghargaan terhadap orang lain serta keadilan
merupakan sifat, karakter manusia yang harus dikembangkan. Penilaian moral harus dilihat
dari tiga lembaga yaitu esensi, forma dan ekspresi. Artinya, ketika seorang melakukan ibadah
sesuai dengan agama yang dianutnya, hal tersebut jelas sesuai dengan sila Ketuhanan Yang
Maha Esa. Namun penilaian lain juga mempertimbangkan esensi yaitu motivasi yang
melatarbelakangi ibadah tersebut. Aapakah berdasar pada sifat keutamaan atau hanya karena
formalitas untuk menggugurkan kewajiban atau mengharapkan adanya imbalan. (Widy,
Artikel Research Gate, 2015, 11- 15)
Jika dilihat dari aliran-aliran etika, maka etika Pancasila lebih cenderung kepada
etika keutamaan, walaupun tidak meninggalkan dan tetap mengakui etika teologis dan
deontologis. Etika keutamaan lebih mendominasi, karena tercermin dalam empat macam
tabiat keshalehan, yaitu:
1. Kebijaksanaan, dimaknai sebagai pelaksaan suatu tindakan yang didorong oleh
keinginan, demi terwujudnya suatu kebaikan berdasarkan kesatuan akal-rasa-
kehendak Tuhan, dengan cara memelihara nilai-nilai religiusitas kehidupan.
4. Keadilan, dimaknai sebagai pemberian rasa wajib kepada diri sendiri dan orang
lain dan terhadap Tuhan yang berkaitan dengan haknya. (Ristekdikti Direktoral
Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan, 2016, 180-181)
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan