Anda di halaman 1dari 29

Pancasila Sebagai Sistem Etika

Etika merupakan hal yang sangat diperlukan dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan
bernegara, karena dengan memiliki etika maka kita mampu menjalankan kehidupan bernegara
dengan baik sebagai masyarakat yang mempunyai perilaku yang baik, kebiasaan hidup yang
baik ini dianut dan diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain. Dalam artian ini, etika
sama maknanya dengan moral.

Nilai-nilai Pancasila, meskipun merupakan kristalisasi nilai yang hidup dalam realita sosial,
keagamaan, maupun adat kebudayaan bangsa Indonesia, namun sebenarnya juga nilai-nilai yang
bersifat universal dapat diterima oleh siapa pun dan kapan pun. Etika Pancasila berbicara tentang
nilai-nilai yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia.

Etika juga merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-
pandangan moral. Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita
mengikuti suatu ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang
bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral (Suseno, 1987).

Etika dibagi menjadi dua kelompok yaitu etika umum dan etika khusus. Etika umum
mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia, sedangkan etika
khusus membahas prinsip-prinsip itu dalam hubungannya dengan berbagai aspek kehidupan
manusia (Suseno, 1987).

Pancasila sebagai dasar filsafat negara serta sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia pada
hakikatnya merupakan suatu nilai-nilai yang bersifat sistematis. Oleh karena itu sebagai suatu
dasar filsafat maka sila-sila pancasila merupakan suatu kesatuan yang bulat, hierarkhis dan
sistematis. Pancasila memberikan dasar-dasar yang bersifat fundamental dan universal bagi
manusia baik dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

di dalam etika Pancasila terkandung nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan,


dan keadilan. Kelima nilai tersebut membentuk perilaku manusia Indonesia dalam semua aspek
kehidupannya. Pentingnya pancasia sebagai sistem etika bagi bangsa Indonesia ialah menjadi
rambu normatif untuk mengatur perilaku kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di
Indonesia. Dengan demikian, pelanggaran dalam kehidupan bernegara, seperti korupsi
(penyalahgunaan kekuasaan) dapat diminimalkan.

https://www.kompasiana.com/mawaddah82340/5bd6a2fcab12ae0d4103a732/pancasila-sebagai-
sistem-etika
Konsep dan Urgensi Pancasila Sebagai Etika
Pancasila Merupakan dasar dari Negara kita merupakan suatu hal yang sangat mendasar
yang semestinya kita jiwai makna demi makna dari ke lima sila itu, salah satunya yaitu
pancasila sebagai etika, mengapa demikian?? kita tekankan lagi bahwa Pancasila
merupakan suatu nilai nilai yang sangat mendasar yang sudah menjadi nilai luhur bagi
bangsa indonesia.

bagi teman-teman yang mungkin diberikan tugas untuk membuat makalah tentang
"KONSEP DAN URGENSI PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA", teman
teman bisa mengambil dari blog saya sebagai salah satu referensi teman2 untuk
membuat makalahnya, semoga bermanfaat :)

KONSEP DAN URGENSI PANCASILA


SEBAGAI ETIKA
BAB I
1.1 Latar Belakang
Nilai norma dan moral adalah konsep-konsep yang saling terkait. Dalam hubungannya
dengan pancasila maka ketiganya akan memberi pemahamann yang saling melengkapi sebagai
sitem etika.
Pancasila sebagai suatu sistem falsafat pada hakikinya merupakan suatu sistem nilai yang
menjadi sumber dari penjabarannorma baik norma hukum, norma moral maupun norma yang
lainnya. Disamping itu, terkandung juga pemikiran-pemikiran yang bersifat kritis, mendasar,
rasional, dan konfrehensif. Oleh karena itu, suatu pemikiran falsafat adalah suatu nilai-nilai yang
mendasar yang memberikan landasan bagi manusia dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Nilai-nilai tersebut dijadikan dalam kehidupan yang bersifat praktis atau kehidupan yang
bersifat nyata dalam masyarakat, bangsa dan Negara maka diwujudkan dalam norma-norma yang
kemudian menjadi pedoman.

1.3 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud etika pancasila ?


2. Bagaimna konsep dan urgensi pancasila denga etika ?
3. Pentingnya etika pancasila ?

1.2 Tujuan Penulisan


an Khusus: a) Agar mahasiswa lebih memahami tentang materi Pancasila Sebagai Sistem Etika.
b) Untuk mendorong semangat mahasiswa agar memiliki etika yang sesuai dengan Sila dalam
Pancasila.
an Umum : a) Untuk menambah wawasan mahasiswa tentang Pancasila Sebagai Sistem Etika.
b) Untuk memberi gambaran secara tertulis tentang Pancasila Sebagai Sistem Etika.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Menelusuri Konsep Pancasila sebagai Sistem Etika
A. Pengertian Etika
Pernahkah Anda mendengar istilah “etika”? Kalaupun Anda pernah mendengar istilah
tersebut, tahukah Anda apa artinya? Istilah “etika” berasal dari bahasa Yunani, “Ethos” yang
artinya tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, watak, perasaan,
sikap, dan cara berpikir. Secara etimologis, etika berarti ilmu tentang segala sesuatu yang biasa
dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Dalam arti ini, etika berkaitan dengan kebiasaan
hidup yang baik, tata cara hidup yang baik, baik pada diri seseorang maupun masyarakat.
Kebiasaan hidup yang baik ini dianut dan diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain.
Dalam artian ini, etika sama maknanya dengan moral. Etika dalam arti yang luas ialah ilmu yang
membahas tentang kriteria baik dan buruk (Bertens, 1997: 4--6). Etika pada umumnya
dimengerti sebagai pemikiran filosofis mengenai segala sesuatu yang dianggap baik atau buruk
dalam perilaku manusia. Keseluruhan perilaku manusia dengan norma dan prinsip-prinsip yang
mengaturnya itu kerapkali disebut moralitas atau etika (Sastrapratedja, 2002: 81).
Etika selalu terkait dengan masalah nilai sehingga perbincangan tentang etika, pada
umumnya membicarakan tentang masalah nilai (baik atau buruk). Apakah yang Anda ketahui
tentang nilai? Frondizi menerangkan bahwa nilai merupakan kualitas yang tidak real karena nilai
itu tidak ada untuk dirinya sendiri, nilai membutuhkan pengemban untuk berada (2001:7).
Misalnya, nilai kejujuran melekat pada sikap dan kepribadian seseorang. Istilah nilai
mengandung penggunaan yang kompleks dan bervariasi. Lacey menjelaskan bahwa paling tidak
ada enam pengertian nilai dalam penggunaan secara umum, yaitu sebagai berikut.
1. Sesuatu yang fundamental yang dicari orang sepanjang hidupnya.
2. Suatu kualitas atau tindakan yang berharga, kebaikan, makna atau pemenuhan karakter untuk
kehidupan seseorang.
3. Suatu kualitas atau tindakan sebagian membentuk identitas seseorang sebagai pengevaluasian
diri, penginterpretasian diri, dan pembentukan diri.
4. Suatu kriteria fundamental bagi seseorang untuk memilih sesuatu yang baik di antara berbagai
kemungkinan tindakan.
5. Suatu standar yang fundamental yang dipegang oleh seseorang ketika bertingkah laku bagi
dirinya dan orang lain.
6. Suatu ”objek nilai”, suatu hubungan yang tepat dengan sesuatu yang sekaligus membentuk
hidup yang berharga dengan identitas kepribadian seseorang. Objek nilai mencakup karya seni,
teori ilmiah, teknologi, objek yang disucikan, budaya, tradisi, lembaga, orang lain, dan alam itu
sendiri. (Lacey, 1999: 23).
Dengan demikian, nilai sebagaimana pengertian butir kelima (5), yaitu sebagai standar
fundamental yang menjadi pegangan bagi seseorang dalam bertindak, merupakan kriteria yang
penting untuk mengukur karakter seseorang. Nilai sebagai standar fundamental ini pula yang
diterapkan seseorang dalam pergaulannya dengan orang lain sehingga perbuatannya dapat
dikategorikan etis atau tidak.
Namun,tahukah Anda bahwa dalam bahasa pergaulan orang acapkali mencampuradukkan
istilah “etika” dan “etiket”?Padahal,keduanya mengandung perbedaan makna yang hakiki. Etika
berarti moral, sedangkan etiket lebih mengacu pada pengertian sopan santun, adat istiadat. Jika
dilihat dari asal usul katanya,etika berasal dari kata “ethos”, sedangkan etiket berasal dari kata
“etiquette”.Keduanya memang mengatur perilaku manusia secara normatif.tetapiEtika lebih
mengacu ke filsafat moral yang merupakan kajian kritis tentang baik dan buruk, sedangkan etiket
mengacu kepada cara yang tepat,yang diharapkan, serta ditentukan dalam suatu komunitas
tertentu. Contoh,mencuri termasuk pelanggaran moral, tidak penting apakah dia mencuri dengan
tangan kanan atau tangan kiri. Etiket,misalnya terkait dengan tata cara berpeilaku dalam
pergaulan,sepertimakan dengan tangan kanan dianggap lebih sopan atau beretiket(Bertens, 1997:
9).

2.2 Mendeskripsikan Esensi dan Urgensi Pancasila sebagai Sistem Etika

1. Esensi Pancasila sebagai Sistem Etika


Hakikat Pancasila sebagai sistem etika terletak pada hal-hal sebagai berikut.
Pertama,hakikat sila ketuhanan terletak pada keyakinan bangsa Indonesia bahwa Tuhan
sebagai penjamin prinsip-prinsip moral. Artinya,setiap perilaku warga negaraharus didasarkan
atas nilai-nilai moral yang bersumber pada norma agama. Setiap prinsip moral yang
berlandaskan pada norma agama, maka prinsip tersebut memiliki kekuatan (force) untuk
dilaksanakan oleh pengikut-pengikutnya.
Kedua,hakikat sila kemanusiaan terletak pada actus humanus, yaitu tindakan manusia
yang mengandung implikasi dan konsekuensi moral yang dibedakan dengan actus homini, yaitu
tindakan manusia yang biasa. Tindakan kemanusiaan yang mengandung implikasi moral
diungkapkan dengan cara dan
sikap yang adil dan beradabsehingga menjamin tata pergaulan antarmanusia dan antarmakhluk
yang bersendikan nilai-nilai kemanusiaan yang tertinggi, yaitu kebajikan dan kearifan
Ketiga,hakikat sila persatuan terletak pada kesediaan untuk hidup bersama sebagai warga
bangsa yang mementingkan masalah bangsa di atas kepentingan individu atau kelompok. Sistem
etika yang berlandaskan pada semangat kebersamaan, solidaritas sosialakan melahirkankekuatan
untuk menghadapi penetrasi nilai yang bersifat memecah belah bangsa.
Keempat,hakikat sila kerakyatan terletak pada prinsip musyawarah untuk mufakat.
Artinya,menghargai diri sendiri sama halnya dengan menghargai orang lain.
Kelima, hakikat sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan perwudan
dari sistem etika yang tidak menekankan pada kewajiban semata (deontologis) atau menekankan
pada tujuan belaka (teleologis), tetapi lebih menonjolkan keutamaan (Virtue ethics) yang
terkandung dalam nilai keadilan itu sendiri.
2. Urgensi Pancasila sebagai Sistem Etika
Hal-hal penting yang sangat urgen bagi pengembangan pancasila sebagai sistem etika
meliputi hal-hal sebagai berikut. Pertama,meletakkan sila-sila pancasila sebagai sistem etika
berarti menempatkan pancasila sebagai sumber moral dan inspirasi bagi penentu sikap,
tindakan,dan keputusan yang diambil setiap warga negara. Kedua,pancasila sebagai sistem etika
memberi guidancebagi setiap warga negarasehingga memiliki orientasi yang jelas dalam tata
pergaulan baik lokal, nasional, regional, maupuninternasional. Ketiga,pancasila sebagai sistem
etika dapat menjadi dasar analisis bagi berbagai kebijakan yang dibuat oleh penyelenggara
negarasehingga tidak keluar dari semangat negarakebangsaan yang berjiwa pancasilais.
Keempat,pancasila sebagai sistem etika dapat menjadi filter untuk menyaring pluralitas nilai
yang berkembang dalam kehidupan masyarakat sebagai dampak globalisasi yang memengaruhi
pemikiran warga negara.

2.3 Bagaimana Pancasila Menjadi Sistem Etika?


Pancasila sebagai sistem etika di samping merupakan way of life bangsa Indonesia, juga
merupakan struktur pemikiran yang disusun untuk memberikan tuntunan atau panduan kepada
setiap warga negara Indonesia dalam bersikap dan bertingkah laku. Pancasila sebagai sistem
etika, dimaksudkan untuk mengembangkan dimensi moralitas dalam diri setiap individu
sehingga memiliki kemampuan menampilkan sikap spiritualitas dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Mahasiswa sebagai peserta didik termasuk anggota masyarakat
ilmiah-akademik yang memerlukan sistem etika yang orisinal dan komprehensif agar dapat
mewarnai setiap keputusan yang diambilnya dalam profesi ilmiah. Sebab keputusan ilmiah yang
diambil tanpa pertimbangan moralitas, dapat menjadi bumerang bagi dunia ilmiah itu sendiri
sehingga menjadikan dunia ilmiah itu hampa nilai (value –free).
Kita sebagai mahasiswa berkedudukan sebagai mahluk individu dan sosial sehingga
setiap keputusan yang diambil tidak hanya terkait dengan diri sendiri, tetapi juga berimplikasi
dalam kehidupan sosial dan lingkungan. Pancasila sebagai sistem etika merupakan moral
guidance yang dapat diaktualisasikan ke dalam tindakan konkrit, yang melibatkan berbagai aspek
kehidupan. Oleh karena itu, sila-sila pancasila perlu diaktualisasikan lebih lanjut ke dalam
putusan tindakan sehingga mampu mencerminkan pribadi yang saleh, utuh, dan berwawasan
moral-akademis. Dengan demikian, mahasiswa dapat mengembangkan karakter yang pancasilais
melalui berbagai sikap yang positif, seperti jujur, disiplin, tanggung jawab, mandiri, dan lainnya.
Mahasiswa sebagai insan akademis yang bermoral pancasila juga harus terlibat dan
berkontribusi langsung dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai perwujudan sikap
tanggung jawab warga negara. Tanggung jawab yang penting berupa sikap menjunjung tinggi
moralitas dan menghormati hukum yang berlaku di Indonesia. Untuk itu, diperlukan penguasaan
pengetahuan tentang pengertian etika, aliran etika, dan pemahaman Pancasila sebagai sistem
etika sehingga mahasiswa memiliki keterampilan menganalisis persoalan-persoalan korupsi dan
dekadensi moral dalam kehidupan bangsa Indonesia.

2.4 Alasan DiperlukannyaPancasila Sebagai Sistem Etika


Anda perlu mengetahui bahwa pancasila sebagai sistem etika tidaklah muncul begitu saja.
Pancasila sebagai sistem etika diperlukan dalam kehidupan politik untuk mengatur sistem
penyelenggaraan negara. Anda dapatbayangkan apabila dalam penyelenggaraan kehidupan
bernegara tidak ada sistem etika yang menjadi guidanceatau tuntunan bagi para penyelenggara
negara, niscaya negara akan hancur. Beberapa alasan mengapa pancasila sebagai sistem etika itu
diperlukan dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara di Indonesia,meliputi hal-hal sebagai
berikut. Pertama,korupsi akan bersimaharajalelakarena para penyelenggara negara tidak
memiliki rambu-rambu normatif dalam menjalankan tugasnya.Para penyelenggara negara tidak
dapatmembedakan batasanyang boleh dantidak, pantas dantidak, baik dan buruk (good and bad).
Pancasila sebagai sistem etika terkait dengan pemahaman atas kriteria baik (good)dan buruk
(bad). Archie Bahmdalam Axiology of Science, menjelaskan bahwa baik dan buruk merupakan
dua hal yang terpisah. Namun,baik dan burukitu eksis dalam kehidupan manusia, maksudnya
godaan untuk melakukan perbuatan buruk selalu muncul. Ketika seseorang menjadi pejabat dan
mempunyai peluang untuk melakukan tindakan buruk (korupsi), maka hal tersebut dapat terjadi
pada siapa saja. Oleh karena itu,simpulan Archie Bahm, ”Maksimalkan kebaikan, minimalkan
keburukan” (Bahm, 1998: 58).
Kedua,dekadensi moral yang melanda kehidupan masyarakat, terutama generasi
mudasehingga membahayakan kelangsungan hidup bernegara. Generasi muda yang tidak
mendapat pendidikan karakter yang memadai dihadapkan pada pluralitas nilai yang melanda
Indonesia sebagai akibat globalisasisehingga mereka kehilangan arah. Dekadensi moral itu
terjadi ketika pengaruh globalisasitidak sejalan dengan nilai-nilai pancasila, tetapi justru nilai-
nilai dari luar berlaku dominan. Contoh-contoh dekadensi moral,antara lainpenyalahgunaan
narkoba, kebebasan tanpa batas, rendahnya rasa hormat kepada orang tua, menipisnya rasa
kejujuran, tawuran di kalangan para pelajar. Kesemuanya itu menunjukkan lemahnya tatanan
nilai moral dalam kehidupan bangsa Indonesia. Oleh karena itu,pancasila sebagai sistemetika
diperlukan kehadirannya sejak dini, terutama dalam bentuk pendidikan karakter di sekolah-
sekolah.

2.5 Hambatan Pancasila sebagai Sistem Etika


Apakah Anda mengetahui bentuk tantangan terhadap pancasila sebagai sistem etika apa
saja yang muncul dalam kehidupan bangsa Indonesia? Hal-hal berikut ini dapat menggambarkan
beberapa bentuk tantangan terhadap sistem etika pancasila.
Pertama,tantangan terhadap sistem etika pancasila pada zaman Orde Lama berupa sikap
otoriter dalam pemerintahan sebagaimana yang tercermin dalam penyelenggaraan negara yang
menerapkan sistem demokrasi terpimpin. Hal tersebut tidak sesuai dengan sistem etika pancasila
yang lebih menonjolkan semangat musyawarah untuk mufakat.
Kedua,tantangan terhadap sistem etika pancasila pada zaman Orde Baru terkait dengan
masalah NKK (Nepotisme, Kolusi, dan Korupsi) yang merugikan penyelenggaraan negara. Hal
tersebut tidak sesuai dengan keadilan sosialkarena nepotisme, kolusi, dan korupsi hanya
menguntungkan segelintir orang atau kelompok tertentu.
Ketiga,tantangan terhadap sistem etika pancasila pada era Reformasi berupa eforia
kebebasan berpolitik sehingga mengabaikan norma-norma moral. Misalnya,munculnya
anarkisme yang memaksakan kehendak dengan mengatasnamakan kebebasan berdemokrasi.

2.6 Dinamika Pancasila Sebagai Sistem Etika


Beberapa argumen tentang dinamika pancasila sebagai sistem etika dalam
penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama,pada
zaman Orde Lama,pemilu diselenggarakan dengan semangat demokrasi yang diikuti banyak
partai politik, tetapidimenangkan empat partai politik, yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI),
Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI), Partai Nahdhatul Ulama (PNU), dan Partai Komunis
Indonesia (PKI). Tidak dapat dikatakan bahwa pemerintahan di zaman Orde Lama mengikuti
sistem etika pancasila, bahkan ada tudingan dari pihak Orde Baru bahwa pemilihan umum pada
zaman Orde Lama dianggap terlalu liberalkarena pemerintahan Soekarno menganut sistem
demokrasi terpimpin, yang cenderung otoriter.
Kedua,pada zaman Orde Baru sistem etika pancasila diletakkan dalam bentuk penataran
P-4. Pada zaman Orde Baru itu pula muncul konsep manusia Indonesia seutuhnya sebagai
cerminan manusia yang berperilaku dan berakhlak mulia sesuai dengan nilai-nilai pancasila.
Manusia Indonesia seutuhnya dalam pandangan Orde Baru,artinya manusia sebagai makhluk
ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang secara kodrati bersifat monodualistik, yaitu makhluk rohani
sekaligus makhluk jasmani, dan makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Manusia sebagai
makhluk pribadi memiliki emosi yang memiliki pengertian, kasih sayang, harga diri, pengakuan,
dan tanggapan emosional dari manusia lain dalam kebersamaan hidup. Manusia sebagai mahluk
sosial,memiliki tuntutan kebutuhan yang makin maju dan sejahtera. Tuntutan tersebut hanya
dapat terpenuhi melalui kerjasama dengan orang lain, baik langsung maupun tidak langsung.
Oleh karena itulah,sifat kodrat manusia sebagai mahluk individu dan sosial harus dikembangkan
secara selaras, serasi, dan seimbang (Martodihardjo, 1993: 171).
Manusia Indonesia seutuhnya (adalah makhluk mono-pluralis yang terdiri atassusunan
kodrat: jiwa dan raga; Kedudukan kodrat: makhluk Tuhan dan makhluk berdiri sendiri; sifat
kodrat: makhluk sosial dan mahluk individual. Keenam unsur manusia tersebut saling
melengkapi satu sama lain dan merupakan satu kesatuan yang bulat. Manusia Indonesia menjadi
pusat persoalan, pokok dan pelaku utama dalam budaya pancasila. (Notonagoro dalamAsdi,
2003: 17-18).
Ketiga,sistem etika pancasila pada era reformasi tenggelam dalam eforia
demokrasi.Namun seiring dengan perjalanan waktu, disadari bahwa demokrasi tanpa dilandasi
sistem etika politik akan menjurus pada penyalahgunaan kekuasaan, serta machiavelisme
(menghalalkan segala cara untuk mencapi tujuan). Sofian Effendi, Rektor Universitas Gadjah
Mada dalam sambutan pembukaan Simposium Nasional Pengembangan Pancasila sebagai
Paradigma Ilmu Pengetahuan dan Pembangunan Nasional (2006: xiv) mengatakan sebagai
berikut.“Bahwa moral bangsa semakin hari semakin merosot dan semakin hanyut dalam arus
konsumerisme, hedonisme, eksklusivisme, dan ketamakan karena bangsa Indonesia tidak
mengembangkan

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari hasil pembelajaran penulis selama melaksanakan penyusunan makalah ini,
penulis atau penyusun dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :
Pendukung dari Pancasila sebagai sistem etika adalah Pancasila memegang peranan
dalam perwujudan sebuah sistem etika yang baik di negara ini. Di setiap saat dan dimana saja
kita berada kita diwajibkan untuk beretika disetiap tingkah laku kita. Seperti tercantum di sila ke
dua pada Pancasila, yaitu “Kemanusian yang adil dan beradab” sehingga tidak dapat dipungkiri
bahwa kehadiran pancasila dalam membangun etika bangsa ini sangat berandil besar. Dengan
menjiwai butir-butir Pancasila masyarakat dapat bersikap sesuai etika baik yang berlaku dalam
masyarakat, bangsa dan negara.
3.2 Saran
Hubungan nilai dengan norma adalah nilai mendasari terbentuknya pola perilaku. Pola
perilaku akan bisa terwujud sesuai denagan yang kita inginkan apabila terdapat kaidah-kaidah
atau ketentuan-ketentuan yang memendorong dan mengarahkan untuk mewujudkan pola
perilaku itu menjadi perbuatan atau tindakan konkret. Dalam bersosialisasi kita juga haru
menerapkan aturan pancasila sebagai sitem etika, dengan norma-norma dan ketentuan yang telah
ada.

DAFTAR PUSTAKA
http://sinarmentari4u.blogspot.co.id/2011/07/makalah-pancasila-sebagai-sistem-
etika.html
http://julee.blogspot.co.id/2012/11/pentingnya-pancasila-sebagai-etika.html
http://305ak.my.scripedia.com/contoh-makalah-pancasila-2/
http://aji-santosa.blogspot.co.id/2011/11/pengertian-etika-dan-macam-macam-
etika.html
http://julee.blogspot.co.id/2012/11/pentingnya-pancasila-sebagai-etika.html
http://muhammadryas.blogspot.com/2017/03/konsep-dan-urgensi-pancasila-sebagai.html

PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA


indonesia
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................ii
DAFTAR ISI............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................1
1.1 LATAR BELAKANG........................................................................1
1.2 RUMUSAN MASALAH................................................................... 2
1.3 TUJUAN PENULIS............................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................3-9
2.1 PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA
2.2 PEMAHAMAN KONSEP DAN TEORI ETIKA
2.3 ESENSI DAN URGENSI PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA
2.4 MENGGALI SUMBER HISTORIS, SOSIOLOGIS, POLITIS
TENTANG PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA
2.5 DINAMIKA PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA
BAB III PENUTUP
KESIMPULAN.........................................................................................................10
SARAN.....................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................11
BAB I PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG

Sesuai dengan penggagas awal, Ir Soekarno, Pancasila diusulkan sebagai dasar negara
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sila-sila yang terkandung dalam Pancasila
terumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang
adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/Perwakilan serta untuk mewujudkan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.

Para founding fathers menghendaki Pancasila dijadikan dasar pengelolaan kehidupan


bermasyarakat, ber-bangsa dan bernegara untuk mewujudkan masyarakat yang merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur.

Pancasila secara sistematik disampaikan pertama kali oleh Ir. Soekarno di depan Sidang
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal 1 Juni
1945. Oleh Bung Karno dinyatakan bahwa Pancasila merupakan philosofische grondslag, suatu
pundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, merupakan landasan atau dasar bagi negara
merdeka yang akan didirikan. Selanjutnya dikemukakan pula bahwa Pancasila di samping
berfungsi sebagai landasan bagi kokoh-tegaknya negara-bangsa, juga berfungsi sebagai bintang
pemandu atau Leitstar, sebagai ideologi nasional, sebagai pandangan hidup bangsa, sebagai
perekat atau pemersatu bangsa dan sebagai wawasan pokok bangsa Indonesia dalam mencapai
cita-cita nasional.

Begitu penting kedudukan Pancasila bagi bangsa Indonesia dalam hidup bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara, sehingga gagasan dasar yang berisi konsep, prinsip dan nilai yang
terkandung dalam Pancasila harus berisi kebenaran yang tidak disangsikan. Dengan demikian
rakyat rela untuk menerima, meyakini dan menerapkan dalam kehidupan yang nyata; untuk
selanjutnya dijaga kokoh dan kuatnya gagasan dasar tersebut agar mampu mengantisipasi
perkembangan zaman.
Untuk menjaga, memelihara, memperkokoh dan mensosialisasikan Pancasila maka para
penyelenggara negara dan seluruh warganegara wajib memahami, meyakini dan melaksanakan
kebenaran nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

II. RUMUSAN MASALAH


a. Apa maksud dari Pancasila sebagai Sistem Etika?
b. Bagaimana pemahaman konsep dan teori etika?
c. Pentingnya Pancasila sebai Sistem Etika itu apa?
III. TUJUAN PENULIS
a. Untuk memenuhi tugas mata kuliah pancasila sebagai pengganti UTS yang diberikan oleh
dosen pembimbing.
b. Untuk memahami lebih dalam tentang Pancasila sebagai Sistem Etika
c. Untuk memberikan informasi kepada pembaca mengenai Pancasila sebagai Sistem Etika

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pancasila sebagai Sistem Etika


Etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Kata Yunani ethos dalam bentuk tunggal
mempunyai banyak arti, antara lain tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang,
kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha)
artinya adalah adat kebiasaan. Etika adalah ilmu tentang apa yang bisa dilakukan atau ilmu
tentang adat kebiasaan .
Kata yang cukup dekat dengan etika adalah moral. Moral berasal dari kata latin mos yang
berarti kebiasaan, adat. Etimologi kata etika sama dengan etimologi kata moral karena keduanya
berasal dari kata yang berarti adat kebiasaan. Hanya saja bahasa asalnya yang berbeda.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia kata etika dijelaskan dengan membedakan 3 arti yaitu :
a. ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral
(akhlak)
b. kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak
c. nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat
Kata etika bisa dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi
pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. kemudian etika
juga berarti kumpulan asas atau kode etik.
Etika termasuk filsafat dan dikenal sebagai salah satu cabang filsafat yang paling tua.
Sebagai filsafat, etika bukan merupakan suatu ilmu empiris, sedangkan yang diaksud dengan
ilmu adalah ilmu empiris yang artinya ilmu yang didasarkan pada fakta dan dalam
pembicaraannya tidak pernah melepaska diri dari fakta.
Ilmu-ilmu itu bersifat empiris karena seluruhnya berlangsung dalam rangka empiri
(pengalaman inderawi), yaitu apa yang dilihat, didengar, dicium dan sebagainya. Ilmu empiris
berasal dari observasi terhadap fakta-fakta dan jika berhasil merumuskan hukum-hukum ilmiah,
maka kebenaran hukum-hukum itu harus diuji lagi dengan berbalik kepada fakta-fakta.
Dalam etika selalu berlaku cara berpikir non empiris artinya dengan tidak membatasi diri
pada pengalaman inderawi, yang konkret, pada yang faktual dilakukan, tapi ia bertanya tentang
yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan , tentang yang baik dan buruk untuk dilakukan.
Etika membatasi diri dengan segi normatif atau evaluatif.
Setiap masyarakat mengenal nilai-nilai dan norma-norma etis. Dalam masyarakat yang
homogen dan agak tertutup , masyarakat tradisional, nilai-nilai dan norma-norma itu praktis tidak
pernah dipersoalkan. Dalam keadaan tersebut secara otomatis orang akan menerima nilai dan
norma yang berlaku. Individu dalam masyarakat itu tidak berpikir lebih jauh. Nilai dan norma
masyarakat tradisional umumnya tinggal implisit saja, setiap saat menjadi eksplisit bila ada
perkembangan baru terhadap norma yang berlaku di masyarakat tersebut.
Dalam melakukan kehidupan bermasyarakat, seseorang harus mengetahui dan memahami
norma-norma dan kewajiban yang harus dipatuhi dan dilaksanakan agar membentengi seseorang
tidak melakukan tindakan yang merugikan diri sendiri maupun orang lain. Dan hal tersebut,
terdapat dalam pancasila yang mengandung sila-sila tentang kesatuan dan keadilan. Karena,
pancasila memgang peranan dan perwujudan dalam sistem etika yang baik untuk semua warga
negara. Kapanpun dan dimanapun kita berada kita harus tetap beretika dalam bertingkah laku,
karena jika seseorang bertingkah laku baik maka orang lain akan menilai baik juga. Sila-sila
dalam pancasila mempunyai tujuan dan makna tersendiri tetapi sila tersebut merupakan kesatuan
yang sistematik.
2.2 Pemahaman Konsep dan Teori Etika
 Dari asal usul kata, etika berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang berarti adat istiadat/kebiasaan
yang baik. Perkembangan etika yaitu study tentang kebiasaan manusia berdasarkan kesepakatan
menurut ruang dan waktu yang berbeda yang menggambarkan perangai manusia dalam
kehidupan pada umumnya. Dan etika mempunyai arti yang berbeda dilihat dari sudut pandang
pengguna yang berbeda dari istilah itu.
 Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian formal tentang moralitas.
 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika adalah nilai mengenai benar dan salah yang dianut
suatu golongan atau masyarakat.
 Menurut Maryani Ludigdo (2001), etika adalah seperangkat nilai atau norma atau pedoman yang
mengatur perilaku manusia, baik yang haru dilakukan maupun ditinggalkan yang dianut oleh
sekelompok atau segolongan masyarakat atau profesi.
Dalam mengkaji masalah, etika terdiri dari 2 teori :
a. Teori Konsekuensialis
Kelompok teori yang konsekuensialis yang menilai baik buruknya perilaku mausia atau
benar tidaknya sebagai manusia berdasarkan konsekuensi atau akibatnya. Yakni dilihat dari
apakah perbuatan atau tindakan itu secara keseluruhan membawa akibat baik lebih banyak
daripada akibat buruknya atau sebaliknya. Teori ini mendasarkan diri atas suatu keyakinan
bahwa hidup manusia secara kodrati mengarah pada suatu tujuan. Yang termasuk kedalam
kelompok konsekuensalis dan teleologis adalah teoori egoisme, eudaimonisme, dan utilarisme.
Sesuai dari kata konsekuen yaitu etika tersebut sesuai dengan apa yang dikatakannya dan
diperbuatnya.
b. Teori Non Konsekuensialis
Teori ini menilai baik buruknya perbuatan atau benar salahnya tindakan tanpa melihat
konsekuensi atau akibatnya, melainkan dengan hokum atau standar moral. Teori ini juga disebut
dengan etika deontologist karena menekankan konsep kewajiban moral yang wajib ditaati
manusia.

2.3 Esensi dan Urgensi Pancasila Sebagai Sistem Etika


1. Esensi Pancasila sebagai Sistem Etika

Hakikat Pancasila sebagai sistem etika terletak pada hal-hal sebagai berikut.
Pertama,hakikat sila ketuhanan terletak pada keyakinan bangsa Indonesia bahwa Tuhan
sebagai penjamin prinsip-prinsip moral. Artinya,setiap perilaku warga negara harus didasarkan
atas nilai-nilai moral yang bersumber pada norma agama. Setiap prinsip moral yang
berlandaskan pada norma agama, maka prinsip tersebut memiliki kekuatan (force) untuk
dilaksanakan oleh pengikut-pengikutnya.
Kedua,hakikat sila kemanusiaan terletak pada actus humanus, yaitu tindakan manusia
yang mengandung implikasi dan konsekuensi moral yang dibedakan dengan actus homini, yaitu
tindakan manusia yang biasa. Tindakan kemanusiaan yang mengandung implikasi moral
diungkapkan dengan cara dan
sikap yang adil dan beradabsehingga menjamin tata pergaulan antarmanusia dan antarmakhluk
yang bersendikan nilai-nilai kemanusiaan yang tertinggi, yaitu kebajikan dan kearifan
Ketiga,hakikat sila persatuan terletak pada kesediaan untuk hidup bersama sebagai warga
bangsa yang mementingkan masalah bangsa di atas kepentingan individu atau kelompok. Sistem
etika yang berlandaskan pada semangat kebersamaan, solidaritas sosialakan melahirkankekuatan
untuk menghadapi penetrasi nilai yang bersifat memecah belah bangsa.
Keempat,hakikat sila kerakyatan terletak pada prinsip musyawarah untuk mufakat.
Artinya,menghargai diri sendiri sama halnya dengan menghargai orang lain.

5
Kelima, hakikat sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan perwudan
dari sistem etika yang tidak menekankan pada kewajiban semata (deontologis) atau menekankan
pada tujuan belaka (teleologis), tetapi lebih menonjolkan keutamaan (Virtue ethics) yang
terkandung dalam nilai keadilan itu sendiri.

2. Urgensi Pancasila sebagai Sistem Etika

Hal-hal penting yang sangat urgen bagi pengembangan pancasila sebagai sistem etika
meliputi hal-hal sebagai berikut. Pertama,meletakkan sila-sila pancasila sebagai sistem etika
berarti menempatkan pancasila sebagai sumber moral dan inspirasi bagi penentu sikap,
tindakan,dan keputusan yang diambil setiap warga negara. Kedua,pancasila sebagai sistem etika
memberi guidance bagi setiap warga negara sehingga memiliki orientasi yang jelas dalam tata
pergaulan baik lokal, nasional, regional, maupuninternasional. Ketiga,pancasila sebagai sistem
etika dapat menjadi dasar analisis bagi berbagai kebijakan yang dibuat oleh penyelenggara
negara sehingga tidak keluar dari semangat negara kebangsaan yang berjiwa pancasilais.
Keempat,pancasila sebagai sistem etika dapat menjadi filter untuk menyaring pluralitas nilai
yang berkembang dalam kehidupan masyarakat sebagai dampak globalisasi yang memengaruhi
pemikiran warga negara.

 Alasan DiperlukannyaPancasila Sebagai Sistem Etika


Anda perlu mengetahui bahwa pancasila sebagai sistem etika tidaklah muncul begitu saja.
Pancasila sebagai sistem etika diperlukan dalam kehidupan politik untuk mengatur sistem
penyelenggaraan negara. Anda dapatbayangkan apabila dalam penyelenggaraan kehidupan
bernegara tidak ada sistem etika yang menjadi guidanceatau tuntunan bagi para penyelenggara
negara, niscaya negara akan hancur. Beberapa alasan mengapa pancasila sebagai sistem etika itu
diperlukan dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara di Indonesia,meliputi hal-hal sebagai
berikut. Pertama,korupsi akan bersimaharajalelakarena para penyelenggara negara tidak
memiliki rambu-rambu normatif dalam menjalankan tugasnya.Para penyelenggara negara tidak
dapatmembedakan batasanyang boleh dantidak, pantas dantidak, baik dan buruk (good and bad).
Pancasila sebagai sistem etika terkait dengan pemahaman atas kriteria baik (good)dan buruk
(bad). Archie Bahmdalam Axiology of Science, menjelaskan bahwa baik dan buruk merupakan
dua hal yang terpisah. Namun,baik dan burukitu eksis dalam kehidupan manusia, maksudnya
godaan untuk melakukan perbuatan buruk selalu muncul. Ketika seseorang menjadi pejabat dan
mempunyai peluang untuk melakukan tindakan buruk (korupsi), maka hal tersebut dapat terjadi
pada siapa saja. Oleh karena itu,simpulan Archie Bahm, ”Maksimalkan kebaikan, minimalkan
keburukan” (Bahm, 1998: 58).
Kedua,dekadensi moral yang melanda kehidupan masyarakat, terutama generasi
mudasehingga membahayakan kelangsungan hidup bernegara. Generasi muda yang tidak
mendapat pendidikan karakter yang memadai dihadapkan pada pluralitas nilai yang melanda
Indonesia sebagai akibat globalisasisehingga mereka kehilangan arah. Dekadensi moral itu
terjadi ketika pengaruh globalisasitidak sejalan dengan nilai-nilai pancasila, tetapi justru nilai-
nilai dari luar berlaku dominan. Contoh-contoh dekadensi moral,antara lainpenyalahgunaan
narkoba, kebebasan tanpa batas, rendahnya rasa hormat kepada orang tua, menipisnya rasa
kejujuran, tawuran di kalangan para pelajar. Kesemuanya itu menunjukkan lemahnya tatanan
nilai moral dalam kehidupan bangsa Indonesia. Oleh karena itu,pancasila sebagai sistemetika
diperlukan kehadirannya sejak dini, terutama dalam bentuk pendidikan karakter di sekolah-
sekolah.

6
2.4 Sumber Historis, Sosiologis, Politis tentang Pancasila sebagai Sistem Etika
1) Sumber historis
Pada zaman Orde Lama, Pancasila sebagai sistem etika masih berbentuk sebagai
Philosofische Grondslag atau Weltanschauung. Artinya, nilai-nilai Pancasila belum ditegaskan
ke dalam sistem etika, tetapi nilai-nilai moral telah terdapat pandangan hidup masyarakat.
Masyarakat dalam masa orde lama telah mengenal nilai-nilai kemandirian bangsa yang oleh
Presiden Soekarno disebut dengan istilah berdikari (berdiri di atas kaki sendiri). Pada zaman
Orde Baru, Pancasila sebagai sistem etika disosialisasikan melalui penataran P-4 dan
diinstitusionalkan dalam wadah BP-7. Ada banyak butir Pancasila yang dijabarkan dari kelima
sila Pancasila sebagai hasil temuan dari para peneliti BP-7. Untuk memudahkan pemahaman
tentang butir-butir sila Pancasila dapat dilihat pada tabel berikut (Soeprapto, 1993: 53--55).
Pada era reformasi, Pancasila sebagai sistem etika tenggelam dalam hirukpikuk perebutan
kekuasaan yang menjurus kepada pelanggaraan etika politik. Salah satu bentuk pelanggaran etika
politik adalah abuse of power, baik oleh penyelenggara negara di legislatif, eksekutif, maupun
yudikatif. Penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan inilah yang menciptakan korupsi di
berbagai kalangan penyelenggara negara.
2) Sumber Sosiologis
Sumber sosiologis Pancasila sebagai sistem etika dapat ditemukan dalam kehidupan
masyarakat berbagai etnik di Indonesia. Misalnya, orang Minangkabau dalam hal
bermusyawarah memakai prinsip “bulat air oleh pembuluh, bulat kata oleh mufakat”. Masih
banyak lagi mutiara kearifan lokal yang bertebaran di bumi Indonesia ini sehingga memerlukan
penelitian yang mendalam.
3) Sumber Politis
Sumber politis Pancasila sebagai sistem etika terdapat dalam norma-norma dasar
(Grundnorm) sebagai sumber penyusunan berbagai peraturan perundangan-undangan di
Indonesia. Pancasila sebagai sistem etika merupakan norma tertinggi (Grundnorm) yang sifatnya
abstrak, sedangkan perundang-undangan merupakan norma yang ada di bawahnya bersifat
konkrit.
7
Etika politik mengatur masalah perilaku politikus, berhubungan juga dengan praktik
institusi sosial, hukum, komunitas, struktur-struktur sosial, politik, ekonomi. Etika politik
memiliki 3 dimensi, yaitu tujuan, sarana, dan aksi politik itu sendiri. Dimensi tujuan terumuskan
dalam upaya mencapai kesejahteraan masyarakat dan hidup damai yang didasarkan pada
kebebasan dan keadilan. Dimensi sarana memungkinkan pencapaian tujuan yang meliputi sistem
dan prinsip-prinsip dasar pengorganisasian praktik penyelenggaraan negara dan yang mendasari
institusi-institusi sosial. Dimensi aksi politik berkaitan dengan pelaku pemegang peran sebagai
pihak yang menentukan rasionalitas politik. Rasionalitas politik terdiri atas rasionalitas tindakan
dan keutamaan. Tindakan politik dinamakan rasional bila pelaku mempunyai orientasi situasi
dan paham permasalahan (Haryatmoko, 2003: 25 – 28).

2.5 Dinamika Pancasila Sebagai Sistem Etika


Beberapa argumen tentang dinamika pancasila sebagai sistem etika dalam
penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama,pada
zaman Orde Lama,pemilu diselenggarakan dengan semangat demokrasi yang diikuti banyak
partai politik, tetapidimenangkan empat partai politik, yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI),
Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI), Partai Nahdhatul Ulama (PNU), dan Partai Komunis
Indonesia (PKI). Tidak dapat dikatakan bahwa pemerintahan di zaman Orde Lama mengikuti
sistem etika pancasila, bahkan ada tudingan dari pihak Orde Baru bahwa pemilihan umum pada
zaman Orde Lama dianggap terlalu liberalkarena pemerintahan Soekarno menganut sistem
demokrasi terpimpin, yang cenderung otoriter.
Kedua,pada zaman Orde Baru sistem etika pancasila diletakkan dalam bentuk penataran
P-4. Pada zaman Orde Baru itu pula muncul konsep manusia Indonesia seutuhnya sebagai
cerminan manusia yang berperilaku dan berakhlak mulia sesuai dengan nilai-nilai pancasila.
Manusia Indonesia seutuhnya dalam pandangan Orde Baru,artinya manusia sebagai makhluk
ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang secara kodrati bersifat monodualistik, yaitu makhluk rohani
sekaligus makhluk jasmani, dan makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Manusia sebagai
makhluk pribadi memiliki emosi yang memiliki pengertian, kasih sayang, harga diri, pengakuan,
dan tanggapan emosional dari manusia lain dalam kebersamaan hidup. Manusia sebagai mahluk
sosial,memiliki tuntutan kebutuhan yang makin maju dan sejahtera. Tuntutan tersebut hanya
dapat terpenuhi melalui kerjasama dengan orang lain, baik langsung maupun tidak langsung.
Oleh karena itulah,sifat kodrat manusia sebagai mahluk individu dan sosial harus dikembangkan
secara selaras, serasi, dan seimbang (Martodihardjo, 1993: 171).
Manusia Indonesia seutuhnya (adalah makhluk mono-pluralis yang terdiri atassusunan
kodrat: jiwa dan raga; Kedudukan kodrat: makhluk Tuhan dan makhluk berdiri sendiri; sifat
kodrat: makhluk sosial dan mahluk individual. Keenam unsur manusia tersebut saling
melengkapi satu sama lain dan merupakan satu kesatuan yang bulat. Manusia Indonesia menjadi
pusat persoalan, pokok dan pelaku utama dalam budaya pancasila. (Notonagoro dalamAsdi,
2003: 17-18).
8
Ketiga,sistem etika pancasila pada era reformasi tenggelam dalam eforia
demokrasi.Namun seiring dengan perjalanan waktu, disadari bahwa demokrasi tanpa dilandasi
sistem etika politik akan menjurus pada penyalahgunaan kekuasaan, serta machiavelisme
(menghalalkan segala cara untuk mencapi tujuan). Sofian Effendi, Rektor Universitas Gadjah
Mada dalam sambutan pembukaan Simposium Nasional Pengembangan Pancasila sebagai
Paradigma Ilmu Pengetahuan dan Pembangunan Nasional (2006: xiv) mengatakan sebagai
berikut.“Bahwa moral bangsa semakin hari semakin merosot dan semakin hanyut dalam arus
konsumerisme, hedonisme, eksklusivisme, dan ketamakan karena bangsa Indonesia tidak
mengembangkan
BAB III PENUTUP
KESIMPULAN
Etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Kata Yunani ethos dalam bentuk tunggal mempunyai
banyak arti, antara lain tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat,
akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berpikir.
Pancasila sebagai sistem etika terkait dengan pemahaman atas kriteria baik (good)dan
buruk (bad). Archie Bahmdalam Axiology of Science, menjelaskan bahwa baik dan buruk
merupakan dua hal yang terpisah. Namun,baik dan burukitu eksis dalam kehidupan manusia,
maksudnya godaan untuk melakukan perbuatan buruk selalu muncul. Ketika seseorang menjadi
pejabat dan mempunyai peluang untuk melakukan tindakan buruk (korupsi), maka hal tersebut
dapat terjadi pada siapa saja. Oleh karena itu,simpulan Archie Bahm, ”Maksimalkan kebaikan,
minimalkan keburukan” (Bahm, 1998: 58).

Dari materi di atas dapat disimpulkan, . Etika adalah ilmu tentang apa yang bisa
dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan . Sehingga jika seseorang ingin memiliki etika yang
baik harus dibiasakan untuk selalu melakukan kebiasaan yang baik sebab etika dapat terbentuk
melalui kebiasaan yang sering dilakukan seseorang. Jadi, jika seseorang selalu melakukan
kebiasaan yang baik maka akan ragu untuk melakukan kegitan yang dapat merugikan diri sendiri
maupun orang lain. Dan pancasila sendiri merupakan pemegang peranan dan perwujudan dalam
sistem etika yang baik untuk semua warga negara.

SARAN
Penulis hanya lah seorang warga atau rakyat biasa. Saran yang diberikan pun hanya berupa saran
sederhana sesuai pola pikir rakyat kecil. Di antara saran penulis antara lain:
1. Hendaknya setiap warga negara lebih memahami makna yang terkandung di dalam
Pancasila.
2 Pancasila harus senantiasa diaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa danbernegara di
Indonesia sehingga ciri kekeluargaan dan gotong royong senantiasa dapat terwujud dalam
kehidupan di Indonesia.

10

DAFTAR PUSTAKA

Sekneg RI., Risalah Sidang BPUPKI – PPKI, 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945..
http://sintadevi597.blogspot.co.id/2016/03/makalah-pancasila-sebagai-sistem-etika.html
http://muhammadryas.blogspot.co.id/2017/03/konsep-dan-urgensi-pancasila-sebagai.html
http://pancasila81.blogspot.com/2018/07/01pancasila-sebagai-sistem-etika.html

MODUL 9 PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA (Penyusun: ) Standar Kompetensi : Pancasila sebagai
Sistem Etika Indikator: Menguasai pengetahuan tentang pengertian etika, aliran-aliran etika, etika
Pancasila, dan Pancasila sebagai solusi problem moralitas bangsa. Untuk dapat menguji pengetahuan
tersebut mahasiswa akan diberikan tugas berupa tugas individu dan kelompok untuk melakukan diskusi
mengenai permasalahan moralitas bangsa. Mampu mengelola perbedaan pendapat dalam sikusi sebagai
pembentukan pemahaman bersama bahwa nilai-nilai Pancasila dapat menjadi solusi terbaik untuk
memperbaiki permasalahan moralitas yang mendera bangsa Indonesia. Memiliki sikap tanggung jawab
pada pekerjaan secara mandiri dan dapat diberi tanggung jawab atas pencapaian hasil kerja kelompok,
komunikatif, estetis, etis, apresiatif dan partisipatif. Pancasila memiliki bermacam-macam fungsi dan
kedudukan, antara lain sebagai dasar negara, pandangan hidup bangsa, ideologi negara, jiwa dan
kepribadian bangsa. Pancasila juga sangat sarat akan nilai, yaitu nilai ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, kerakyatan dan keadilan. Oleh karena itu, Pancasila secara normatif dapat dijadikan sebagai
suatu acuan atas tindakan baik, dan secara filosofis dapat dijadikan perspektif kajian atas nilai dan norma
yang berkembang dalam masyarakat. A. Etika Pancasila Dalam Bernegara Sebagai salah cabang etika,
khususnya etika politik termasuk dalam lingkungan filsafat. Filsafat yang langsung mempertanyakan
praksis manusia adalah etika. Etika mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia. Berbagai
bidang etika khusus, seperti etika individu, etika sosial, etika keluarga, etika profesi dan etika pendidikan.
Dalam hal ini termasuk etika politik yang berkenaan dengan dimensi politis kehidupan manusia. Etika
berkaitan dengan norma moral, yaitu norma untuk mengukur betul salahnya tindakan manusia sebagai
manusia. Dengan demikian etika politik

2 mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia sebagai manusia dan bukan hanya sebagai
warga negara terhadap negara, hukum yang berlaku dan lain sebagainya Fungsi etika politik dalam
masyarakat terbatas pada penyediaan alat-alat teoritis untuk mempertanyakan serta menjelaskan
legitimasi politik secara bertanggung jawab. Jadi tidak berdasarkan emosi, prasangka dan apriori,
melainkan secara rasional, obyektif dan argumentif. Etika politik tidak langsung mencampuri politik
praktis. Tugas etika politik membantu agar pembahasan masalah-masalah ideologis dapat dijalankan
secara obyektif, etika politik dapat memberikan patokan orientasi dan pegangan normatif bagi mereka
yang memang mau menilai kualitas tatanan dan kehidupan politik dengan tolak ukur martabat manusia
atau mempertanyakan legitimasi moral perlbagai keputusan politik. Suatu keputusan bersifat politis
apabila diambil dengan memperhatikan kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Hukum dan
kekuasan negara merupakan pembahasan utama etika politik. Hukum sebagai lembaga penata
masyarakat yang normatif, kekuasaan negara sebgai lembaga penata masyarakat yang efektif sesuai
dengan struktur ganda kemampuan manusia (makhluk individu dan sosial). Jadi etika politik membahas
hukum dan kekuasaan. Sebetulnya keduanya tidak terpisah, Hukum tanpa kekuasan negara tidak dapat
berbuat apa-apa, sifatnya normatif belaka, hukum tidak mempunyai kemampuan untuk bertindak.
Sedangkan negara tanpa hukum adalah buta. Negara yang memakai kekuasaannya diluar hukum sama
dengan manusia yang berbuat tanpa pengertian. Negara semacam itu menjadi negara penindas dan
sangat mengerikan. Prinsip-prinsip etika politik yang menjadi titik acuan orientasi moral bagi suatu negara
adalah adanya cita-cita the rule of law, partisipasi demokratis masyarakat, jaminan hak-hak asasi
manusia menurut kekhasan paham kemanusiaan dan struktur sosial budaya masyarakat masing-masing
dan keadilan sosial.

3 2. Legitimasi Kekuasaan Pokok permasalahan etika politik adalah legitimasi etis kekuasaan, yang
dapat dirumuskan dengan suatu pertanyaan: dengan moral apa seseorang atau sekelompok orang
memegang dan menggunakan yang mereka miliki? Betapa besarnya kekuasaan yang dimiliki seseorang,
dia harus berhadapat dengan tuntutan untuk mempertanggungjawabkannya. Paham
pertanggungjawaban menyatakan bahwa penguasa memang memiliki kekuasaan dan bahwa masyarakat
berhak untuk menuntut pertanggungjawaban. Dalam etikan politik, kekuatan batin penguasa berpancaran
sebagai wibawa ke dalam masyarakat. Rakyat dapat merasakannya. Penguasa dianggap memiliki
kekuatan-kekuatan tertentu. Wibawa penguasa itu bukan suatu yang sekedar psikis atau mistik
melainkan ditunjang oleh kemampuannya untuk mengerahkan kekuatan fisik. Ia dapat mengatur dan
mengorganisir orang banyak dan memastikan kemampuannya itu dengan ancam,an atau sanksi nya
terhadap mereka yang mau membangkang. Kewibawan penguasa yang paling menyakinkan adalah
keselarasan sosial, yaitu tidak terjadi keresahan dalam masyarakat. Segala bentuk kritik, ketidak puasan,
tantangan, perlawanan dan kekacauan merupakan tanda bahwa masyarakat resah. Sebaliknya
keselarasan nampak apabila masyarakat merasa tenang, tenteram dan sejahtera. Budi luhur penguasa
nampak dalam cara ia menjalankan pemerintahannya. Sesuai dengan sifat dan hakekat kekuasaan
sendiri cara pemakaiannya secara halus. Kehalusan pemerintahan diharapkan dapat mencapai keadaan
sejahtera, adil dan tenteran dalam masyarakat tanpa perlu memakai cara-cara kasar.. Penyusutan
kekuasan seorang penguasa akan dihubungkan dengan pamrih yang berlebihan, karena pamrih
menunjukkan bahwa ia tidak lagi sanggup untuk memusatkan diri pada alam batin atau hati nurani yang
sebenarnya. Karena pamrih penguasa untuk menyadap kekuatan-kekuatan alam semesta semakin
berkurang sampai akhirnya ia kehilangan kekuasaannya. Oleh sebab itulah

4 sejarah telah membuktikan sekuat-kuatnya seorang penguasa pada titik puncaknya, namun diakhirnya
dia akan jatuh bagaikan tidak bermaya. Maka oleh sebab itu, bahaya besar bagi kedudukan penguasa
tidak berasal dari musuh di luar atau faktor obyektif dalam masyarakat, melainkan dari kemerosotan
akhlak dan budi pekerti penguasa itu sendiri. Apabila ia menyelahgunakan kedudukkannya untuk
memperkaya diri dan keluarganya, ia membuktikan bahwa secara batiniah sudah miskin. Begitu juga kalu
kekuasannya merosot menjadi sistem penghisapan kekayaan dan tenaga masyarakat demi keuntungan
material, maka hakikat keuasaan yang sempurna sudah menguap hilang. Jadi secara etika politik
seorang penguasa yang sesungguhnya adalah keluhuran budinya. Legitimasi kekuasaan meliputi: a.
legitimasi etis, yaitu pembenaran atau pengabsahan wewenang negara (kekuasaan negara) berdasarkan
prinsip-prinsip moral. b. Legitmimasi legalitas, yaitu keabsahan kekuasaan itu berkaitan dengan fungsi-
fungsi kekuasaan negara dan menuntut agar fungsi-fungsi itu diperoleh dan dilakukan sesuai dengan
hukum yang berlaku. Tuntutan legalitas itu merupakan tuntutan etika politik. Namun, legalitas semata-
mata tidak dapat menjamin legitimasi etis, karena legalitas menggunakan hukum yang berlaku (hukum
positif). Padahal belum tentu bahwa hukum yang berlaku sendiri dapat dibenarkan secara etis. Oleh
sebab itu, hukum dalam kerangka etika politik adalah hukum yang berkeadilan dengan fungsinya untuk
memanusiakan penggunaan kekuasaan. Karena adanya hukum, kehidupan bersama masyarakat tidak
ditentukan semata-mata oleh kepentingan mereka yang kuat, melainkan oleh suatu aturan rasional yang
seoptimal mungkin menjamin kepentingan semua pihak.

5 3. Moralitas Kekuasaan Legitimasi etis mempersoalkan keabsahan kekuasaan politik dari segi
normanorma moral. Legitimasi ini muncul dalam konteks bahwa setiap tindakan negara baik dari legislatif
maupun eksekutif dapat dipertanyakan dari segi norma-norma moral. Tujuannya adalah agar kekuasaan
itu mengarahkan kekuasaan ke pemakaian kebijaksanaan dan cara-cara yang semakin sesuai dengan
tuntutan-tuntutan kemanusiaan yang adil dan beradab. Pada zaman sekarang (modern) tuntutan
legitimasi moral merupakan salah satu untuk pokok dalam kesadaran bermasyarakat. Anggapan bahawa
negara hanya boleh bertindak dalam batas-batas hukum, bahawa hukum harus menghormati hak asasi
manusia, begitu pula pelbagai penolakan terhadap kebijaksanaan politik tertentu, seperti isu ketidak
adilan sosial, semua berwujud tuntutan agar negara melegitimasikan diri secara moral. Dalam hal inilah
kalanagan paham agama secara klasik membuat rumusan bahawa kita harus lebih taat kepada Allah
daripada kepada manusia. Moralitas kekuasaan lebih banyak ditentukan oleh nilai-nilai yang diyakini
kebenarannya oleh masyarakat. Apabila masyarakatnya adalah masyarakat religius, maka ukuran
apakah penguasan itu memiliki etika politik tidak lepas dari moral agama yang dianut oleh
masyarakatnya. Oleh sebab itu, pernyataanpernyataan yang sering dilontarkan oleh umat beragama
adalah bahawa kekuasaan itu adalah amanah dari Allah dan harus dipertanggung jawabkan kepadanya
kelak. Di samping terdapat juga ungkapan dari tradisi masyarakat yang menyatakan raja adil raja
disembah, raja zalim raja disanggah. Makna dari ungkapan ini tidak lepas dari kemuliaan dan kebaikan
seseorang penguasa sangat ditentukan oleh masyarakatnya, tentunya sikap masyarakat tersebut
dilandasi oleh moralitas yang hidup dalam masyarakat tersebut. Oleh sebab itu, alat pengukur etika
politik yang dilaksanakan oleh penguasa ditentukan oleh nilai, moral dan norma yang berkembang dalam
masyarakat.

6 Pada hakikatnya kekuasaan memiliki hati nurani, yaitu keadilan dan memakmuran rakyat, apabila
kehilangan hati nurani tersebut maka kekuasan yang terlihat perebutan kekuasaan semata-mata yang
dilumuri oleh intrik, fitnah, dengki, cavi maki dan iri hati. Sehingga kekuasaan akan merusak tatatan
kerukuan hidup masyarakat. Apabila hati nurani kekuasaan melekat pada nurani seorang penguasa,
maka kekuasaan adalah amat rakyat sehingga akan melahirkan martabat, harga diri dan rezeki. B.
Pancasila Sebagai Solusi Persoalan Bangsa dan Negara (Studi Kasus Korupsi) Situasi negara Indonesia
saat ini begitu memprihatinkan. Begitu banyak masalah menimpa bangsa ini dalam bentuk krisis yang
multidimensional. Krisis ekonomi, politik, budaya, sosial, hankam, pendidikan dan lain-lain, yang
sebenarnya berhulu pada krisis moral. Tragisnya, sumber krisis justru berasal dari badanbadan yang ada
di negara ini, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif, yang notabene badan-badan inilah yang
seharusnya mengemban amanat rakyat. Setiap hari kita disuguhi beritaberita mal-amanah yang
dilakukan oleh orang-orang yang dipercaya rakyat untuk menjalankan mesin pembangunan ini.
Sebagaimana telah dikatakan bahwa moralitas memegang kunci sangat penting dalam mengatasi krisis.
Kalau krisis moral sebagai hulu dari semua masalah, maka melalui moralitas pula krisis dapat diatasi.
Indikator kemajuan bangsa tidak cukup diukur hanya dari kepandaian warganegaranya, tidak juga dari
kekayaan alam yang dimiliki, namun hal yang lebih mendasar adalah sejauh mana bangsa tersebut
memegang teguh moralitas. Moralitas memberi dasar, warna sekaligus penentu arah tindakan suatu
bangsa. Moralitas dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu moralitas individu, moralitas sosial dan moralitas
mondial. Moralitas individu lebih merupakan kesadaran tentang prinsip baik yang bersifat ke dalam,
tertanam dalam diri manusia yang akan mempengaruhi cara berpikir dan bertindak. Seorang yang
memiliki moralitas individu yang baik akan muncul dalam sikap dan perilaku seperti sopan, rendah hati,
tidak suka menyakiti orang lain, toleran, suka menolong, bekerja keras, rajin belajar, rajin ibadah dan lain-
lain. Moralitas ini muncul dari dalam, bukan karena dipaksa dari luar. Bahkan, dalam situasi amoral yang
terjadi di

7 luar dirinya, seseorang yang memiliki moralitas individu kuat akan tidak terpengaruh. Moralitas individu
ini terakumulasi menjadi moralitas sosial, sehingga akan tampak perbedaan antara masyarakat yang
bermoral tinggi dan rendah. Adapun moralitas mondial adalah moralitas yang bersifat universal yang
berlaku di manapun dan kapanpun, moralitas yang terkait dengan keadilan, kemanusiaan, kemerdekaan,
dan sebagainya. Moralitas sosial juga tercermin dari moralitas individu dalam melihat kenyataan sosial.
Bisa jadi seorang yang moral individunya baik tapi moral sosialnya kurang, hal ini terutama terlihat pada
bagaimana mereka berinteraksi dengan masyarakat yang majemuk. Sikap toleran, suka membantu
seringkali hanya ditujukan kepada orang lain yang menjadi bagian kelompoknya, namun tidak toleran
kepada orang di luar kelompoknya. Sehingga bisa dikatakan bahwa moral sosial tidak cukup sebagai
kumpulan dari moralitas individu, namun sesungguhnya lebih pada bagaimana individu melihat orang lain
sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabat kemanusiaan yang sama. Moralitas individu dan
sosial memiliki hubungan sangat erat bahkan saling tarik-menarik dan mempengaruhi. Moralitas individu
dapat dipengaruhi moralitas social, demikian pula sebaliknya. Seseorang yang moralitas individunya baik
ketika hidup di lingkungan masyarakat yang bermoral buruk dapat terpengaruh menjadi amoral.
Kenyataan seperti ini seringkali terjadi pada lingkungan pekerjaan. Ketika lingkungan pekerjaan berisi
orang orang yang bermoral buruk, maka orang yang bermoral baik akan dikucilkan atau diperlakukan
tidak adil. Seorang yang moralitas individunya lemah akan terpengaruh untuk menyesuaikan diri dan
mengikuti. Namun sebaliknya, seseorang yang memiliki moralitas individu baik akan tidak terpengaruh
bahkan dapat mempengaruhi lingkungan yang bermoral buruk tersebut. Moralitas dapat dianalogikan
dengan seorang kusir kereta kuda yang mampu mengarahkan ke mana kereta akan berjalan. Arah
perjalanan kereta tentu tidak lepas dari ke mana tujuan hendak dituju. Orang yang bermoral tentu
mengerti mana arah yang akan dituju, sehingga pikiran dan langkahnya akan diarahkan kepada tujuan
tersebut, apakah tujuannya hanya untuk kesenangan duniawi diri sendiri saja atau untuk kesenangan
orang lain atau lebih jauh untuk kebahagiaan ruhaniah yang lebih abadi, yaitu pengabdian pada Tuhan.
Pelajaran yang sangat berharga dapat diteladani dari para pendahulu kita yang berjuang demi meraih
kemerdekaan. Moralitas individu dan sosial yang begitu kuat dengan dipayungi moralitas mondial telah
membuahkan hasil dari cita-cita mereka, meskipun mereka banyak yang tidak sempat merasakan buah
perjuangannya sendiri. Dasar moral

8 yang melandasi perjuangan mereka terabadikan dalam Pembukaan Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945 yang termuat dalam alinea-alineanya. Alinea pertama, bahwa
kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, oleh karena itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan
karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Alinea ini menjadi payung moral para
pejuang kita bahwa telah terjadi pelanggaran hak atas kemerdekaan pada bangsa kita. Pelanggaran atas
hak kemerdekaan itu sendiri merupakan pelanggaran atas moral mondial, yaitu perikemanusiaan dan
perikeadilan. Apapun bentuknya penjajahan telah meruntuhkan nilai-nilai hakiki manusia. Apabila ditilik
dari Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 tampak jelas bahwa moralitas sangat
mendasari perjuangan merebut kemerdekaan dan bagaimana mengisinya. Alasan dasar mengapa
bangsa ini harus merebut kemerdekaan karena penjajahan bertentangan dengan nilai kemanusiaan dan
keadilan (alinea I). Secara eksplisit founding fathers menyatakan bahwa kemerdekaan dapat diraih
karena rahmat Allah dan adanya keinginan luhur bangsa (alinea III). Ada perpaduan antara nilai ilahiah
dan nilai humanitas yang saling berkelindan. Selanjutnya, di dalam membangun negara ke depan
diperlukan dasar-dasar nilai yang bersifat universal, yaitu nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,
kerakyatan dan keadilan. Moralitas, saat ini menjadi barang yang sangat mahal karena semakin langka
orang yang masih betul-betul memegang moralitas tersebut. Namun dapat juga dikatakan sebagai
barang murah karena banyak orang menggadaikan moralitas hanya dengan beberapa lembar uang. Ada
keterputusan (missing link) antara alinea I, II, III dengan alinea IV. Nilai-nilai yang seharusnya menjadi
dasar sekaligus tujuan negara ini telah digadaikan dengan nafsu berkuasa dan kemewahan harta.
Egoisme telah mengalahkan solidaritas dan kepedulian pada sesama. Lalu bagaimana membangun
kesadaran moral anti korupsi berdasarkan Pancasila? Korupsi secara harafiah diartikan sebagai
kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari
kesucian (Tim Penulis Buku Pendidikan anti korupsi, 2011: 23). Kasus korupsi yang terjadi di Indonesia
semakin menunjukkan ekskalasi yang begitu tinggi. Oleh karenanya, penyelesaian korupsi harus
diselesaikan melalui beragam cara/pendekatan, yang dalam hal ini saya menggunakan istilah
pendekatan eksternal maupun internal. Pendekatan eksternal yang dimaksud adalah adanya unsur dari
luar diri manusia yang memiliki kekuatan memaksa orang untuk tidak korupsi. Kekuatan eksternal
tersebut misalnya hukum, budaya dan watak masyarakat. Dengan penegakan hukum yang kuat,

9 baik dari aspek peraturan maupun aparat penegak hokum, akan mengeliminir terjadinya korupsi.
Demikian pula terciptanya budaya dan watak masyarakat yang anti korupsi juga menjadikan seseorang
enggan untuk melakukan korupsi. Adapun kekuatan internal adalah kekuatan yang muncul dari dalam diri
individu dan mendapat penguatan melalui pendidikan dan pembiasaan. Pendidikan yang kuat terutama
dari keluarga sangat penting untuk menanamkan jiwa anti korupsi, diperkuat dengan pendidikan formal di
sekolah maupun non-formal di luar sekolah. Maksud dari membangun kesadaran moral anti korupsi
berdasar Pancasila adalah membangun mentalitas melalui penguatan eksternal dan internal tersebut
dalam diri masyarakat. Di perguruan tinggi penguatan tersebut dapat dilakukan melalui pendidikan
kepribadian termasuk di dalamnya pendidikan Pancasila. Melihat realitas di kelas bahwa mata kuliah
Pendidikan Pancasila sering dikenal sebagai mata kuliah yang membosankan, maka dua hal pokok yang
harus dibenahi adalah materi dan metode pembelajaran. Materi harus selalu up to date dan metode
pembelajaran juga harus inovatif menggunakan metode-metode pembelajaran yang dikembangkan.
Pembelajaran tidak hanya kognitif, namun harus menyentuh aspek afektif dan konatif. Nilai-nilai
Pancasila apabila betul-betul dipahami, dihayati dan diamalkan tentu mampu menurunkan angka korupsi.
Penanaman satu sila saja, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, apabila bangsa Indonesia menyadari jati
dirinya sebagai makhluk Tuhan, tentu tidak akan mudah menjatuhkan martabat dirinya ke dalam
kehinaan dengan melakukan korupsi. Perbuatan korupsi terjadi karena hilangnya kontrol diri dan
ketidakmampuan untuk menahan diri melakukan kejahatan. Kebahagiaan material dianggap segala-
galanya disbanding kebahagiaan spiritual yang lebih agung, mendalam dan jangka panjang. Keinginan
mendapatkan kekayaan dan kedudukan secara cepat menjadikannya nilai-nilai agama dikesampingkan.
Kesadaran manusia akan nilai ketuhanan ini, secara eksistensial akan menempatkan manusia pada
posisi yang sangat tinggi. Hal ini dapat dijelaskan melalui hirarki eksistensial manusia, yaitu dari tingkatan
yang paling rendah, penghambaan terhadap harta (hal yang bersifat material), lebih tinggi lagi adalah
penghambaan terhadap manusia, dan yang paling tinggi adalah penghambaan pada Tuhan. Manusia
sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna tentu tidak akan merendahkan dirinya diperhamba
oleh harta, namun akan menyerahkan diri sebagai hamba Tuhan. Buah dari pemahaman dan
penghayatan nilai ketuhanan ini adalah

10 kerelaan untuk diatur Tuhan, melakukan yang diperintahkan dan meninggalkan yang dilarang-nya.
Penanaman satu nilai tentunya tidak cukup dan memang tidak bisa dalam konteks Pancasila, karena
nilai-nilai Pancasila merupakan kesatuan organis yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.
Dengan demikian, akan menjadi kekuatan moral besar manakala keseluruhan nilai Pancasila yang
meliputi nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan dijadikan landasan moril dan
diejawantahkan dalam seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam pemberantasan
korupsi. Penanaman nilai sebagaimana tersebut di atas paling efektif adalah melalui pendidikan dan
media. Pendidikan informal di keluarga harus menjadi landasan utama dan kemudian didukung oleh
pendidikan formal di sekolah dan nonformal di masyarakat. Peran media juga sangat penting karena
memiliki daya jangkau dan daya pengaruh yang sangat kuat bagi masyarakat. Media harus memiliki visi
dan misi mendidik bangsa dan membangun karakter masyarakat yang maju namun tetap berkepribadian
Indonesia. C. Etika Politik Dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara Sesuai dengan Tap. MPR
No.VI/MPR/2001 dinyatakan pengertian dari etika kehidupan berbangsa adalah rumusan yang
bersumber dari ajaran agama yang bersifat universal dan bilai-nilai budaya bangsa yang terjamin dalam
Pancasila sebagai acuan dalam berpikir, bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa. Pola
berpikir untuk membangun kehidupan berpolitik secara jernih mutlak diperlukan. pembangunan moral
politik yang berbudaya adalah untuk melahirkan kultur politik yang berdasarkan kepada Iman dan Takwa
terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa, menggalang suasana kasih sayang sesama manusia Indonesia,
yang berbudi kemanusiaan luhur, yang mengindahkan kaidah-kaidah musyawarah secara kekuluargaan
yang bersih dan jujur, dan menjalin asas pemerataan keadilan di dalam menikmati dan menggunakan
kekayaan negara. Membangun etika politik berdasarkan Pancasila akan diterima baik oleh segenab
golongan dalam masyarakat. Pembinaan etika politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
sangatlah urgen. Langkah permulaan dimulai dengan membangun konstruksi

11 berpikir dalam rangkan menata kembali kultur politik bangsa Indonesia. Kita sebagai warga negara
telah memiliki hak-hak politik, pelaksanaan hak-hak politik dalam kehidupan bernegara akan saling
bersosialisasi, berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesama warga negara dalam pelbagai wadah,
yaitu dalam wadah infra-struktur dan supra-struktur. Wadah infrastruktur antaralain: mimbar bebas, ujut
rasa, bicara secara lissan atau tulisan, aktifitas organisasi partai politik atau lembaga sosial
kemasyarakatan, kampanye pemilihan umum, penghitungan suara dalam memilih wakil di DPR atau
pimpinan eksekutif. Disamping wdah supra-struktur antara lain semua lembaga legislatif disemua tingkat
dan jajaraan eksekutif (mulai dari Presiden sampai ke RT/RW) dan semua jajaran lembaga kekuasaan
kehakiman (tingkat pusat sampai ke daerah-daerah). Kesemua wadah tersebut telah diatur dengan
perundang-undangan dengan sedemikian rupa agar hak-hak politik terdapat berjalan sebagaimana
mestinya. Sudahkah kita sebagai warga negara telah berpodaman kepada perundang-undang yang
berlaku dalam menjalankan hak-hak politik kita itu. Jawaban yang sesuai adalah hati nurani dan kejujuran
batin, karena hukum positif yang berlaku tidak menjamin bahwa hak-hak politik warga negara telah
dilaksanakan. Beberapa kasus dapat kita lihat, seperti korupsi, pelanggaran pemilihan umum, politik uang
dalam merebut jabatan dan lain sebagainya hanya dapat dirasakan tetapi sangatlah sulit untuk dibuktikan
secara hukum, sehingga terjadi bermacam ketidakadilan. Oleh sebab itu, semua pelanggaran dan
kejahatan ini sangat sulit dibrantas melalui jalur hukum, kecuali hanya etika berpolitik yang berasaskan
nilai-nilai Pancasila yang betul-betul ada keinginan dari setiap warga negara sebagai insan politik mau
mengalamankan dalam kehidupan riil dalam masyarakat. Etika politik lebih banyak bergerak dalam
wilayah, dimana seseorang secara ikhlas dan jujur melaksanakan hukum yang berlaku tanpa adanya
rasa takut kepada sanksi daripada hukum yang berlaku. Dalam demokrasi liberal, sering ditemukan
apabila seseorang kepala pemerintahan gagal melaksanakan tugasnya sesuai dengan janjinya saat
kampanye pemilihan umum, atau dituduh

12 terlibat korupsi yang belum sampai dibuktikan di pengadilan, maka pemimpin itu mengundurkan diri.
Ada suatu pandangan dalam demokrasi liberal bahwa jabatan publik (Perdana Menteri, anggota
parlemen, hakim, pegawai birokrasi dan lain-lain) di anggap suci, mulia dan terhormat dalam negara.
Oleh sebab itu, setiap orang yang berkeinginan atau sedang menduduki jabatan tersebut harus bersih
dan jujur. Apabila ada tuduhan masyarakat bahwa seseorang pejabat publik tidak bersih, maka hati
nurani pejabat tersebut langsung mengundurkan diri. Kasus di negara Malaysia tahun 1990an adalah
suatu contoh dalam perkara ini, dimana Muhammad bin Muhammad Tahib adalah Gubernur (Menteri
Besar) Negara bagian Selangor dituduh melakukan suatu pelanggaran hukum, namun beliau
mengundurkan diri dari Gubernur dan kemudian mempertangungjawabkan perbuatannya secara hukum,
ternyata tidak bersalah tetapi beliau rela tidak kembalai ke jabatan semua.. Bagaimana dengan
Indonesia, dimana ada diantara pejabat publik yang dijatuhi hukuman penjara di pengadilan tingkat
rendah belum juga bersedia untuk mengundurkan diri atau banyak pejabat negara baik di DPR maupun
eksekutif kurang memenuhi tata tertib, seperti sering absen dan lain sebagainya. Inilah suatu contoh
krisis moral dan termasuk juga kepada krisis etika politik. Banyak pengamatan yang dapat dilihat bahwa
kerusakan kronis dalam selurh sistem berbangsa dan bernegara pada awal masa reformasi di mana
suatu pandangan jabatan yang diduduki sekedar bermakna kekuasan untuk meraih kepentingan berupa
status, politik dan uang. Kerusakan pola berfikir dan bertindak dari para petinggi di negeri ini telah
mencemaskan hati nurani rakyat banyak, sepeti terbukti bersalah tak mau mundur, salah urus jalan
terus,, jika ada kasus dibawah tanggung jawabnya, selalu menyalahkan bawahan dan lain sebagainya.
Jabatan kekuasaan seakan-akan untuk diri sendiri bukan diabadikan kepada rakyat. Perlulah kita
menoinjau ulang kepemimpinan yang bagaimanakah yang diperlukan dalam kehidupan bernegara kita.
Belumada suatu bukti keberhasilan kepeminpinan simbolik, feodalistik dan selebriti dapat menyelesaikan
permasalahan berbangsa dan bernegara.

13 Di samping itu dengan perubahan UUD 1945 yang lebih memberdayakan politisi sipil juga harus
meningkatkan proses politik yang cantik dala seluruh kehidupan politik. Misalnya politik yang berjalan
tanpa premanisme dan kekerasan. Khsusnya dalam pelaksaaan Pemilu oleh parati-parati politik, apakah
pemilu betul-betul terhindar dari korupsi, KKN, premanisme dan kekerasan politik, politik uang dan cara-
cara yang tidak halal lainnya. Inilah suatu ujian bagi partai politik yang ikut pemilu apakah mampu
melaksanan seluruh kegiatan politik yang penuh dengan etika politik berdasarkan nilai-nilai luhur
Pancasila. Pada hekakatnya etika politik tidak diatur dalam hukum tertulis secara lengkap, tetapi melalui
moralitas yang bersumber dari hati nurani, rasa malu kepada masyarakat, rasa takut kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa. Adanya kemauan dan memiliki itikat baik dalam hidup bernegara, dapat mengukur secara
seimbang antara hak yang telah dimiliki dengan kewajiban yang telah ditunaikan, tidak memiliki ambisius
yang berlebihan dalam merebut jabatan, namum membekali diri dengan kemampuan secara kompotitif
yang terbuka untuk menduduki suatu jabatan, tidak melakukan cara-cara yang terlarang, seperti
penipuan untuk memenangkan persaingan politik. Dengan kata lain tidak menghalalkan segala macam
cara untuk mencapai suatu tujuan politik. Dewan Kehormatan Dalam kehidupan politik Indonesia banyak
suara-suara masyarakat untuk menuntut agar dibentuknya dengan kehomatan dalam berbagai institusi
kenegaraan dan kemasyarakatan, dengan harapan etika politik dapat terwujud dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Berdasarkan Tap. MPR No. VI/MPR/2002 tentang
rekomendasi atas Laporan Pelaksanaan Putusan MPR oleh Presiden, DPR, DPA, MA dan BPK. DPR
harus segera membentuk Dewan Kehormatan untuk memeriksa anggota DPR yang kurang disiplin.
Dalam Tap. MPR VI/MPR/2002 ditegaskan: DPR perlu meningkatkan kinerja annggotanya dengan
landasan moral, etika dan rasa tanggung jawab yang tinggi. Dalam pasal 6 Tata tertib DPR mengenai
Kode Etik DPR, diungkapkan, (1) anggota DPR harus mengutamakan tugasnya dengan cara menghadiri
secara

14 fisik setiap rapat yang menjadi kewajibannya. Ayat (2) menegaskan, ketidakhadiran anggota secara
fisik sebanyak tiga kali bertutur-turut dalam rapat sejenis, tanpa izin dari pimpinan fraksi merupakan suatu
pelanggaran kode etik. Berbicara tentang etika politik dalam kehidupan bernegara kita nampaknya lebih
banyak pengaruh subyektif. Banyak politisi melihat dan mencari kesalahan kelompok politik pihak lain,
mereka lupa apakah etika tersebut telah dilaksanakan pada diri dan kelompok mereka sendiri. Oleh
sebab itu, terwujudnya etika politik dengan baik dalam kehidupan bernegara sangat ditentukan oleh
kejujuran dan keikhlasan hati nurani dari masing-masing warga negara yang telah memiliki hak-hak
politiknya untuk melaksanakan normanorma dan aturan-aturan berpolitik dalam negara. Semenjak
terjadinya krisis multidimensional, muncul ancaman serius terhadap persatuan bangsa dan kemunduran
dalam pelaksanaan etika kehidupan berbangsa. Hal ini tampak dari konflik sosial yang berkepanjangan,
berkurangnya sopan santung dan budi luhur dalam pergaulan sosial, melemahnya kejujuran dan sikap
amanah dala kehidupan berbangsa, pengabaian terhadap ketentuan hukum dan peraturan yang
disebabkan oleh berbagai faktor yang berasal dari dalam dan luar negeri. Faktor yang berasal dari dalam
negeri, antara lain: (1) masih lemahnya pengamalan agama dan munculnya pemahaman ajaran agama
yang kerilu dan sempit. (2) Sistem sentralisasi pemerintahan dimasa lampau sehingga tibul fanatisme
daerah, (3) Tidak berkembangannya pemahaman kemajemukan dalam kehidupan berbangsa, (4)
terjadinya ketidak adilan ekonomi dalam kurun waktu yang panjang sehingga munculnya perilaku
ekonomi yang bertentang dengan moralitas dan etika, (5) kurangnya keteladanan bersikap yang
berperilaku sebagai pemimpin bangsa. Sedangkan faktor penyebab dari luar negeri adalah:

15 (a) pengaruh globalisasi yang luas dengan persaingan bangsa yang semakin tajam. (b) Makin
tingginya intensitas intervensi kekuatan global dalam perumusan kebijaksanaan nasional.. Pokok-pokok
etika dalam kehidupan berbangsa mengedepankan kejujuran, amanah, keteladanan, sportifitas, disiplin,
etos kerja, kemandirian, sikap toleransi, rasa malu, tanggung jawab, menjaga kehormatan serta martabat
diri sebagai warga bangsa. Dalam Tap. MPR No. VI/MPR/2002 diuraikan etika kehidupan berbangsa
adalah sebagai berikut: 1. etika sosial dan budaya 2. etika politik dan pemerintahan 3. etika ekonomi dan
bisnis 4. etika penegakan hukum yang berkeadilan 5. etika keilmuan 6. etika lingkungan. Dalam uraian
etika politik dan pemerintahan dinyatakan bahwa untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisian
dan efektif serta menumbuhkan suasan politik yang yang demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa
bertanggungjawab, tanggap akan aspirasi rakyat, menghargai perbedaa, jujur dalam persaingan,
kesediaan untuk menerima pendapat yang lebih benar, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia dan
keseimbangan hak dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa. Etika pemerintahan mengamanatkan
agar penyelenggara negara memiliki rasa kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik,
siap mundur apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai atau doangap tidak mampu
memenuhi amanah masyarakat, bangsa dan negara. Etika ini diwujudkan dalam bentuk sikap yang
bertata krama dalam perilaku politik yang toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap
munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak
terpunji lainnya.

https://docplayer.info/47744763-Modul-9-pancasila-sebagai-sistem-
Dinamika dan Tantangan Pancasila sebagai sistem
etika.html

Etika serta Pancasila dan Ideologi Nasional

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Istilah “etika” berasal dari bahasa Yunani, “Ethos” yang artinya tempat tinggal yang biasa, padang
rumput, kandang, kebiasaan, adat, watak, perasaan, sikap, dan cara berpikir. Secara etimologis, etika
berarti ilmu tentang segala sesuatu yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Dalam arti
ini, etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, tata cara hidup yang baik, baik pada diri
seseorang maupun masyarakat. Kebiasaan hidup yang baik ini dianut dan diwariskan dari satu generasi
ke generasi yang lain. Dalam artian ini, etika sama maknanya dengan moral. Etika dalam arti yang luas
ialah ilmu yang membahas tentang kriteria baik dan buruk (Bertens, 1997: 4--6). Etika pada umumnya
dimengerti sebagai pemikiran filosofis mengenai segala sesuatu yang dianggap baik atau buruk dalam
perilaku manusia. Keseluruhan perilaku manusia dengan norma dan prinsip-prinsip yang mengaturnya
itu kerap kali disebut moralitas atau etika (Sastrapratedja, 2002: 81).

1.2. RUMUSAN MASALAH


a. Pengertian Pancasila sebagai Sistem Etika.

b. Dinamika Pancasila sebagai Sistem Etika.


c. Tantangan Pancasila sebagai Sistem Etika.

d. Pancasila dan Ideologi Nasional.

1.3. TUJUAN MAKALAH


a. Untuk mengetahui apa itu pancasila sebagai sistem etika.

b. Untuk mengetahui dinamika pancasila sebagai sistem etika.

c. Untuk mengetahui tantangan pancasila sebagai sistem etika.

d. Untuk mengetahui pancasila dan ideologi Nasional.

BAB II
PEMBAHASAN

A. DINAMIKA DAN TANTANGAN PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA


Etika Pancasila adalah cabang filsafat yang dijabarkan dari sila-sila Pancasila untuk mengatur
perilaku kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia. Oleh karena itu, dalam etika
Pancasila terkandung nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Kelima
nilai tersebut membentuk perilaku manusia Indonesia dalam semua aspek kehidupannya.

Etika Pancasila itu lebih dekat pada pengertian etika keutamaan atau etika kebajikan, meskipun
corak kedua mainstream yang lain, deontologis dan teleologis termuat pula di dalamnya. Namun, etika
keutamaan lebih dominan karena etika Pancasila tercermin dalam empat tabiat saleh, yaitu
kebijaksanaan, kesederhanaan, keteguhan, dan keadilan. Kebijaksanaan artinya melaksanakan suatu
tindakan yang didorong oleh kehendak yang tertuju pada kebaikan serta atas dasar kesatuan akal – rasa
– kehendak yang berupa kepercayaan yang tertuju pada kenyataan mutlak (Tuhan) dengan memelihara
nilai-nilai hidup kemanusiaan dan nilai-nilai hidup religius. Kesederhaaan artinya membatasi diri dalam
arti tidak melampaui batas dalam hal kenikmatan. Keteguhan artinya membatasi diri dalam arti tidak
melampaui batas dalam menghindari penderitaan. Keadilan artinya memberikan sebagai rasa wajib
kepada diri sendiri dan manusia lain, serta terhadap Tuhan terkait dengan segala sesuatu yang telah
menjadi haknya (Mudhofir, 2009: 386).

Sejak terjadinya krisis multidimensi, muncul ancaman yang serius terhadap persatuan dan
kesatuan bangsa dan terjadinya kemunduran dalam pelaksanaan etika politik, yang melatarbelakangi
munculnya TAP MPR No. VI Tahun 2001 tentang etika kehidupan berbangsa. Krisis multi dimensi
mengakibatkan terjadinya konflik sosial yang berkepanjangan , demonstrasi di mana-mana, munculnya
keinginan rakyat untuk integrasi bangsa, dan lain-lain. Hal ini akibat dari menurunnya sikap sopan
santun dan budi luhur dalam pergaulan sosial, menurunnya tingkat kejujuran dan amanah dalam
kehidupan berbangsa, pengabaian terhadap ketentuan hukum dan peraturan yang disebabkan oleh
faktor-faktor dari dalam maupun luar negeri.
Faktor-faktor dari dalam negeri antara lain :

1. Melemahnya penghayatan dan pengamalan ajaran agama di kalangan aparatur, serta munculnya
pemahaman ajaran agama yang sempit dan keliru.

2. Sistem sentralisasi pemerintah di masa lalu yang megakibatkan terjadinya penumpukan kekuasaan di
pusat dan pengabaian kepentingan daerah.

3. Tidak berkembangnya pemahaman dan penghargaan atas kebhinekaan dan kemakmuran dalam
kehidupan berbangsa.

4. Terjadinya ketidak-adilan ekonomi dalam lingkup yang luas dan dalam kurun waktu yang panjang,
sehingga melewati ambang batas kesabaran masyarakat.

5. Kurangnya keteladanan dalam sikap dan perilaku sebagai pemimpin bangsa.

6. Tidak berjalannya penegakan hukum secara optimal, dan lemahnya kontrol sosial dalam mengendalikan
perilaku yang menyimpang dari etika.

7. Terjadinya pembatasan kemampuan budaya lokal, daerah dan nasional dalam merespons pengaruh
negatif dari budaya luar.

8. Meningkatnya prostitusi, pornografi, perjudian, serta pemakaian, peredaran dan penyelundupan


narkotika.

Sementara faktor-faktor dari luar negeri meliputi :

1. Pengaruh globalisasi kehidupan.

2. Makin kuatnya intensitas intervensi kekuatan global dalam perumusan kebijakan nasional.

Pokok-pokok etika kehidupan berbangsa mengacu kepada norma-norma agama dan cita-cita
kesatuan dan persatuan bangsa, kemandirian, keunggulan dan kejayaan bangsa. Perhatian terhadap
nilai-nilai tersebut oleh setiap aparatur sangat erat kaitannya dengan latar belakang agama, sejarah,
budaya dan perkembangan kondisi sosial dan lingkungan hidup seseorang. Trend dalam pengembangan
etika pemerintahan tampaknya dipicu oleh permasalahan yang relatif sama yaitu korupsi. Dalam hal ini
di negara mana pun tidak ada yang menghalalkan korupsi, termasuk menerima suap.

Banyak kasus di berbagai negara maju di Asia, Eropa dan Amerika, di mana salah seorang
Pejabat Tinggi Negara harus mengundurkan diri dari jabatan, karena terbukti melakukan korupsi atau
menerima suap. Selain itu, Kode Etik lain yang juga sama antara lain : larangan membocorkan rahasia
negara, mendahulukan kepentingan pribadi daripada kepentingan negara dan masyarakat, dan
kewajiban untuk mematuhi dan melaksanakan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan,
serta ketentuan lain yang berlaku.

Dapat disimpulkan bahwa keberhasilan pemerintahan banyak dipengaruhi oleh sikap dan
perilaku pemerintah dan elite politik itu sendiri. Jika pelaksana pemerintahan memiliki pola tingkah laku
yang bik, jujur, amanah dan dapat dipercaya, maka sudah barang tentu hasil dari pekerjaannya itu dapat
diwujudkan dengan baik, karena tidak ada kecurangan. Apa yang dikerjakan sesuai dengan amanah
rakyat dan dapat dipertanggungjawabkan.

Solusi menguatkan etika adalah sebagaimana dituangkan dalam Ketetapan MPR Nomor
VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan menentukan arah kebijakan untuk memperkuat
etika bernegara sebagai berikut :

1. Mengaktualisasi nilai-nilai agama dan budaya luhur bangsa dalam kehidupan pribadi, keluarga,
masyarakat, bangsa, dan negara melalui pendidikan formal, informal, dan nonformal dan pemberian
contoh keteladanan oleh para pemimpin negara, pemimpin bangsa, dan pemimpin masyarakat.

2. Mengarahkan orientasi pendidikan yang mengutamakan aspek pengenalan menjadi pendidikan yang
bersifat terpadu dengan menekankan ajaran etika yang bersumber dari ajaran agama dan budaya luhur
bangsa serta pendidikan watak dan budi pekerti yang menekankan keseimbangan antara kecerdasan
intelektual, kematangan emosional dan spiritual, serta amal kebajikan.

3. Mengupayakan agar setiap program oembangunan dan keseluruhan aktivitas kehidupan berbangsa
dijiwai oleh nilai-nilai etika Pancasila dan akhlak mulia, baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan,
maupun evaluasi.

Atas dasar itu semua harus ada upaya untuk membebaskan bangsa dan situasi dan lilitam
bahaya dari tidak diperhatikannya etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Untuk menyelamatkan negara dan bangsa dari kehancuran akibat perilaku minim etika, sebaiknya kita
harus segera mengembalikan etika dan moral keadilan publik ke dalam setiap bidang kehidupan kita.

B. Pancasila dan Ideologi Nasional


Istilah ideologi berasal dari kata “idea” dan “logos”. Idea berarti gagasan, konsep, pengertian
dasar, ide-ide dasar, cita-cita. Kata idea berasal dari bahasa Yunani, eidos yang berarti bentuk
atau idein yang berarti melihat. Idea dapat diartikan sebagai cita-cita, yaitu cita-cita yang bersifat tetap
dan akan dicapai dalam kehidupan nyata. Dengan demikian, cita-cita ini pada hakikatnya merupakan
dasar, pandangan, atau paham yang diyakini kebenarannya. Sedangkan logos berarti ilmu. Secara
harfiah, ideologi berarti ilmu pengetahuan tentang ide-ide (the science of ideas), atau ajaran tentang
pengertian-pengertian dasar.
Istilah “ideologi” pertama kali dilontarkan oleh seorang filsuf Prancis, Antoine Destutt de Tracy
pada tahun 1796 sewaktu Revolusi Prancis tengah menggelora. Tracy menggunakan istilah ideologi guna
menyebut suatu studi tentang asal muasal, hakikat, dan perkembangan ide-ide manusia, atau yang
sudah dikenal sebagai “Science of Ideas”. Gagasan ini diharapkan dapat membawa perubahan
Institusional dalam masyarakat Prancis. Namun, Napoleon mencemoohnya sebagai suatu khayalan yang
tidak memiliki nilai praktis. Pemikiran Tracy ini sebenarnya mirip dengan impian Leibnitz yang
disebut one great system truth.

Berdasarkan penjelasan di atas, ideologi mula-mula berarti :

1. “Ilmu tentang (terjadinya) cita-cita, gagasan atau buah pikiran”

2. Kemudian diubah Marxisme yang berarti pandangan hidup yang dikembangkan berdasarkan
kepentingan golongan atau kelas sosial tertentu dalam bidang politik atau sosial.

3. Dalam sosiologi tentang ilmu-ilmu, ideologi biasanya diartikan sebagai pra-penilaian dari kesadaran yang
timbul karena pengaruh lingkungan hidup, ideologi mencerminkan latar belakang sosial seseorang dan
karena itu ikut mewarnai pandangan bahkan objektivitas ilmu pengetahuan seseorang yang
bersangkutan.

4. Orang menganut ideologi tertentu sebagai pandangan yang lebih sesuai dengan keinginan daripada
dengan kenyataan.

5. Ideologi adalah sistem dasar seseorang tentang nilai-nilai dan tujuan-tujuan serta sarana-sarana pokok
untuk mencapainya.

Menurut Sudono, dkk. (2008) ideologi berarti :

1. Sekumpulan konsep bersistem.

2. Cara berpikir seseorang atau suatu golongan manusia.

3. Paham, teori, dan tujuan yang berpadu merupakan satu program sosial politik.

Menurut Moeliono, dkk. (1998; 319-400) yang hampir sama dengan pengertian di atas, yang
menjelaskan bahwa ideologi berarti :

1. Kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pemdapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan
untuk kelangsungan hidup.

2. Cara berpikir seseorang atau suatu golongan.

3. Paham, teori, dan tujuan yang berpadu merupakan suatu program sosial politik.
Menurut Soegito, dkk. (2003) mengemukakan bahwa pokok-pokok pikiran yang berlaku dikemukakan
mengenai ideologi adalah sebagai berikut :

1. Bahwa ideologi merupakan sistem pemikiran yang erat kaitannya dengan perilaku manusia. Kecuali itu,
ideologi merupakan serangkaian pemikiran yang berkaitan dengan tertib sosial dan politik yang ada dan
berupaya untuk mengubah atau mempertahankan tertib sosial dan politik yang bersangkutan.

2. Bahwa ideologi, di samping mengemukakan program juga menyertakan strategi guna


merealisasikannya.

3. Bahwa ideologi dapat dipandang sebagai serangkaian pemikiran yang dapat mempersatukan manusia,
kelompok, atau masyarakat, yang selanjutnya diaraha\kan pada terwujudnya partisipasi secara efektif
dalam kehidupan sosial politik.

4. Bahwa yang bisa mengubah suatu pemikiran menjadi ideologi adalah fungsi pemikiran itu dalam
berbagai lembaga politik dan kemasyarakatan.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa ideologi adalah suatu sistem nilai sekaligus kebulatan
ajaran yang memberikan motivasi yang mengandung konsep dasar tentang kehidupan yang dicita-
citakan oleh suatu bangsa. Keampuhan ideologi bergantung pada rangkaian nilai yang dikandungnya
yang dapat memenuhi dan menjamin segala aspirasi dalam kehidupan manusia. Dengan demikian,
ideologi memiliki sifat futuristik, dalam artian, ideologi merupakan suatu konsep yang mendalam
mengenai kehidupan yang dicita-citakan serta yang ingin diperjuangkan dalam kehidupan nyata.

Menurut beberapa ahli politik serta pengertian menurut beberapa kamus, ideologi mempunyai
beberapa pengertian sebagai berikut :

1. Menurut Soerjanto Poespowardojo, Ideologi adalah prinsip untuk mendasari tingkah laku seseorang
atau suatu bangsa dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan.

2. Menurut Sumarno, Ideologi adalah kesatuan gagasan fundamental dan sistematis yang menyeluruh
tentang kehidupan manusia.

3. Menurut Krech, Crutchfield, dan Ballachey Ideologi adalah doktrin-doktrin pemikiran atau cara berpikir
seseorang atau lainnya.

4. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Ideologi adalah himpunan nilai, ide, norma, kepercayaan, dan
keyakinan yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang yang menjadi dasar dalam menentukan sikap
terhadap kejadian dan problem politik yang dihadapinya dan yang menentukan tingkah laku politik.

5. Menurut The Advanced Learner’s Dictionary Ideologi adaah suatu sistem pemikiran yang telah
dirumuskan untuk teori politik dan ekonomi.

6. Menurut Webster New Collegiate Ideologi adalah cara hidup atau tingkah laku atau hasil pemikiran yang
menunjukkan sifat-sifat tertentu pada seorang individu atau suatu kelas atau pola pemikiran mengenai
pengembagan pergerakan atau kebudayaan
7. Menurut Koento Wibisono, bila diteliti dengan cermat terdapat kesamaan dari semua unsur ideologi.
Kesamaan-kesamaan tersebut adalah, pertama, Keyakinan, berarti dalam setiap ideologi selalu memuat
gagasan-gagasan vital dan konsep-konsep dasar menggambarkan seperangkat keyakinan. Seperangkat
keyakinan tersebut diorientaskan pada tingkah laku atau perbuatan manusia sebagai subjek
pendukungnya untuk mencapai suatu tujuan yang dicita-citakan. Kedua, Mitos, berarti setiap ideologi
selalu memitoskan seuatu ajaran secara optimistik-deterministik. Artinya, mengajarkan bagaimana
ideologi pasti akan dicapai.Ketiga, Loyalitasm berarti dalam setiap ideologi selalu menuntut adanya
loyalitas serta keterlibatan optimal dari pendukungnya.

BAB III

Penutup

A. Kesimpulan
Perlunya Pancasila sebagai sistem etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara bertujuan untuk :

a. Memberikan landasan etik moral bagi seluruh komponen bangsa dan menjalankan kehidupan
kebangsaan dalam berbagai aspek.

b. Menentukan pokok-pokok etika kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.

c. Menjadi kerangka acuan dalam mengevaluasi pelaksaan nilai-nilai etika dan moral dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Beberapa karakteristik suatu ideologi antara lain :

a. Ideologi seringkali muncul dan berkembang dalam situasi krisis.

b. Ideologi merupakan pola pemikiran yang sistematis.

c. Ideologi mempunyai ruang lingkup jangkauan yang luas.

d. Ideologi mencakup beberapa strata pemikiran dan panutan.

B. Saran-saran
Menyadari bahwa kami masih jauh dari kata sempurna, untuk ke depannya kami sebagai penulis
akan berusaha untuk membuat makalah dengan lebih baik lagi. Demikianlah makalah ini kami buat,
semoga bermanfaat dan menambah pengetahuan pembaca sekalian. Kami mohon maaf jika ada
kesalahan ejaan dalam penulisan kata dan kalimat yang kurang jelas, kurang dimengerti dan lugas. Dan
kami juga mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sekalian demi kesempurnaan makalah ini

Referensi

Amran, Ali. 2016. Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada

http://fitriaisahanggraeni.blogspot.co.id/2017/09/urgensi-pancasila-sebagai-etika-bangsa.html

http://annekesato2330.blogspot.com/2018/12/dinamika-dan-tantangan-pancasila.html

Anda mungkin juga menyukai