Anda di halaman 1dari 21

Etika Politik Berdasarkan Pancasila

Disusun oleh :
Maradona Sapri Saragih (2214290019).
Alvian Achmad (2214290063)
Dela Najirah (2214290060).
Rico Narendra Wijaya (2214290041).
Dewinta Afifah (2214290068).

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


UNIVERSITAS PERSADA INDONESIA
2022

1
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat, taufik dan
hidayah-Nya sehingga Kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “ Etika
Politik Berdasarkan Pancasila”, yang dalam bentuk maupun isinya sangatlah sederhana. Semoga
dengan makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk, maupun pedoman
bagi pembaca dalam Mata Kuliah Pendidikan Pancasila.

Atas dukungan moral yang diberikan dalam penyusunan makalah ini, Kami sebagai
penulis mengucapkan terimakasih kepada Ibu Ita Reinita Hadari, S.H.,M.H selaku dosen mata
kuliah kami yang telah memberikan bimbingan dan dukungan.

Dalam penulisan makalah ini, Kami sebagai peulis merasa banyak kekurangan-
kekurangan baik pada teknisi maupun materi, mengingat kemampuan yang dimiliki oleh Kami.
Untuk itu, Kami sangat mengharapakan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
penyempurnaan makalah in

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................................. ii
BAB Ⅰ PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
A. Latar Belakang .................................................................................................. 1
B. Maksud dan Tujuan .......................................................................................... 1
C. Metode Penelitian .............................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................... 2
A. Filsafat................................................................................................................ 2
B. Pengertian Etika ................................................................................................ 2
C. Pengertian Nilai, Norma Dan Moral................................................................. 3
D. Nilai Dasar, Nilai Intrstrumental Dan Nilai Praksis ........................................ 6
E. Etika Politik ....................................................................................................... 7
F. Makna Pancasila Sebagai Sumber Etika Politik .............................................. 10
G. Urgensi Pancasila Sebagai Sistem Etika Dalam Kehidupan ............................ 10
H. Konsep Pancasila Sebagai Sistem Etika Dalam Kehidupan ............................ 11
I. Esensi Pancasila Sebagai Sistem Etika Dalam Kehidupan .............................. 11
J. Mendeskripsikan Esensi Dan Urgensi Pancasila Sebagai Sistem Etika .......... 13
K. Urgensi Pancasila Sebagai Sistem Etika .......................................................... 14
L. Alasan Diperlukannya Sebagai Sistem Etika ................................................... 14
BAB III .......................................................................................................................... 17
A. Kesimpulan ......................................................................................................... 17
B. Saran ................................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 18

ii
BAB Ⅰ
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Dalam kehidupan sekarang ini memang sudah tidak rahasia lagi kalau semakin memudar
saja bentuk pemahaman etika sehinggasangat sulit untuk ditemukan watak kesusilaan yang
sesuai dengan sebagaimana mestinya. Tidak terkecuali dikalangan intelektual dan kaum elit
politik bangsa Indonesia tercinta ini. Kehidupan berpolitik, ekonomi, dan hukum serta
hankam(Pertahanan Keamanan) merupakan beberapa ranah kerja etika. Masih banyak
penyimpangan yang dilakukan para elit politik dalam berbagai pengambilan keputusan yang
seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai Etika dan keadilan bagi seluruh warga negara. Sebagai
contoh Indonesia, Keadilan yang seharusnya mengacu pada Pancasila dan UUD 1945 yang
mencita-citakan rakyat yang adil dan makmur sebagaimana mana termuat dalam Pembukaan
UUD 1945 alinea 1 dan 2 hilanglah sudah ditelan kepentingan politik pribadi.

Etika yang termasuk dalam kelompok filsafat pada hakikatnya merupakan suatu nilai
sehingga merupakan suatu sumber dari segala penjabaran norma baik norma hukum, norma
moral, maupun norma kenegaraan lainnya. Dalam Filsafat terkandung didalamnya suatu
pemikiran-pemikiran yang bersifat kritis, mendasar, rasional, sistematis dan komprehensif
(menyeluruh) dan sistem pemikiran ini merupakan suatu nilai. Oleh karena itu suatu pemikiran
filsafat tidak secara langsung menyajikan norma-norma yang merupakan pedoman dalam
tindakan atau suatu aspek praksis melainkan suatu nilai-nilai yang bersifat mendasar. Sebagai
suatu nilai, etika merupakan dasar-dasar yang bersifat fundamental dan universal bagi manusia
baik dalam hidup bermasyarakat, berbangasa dan bernegara.

B. Maksud dan Tujuan

Maksud dan tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menjelaskan etika politik, nilai
etika politik, nilai-nilai pancasila sebagai sumber etika politik, nilai etika politik dalam pancasila
,dan etika politik dalam perilaku bangsa indonesia yang berdasarkan pancasila sebagai dasar
negara

C. Metode penelitian

Dalam prnyusunan makalah ini penulisan menggunakan metode perpustakan, yaitu


metode yang dilakukan dengan mempelajari dan mengumpulkan data dari pustaka yang
berhubungan dengan alat, baik berupa buku maupun di internet.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Filsafat
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu nilal
sehingga merupakan sumber dari segala penjabaran, norma baik norma hukum, norma
moral maupun norma kenegaraan lainnya. Dalam filsafat Pancasila terkandung di
dalamnya suatu pemikiran-pemilkiran yang bersifat kritis, mendasar, rasional, sistematis
dan komperhensif (menyeluruh) dan sistem pemikiran ini merupakan suatu nilai.Sebagai
suatu nilai, Pancasila memberikan dasar-dasar yang bersifat fundamental dan universal
bagi manusia baik dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Norma-norma tersebut meliputi (1) norma moral yaitu yang berkaitan dengan
tingkah laku manusia yang dapat diukur dari sudut baik maupun buruk. Sopan ataupun
tidak sopan, susila. atau tidak susila. Dalam kapasitas inilah- nilai-nilai Pancasila telah
terjabarkan dalam suatu norma-norma moralitas atau norma-norma etika sehingga
Pancasila merupakan sistem etika dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. (2)
norma hukum yaitu suatu sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia. Dalam pengertian inilah maka Pancasila berkedudukan sebagai sumber dari
segala sumber hukum di negara Indonesia.
Jadi sila-sila Pancasila pada hakikatnya bukanlah merupakan suatu pedoman yang
langsung bersifat normatif ataupun praksis melainkan merupakan suatu sisteni nilai-nilai
etika yang merupakan sumber norma baik meliputi norma moral maupun norma hukum.
B. Pengertian Etika
Sebagai suatu usaha ilmiah, filsafat dibagi menjadi beberapa cabang menurut
lingkungan bahasannya masing-masing. Cabang-çabang itu dibagi menjadi dua
kelompok bahasan pokok yaitu filsafat teoritis dan filsafat praktis. Kelompok pertama
mempertanyakan segala sesuatu yang ada, sedangkan kelompok kedua membahas
bagaimana manusia bersikap terhadap apa yang ada tersebut. Etika termasuk kelompok
filsafat praktis dan dibagi menjadi dua ke-lompok yaitu etika umum dan etika khusus,
Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan
pandangan-pandangan moral.

2
Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita
mengikuti suatu ajaran moral tertentu atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang
bertanggung jawab berhadapan dengan pelbagai ajaran moral (Suseno, 1987). Etika
umum mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia,
sedangkan etika khusus membahas prinsip-prinsip itu dalam hubungannya dengan
berbagai aspek kehidupan manusia (Suseno 1987).
Etika berkaitan dengan berbagai masalah nilai karena etika pada pokoknya
membicarakan masalah-masalah yang berkaitan dengan predikat nilai"susila" dan "tidak
susila","baik" dan "buruk". Sebagai bahasan khusus etika membicarakan sifat-sifat yang
menyebabkan orang dapat disebut susila atau bijak. Kualitas-kualitas ini dinamakan
kebajikan yang dilawankan dengan kejahatan yang berarti sifat-sifat yang menunjukkan.
bahwa orang- yang memilikinya dikatakan orang yang tidak susila.
C. Pengertian Nilai, Norma dan Moral
Nilai atau value termasuk bidang kajian filisalat. Persoalan persoalan tentang nilai
dibahas dan dipelajari salah satu cabang filsafat yaitu filsafat nilai (axiology, theory of
value) filsafat juga sering diartikan sebagai ilmu tentang nilai-nilai. istilah nilai di dalam
bidang filsafat dipakai untuk menunjuk kata benda abstrak yang artinya "keberhargaan"
(Worth) atau 'kebalkan" (goodness), dan kata kerja yang artinya suatu tindakan kejiwaan
tertentu dalam menilai atau melakukan penilaian (Frankeпа, 229).
Norma kenegaraan yang dimaksud salah satunya adalah etika politik. Dalam
pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, etika politik menuntut agar kekuasaan negara
dijalankan sesuai dengan norma tertentu, yaitu:
 Asas legalitas atau legalitas hukum yang dijalankan sesuai dengan hukum yang
berlaku.
 Disahkan dan dijalankan secara demokratis.
 Dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip moral atau tidak bertentangan dengan
moral yang berlaku.

Di dalam Dictionary of Sociology and Related Sciences dikemukakan bahwa nilai


adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan
manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau
kelompok, (The believed capacity of any object lo statisfy a human desire). Di dalam
nilai itu sendiri terkandung cita-cita, harapan-harapan, dambaan-dambaan dan
keharusan,makaApabila kita berbicara tentang nilai, sebenernya kita berbicara tentang

3
hal yang ideal, tentang hal yang merupakan cita, harapan dambaan dan keharusan.
Berbicara tentang nilai berarti berbicara tentang das Sollen, bukan das Sein, kita masuk
kerokhanian bidang makna gormatif, bukan kognotif, kita masuk ke dunia ideal dan
bukan dunia. meskipun demikian, di antara keduanya, antara das Sollen dan das Sein,
antara makna normatif dan kognotif, antara dunia ideal yang harus menjadi real itu saling
berhubungan atau saling berkait secara erat. Artinya bahwa das Sollen ins harus
menjelma menjadi das Sein, yang ideal harus menjadi real, yang ber-rakna normatif harus
direalisasikan dalam perbuatan sehari-hari yang merupakan fakta yang bersifat kongkrit
(Kodhi, 1989: 21).

Hierarkhi Nilai. Terdapat berbagai macam pandangan tentang nilai hat ini sangat
tergantung pada titik tolak dan sudut pandangnya, masing-masing dalam menentukan
tentang pengertian serta hierarkhi nilai. Misalya kalangan materialis memandang bahwa
nilai yang tertinggi adalah nilai material.

Max Scheler mengemukakan bahwa milai-nilai yang ada, tidak sama luhurya dan
sama tingginya. Nilai-nilai itu secara senyatanya ada yang lebih tinggi dan ada yang lebih
rendah dibandingkan dengin nilai-nilai lainnya. Menurut tinggi rendahnya, nilai-nilai
dapat dikelompokkan dalam empat ting-katan sebagai berikut:

1. Nilai-nilai kenikmatan: dalam tingkatan ini terdapat deretan nilai-nilai yang


mengenakkan dan tidak mengenakkan (die Wertreihe des Angeneh-men und
Unangehmen), yang menyebabkan orang senang atau menderita tidak enak.
2. Nilai-nilai kehidupan: dalam tingkat ini terdapatlah nilai-nilai yang pent-ing bagi
kehidupan (Werte des vztalen Fuhlens) misalnya kesehatan, kesegaran jasmani,
kesejahteraan umum.
3. Nilai-nilai kejiwaan: dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai kejiwaan (geis-tige
werte) yang sama sekali tidak tergantung dari keadaan jasmani maupun
lingkungan. Nilai-nilai semacam ini ialah keindahan, kebenaran, dan pengetahuan
murni yang dicapai dalam filsafat.
4. Nilai-nilai kerohanian: dalam tingkat ini terdapatiah modalitas nilai dari yang suci
dan tak suci (wermodalitat des Heiligenung Unheiligeri). Nilai-nilai semacam ini
terutama terdiri dari nilai-nilai pribadi.

Walter G. Everet menggolong- golongkan nilai-nilai manusiawi ke dalam delapan


kelompok yaitu:

4
1. Nilai-nilai ekonomis (ditunjukan oleh harga pasar yang meliputi semua benda yang
dapat dibeli)
2. Nilai-nilai kejasmanian (membantu pada kesehatan,efesiensi dan keindahan dari
kehidupan badan).
3. Nilai nilai hiburan (permainan atau waktu senggang yang dapat menyumbangkan
pada pengayaan kehidupan).
4. Nilai-nilai sosial (berasal mula dari keutuhan kepribadian dan sosial yang
dinginkan).
5. Nilai-nilai watak (keseluruhan dari keutuhan kepribadian dan sosial yang dinginkan).
6. Nilai-nilai estetis (keindahan dalam alam dan karya seni).
7. Nilai-nilai intelektual (pengetahuan dan pengajaran kebenaran).
8. Nilai-nilai keagamaan.

Sedangkan Notonagoro membagi nilai menjadi tiga macam, yaitu:

1. Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi kehidupan manusia, atau
kebutuhan material ragawi manusia.
2. Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia, untuk dapat mengadakan
kegiatan atau aktivitas.
3. Nilai kerokhanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia,nilai
kerohanian ini dapat dibedakan atas empat macam:
a. Nilai kebenaran, yang bersumber pada akal (ratio, budi, cipta) manusia.
b. Nilai keindahan atau nilai estetis, yang bersumber pada unsur perasaan (esthetis,
goevel, rasa) manusia.
c. Nilai kebaikan atau nilai moral, yang bersumber pada unsur kehen-dak (will,
Wollen, karsa) manusia.
d. Nilai religins, yang merupakan nilai kerokhanian tertinggi dan mutlak. Nilai
religius ini bersumber kepada kepercayaan atau keyakinan manusia.

Dari uraian mengenai macam-macam nilai diatas, dapat dikemukakan bahwa


yang mengandung nilai itu bukan hanya manusia yang berwujud meterial saja, akan tetapi
juga sesuatu yang berujud non material atau imaterial. Nilai nilai material relatif lebih
mudah di ukur, yaitu dengan menggunakan alat indra maupun alat pengukur seperti berat,
panjang, luas dan sebagainya. Sedangkan nilai kerokhanian/spritual lebih sulit

5
mengukurnya, yang menjadi alat ukurnya adalah hati nurani manusia yang dibantu oleh
alat indra cinta rasa.

Notonagoro berpendapat bahwa nilai-nilai Pancasila tergolong nilai-nilai


kerokhanian, tetapi nilai-nilai kerokhanian yang mengakui adanya nilai material dan nilai
vital. Dengan demikian nilai-nilai lain secara lengkap dan harmonis, baik nilai material,
nilai vital, nilai kebenaran, nilai keindahan, atau estetis, nilai kebaikan atau nilai moral,
maupun nilai kesucian yang sistematis- hirarkhis, yang dimulai dari sila Ketuhanan yang
Maha Esa sebagai dasar sampai dengan sila Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
sebagai "tujuan' (Darmoditarjo, 1996).

Selain nilai-nilai yang dikemukakan oleh para tokoh aksiologi tersebut


menyangkut tentang wujud macamnya, nilai-nilai tersebut juga berkaitan dengan
tingkatan-tingkatannya. Hal in kita lihat secara objektif karena nilai-nilai tersebut
menyangkut segala aspek kehidupan manusia. Ada sekelompok nilai yang memiliki
kedudukan atau hierarkhi yang lebih tinggi di bandingkan de-ngan nilai-nilai lainnya ada
yang lebih rendah bahkan ada tingkatan nilai yang bersifat mutlak. Namun demikian hal
ini sangat tergantung pada filsafat dari masyarakat atau bangsa sebagai subjek pendukung
nilai-nilai tersebut misalnya bagi bangsa Indonesia nilai religius merupakan suatu nilai
yang tertinggi dan mutlak, artinya nilai religius tersebut heirarkhinya di atas segala nilai
yang ada dan tidak dapat di jastifikasi berdasarkan akal manusia karena pada tingkatan
tertentu nilai tersebut bersifat di atas dan di luar kemampuan jangkauan akal pikir
manusia. Namun demikian bagi bangsa menganut paham sekuler nilai yang tertinggi
adalah pada akal pikiran sehingga nilai ketuhanan di bawah otoritas akal manusia.

D. Nilai Dasar, Nilai Instrumental dan Nilai Praksis


Dalam kaitannya dengan derivasi atau penjabarannya maka nilai-nilai dapat
dikelompokkan menjadi tiga macam yaitu nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai
praksis.
1. Nilai dasar (Onotologis) yaitu merupakan hakekat, esensi, intisari atau makna yang
terdalam dari nilai-nilai tersebut (yang bersifat universal karena menyanqkut hakekat
kenyataan obyektif segala sesuatu misalnya hakekat Tuhan, hakekat manusia). Jika
nilai dasar Itu berkaitan dengan hakekat Tuhan, maka nilai itu bersifat mutlak karena
hakekat Tuhan adalah kuasa prima, sehingga segala sesuatu diciptakan atau berasal
dari Tuhan.

6
2. Nilai Instrumental yaitu sebagai pedoman yang dapat diukur dan diarahkan. Jika nilai
instrumental ini berkaitan dengan tingkah laku manusia, maka hal itu akan
merupakan suatu norma moral.
3. Namun jika nilai instrumental itu berkaitan dengan organisasi atau negara, maka nilai
instrumental itu merupakan suatu arahan, kebijaksanaan atau strategi yang
bersumber pada nilai dasar.
4. Nilai praktis yaitu yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai instrumental
dalam suatu kehidupan nyata

Selanjutnya terdapat hubungan antara nilai, norma dan moral. Moral adalah suatu
ajaran, wejangan, patokan, kumpulan peraturan baik lisan maupun tertulis tentang
bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar manusia menjadi manusia yang baik.
Etika adalah suatu cabang filsafat yaitu suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang
ajaran dan pandangan moral tersebut. Nilai merupakan bagian cari norma, norma
merupakan ajaran dan moral adalan aplikasi dari moral.

E. Etika Politik
Sebagaimana dijelaskan di muka bahwa filsafat dibagi menjadi beberapa cabang,
terutama dalam hubungannya dengan bidang yang dibahas. Jikalau dikelompokkan
cirinya, maka filsafat dibedakan atas filsafat teoretis dan filsafat praksis. Pilsafat teoretis
membahas tentang makna hakiki segala sesuatu, antara lain manusia, alam, benda fisik,
pengetahuan bahkan juga tentang hakikat yang transenden. Dalam hubungan ini filsafat
teoretispun pada prinsipnya sebagai sumber pengembangan hal-hal yang bersifat praksis
termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi. Filsafat praksis sebagai bidang kedua,
membahas dan mempertanyakan aspek praksis dalam kehidupan manusia, yaitu etika
yang mempertanyakan dan membahas tanggung jawab dan kewajiban manusia dalam
hubungannya dengan sesama manusia, masyarakat, bangsa dan negara, lingkungan alam
serta terhadap Tuhannya (Suseno, 1987: 12).
Pengelompokan etika sebagaimana dibahas di muka, dibedakan atas etika umum
dan etika Khusus,Etika umum membahas prinsip-prinsip dasar bagi segenap tindakan
manusia sedangkan etika khusus membahas prinsip-prinsip itu dalam hubungannya
dengan kewajiban manusia dalam pelbagai hidup kehidupannya. Etika khusus dibedakan
menjadi pertama: etika individual, yang membahas tentang kehidupan manusia sebagai
individu terhadap dirinya sendiri, serta melalui suara hati terhadap tuhanya, dan kedua:
etika sosial membahas kewaliban serta norm-norma moral yang seharusya dipatuhi

7
dalam hubungan dengan sesama manusia, masyarakat, berbangsa dan negara. Etika sosial
memuat banyak etika yang Khusus mengenai wilayah-wilayah kehidupan manusia
tertentu, misalnya etika keluarga, etika profesi, etika lingkungan, etika pendidikan, etika
seksual dan termasuk juga etika politik yang menyangkut dimensi politis manusia.
Secara substantif pengertian etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subjek
sebagai pelaku etika yaitu manusia. Oleh karena itu etika politik berkait erat dengan
bidang pembahasan moral. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa pengertian '"moral"
senantiasa menunjuk kepada manusia sebagai subjek etika. Maka kewajiban moral
dibedakan dengan pengertian kewajiban-kewajiban la-inya, karena yang dimaksud
adalah kewajiban manusia sebagai manusia.
Walaupun dalam hubungannya dengan masyarakat bangsa maupun negara, etika
politik tetap meletakkan dasar fundamental manusia sebagai manusia Dasar ini lebih
meneguhkan akar etika politik bahwa kebaikan senantiasa didasarkan kepada hakikat
manusia sebagai makhluk yang beradab dan berbudaya. Dalam suatu masyarakat negara
yang demikian ini maka seseorang yang baik secara moral kemanusiaan akan dipandang
tidak baik menurut negara serta masyarakat otoriter, karena tidak dapat hidup sesuai
dengan aturan yang buruk dalam suatu masyarakat negara.
1. Pengertian Politik
Telah dijelaskan di muka bahwa etika politik termasuk lingkup etika sosial,
yang secara haffiah berkaitan dengan bidang kehidupan politik. Oleh karena itu
dalam hubungan ini perlu dijelaskan terlebih dahulu lingkup pengertian politik
sebagai objek material kajian bidang ini, agar dapat diketahui lingkup
pembahasannya secara jelas.
Pengertian 'Politik' berasal dari kosa kata Polics, yang memilik makna
bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau 'negara, yang
menyangkut proses penentuan tujuan-tujuan dari sistem itu dan diikut dengan
pelaksanaan tujuan-tujuan itu. Untuk melaksanakan tujuan-tujuan itu perlu
ditentukan kebijaksanan kebijaksanean umum atau public policies, yang menyangkut
pengaturan dan pembagian atau distributions dari sumber-sumber yang ada. Untuk
melaksanakan Kebijaksanaan-kebijaksanaan itu diperlukan suatu kekuasaan (power)
dan kewenangan (authority), yang akan dipakai baik untuk membina kerja sama
maupun untuk menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses ini. Cara-
cara yang dipakai dapat bersifat persuasi, dan jika perlu dilakukan suatu pemaksaan
(coercion). Tanpa adanya suatu paksaan kebijaksanaan, ini hanya merupakan

8
perumusan keinginan belaka (statement of inten) yang tidak akan pernah terwujud.
Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals), dan
bukan tujuan pribadi seseorang (privat goals). Selain itu politik menyangkut kegiatan
berbagai kelompok termasuk partai politik, lembaga masyarakat maupun
perseorangan.
2. Dimensi Politik kehidupan
Manusia Dalam kehidupan manusia jaminan atas kebebasan manusia baik
sebagai makhluk individu mauoun sosial sulit untuk dilaksanakan, karena terjadinya
berturan kepentingan diantara mereka sehingga terdapat suatu kemungkinan
teriadinya anarkisme dalam masyarakat. Dalam hubungan inilah manusia
memerlukan suatu masyarakat hukum dan mampu menjamin hak-hak nya, dan
masyarakat itulah yang disebut sebagai Negara. Pengertian dimensi politis manusia
ini memiliki dua segi fundamental yaitu Pengertian clan kehendok untuk bertindak
(inilah yang senantiasa berhadapan dengan tindakan moral manusia).
Manusia mengerti dan memahami akan suatu kejadian atau akibat dari
kejadian tertentu, akan tetapi hal itua dapat dihindarkan karena kesadaran moral akan
tanggung jawanya terhadap orang lain. Namun sebalikny jika manusia tidak
bermoral maka ia tidak akan perduli dengan orang lain
3. Nilai-nilai Pancasila sebagai Sumber Etika Politik
 Sebagai dasar filsafat negara Pancasila tidak hanya merupakan sumber peraturan
perundang-undangan merlainkan juga sumber moralitas utama dalan
hubungannya dengan legitiminasi kekuasaan, hukum serta berbagai kebijakan
dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan.
 Ketuhanan Yang Maha Esa serta sila kedua Kemanusiaan yang adil dan beradab,
adalah merupakan sumber nilai - nilai moral bagi kehidupan kebangsaan dan
kenegaraan
 Negara Indonesia yang berdasarkan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa
bukanlah negara Teokrasi yang mendasarkan kekuasaan dan penyelenggaraan
negara pada ligitiminasi religius.
 Kekuasaan kepala negara tidak mendasarkan pada legitiminasi religius
melainkan mendasarkan pada legitiminasi hukum dan demokrasi. Oleh karena
itu asas sila pertama lebih berkaitan dengan legitiminasi moral.

9
 Inilah yang membedakan negara yang Berketuhanan yang Maha Esa dengan
teokrasi.Walaupun dalam negara Indonesia tidak mendasarkan pada legitiminasi
religius, namun secara moralitas kehidupan negara harus sesuai dengan nilai-
nilai yang berasal dari Tuhan, terutama hukum serta moral dalam kehidupan
bernegara.
F. Makna Pancasila sebagai Sumber Etika Politik
Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, seluruh aspek yang menyangkut
kekuasaan, kebijaksanaan yang berkaitan dengan publik, dan pembagian kewenangan
harus berdasarkan legitimasi moral religius.Sesuai dengan sila pertama Pancasila yaitu
Ketuhanan Yang Maha Esa dan sila kedua yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab.
Selain itu, penyelenggaraan negara juga harus berdasarkan legitimasi hukum yaitu
prinsip legalitas.
Disebutkan dalam pasal 1 ayat 3 Undang-undang Dasar atau UUD 1945 bahwa
negara Indonesia adalah negara hukum. Maka, keadilan dalam hidup bersama harus
sesuai dengan sila kelima Pancasila yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Keadilan sosial merupakan tujuan dari kehidupan negara. Segala kebijakan, kekuasaan,
dan kewenangan dalam penyelenggaraan negara harus berdasarkan hukum yang berlaku.
Negara berasal dari rakyat dan segala kebijaksanaannya senantiasa untuk rakyat. Sesuai
dengan sila keempat Pancasila, maka rakyat merupakan asal mula kekuasaan negara.
Dalam pelaksanaan politik praktis, hal-hal yang menyangkut kekuasaan eksekutif,
legislatif, dan yudikatif harus berdasarkan legitimasi dari rakyat atau legitimasi
demokrasi. Seluruh kebijakan yang diambil, baik menyangkut politik dalam negeri
maupun politik luar negeri, ekonomi nasional maupun global, dan hal lainnya
menyangkut rakyat harus mendapatkan legitimasi rakyat.
G. Urgensi Pancasila Sebagai Sistem Etika dalam Kehidupan
Pentingnya Pancasila sebagai sistem etika terkait dengan permaslahan yang
dihadapi oleh bangsa Indonesia diantaranya:
1. Masih terdapat kasus korupsi yang melemahkan sendi kehidupan negara
2. Masih terdapat kasus terorisme yang mengatasnamakan agama sehingga
menurunkan sikap toleransi dan menghambat integrase nasional
3. Masih terjadinya pelanggaran atas arti HAM dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara
4. Terdapat kesenjangan antara kelompok miskin dan kaya serta masih terdapatnya
kaum marginal di beberapa wilayah yang merasa terasingkan
10
5. Masih adanya ketidakadilan hukum dalam sistem peradilan di Indonesia 6. Banyak
terjadi pengingkaran dalam pembayaran pajak, dan sebagainya.
H. Konsep Pancasila sebagai Sistem Etika dalam Kehidupan
Pancasila sebagai sistem etika memerlukan kajian kritis-rasional terhadap nilai
moral yang hidup agar tidak terjebak dalam pandangan yang bersifat mitos. Misalnya
korupsi terjadi karena pejabat diberi hadiah oleh seorang yang membutuhkan sehingga
urusannya lancar. Dia menerima hadiah tanpa memikirkan alasan orang tersebut
memberikan bantuan. Sehingga tidak tahu kalua perbuatannya dikategorikan dalam
bentuk suap.
Hal yang sangat penting dalam mengembangkan Pancasila sebagai sistem etika
meliputi:
1. Menempatkan Pancasila sebagai sumber moral dan penentu sikap, tindakan serta
keputusan yang akan diambil setiap warga negara.
2. Pancasila memberikan pedoman bagi setiap warga negara agar memiliki orientasi
yang jelas dalam pergaulan regional, nasional dan internasional
3. Pancasila menjadi dasar analisis kebijakan yang dibuat penyelenggara negara
sehingga mencerminkan semangat kenegaraan berjiwa Pancasila
4. Pancasila menjadi filter terhadap pluralitas nilai yang berkembang dalam berbagai
bidang kehidupan

I. Esensi Pancasila sebagai Sistem Etika dalam Kehidupan


Pancasila Sebagai sistem etika terletak pada hal-hal berikut:
1. Sila Ketuhanan, mencerminkan bahwa Tuhan merupakan penjamin prinsip moral.
Setiap perilaku warga negara didasarkan pada prinsip moral yang bersumber pada norma
agama. Ketika prinsip moral berlandaskan pada norma agama, maka akan memberikan
kekuatan pada prinsip agar dilaksanakan oleh pengikutnya.
2. SilaKemanusiaan, memiliki prinsip tindakan kemanusiaan diimplikasikan melalui sikap
adil dan beradab guna menjamin tata pergaulan antar manusia dan antar makhluk yang
berdasar pada nilai kemanusiaan tertinggi (kebajikan dan kearifan).
3. Sila Persatuan, memiliki arti kesediaan hidup bersama di atas kepentingan individu dan
kelompok dalam kehidupan bernegara. Landasannya adalah nilai solidaritas dan
semangat kebersamaan yang melahirkan kekuatan dalam menghadapi ancaman pemecah
belah bangsa.
4. Sila Kerakyatan, sebagai sistem etika terletak pada konsep musyawarah untuk mufakat.

11
5. Sila Keadilan, sebagai perwujudan dari sistem etika tidak menekankan pada kewajiban
saja (deontologi) atau tujuan saja (teleologi). Akan tetapi lebih menonjolkan pada
kebijaksanaan (virtue ethics).
Pada zaman Orde Lama, Pancasila sebagai sistem etika masih berbentuk sebagai
Philosofische Grondslag atau Weltanschauung artinya nilai-nilai pancasila belum
ditegaskan ke dalam sistem etika, tetapi nilai-nilai moral telah terdapat pandangan hidup
masyarakat. Masyarakat dalam masa orde lama telah mengenal nilai-nilai kemandirian
bangsa yang oleh Presiden Soekarno disebut dengan istilah berdikari (berdiri di atas kaki
sendiri).
Pada zaman orde baru, Pancasila sebagai system etika disosialisasikan melalui
penataran P-4 dan diinstusionalkan dalam wadah BP-7, Ada banyak butir Pancasila yang
dijabarkan dari kelima sila Pancasila sebagai hasil temuan dari para peneliti BP-7,
sebagai berikut :
1. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, cara pengamalannya, yaitu:
 Manusia Indonesia percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai
dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab.
 Hormat menghormati dan bekerja sama antar para pemeluk agama dan para
penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup.
 Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan
kepercayaannya.
 Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.
2. Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, cara pengamalannya yaitu:
 Mengakiu persamaan derajat, persamaan hak, dan persamaan kewajiban asasi
antar sesame manusia sesuai dengan harkat dan martabatnyasebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa.
 Saling mencintai sesama manusia.
 Mengembangkan sikap tenggang rasa.
 Tidak semena-mena terhadap orang lain.
 Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
 Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
 Berani membela kebenaran dan keadilan.
3. Sila Persatuan Indonesia, cara pengamalnnya yaitu:

12
 Menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan, keselamatan bangsa dan
bernegara di atas kepentingan pribadi atau golongan.
 Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara.
 Cinta tanah air dan bangsa.
 Bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air Indonesia.
 Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang berbhineka
tunggal ika.
4. Sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Pemusyawaratan/Perwakilan, cara pengamalannya yaitu:
 Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.
 Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
 Dengan itikad yang baik dan rasa tanggung jawab menerima dan
melaksanakan hasil putusan musyawarah.
 Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang
luhur.
5. Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, cara pengamalannya :
 Bersikap adil.
 Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
 Menghormati hak-hak orang lain.
 Suka memberi pertolongan kepada orang lain.
 Bersama-sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan
sosial.
J. Mendeskripsikan Esensi Dan Urgensi Pancasila Sebagai Sistem Etika
1. Esensi Pancasila sebagai Sistem Etika
Hakikat Pancasila sebagai system etika terletak pada hal-hal sebagai berikut :
a. Hakikat sila ketuhanan terletak pada keyakinan bangsa Indonesia bahwa Tuhan
sebagai penjamin prinsip-prinsip moral. Artinya, setiap perilaku warga negara harus
didasarkan atas nilai-nilai moral yang bersumber pada norma agama. Setiap prinsip
moral yang berlandaskan pada norma agama, maka prinsip tersebut memiliki
kekuatan untuk dilaksanakan oleh pengikut-pengikutnya.
b. Hakikat sila kemanusiaan terletak pada actus humanus, yaitu tindakan manusai yang
mengandung implikasi dan konsekuensi moral yang dibedakan dengan actus homini,
yaitu tindakan manusia yang biasa. Tindakan kemanusiaan yang mengandung

13
implikasi moral diungkapkan dengan cara dan sikap yang adil dan beradab sehingga
menjamin tata pergaulan antarmanusia dan antarmakhluk yang bersendikan nilai-
nilai kemanusiaan yang tertinggi, yaitu kebajikan dan kearifan.
c. Hakikat sila persatuan terletak pada kesediaan untuk hidup bersama sebagai warga
bangsa yang mementingkan masalah bangsa diatas kepentingan individu atau
kelompok. System etika yang berlandaskan pada semangat kebersamaan, solidaritas
social akan melahirkan kekuatan untuk menghadapi penetrasi nilai yang bersifat
memecah belah bangsa.
d. Hakikat sila kerakyatan terletak pada prinsip musyawarah untuk mufakat,. Artinya,
menghargai diri sendiri sama halnya dengan menghargai orang lain.
e. Hakikat sila keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan perwujudan
dari sistem etika yang tidak menekankan pada kewajiban semata atau menekankan
pada tujuan belaka, tetapi lebih menonjolkan keutamaan yang terkandung dalam nilai
keadilan itu sendiri.

K. Urgensi Pancasila sebagai Sistem Etika


Hal-hal penting yang sangat urgen bagi pengembangan Pancasila sebagai system
etika meliputi hal-hal sebagai berikut :
1. Meletakkan sila-sila Pancasila sebagai system etika berarti menempatkan Pancasila
sebagai sumber moral dan inspirasi bagi penentu sikap, tindakan, dan keputusan yang
diambil setiap warga negara.
2. Pancasila sebagai system etika memberi guidance bagi setiap warga negara sehingga
memiliki orientasi yang jelas dalam tata pergaulan, baik local, nasional, regional,
maupun internasional.
3. Pancasila sebagai system etika dapat menjadi dasar analisis bagi berbagai kebijakan
yang dibuat oleh penyelenggara negara sehingga tidak keluar dari semangat negara
kebangsaan yang berjiwa Pancasila.
4. Pancasila sebagai system etika dapat menjadi filter untuk menyaring pluralitas nilai
yang berkembang dalam kehidupan masyarakat sebagai dampak globalisasi yang
memengaruhi pemikiran warga negara.
L. Alasan Diperlukannya Pancasila sebagai Sistem Etika
Pancasila sebagai sistem etika diperlukan dalam kehidupan politik untuk
mengatur sistem penyelenggaraan negara. Bayangkan apabila dalam penyelenggaraan
kehidupan bernegara tidak ada sistem etika yang menjadi guidance atau tuntunan bagi

14
para penyelenggara negara, niscaya negara akan hancur. Beberapa alasan mengapa
Pancasila sebagai sistem etika itu diperlukan dalam penyelenggaraan kehidupan
bernegara di Indonesia, meliputi hal-hal sebagai berikut:
Pertama, korupsi akan bersimaharajalela karena para penyelenggara negara tidak
memiliki rambu-rambu normatif dalam menjalankan tugasnya. Para penyelenggara
negara tidak dapat membedakan batasan yang boleh dan tidak, pantas dan tidak, baik dan
buruk (good and bad). Pancasila sebagai sistem etika terkait dengan pemahaman atas
kriteria baik (good) dan buruk (bad). Archie Bahm dalam Axiology of Science,
menjelaskan bahwa baik dan buruk merupakan dua hal yang terpisah. Namun, baik dan
buruk itu eksis dalam kehidupan manusia, maksudnya godaan untuk melakukan
perbuatan buruk selalu muncul. Ketika seseorang menjadi pejabat dan mempunyai
peluang untuk melakukan tindakan buruk (korupsi), maka hal tersebut dapat terjadi pada
siapa saja. Oleh karena itu, simpulan Archie Bahm, ”Maksimalkan kebaikan, minimalkan
keburukan” (Bahm, 1998: 58).
Kedua, dekadensi moral yang melanda kehidupan masyarakat, terutama generasi
muda sehingga membahayakan kelangsungan hidup bernegara. Generasi muda yang
tidak mendapat pendidikan karakter yang memadai dihadapkan pada pluralitas nilai yang
melanda Indonesia sebagai akibat globalisasi sehingga mereka kehilangan arah.
Dekadensi moral itu terjadi ketika pengaruh globalisasi tidak sejalan dengan nilai-nilai
Pancasila, tetapi justru nilai-nilai dari luar berlaku dominan. Contoh-contoh dekadensi
moral, antara lainpenyalahgunaan narkoba, kebebasan tanpa batas, rendahnya rasa
hormat kepada orang tua, menipisnya rasa kejujuran, tawuran di kalangan para pelajar.
Kesemuanya itu menunjukkan lemahnya tatanan nilai moral dalam kehidupan bangsa
Indonesia. Oleh karena itu, Pancasila sebagai sistem etika diperlukan kehadirannya sejak
dini, terutama dalam bentuk pendidikan karakter di sekolah-sekolah.
Ketiga, pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM) dalam kehidupan bernegara
di Indonesia ditandai dengan melemahnya penghargaan seseorang terhadap hak pihak
lain. Kasus-kasus pelanggaran HAM yang dilaporkan di berbagai media, seperti
penganiayaan terhadap pembantu rumah tangga (PRT), penelantaran anak-anak yatim
oleh pihak-pihak yang seharusnya melindungi, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT),
dan lain-lain. Kesemuanya itu menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat terhadap nilai-
nilai Pancasila sebagai sistem etika belum berjalan maksimal. Oleh karena itu, di samping
diperlukan sosialisasi sistem etika Pancasila, diperlukan pula penjabaran sistem etika ke
dalam peraturan perundang-undangan tentang HAM.

15
Keempat, kerusakan lingkungan yang berdampak terhadap berbagai aspek
kehidupan manusia, seperti kesehatan, kelancaran penerbangan, nasib generasi yang akan
datang, global warming, perubahan cuaca, dan lain sebagainya. Kasus-kasus tersebut
menunjukkan bahwa kesadaran terhadap nilai-nilai Pancasila sebagai sistem etika belum
mendapat tempat yang tepat di hati masyarakat. Masyarakat Indonesia dewasa ini
cenderung memutuskan tindakan berdasarkan sikap emosional, mau menang sendiri,
keuntungan sesaat, tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkan dari perbuatannya.
Contoh yang paling jelas adalah pembakaran hutan di Riau sehingga menimbulkan kabut
asap. Oleh karena itu, Pancasila sebagai sistem etika perlu diterapkan ke dalam peraturan
perundang-undangan yang menindak tegas para pelaku pembakaran hutan, baik pribadi
maupun perusahaan yang terlibat.

16
BAB ⅠⅠⅠ

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan materi diatas dapat disimpulkan bahwa etika politik tidak dapat
dipisahkan dengan subjek sebagai pelaku etika yaitu manusia. Manfaat etika politik bagi
pelaksanaan system politik di Indonesia antara lain, Pertama, etika diperlukan dalam
hubungannya dengan relasi antara politik dan kekuasaan. Karena kekuasaan cenderung
disalahgunakan maka etika sebagai prinsip normatif/etika normatif (bukan metaetika) sangat
diperlukan. Dengan memahami etika politik, para pejabat tidak akan menyalahgunakan
kekuasaannya. Kedua, etika politik bertujuan untuk memberdayakan mekanisme kontrol
masyarakat terhadap pengambilan kebijakan para pejabat agar tidak menyalahi etika. Masyarakat
sebagai yang memiliki negara tidak bisa melepaskan diri dalam mengurus negara. Ketiga, para
pejabat dapat bertanggung jawab atas berbagai keputusan yang dibuatnya baik selama ia
menduduki posisi tertentu maupun setelah meninggalkan jabatannya.

Pola pikir untuk membangun kehidupan berpolitik yang murni dan jernih mutlak dilakukan
sesuai dengan kelima sila Pancasila. Etika politik Pancasila harus direalisasikan oleh setiap
individu yang ikut terlibat secara konkrit dalam pelaksanaan pemerintahan negara. Peran
Pancasila sebagai sumber etika politik di Indonesia harus benar-benar dipahami oleh setiap
penguasa yang berkuasa mengatur pemerintahan, agar tidak menyebabkan berbagai
penyimpangan seperti yang terjadi dewasa ini.

B. Saran

Pancasila hendaknya disosialisasikansecara mendalam sehingga dalam kehidupanberbangsa,


bernegara dan bermasyarakat sertaberpolitik dalam berbagai segi kegiatan dapat terwujud
dengan baik dan lancar. Untuk Mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, pemerintah
selaku pemegang amanat rakyat dan penyelenggara Negara harus mentaati peraturan yang telah
ditetapkan, karena kekuatan politik suatu negara ditentukan oleh kondisi pemerintah yang
absolut, pemerintah yang didukung penuh oleh rakyat, karena kedaulatan tertinggi berada di
tangan dan rakyat merupakan bagian terpenting dari terbentuknya suatu negara.

17
DAFTAR PUSTAKA

Kaelan.(2016). Pendidikan Pancasila Edisi Reformasi. Yogyakarta: Penerbit Paradigma.

https://www.academia.edu/37737584/MAKALAH_PANCASILA_SEBAGAI_ETIKA_POLIT
IK

18

Anda mungkin juga menyukai