Anda di halaman 1dari 12

SEJARAH PERTUMBUHAN AL-HADITS

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Mata Kuliah Ulumul Hadits


Dosen Pengampu: H. Tjetjep Suhandi, Lc., M.Ag.

Disusun Oleh:
Ibnu Abbas
Ali habiburrohman al azizy

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS IBN KHALDUN BOGOR
2023 M/1444 H
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, puji
syukur kita panjatkan. Shalawat serta salam tak lupa kita curahkan kepada baginda alam Nabi
Muhammad SAW sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam yang telah menjadikan Islam
sebagai agama yang menuntun manusia untuk mendekatkan diri kepada-Nya, semoga kita
mendapatkan syafa’at beliau di akhir nanti aamiin. Dan karena Rahmat-Nya pula, kami dapat
menyelesaikan makalah ini.

Adapun tujuan pembuatan makalah ini yakni untuk memenuhi tugas wajib mata kuliah
Ulumul Hadits Penyelesaian makalah ini membutuhkan bantuan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
penyusunan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya masih banyak kekurangan dari segi
tata bahasa maupun susunan kalimat, maka dari itu kami berlapang dada menerima segala saran
dan kritik dari pembaca agar kami lebih baik lagi memperbaiki makalah ini semoga makalah ini
bermanfaaat bagi kita semua aamiin yaarabbal alamin. Semoga makalah yang berjudul
“SEJARAH PERTUMBUHAN AL-HADITS ” ini dapat memenuhi tugas wajib dalam mata
kuliah Ulumul Hadits dengan sempurna dan mendapatkan nilai yang memuaskan. Selain itu
dapat menambah pengetahuan bagi pembaca, serta dapat dijadikan acuan pembaca dalam
pembuatan makalah yang akan datang.

Bogor, 15 Oktober 2023


DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................................................i

DAFTAR ISI.................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang .......................................................................................................1

1.2. Rumusan Masalah ..................................................................................................1

1.3. Tujuan Penulisan ....................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Periode periwayatan dengan lisan………………………………………….....2

A. Larangan menulis Al-Hadits…………………………………………………..2

B. Perintah menulis Al-Hadits…………………………………………………....3

C. Sistem meriwayatkan Al-Hadits........................................................................4

2.2. Menulis dan membukukan Al-Hadits secara resmi :……………………..…..5

A. Merintis dan sejarah (motif) membukukan Al-Hadits…………………….......5

B. Sejarah Kitab Al-Hadits yg dibukukan pada abad kedua………………….….7

C. Kitab-kitab Hadits uang masyhur……………………………..........................7

BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan ...........................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................12


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hadis atau sunnah sebagai sumber ajaran islam kedua setelah Al – quran jika dilihat
dari segi periwayatan berbeda dengan Al-quran, dimana yang kedua setiap kali ayat-ayatnya
turun, Rasulullah SAW langsung memerintahkan menulis wahyu untuk menulisnya,
sementara untuk hadis Nabi SAW tidak demikian halnya. Sejarah perkembangan hadits
merupakan masa tau periode yang telah dilalui oleh hadis dari masa lahirnya dan tumbuh
dalam pengenalan, penghayatan dan pengamalan umat dari generasi ke genrasi. Dengan
memperhatikan masa yang telah dilalui hadits, serta segala hal yang mempengaruhi hadits
tersebut.(Solahuddin 2008).
Disamping sebagai utusan Allah SWT, Rasullulah SAW adalah panutan dan
tokoh masyarakat. Beliau sadar sepenuhnya bahwa agama dibawanya harus
disampaikan dan terwujud secara konkrit dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu,
setiap kali ada kesempatan Rasulullah SAW memanfaatkanya berdialog dengan para sahabat
dengan berbagai media. Hadits Rasulullah SAW yang sudah diterima oleh para sahabat, ada
yang dihafal dan dicatat. Dengan demikian ada beberapa periode dalam sejarah
perkembangan hadits dari periode Rasulullah SAW hingga periode sekarang. Oleh karena
itu dalam makalah ini kami membahas sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadits.
1.2 Rumusan Masalah

A. Periode periwayatan dengan lisan.


1.Larangan menulis Al-Hadits.
2.Perintah menulis Al-Hadits.
3. Sistem meriwayatkan Al-Hadits.
B. Menulis dan membukukan Al-Hadits secara resmi :
1. Merintis dan sejarah (motif) membukukan Al-Hadits.
2 Sejarah Kitab Al-Hadits yg dibukukan pada abad kedua.
3 Kitab-kitab Hadits uang masyhur.
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini selain untuk memenuhi tugas kelompok mata
kuliah Pancasila yang diampu oleh Ibu Dosen Latifah Ratnawati, S.H., M.H. juga untuk
menjawab beberapa pertanyaan diatas diantaranya adalah.
1. Untuk mempelajari periwayatan Al-Hadits, Larangan menulis Al-Hadits, Perintah
menulis Al-Hadist
2. Untuk memapaparkan sejarah dan kitab-kitab Hadits yang masyhur
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 periwayatan dengan lisan.

A. Larangan menulis Al-Hadits.


Dari beberapa catatan tentang hadits pada masa Nabi saw. ada dua hal penting yang perlu
dikemukakan. Yaitu, larangan menulis hadits dan perintah menulis hadits. Pada awalnya Nabi
saw. melarang para sahabat untuk menulis hadits karena dikhawatirkan akan terjadi percampuran
antara ayat- ayat Al-Qur'an dengan hadits. Namun demikian, harus pula dipahami bahwa
larangan itu tidak bersifat umum. Artinya larangan penulisan hadits itu terkait dengan daya hafal
masing-masing sahabat. Hal ini dibuktikan dengan adanya catatan yang ditulis oleh Abdullah ibn
Amr ibn al-Asyh tentang apa yang ia dengar dari Nabi saw. Catatan Amr ini dikenal dengan
nama al-Shahifah al-Shadiqah.
Sedangkan tentang perintah untuk menulis hadits Nabi saw, hal itu harus dipahami bahwa
dengan hilangnya kekhawatiran akan terjadi percampuran antara ayat Al-Qur'an dengan hadits
Nabi saw, maka dengan sendirinya larangan untuk menulis hadits tersebut juga hilang. Dengan
demikian, tidak ada yang perlu dikontradiksikan antara larangan penulisan hadits di satu sisi dan
perintah penulisan hadits pada sisi yang lain.
Berbeda dengan kajian versi Yahudi yang banyak ditransfer oleh pemikir Islam temporer
yang merujuk kepada referensi mereka bahwa yang diekspos hanyalah hadits-hadits larangan
menulis, seperti sabda Nabi saw.

‫َح َّد َثَنا َهَذ اُب ْبُن َخ اِلٍد اَأْلْر ِد ُّي َح َّد َتَنا َهَّم اٌم َع ْن ِّر يِد ْبِن َأْس َلَم َع ْن َع َطاِء ْبِن َيَس اٍر َع ْن َأِبي َسِع يٍد اْلُخ ْد ِري‬
‫ اَل َتْك تُبوا َع ِنى َو َم ْن َك َب َع َلى َغْيَر اْلُقْر آِن َفْلَيْس َح ُه‬: ‫َأَّن َر ُسوَل ِهللا صلى هللا عليه وسلم َقاَل‬
Artinya; Dinarasikan Abu Sa'id al-Khudri ra., Rasulullah saw. bersabda: Janganlah anda menulis
haditsku, barangsiapa yang menulis tentang haditsku walaupun secuil selain daripada penulisan
Al- Qur'an, maka hendaknya ia memusnahkan tulisan hadits itu.(HR. Muslim)
Hadits di atas merupakan hadits shahih yang dikeluarkan imam Muslim. Maka dengan
argumentasi hadits tersebut, mereka memahami sebagai berikut:
1. Hadits Nabawi itu tidak perlu, yang diperlukan hanyalah Al-Qur'an. Kalau hadits itu
diperlukan tentu Nabi juga memerintah shahabat untuk menulisnya sebagaimana penulisan Al-
Qur'an.
2. Tidak perlunya hadits Nabawi didukung Informasi Al-Qur'an bahwa nabi Muhammad
itu adalah manusia biasa seperti kita, maka logikanya bukan hanya Nabi yang memiliki otoritas
dalam menafsirkan Al-Qur'an, akan tetapi semua manusia, termasuk kita dewasa ini mempunyai
liberalisasi (kebebasan) dalam memahami Al- Qur'an.
Seperti itulah pola pemikiran mereka dalam memahami hadits-hadits Nabawl, berdalil
dengan Al-Qur'an secara sepotong dan berdalil dengan hadits juga secara sepotong.
Sekiranya hadits yang dinarasikan oleh Abu Sa'id al-Khudri yang dikeluarkan oleh imam
Muslim dinukil secara utuh maka redaksinya sebagai berikut:

‫َح َّد َثَنا َهَذ اُب ْبُن َخاِلٍد اَأْلْر ِد ُّي َح َّد َتَنا َهَّم اٌم َع ْن ِّريِد ْبِن َأْس َلَم َع ْن َع َطاِء ْبِن َيَس اٍر َع ْن َأِبي َسِع يٍد اْلُخ ْد ِر ي َأَّن‬
‫ اَل َتْك تُبوا َع ِنى َو َم ْن َك َب َع َلى َغْيَر اْلُقْر آِن َفْلَيْس َح ُه َو َح َدوا َع َلى َو اَل َح َر َج‬: ‫َر ُسوَل ِهللا صلى هللا عليه وسلم َقاَل‬
‫َو َم ْن َكَتَب ُم َتَعِّم ًدا َفْلَيُبوا َم ْقَع َد ُه ِم َن الَّنار‬
Artinya: Dinarasikan Abu Sa'id al-Khudri ra., Rasulullah saw. bersabda: Janganlah anda menulis
haditsku, barangsiapa yang menulis tentang haditsku walaupun secuil selain daripada penulisan
Al- Qur'an, maka hendaknya ia memusnahkan tulisan hadits itu. Sekarang, silahkan kalian
menulis haditsku tanpa ada rasa bersalah. Barangsiapa yang berdusta atas nama saya maka
hendaknya ia mempersiapkan tempatnya di api neraka, (HR. Muslim).
Dengan penukilan hadits yang sempurna seperti di atas, semestinya dapat dianalisa,
kapan atau dalam kondisi apa Nabi melarang menulis haditsnya dan dalam kondisi apa justru
Nabi menyuruh para shahabat untuk menulis haditsnya sehingga dapat diketahui, inti dari
larangan Nabi adalah dikhawatirkan terjadinya pendustaan terhadap pribadi Nabi saw
B. Perintah menulis Al-Hadits.
Dalam pembahasan terdahulu telah dikatakan bahwa pada masa jahiliyyah dan masa pertama
Islam aktivitas tulis-menulis telah ada. Bahkan, penulisan hadis pada masa sahabat sebenarnya
telah ada, walaupun tidak sebanyak pada masa Tabi‘in apalagi masa setelahnya. Hal ini
dikarenakan hadis larangan penulisan selain Al-Qur‘an sangat mengena dibenak para sahabat.
Selanjutnya hadis-hadis Nabi telah ditulis hingga menyebar luas pada diri para sahabat.
Walaupun demikian hadis-hadis tersebut masih outentik sehingga tidak diperlukan adanya
penelitian atau pemeriksaan terhadap keraguan atas keabsahannya, sehingga cenderung tidak ada
masalah terhadap agama bahkan hadis itu sendiri. Kalaupun terdapat masalah-masalah yang
bersinggungan erat pada agama, maka para sahabat langsung bersegera menanyakan kepada
Nabi.
Oleh karenanya, pada masa Nabi, pada awal mulanya beliau melarang menulis hadis
karena mengutamakan pada konsentrasi Al-Qur‘an. Hanya saja sebagian sahabat atas nama
pribadi dan secara diam-diam mecatat hadis-hadis tersebut bahkan menghafalnya. Maka
bermuncullah teks-teks (sahaif)11 nama-nama dari pengumpulnya. Diantara sahabat yang
mencatat naskah atau teks hadis adalah Abdullah bin Amr bin Al-As yang Sahifahnya
dinamakan “al-sadiqah” dinamakan tersebut karena Abdullah bin Amr bin al-As mendapatkan
hadis yang ia catat langsung dari Nabi saw setelah diberi licensi penulisan. Sahifah inilah salah

1
Kata sahaif adalah bentuk jama‘ dari sahifah yang bermakna dasar ‗lembaran‘ atau ‗buku kecil‘. Tetapi dalam
perjalannannya mengalami perluasan makna. Sedang yang dimaksud disini adalah suatu buku kecil berisikan
sunnah Nabi dengan jumlah yang sangat terbatas. Namun menurut para ahli hadis meyakini bahwa kumpulan
hadis tersebut bermuatkan antara seratus hingga seribu lebih hadis. Lihat lebih lengkap Jamila Saukat,
―Pengklasifikasian Literatur Hadis‖, terj. Yanto Mustofa, dalam Jurnal al-Hikmah, No. 13 (1994),18.
satu Sahifah yang ditulis pada masa Nabi. Maka sahifah al-Sadiqah inilah salah satu catatan
hadis yang telah ada pada zaman rasulullah.
Pasca penulisan Al-Qur‘an selesai dan telah disebarkan kedaerah-daerah perluasan Islam,
sebagian para sahabat mulai mengkonsentrasikan diri pada al-Sunnah dengan menghafalnya,
mempelajari isi kandungannya dan tidak sedikit yang memulai menulisnya. Hal itu setelah
dipandang bahwa pelarangan tersebut telah selesai masa berlakunya. Bahkan Abdullah bin
Mas‘ud berkata; “Pada masa Rasulullah kita tidak menulis hadis apapun kecuali menyangkut
al-istikharah dan tasyahhud”. Ini mengindikasikan bahwa penulisan selain Al-Qur‘an pada masa
sahabat telah ada walau jumlahnya sangat minim, disamping menjelaskan bahwa Ibn Masud
tidaklah termasuk orang yang melarang penulisan al-hadis.
Abu Hurairah suatu ketika juga memperbolehkan Basyir bin Nuhaik untuk menulis
hadisnya. Sebagaimana diriwayatkan Basyir, ia berkata; “aku menyodorkan tulisan yang telah
aku tulis, dan aku bacakan padanya, lalu aku bertanya; inikah yang aku dengar dari mu? Abu
Hurairah menjawab; ya”.2 Bahkan banyak dari para sahabat yang rumahnya terdapat catatan-
catatan hadis (Sahifah) dan sebagian dari Sahifah tersebut terkenal identik dengan namanya.
Diantara para sahabat yang mempunyai Sahifah adalah Sa‘d bin Ubadah al-Ansori, Samrah bin
Jundab, Jabir bin Abdullah al- Ansari, Anas bin Malik dan lainnya.3 Oleh para ulama2 fase
penulisan hadis pada masa Nabi dikenal dengan nama “penulisan individual” yang penulisan ini
dilakukan perseorangan dan metodenya belum beraturan.
C. Sistem Meriwayatkan Al-Hadist
Secara etimologis al-riwāyat (‫ )الرواية‬merupakan isim masdar dari kata rowa (‫ )روى‬yang
berarti al-naql (‫النقل‬/penukilan) atau al- żikr (‫الذكر‬/penyebutan ).4 DidalamBahasa Indonesia, kata
riwayat bermakna sebagai cerita yang turun temurun.5 Adapun pengertiannya dalam disiplin
IlmuḤadīṡ,al-riwāyat adalah kegiatan penerimaan dan penyampaianḥadīṡ, serta penyandaran
ḥadīṡ tersebut pada rangkaian rawinya dalam bentuk-bentuk tertentu.
Adapun al-syahadah (‫)الشهادة‬, secara etimologis merupakan derivasi dari kata ‫شهد‬
yang berarti menyaksikan. Kata al-syahadah diartikan sebagai ‫( االقرار‬kesaksian/pengakuan).6
Dalam pengertiannya secara istillah, as-syahadah berarti mengmbarkan apa yang disaksikan atau
memberikan keasksian.
Baik al-riwayat maupun al-syahadah keduanya merupakan sebuah kegiatan penyampaian
informasi. Disamping itu, keduanya sama-sama mensyaratkan Islam, Balig, ‘Adil, dan Dabit.
Akan tetapi terdapat perbedaan diantara keduanya; al-riwayat merupakan pemyampain informasi
yang bersifat profetis, berkaitan erat dengan kenabian, sedangan al-syahadah bersifat umum,
mencakup informasi apa saja yang terdiri dari umsur peristiwa dan saksi.

2
Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, 320.
3
Muhammad Muba>rak Assayyid, Mana>hij al-Muhaddisi>n (al-Qismu al-Sani) (Kairo: Percetakan Fakultas
Usuluddin Universitas al-Azhar), 27
4
louis Ma’luf. Al-Munjid Fi Lughah ( Beiret, tth ) hal 289
5
Pusat Bahasa Departemen pendidikan Nasional. Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta, 2008) Hal 1214
6
M. Syuhudi Ismail. Kaedah Kesahihan Sanad Hadits (Jakarta, tth ) Hal 23
Selain perbedaan yang menyangkut kekhususan dan kemakmuran isi informasi,
terdapat perbedaan-perbedaan lain diantara al-riwayat dan al-syahadah, yaitu;
A. Al-riwayat boleh dilakukan oleh orang yang merdeka maupun hamba sahaya,
sedangkan al-syahadah hanya boleh dilakukan oleh orang yang merdeka
B. Dalam semua peristiwa al-riwayat boleh dilakukan oleh laki-laki maupun
perempuan, sememtara al-syahadah pada peristiwa tertentu mesti laki-laki
C. Al-riwayat boleh dilakukan oleh seseorang yang buta asal pendengaranya baik,
sedang al-syahadah khusus bagi orang yang dapat melihat saja.
D. Al-riwayat boleh dilakukan oleh orang yang memiliki kekerabataan dengan orang
yang di jelaskan dalam periwayatannya sementara dalam al-syahadah dianggap
tidak sah bila ada hubungan kekerabatan

2.1 Menulis dan membukukan Al-Hadits secara resmi :


A. Merintis dan sejarah (motif) membukukan Al-Hadits.

Pada awal abad 2 Hijriyah, Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah pertama yang ingin
melakukan pembukuan terhadap hadits. Latar belakangnya karena perawi hadits makin banyak
yang meninggal, sedangkan kebutuhan umat Islam terhadap hadits semakin besar. Dengan
dibukukannya hadits, maka hadits tidak akan lenyap dari muka bumi. Selain itu, masalah tentang
kekhalifahan memunculkan beberapa oknum dengan hadits palsu untuk memperkuat
pendapatnya. Jika hadits dibukukan dan diseleksi secara cermat oleh para ulama, maka hal ini
dapat dicegah.

Di masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz ini, Ibnu Hazm ditunjuk untuk melakukan
misi mengumpulkan hadits, sehingga masa ini disebut juga sebagai fase pengumpulan. Bersama
Ibnu Syihab Az Zuhri, Ibnu Hazm mengumpulkan hadits dari para tabi’in dengan bantuan kepala
daerah. Pada masa ini juga dikembangkan ilmu Riwayatul Hadits untuk memeriksa keabsahan
suatu hadits.

Masa yang terpenting dari perkembangan hadits adalah pada abad ke-3. Masa seleksi atau
penyaringan hadits terjadi ketika pemerintahan dipegang oleh dinasti Bani Abbasiyah, khususnya
masa Al-Makmun sampai dengan Al-Muktadir (sekitar tahun 201-300 H). Masa ini disebut juga
masa kejayaan sunnah (Min Al-Ushr Al-Izdihr) atau masa keemasan sunnah (Min Al-Ushr Adz-
Dzahabyah) karena pada masa ini kegiatan rihlah mencari ilmu dan sunnah serta pembukuannya
mengalami puncak keberhasilan yang luar biasa. Pada abad ke-3 ini pula, hadits dipilah-pilah
menjadi marfu’ (memang berasal dari Nabi Muhammad), mauquf (perilaku sahabat Nabi),
dan maqtu’ (perilaku tabi’in). Adapun klasifikasi hadits kepada kualitas shahih atau dhaif, pada
permulaan abad ini belum dilakukan.Tim yang melakukan koreksi dan verifikasi ini adalah
Ahmad bin Hambal, Abdullah bin Musa Al ‘Abasi Al Kufi, Musaddad Al Bashri, Nu’am bin
Hammad Al Khuza’i, dan Utsman bin Abi Syu’bah.

Abad ke 3 H ini disebut juga puncak usaha pembukuan hadits. Sesudah kitab-kitab Ibnu
Juraij, kitab Muwaththa Al-Malik tersebar dalam masyarakat dan disambut dengan gembira.
Kemauan menghapal hadits, mengumpulkan, dan membukukannya semakin meningkat.
Mulailah ahli-ahli ilmu berpindah dari sebuah negeri ke negeri lain untuk mencari hadits, yang
dipelopori oleh Al Bukhari. Beliaulah yang meluaskan daerah-daerah yang dikunjungi untuk
mencari hadits. Beliau pergi ke Maru, Naisabur, Rei, Baghdad, Bashrah, Kufah, Mekah,
Madinah, Damsyik, Qusairiyah, Asqalani, dan Hims. Imam Al-Bukhari selama 16 tahun telah
melawat ke daerah-daerah menurut M.Shuhudi Ismail (1987:114). Menurut M.Agus Solahudin
(2011:42), 6 tahun lamanya Imam Al-Bukhari terus menjelajah untuk menyiapkan kitab
shahihnya.

Sejak permulaan abad 3 H, ulama hadits telah mengadakan klasifikasi antara hadits-
hadits yang marfu (yang disandarkan kepada Nabi), yang mauquf (yang disandarkan kepada
sahabat), dan yang maqthu (yang disandarkan kepada tabiin). Kitab-kitab musnad telah sangat
berjasa dalam hal ini, sebab telah menghimpun hadits-hadits Nabi berdasarkan nama sahabat
yang meriwayatkannya, sehingga dengan demikian hadits-hadits Nabi terpelihara dari
percampuradukan dengan fatwa-fatwa sahabat dan tabiin.

Pada pertengahan abad ke 3 H, mulailah ulama hadits mengadakan seleksi kualitas hadits
shahih dan dhaif. Ulama yang mempelopori usaha ini adalah Ishaq Ibnu Rahawaih, kemudian
diikuti oleh Al-Bukhari, Muslim, dan dilanjutkan oleh Abu Daud, Turmudzi, An-Nasai, Ibnu
Majah, dan lain-lain. Sebelum zaman Imam Turmudzi, kualitas hadits hanya dikenal ada dua
macam saja, yaitu: shahih dan dhaif. Sejak zaman Imam Turmudzi, barulah dikenal kualitas
hadits itu kepada tiga macam yaitu: shahh, hasan, dan dhaif. Demikian pendapat Ibnu Taimiyah.
Hadits kemudian dibukukan menjadi tiga: kitab sahih (Bukhari dan Muslim), kitab sunan (Ibnu
Majah, Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasai, Ad Damiri) berisi hadits sahih dan dhaif yang tidak
mungkar, dan kitab musnad (Abu Ya’la, Ali Madaini, Al Bazar, Baqi bin Mukhlad, Ibnu
Rahawaih) berisi hadits-hadits tanpa penelitian.

B. Sejarah Kitab Al-Hadits yg dibukukan pada abad kedua.


Di zaman Khulafa ar-Rasyidun, banyak sahabat yang berminat untuk menulis hadis. Namun,
mereka tak melakukannya karena khawatir umat Islam akan lebih mencurahkan perhatiannya
kepada hadis, dibandingkan Alquran. Sehingga, Abu Bakar dan Umar terpaksa harus membakar
sekitar 500 hadis yang mereka kumpulkan.

Pengumpulan, penulisan, dan pembukuan Alquran mulai dilakukan secara besar-besaran pada
abad ke-2 Hijriah. Saat itu, dunia Islam dikuasai oleh Kekhalifahan Umayyah di bawah
kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pemimpin yang dikenal jujur dan adil itu
memerintahkan pengumpulan, penulisan, dan pembukuan hadis.

Saat itu, satu per satu penghafal hadis meninggal dunia. Meluasnya daerah kekuasaan Islam
juga membuat para penghafal hadis terpencar-pencar ke berbagai wilayah. Di tengah kondisi itu,
upaya pemalsuan hadis demi memuluskan berbagai kepentingan merajalela

C. Kitab-kitab Hadits yang masyhur.


Enam kitab hadits yang dikenal dengan Kutubus Sittah antara lain;
Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, Al-Jami' Imam At-Tirmidzi, Sunan An-Nasa'i, Sunan Abu
Dawud, dan Sunan Ibnu Majah.
Keenam kitab tersebut merupakan referensi hadits utama dalam Islam. Mempelajari dan
mengkaji Kutubus Sittah memiliki manfaat yang besar. Adanya kitab ini bertujuan untuk
memudahkan para penuntut ilmu untuk mengkaji sekaligus menghafalnya. Buku ini berisi 408
hadits pilihan Kutubus Sittah yang terbagi menjadi 44 bab, yang sistematika penyusunannya
disesuaikan dengan Shahih Muslim. Seluruh hadits yang ada di dalam buku ini telah berstatus
shahih dan disepakati oleh enam imam ahli hadits penulis Kutubus Sittah.

BAB 3
PENUTUP
A. Kesimpulan
Para sahabat dalam menjaga dan menghafal hadis secara akurat, yaitu dengan
penghafalan, merekam, dan praktik. Yang pertama adalah penghafalan, para sahabat telah
terbiasa untuk mendengar perkataan nabi, dan memperhatikan perbuatan beliau dengan
sangat hati-hati, dan di antara para sahabat terbiasa untuk membahas dan mempelajari ulang
apa yang telah disampaikan nabi. Yang kedua adalah merekam, para sahabat yang memiliki
kemampuan dalam menulis memiliki tugas khusus dalam mencatat hadis-hadis yang
diperoleh dari nabi. Yang ketiga adalah praktik, para sahabat mempraktikkan apa yang telah
mereka dapat dari nabi.
Perkembangan hadis pada Rasulullah masyarakat umat Islam masih terbilang kurang
memahami hadis maupun menulis hadis. Pada masa ini Rasulullah selalu menekankan
kepada sahabat agar selalu memahami hadis dan menyampaikanya kepada umat Islam. Salah
satu kebijakan terbesar Nabi terkait pemeliharaan hadis adalah dengan memerintahkan para
shahabat untuk menghafal.
Pada masa awal penulisan, para ahli hadis telah mengingatkan adanya masalah
penulisan hadis, di antaranya yang pernah dilakukan oleh: Urwah, AlAkhfasy, Al-Qa’nabi,
Yahya bin Abu Katsir. Oleh karena itu ahli-ahli hadis selalu berusaha dengan semaksimal
mungkin untuk memperlihatkan kembali tulisan- tulisan atau catatan-catatan hadis kepada
gurunya seraya mengoreksinya kembali. Cara untuk mengoreksi hadis tersebut terdapat dua
macam, yaitu seorang murid mengoreksinya sendiri dengan bantuan teman-temannya, atau ia
mengoreksinya dengan bantuan gurunya.
Dalam pembukuan hadis ada beberapa periode yaitu dintaranyan Periode Pra Khulafa'
Ar-Rasyidin pada masa ini, tersebarnya periwayatan hadits ke pelosok-pelosok daerah
Jazirah Arab, perlawatan untuk mencari hadits pun menjadi ramai. Karena meningkatnya
periwayatan hadits, muncullah bendaharawan dan lembaga-lembaga hadit di berbagai daerah
di seluruh negeri. Periode Abad II dan III Hijriah hingga sampai Periode (656 H-Sekarang).

DAFTAR PUSAKA
Sejarah penulisan Hadits dan Perkembangannya
Ajaj Al-kitab. 2006. Usulul Hadits wa ulumuhu wa Mustalahu. Beirut: Darul fikr
A.Qadir hasan. 2007. ilmu Mushthalah Hadits. Bandung: Diponegoro

http://www.anneahira.com/sejarah-pembukuan-hadits.htm

http://dediksaidina.blogdetik.com/2012/01/30/sejarah-perkembangan-pembukuan-hadits-abad-
ke-3/

Solo: Pustaka Arafah, 2016

Anda mungkin juga menyukai