Disusun oleh:
Nur Alvia ( 50200122033 )
Nurhikmah Andini ( 50200122056 )
Puji syukur diucapkan kehadirat Allah Swt . atas segala rahmat-Nya sehingga makalah
ini dapat tersusun sampai selesai.Guna memenuhi tugas mata kuliah ilmu hadist.Adapun judul
makalah tersebut adalah “ SEJARAH PENULISAN DAN PENELITIAN HADITS”.
Tidak lupa kami mengucapkan terimah kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materi.Penulis sangat
berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca ,
bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca praktikan dalam kehidupan
sehari hari.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini kaena keterbatasan pengntuan dan pengalaman kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritikan dan saran yang membangu dari pembaca demi kesempurnaan makalah
ini.
DAFTAR ISI
JUDUL .......................................................................................................................................................................
KATA PENGANTAR................................................................................................................................................
DAFTAR ISI .............................................................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang
B. Rumusan masalah
C. Tujuan penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A. Bagaimana Pro dan kontra penulisan hadits ?
B. Bagaimana penulisan hadits pada masa Rosulullah SAW dan para sahabat?
C. Bagaimana proses penulisan hadist pada masa kodifikasi ?
D. Bagaimana proses penulisan hadist pada masa pasca kodifikasi?
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Setelah Rasulullah wafat, Al-Qur’an mulai dibukukan dan pembukuan secara keseluruhan
selesai pada khalifah Utsman bin Affan. Muhadditsun tertuntut untuk memulai pembukuan
hadits dengan beberapa alasan tertentu baik yang kontra maupun yang pro untuk
penulisannya.Untuk itu pada makalah ini dibahas tentang sejarah perkembangannya.
Hadist ialah sesuatau yang bersumber dari Nabi baik itu berupa ucapan, perbuatan, maupun
ketetapan-Nya.Sama hal-nya dengan Al-Qur’an, hadist juga mempunyai sebuah
sejarah.Meskipun pada awalnya seperti yang kita ketahui bahwa penulisan hadist itu di larang
oleh Nabi.Tapi lama-kelamaan Nabi juga memerintahkannya. Dan pada sususnan hadist yang
ada pada masa sekarang itu tidaklah semua bersifat mutawatir dan dapat di jadikan pegangan
melainkan ada yang bersifat dho’if bahkan palsu. Maka dalam makalah ini akan di ulas
mengenai sejarah kelahiran sebuah hadist dan perkembangannya,sampai dengan hadist pada
masa sekarang. berikut macam-macamnya.
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN PENULISAN
ِلَى هللاBص َ B ْدرىِّ اَ َّن َر ُسB ِع ْي ٍد ْال ُحBار ع َْن َأبِي َس
َ ِول هللا ٍ Bا ِء ْب ِن يَ َسBBَلَ َم ع َْن َعطBَح َّد ْثنَا هَ َّدابُ بْنُ خَ ا لِ ٍد اَأل ْز ِدىُّ َح َّد ْثنَا هَ َّما ٌم ع َْن َز ْي ِد ْب ِن اَ ْس
ْ ْ
ِ َْب َعنِّى َغي َْر القُر
ُآن فَليَ ْم ُحه َ الَتَ ْكبُ ُوا َعنِّى َو َم ْن َكت:عَلي ِه َو َسلم قَا َل
Dinarasikan Abu Sa’id al- Khudri ra., Rasulullah saw. Bersabda: janganlah anda menulis
haditsku, barang siapa yang menulis haditsku walaupun secuil selain dari pada penulisan Al-
Qur’an. Maka hendaknya ia memusnahkan tulisan hadits itu (HR. Muslim).
Hadits diatas merupakan hadits shahih yang dikeluarkan imam Muslim. Maka dengan
argumentasi hadits tersebut, mereka memahami sebagai berikut:
1. Hadits nabawi itu tidak perlu, yang diperlukan hanyalah Al-Qur’an. Kalau hadits itu
diperlukan tentu nabi juga memerintah sahabat untuk menulisnya sebagaimana
penulisan Al-Qur’an.
2. Tidak perlunya hadits Nabawi didukung iformasi Al-Qur’an bahwa Nabi Muhammad
itu adalah manusia biasa seperti kita, maka logikanya bukan hanya Nabi yang
memiliki otoritas dalam menafsirkan Al-Qur’an, akan tetapi semua manusia,
termasuk kita dewasa ini mempunyai liberalitas (kebebasan) dalam memahami Al-
Qur’an.
Seperti itulah pola pemikiran mereka dalam memahami hadits- hadits Nabawi, berdalil dengan
Al-Qur’an secara sepotong.
Sekiranya hadits yang dinarasikan oleh Abu Sa’id al-Khudri yang dikeluarkan oleh imam
Muslim dinukilkan secara utuh maka redaksinya sebagai berikut:
ِلَى هللاBص َ ِول هللا َ B ْدرىِّ اَ َّن َر ُسB ِع ْي ٍد ْال ُحBار ع َْن َأبِي َس ٍ Bا ِء ْب ِن يَ َسBBَلَ َم ع َْن َعطBَح َّد ْثنَا هَ َّدابُ بْنُ خَ ا لِ ٍد اَأل ْز ِدىُّ َح َّد ْثنَا هَ َّما ٌم ع َْن َز ْي ِد ْب ِن اَ ْس
ْأ
َ َدهُ ِمنB َّو َم ْق َعBَب ُمتَ َع ِّمدًا فَ ْليَتَب
َ َذB َر َج َو َم ْن َكBو َح ُّدثِوا َعنِّ َوالَ َح ُآن فَ ْليَ ْم ُحه
ِ َْب َعنِّى َغ ْي َر ْالقُر َ الَتَ ْكبُ ُوا َعنِّى َو َم ْن َكت:عَلي ِه َو َسلم قَا َل
ار
ِ النَّ
Dinarasikan Abu Sa’id al- Khudri ra., Rasulullah saw. Bersabda: janganlah anda menulis
haditsku, barang siapa yang menulis haditsku walaupun secuil selain dari pada penulisan Al-
Qur’an. Maka hendaknya ia memusnahkan tulisan hadits itu. Sekarang, silahkan kalian menulis
haditsku tanpa ada rasa bersalah. Barang siapa yang berdusta atas nama saya maka hendaknya ia
mempersiapkan tempatnya di api neraka. (HR. Muslim)
Dengan penukilan hadits yang sempurna seperti diatas, sepertinya dapat dianalisa, kapan
atau dalam kondisi apa Nabi melarang menulis haditsnya dan dalam kondisi apa justru Nabi
menyuruh para sahabat untuk menulis haditsnya sehingga dapat diketahui, inti dari larangan
Nabi adalah dikhawatirkan terjadinya pendustaan terhadap Pribadi Nabi saw.
Seperti itu pula ketika manukil ayat Al-Qur’an, sekiranya jujur maka penukilan ayat yang utuh
(bukan sepotong) adalah berikut:
Katakanlah wahai Muhammad: Sesungguhnya saya adalah manusia biasa seperti kalian
semua, namun diwahyukan kepadaku bahwa Tuhan kalian adalah Tuhan yang Esa. Maka
barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, supaya ia beramal shalih dan
tidak menyukutukan Dia dengan sesuatu apapun dalam beribadah kepada-Nya. (QS. Al-
Kahfi:110).
Dengan demikian dapat difahami, secara kodrati memang Nabi Muhammad adalah sosok
manusia biasa seperti kita, namun yang beliau sampaikan adalah berdasar kepada wahyu.Hal
seperti inilah yang mereka sembunyikan sehingga menafikan status hadits sebagai wahyu
sebagaimana Al-Qur’an.
Disamping hadits perintah diatas, masih banyak lagi hadits-hadits perintah yang
disembunyikan oleh Yahudi. Seperti pola dakwah Nabi pada akhirnya tidak mengandalkan oral
(lisan), melainkan mengandalkan tulisan sebagaimana surat-surat dakwah Rasulullah saw.
Kepada para penguasa Romawa, Iliyah, persia, termasuk kepada para raja Najasi.
Munculnya berbagai dokumen hadits seperti naskah penyerangan kepada kaum kafir
muharib, risalah zakat, dsb.Semua itu bukti konkret hadits telah ditulis oleh banyak sahabat
walaupun masih secara individu.
Pada masa sahabat, kondisi hadits tidak banyak berkembang seperti halnya pada masa
Nabi saw. Kalau pada masa Nabi saw. Larangan penulisan hadits karena adanya kekhawatiran
terjadinya percampuran antara ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits, maka pada masa sahabat, tidak
berkembangnya penulisan hadits karena adanya kekhawatiran akan dikesampingkannya Al-
Qur’an.
Seperti diketahui, setelah meninggalnya Nabi saw. Merupakan masa transisi yang
menyisakan berbagai macam persoalan internal umat Islam, diantaranya adalah
masalahKhilafah dan belum dibukukannya Al-Qur’an.Keadaan ini sudah barang tentu
menyulitkan para sahabat sehingga belum terpikirkan secara serius untuk membukukan hadits,
Al-Qur’an saja belum dibukukan. Karena itulah, dapat dipahami bahwa pada masa kekhilafahan
Abu bakar al-shiddiq, langkah pertama adalah membukukan Al-Qur’an, kemudian baru hadits.
Meskipun kodifikasi hadits belum mendapatkan perhatian khusus dari para sahabat,
Rasulullah menaruh perhatian yang sangat besar dalam aspek pengembangan ilmu pengetahuan.
‘ajjaj al-khatib dalam bukunya Al-Sunnah qabl al- Tadwin menyebutkan tentang sikap
Rasulullah saw terhadap ilmu pengetahuan. Sikap ini sejalan denngan wahyu pertama yang
diturunkan olah Allah swt kepada beliau, yaitu surat al-alaq ayat 1-5 yang intinya adalah perintah
untuk membaca.
Diantara bentuk sikap Rasulullah saw terhadap ilmu pengetahuan adalah: seruan
Rasulullah saw untuk mencari ilmu pengetahuan, seruan Rasulullah untuk menyampaikan ilmu,
kedudukan orang yang mengajar ilmu pengetahuan (ulama’), kedudukan orang yang mencari
ilmu, dan wasiat Rasulullah saw untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan.
Penulisan hadist yang terjadi pada masa Rasulallah adalah bersifat individual.Mereka
yang telah mempunyai kemampuan menulis melakukannya sendiri-sendiri, seperti yang di
lakukan Ibn Umar. Itulah sebabnya ditemukan kesaksian dari pernyataan Abu Hurairah: Ibn
Umar telah memiliki tulisan hadits, namun saya belum mulai menulisnya. Sebagian sahabat
mengangkat juru tulis seperrti yang dilakukan oleh Abu Hurairah yang mengangkat Hammam
sebagai sekretaris pribadinya.
Dan tentunya tidak semua hadist mereka tulis, melainkan hadist-hadist yang di pandang
terlalu panjang dan spesifik. Itulah sebabnya ketika Abu bakar menginstruksikan untuk
memerangi kaum murtad, umar menginterupsikannya: menurut catatan saya, Nabi diperintah
untuk memerangi umat sampai mereka berikrar tiada tuhan selain Allah. Apabila mereka telah
mengatakannya maka terjagalah darahnya, hartanya dan harga dirinya. Maka Abu Bakar
berkomentar: catatan anda belum sempurna, kelanjutannya adalah: kecuali dengan haknya.
Hadits yang panjang-panjang pun selalu ditulis oleh para sahabat, seperti hadits tentang
ketentuan zakat yang hendak dikirim kepada Abu musa al-As’ari yang yang pada waktu itu
didelegasikan oleh Nabi ke yaman, memohon agar ketentuan zakat itu dituliskan.Maka sebelum
tulisan hadits zakat itu dikirim ke yaman oleh umar dinukil kembali untuk diarsip terlebih dahulu
sehingga Umar ibn Khattab dikenal dengan bapak pengarsipan dokumen.
Disamping itu pola dakwah Rasulullah diakhir hayatnya berubah, tidak lagi
menggunakan oral (lisan) sebagai medianya, melainkan berganti pola tulisan. Hal ini terbukti
ajakannRasulullah menuju keislaman kepada penguasa Romawi, Illayah, bizantium, persia,
Najazi dan lainnya. Atas usulan Abu Sufyan, maka surat-surat itu diberi stempel.Maka Nabi pun
minta dibuatkan stempel (khatam).
Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, periwayatan hadist tersebar secara
terbatas.Bahkan pada masa itu, Umar melarang para Sahabat untuk memperbanyak
meriwayatkan Hadist dan sebaliknya, Umar menekankan agar para Sahabat mengerahkan
perhatiannya untuk menyebarluakan Al-Qur’an.[5]
Dalam praktiknya ada dua cara meriwayatkan pada masa Sahabat tersebut :
1. Dengan lafadz asli, yakni menurut lafadz yang mereka terima langsung dan mereka hafal
benar dari Nabi SAW.
2. Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya karena tidak hafal lafadz
asli dari Nabi Saw,
Pendek kata, setelah para Sahabat mulai pandai soal tulis menulis, dan dapat membedakan
antara firman Allah dengan sanda Nabi, maka gerakan penulisan begitu marak, sehingga pada
akhirnya Nabi berwasiat: Saya tinggalkan dua tumpukan tulisan ini, yakni tumpukan tulisan Al-
Qur’an dan Hadist. Sekali lagi, pada wilayah kodifikasinya secara resmi yang berbeda. Apabila
kodifikasi berupa mushaf, memang baru terjadi pada masa khalifah Abu bakar, namun kodifikasi
hadits yang resmi menurut pendapat yang mashur tterjadi pada masa khalifah Umar ibn Abdul
Aziz (99-102 H).
Meskipun secara khusus hadits belum mendapatkan perhatian yang serius, namun kegiatan
periwayatan hadits sudah mulai berkembang meskipun dengan jumlah yang sedikit. Hal ini
karena Abu Bakar, Umar juga 2 khalifah terakhir sangat berhati-hati dalam menerima
periwayatan sahabat lain, termasuk periwayatan dari Abu Hurairah yang dalam hal periwayatan
Hadits dikenal sebagai sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits.
Sikap hati-hati ini dilakukan untuk mencegah banyak beredarnya hadits palsu unutk
kepentingan tertentu yang terjadi, khususnya pada saat mulai terjadinya friksi dalam tubuh Islam,
sejak tahun ke tujuh pada pemerintahan khalifah Utsman ibn Affan. Dengan demikian jumlah
periwayatan hadits pada masa sahabat masih sangat sedikit, meskipun tergolong banyak apabila
dibandingkan dengan jumlah penulisan hadits pada periode Nabi saw. Dapat dikatakan bahwa
hadits dalam periodeini adalah membatasi periwayatannya.
Seiring dengan program Khalifah Umar Ibn Khottob meluaskan peta dakwah Islam,
membuat pera Sahabat terpencar ke berbagai wilayah. Dan maraka para Sahabat telah
mempunyai pegangan hadist baik berupa tulisan maupun hafalan ke tempat penugasan masing-
masing.Sehingga di berbagai wilayah bermunculan Islamic Centresebagai pusat kajian Al-
Qur’an dan Hadist.
Pasca wafatnya Uamar Bin Khattab, kebijakan itu di lanjutkan oleh Khalifah Usman bin Affan
dan Ali bin Abi Thalib, sehingga untuk menguasai hadist-hadist Nabi pada waktu itu tidaklah
mudah. Seseorang harus melakukan rihlah dari berbagai wilayah untuk menemui para Sahabat
dan kader-kadernya.
Pada masa inilah lahir Ulama’ Madzhab, sehingga bukan mustahil saat di tanya suatu
persoalan , mereka belum menemukan hadist yang spesifik, dan ahirnya memberikan jawaban
dengan pendekatan ijtihad murni yang konsekwensinya bisa benar dan bisa salah. Dan seperti
yang kita tau jika pengkodifikasian muskhaf itu pada masa Khalifah Abu Bakar maka
pengkodifikasian hadist itu terealisasikan pada masa Umar bin Abdul Aziz.
Dan pada waktu itu di bawah kekuasaan Umar bin Abdul Aziz, beliau meresa perlu untuk
membukukan hadist dikarnakan para Sahabat (sisa Sahabta yang masih hidup) mulai terpencar di
berbagai wilayah kekuasaan Islam, dan tidak sedikit yang meninggal dunia. Keadaan ini
membuat Khalifa Umar bin Abdul Aziz tergerak untuk membukukan hadist.[7]
Munculnya tradisi perlawatan-perlawatan untuk mencari hadist ini sangat penting, artinya,
sebab pada masa itu sujdah mulai banyak beredar hadist palsu. Dengan demikian, pencarian yang
di lakukan bukan hanya semata-mata untuk mendapatkan hadist, tetapi juaga sekaligus untuk
menghindari terjadinya hadist palsu yang di riwayatkan oleh orang yang tidak
bertanggung;jawab. Dengan pencarian ini pula, satu riwayat di cocokan validitasnya dengan
riwayat yang lain sehingga dapat di ketahui mana hadits yang betul-betul datangnya dari Nabi
SAW. Dan mana yang bukan.Konfirmasi riwayat setidaknay berhasil untuk meminimalisir upaya
terjadinya pemalsuan hadist.
Suatu hal yang perlu dicatat dari upaya pembukuan hadits tahap awal adalah masih
tercampurnya antara hadits Nabi saw dengan berbagai fatwa sahabat dan tabi’in .hanya catatan
ibn Hazm yang secara lkhusus menghimpun hadits Nabi saw. Karena khalifah Umar ibn ‘Abdul
Aziz mennginstruksikan kepadanya untuk hanya menulis hadits.Hanya saja, sangat disayangkan
bahwa manuskrip Ibn Hazm tersebut tidak sampai kepada generasi sekarang.Namun demikian,
pada masa ini pula lahir ulama’ hadits kenamaan seperti imam malik, sufyan al-tsauri, al-
Auza’iy, al- safi’i dan lainnya.Kitab-kitab hadits yang terkenal pada abad ini diantaranya adalah:
muwatta’ karya imam malik, musnad dan mukhatalif hadits karya al syafi’i.Kitab-kitab ini terus
menjadi bahan kajian sampai sekarang.
Pada permulaan abad ke 3H, para ulama’ berusaha untuk memilah atau menyisihkan antara
hadist dengan fatwa sahabat atau tabi’in.Oleh akrna itu para ulama’ banyak yang menyusun
kitab-kitab musnad yang ebas dari fatwa para sahabat dan tabi’in.
Meskipun demikian, upaya untuk membukukan sebuah hadist dalam kibab musnad ini bukan
tanpa kelemahan.Salah satu kelemahan yang di dapat di ungkap adalh belum di sisihkannya
hadis-hadist, termasuk hadist palsu yang sengaja di sisipkan untuk kepentingan-kepentingan
golongan tertentu.
Melihat kelemahan di atas ulama’ hadist tergerak untuk menyelamatkan hadist dengan
membuat kaidah-kaidah dan syarat-syarat menilai kesahihan suatu hadist.Dengan pembuatan
kaidah-kaidah tersebut maka muncullah yang di sebut ilmu dirayah dan ilmu riwayah
hadist. Dan sebagai konsekwensinya dari upaya pemilahan hadist sahih, hasan, dhaif dan palsu
tersebut, maka di susunlah kitab-kitab himpunan khusus hadist sahih dan kitab-kitab al-Sunan.
Abad ke 3H ini lazim disebut dengan abad atau periodesasi seleksi dan penyusunan kaidah
serta syarat periwayatan hadist yang melahirkan sejumlah karya monumental dalam bidang
hadist, seperti shahih Al-Bukhori, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan At-Turmudzi,
Sunan An-Nasa’i dan lainnya.
Hal ini yang patut di cermati dari perkembangan study hadist pada abad ini adalah mulai
berkembangnya ilmu kritik terhadap para perawi hadist yang di sebut ilmu jahr wa
ta’dil. Dengan ilmu ini maka dapat di ketahui siapa perawi yang dapat di terima riwayatnya dan
siapa yang di tolak.
Kalau pada abad pertama, kedua dan ketiga hadits berturut-turut mengalami masa
periwayatan, penulisan dan penyaringan dari fatwa-fatwa para sahabat dan tabi’in, maka hadits
yang telah dibukukuan oleh para ulama’mutaqaddimin tersebut mengalami sasaran baru yakni
dihafal dan diselidiki sanadnya oleh ulama’ muta’akhkhirin.Mereka berlomba-lomba untuk
menghafal sebanyak-banyaknya hadits sehingga tidak mengherankan apabila sebagian diantara
mereka mampu menghafal beratus-ratus ribu hadits.Sejak periode inilah timbul bermacam-
macam gelar keahlian dalam ilmu hadits seperti al-hakim, al-hafidz dan sebagainya.
Usaha ulama’ pada abad selanjutnya sampai sekarang adalah pengklasifikasian hadist-
hadist yang sejenis kandungannya atau sejenis sifat-sifat isinya dalam suatu kitab. Kemudian di
lanjutkan dengan menyusun ma’ajimhadist untuk mengetahui dari kitab apa sebuah hadist itu di
temukan. Misalnya kitab Al-Jami’ As-Saghirfi Ahadist Al-Basyir Al-Nadzir karya Al-
Suyuti.Kitab itu di susun memuat hadist-hadist yang terdapat dalam kitab Al-Kutub As-
Sittah dan kitab hadist lainnya.Kedua kitab Dakhoir Al-Mawaris fi Al-Dalalah ‘ala Mawad Al-
Ahadist karya Al-Maqdisi.Didalamnaya terkumpul kitab atraf tujuh ulama’ yaitu Sahih Bukhori,
Sahih Muslim, Sunan empat danMuwatto’ Imam Malik. Dan masih banyak lagi kitab-kitab index
kecil yang lain.
Adapun kegiatan ulama’ selanjutnya ialah memberi pensyarahan dan peringkasan juga
melahirkan kamus-kamus khusus kajian hadist yang tertuang dalam salah satu di siplin keilmuan
yang biasa di sebut ilmu Gharibil hadist.denagn demikian kajian hadist telah ,itu berbagai aspek,
dari sisi sanad sampai kepada matan hadist.
A. Kesimpulan
Pentingnya untuk mengetahui lebih dalam mengenai sejarah perkembangan hadist adalah
suatu yang menjadifardhu kifayah hukumnya, di karnakan hadist adalah sumber poko’ ajaran
agama islam yang ke dua setelah Al-Qur’an. Pada mulanya Nabi memang melarang untuk
menulis hadist di karnakan rasa khawatir akan bercampurnya hadist dengan Al-Qur’an. Tapi
setelah itu Nabi pun mengizinkannya. Adapun periode-periode sejarah perkembangan hadist itu
dapat di bagi menjadi beberapa bagian yakni:
Dan dari periode-periode tersebut hadist mulai mengalami fase-fase perkembangan. Abad
pertama kedua dan ketiga hadist berturut-turut mengalami masa periwayatan, penulisan dan
penyaringan dari fatwa-fatwa para Sahabat dan Tabi’in, maka pada periode selanjutnya
perkembangan hadist mulai mengalami sasaran baru, yakni di hafal dan di selidiki sanadnya oleh
para Ulama’Muta’akhirin (Ulama’ abad ke 4 dan seterusnya). Mereka berlomba-lomba untuk
menghafal sebanyak-banyaknya hadist. Sehingga pada periode inilah muncul berbagai macam
gelar keahlian dalam ilmu hadist seperti Al-Hakim, Al-Hafidz, dan sebagainya.