DI SUSUN
0
L
E
H
1. Carca Elvareta Devi (235120028)
2. Sutria Nifah (235120216)
3. Elisa (235120020)
KELOMPOK 1
Tahun 2023
KATA PENGANTAR
Akhirul kalam, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna.
Besar harapan penulis agar pembaca berkenan memberikan umpan balik berupa kritik
dan saran. Semoga makalah ini bisa memberikan manfaat bagi berbagai pihak. Aamiin.
Penulis
Daftar Isi
A. LATAR BELAKANG
Alqur’an adalah sumber hukum islam yang pertama. Sehingga hendaknya kita
arus dapat memahami tentang kandungan di dalamnya. Al quraan adalah laksana sinar
yang memberikan penerangan kepada kehidupan manusia bagaikan pelita yang
memberikan cahaya ke arah hidayah ma’rifah oleh karena itu, kita sebagai umat islam
harus benar – benar mengetahui kandungan- kandungan yang ada di dalamnya dilihat dari
beberapa aspek. Ulumul Quran adalah salah satu jalan yang bisa membawa kita dala
memahami kandungan Al Quran.
1. Pengertian Al-Qur’an
2. Bagaimana pertumbuhan dan perkembangan Al-Qur’an?
C. TUJUAN
Banyak hal yang melatarbelakangi mengapa pada masa Rasulullah, tidak atau
belum membutuhkan pembukuan Ulumul qur’an di antaranya:
a. Mereka orang arab murni yang memiliki keistimewaan
b. Ketika mendapati kesulitan, bisa langsung bertanya kepada Rasulullah SAW
c. Alat tulis yang belum memadahi
d. Adanya larangan Rasulullah SAW menulis segala sesuatu selain Al-qur’an
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN AL-QURAN
Perbedaan ini pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua kelompok. Ada yang
menyatakan Al_Qur’an adalah isim alam (kata nama) yang tidak diambil dari kata apapun.
Menurut al-Syafi’I kata Al;Qur’an yang kemudian dima’rifatkan dengan alif lam, tidak diambil
dari kata apapun mengingat dia adalah nama khusus yang diberikan Allah untuk nama kitabnya
yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw. Semisal Zabur kepada Nabi Daud a.s., Taurat
kepada Nabi Musa a.s., dan Injil kepada Nabi Isa a.s.
Para ahli ilmu-ilmu Al-Qur’an pada umumnya berasumsi bahwa kata Qur’an diambil dari kata
qara’a-yaqra’u-qira’atan-wa-qur’anan yang secara harfiah berarti bacaan. Adapun Sejarah
pertumbuhan dan perkembangan Al-Qur’an sendiri secara global dan umum pada dasarnya
dapat ditelusuri dari empat tahapan besar yaitu : pencatatan Al-Qur’an dizaman Nabi
Muhammad saw; penghimpunan al-Qur’an di zaman Abu Bakar As-siddiq; penggandaan Al-
Qur’an di masa Utsman bin Affan; dan pencetakan Al-Qur’an pada abad ke-17 M.
Bangsa Arab tempat diturunkannya Al-Qur’an tergolong kedalam bangsa yang buta
aksara, tidak pandai membaca dan menulis. Kalaupun ad aitu hanya beberapa orwng sajq.
Bahkan nabi Muhammad Saw. Dinyatakan sebagai nabi yang ummi, yang berarti tidak
pandai membaca dan menulis.
Kendatipun bangsa Arab tergolong buta huruf dimasa awal-awal penurunan al-
Qur’an, dibalik itu mereka dikenal memiliki daya ingat (hafal) yang sangat kuat. Mereka
terbiasa menghafal syari arab dalam jumlah yang tidak sedikit atau bahkan sangat
banyak. Dan untuk ukuran waktu keunggulan seseorang dalam bidang pengetahuan justru
terletak pada mereka yng kuat hafalannya, bukan yang pandai baca tulis. Seandainya
Rasulullah adalah orang yang pandai baca tulismaka sudah dipastikan bagaimana reaksi
orang-orang Quraisy waktu itu dalam menentang kwahyuan Al-Quran.
Kekuatan daya hafal bangsa arab dalam hal ini para sahabat benar-benar
dimanfaatkan secara optimal oleh Nabi dengan memerintahkan supaya mereka menghafal
setiap kali ayat Al-Qur’an diturunkan. Sementara yang pandai menulis diperintahkan atau
minimal diperbolehkan mencatat ayat-ayat Al-Qur’an.
Sejarah menyatakan bahwa dari sekian banyaknya penulis resmi ayat-ayat Al-
Qur,an yang diterima Rasul dan kemudian disampaikan pada para sahabatnya, Zaid bin
Tsabit yang paling profesinal dalam penulisan, penghimpunan, penggandaan ayat-ayat
Al-Qur’an dengan cermat dan teliti, Zaid dan kawan-kawan selalu mencatat ayat-ayat Al-
Qur’an dan menempatkan serta mengurutkan tek sesuai dengan petunjuk Nabi.
2. Tahap Penghimpunan di Zaman Khalifah Abu Bakar as-Siddiq
Abu Bakar telah tercatat dalam sejarah sebagai orang yang pertama kali
menghimpun al-Qur’an, ‘Umar bin Khattab sebagai orang yang mempunyai inisiatif
untuk menghimpun al-Qur’an dan Zaid bin Tsabit tercatat sebagai pelaksananya. maka
disimpanlah suhuf itu oleh Abu Bakar hingga wafatnya, selanjutnya disimpan oleh ‘Umar
bin Khatthab, hingga wafatnya, dan akhirnya disimpan oleh Hafsah binti ‘Umar.
Penamaan al-Qur’an dengan mushaf itu, muncul pada masa Abu Bakar. Ibnu
Asytah meriwayatkan dalam kitabnya, al-Masahif, dari Musa bin Uqbah dari Ibnu
Syihab, dia berkata: Setelah al-Qur’an itu selesai dihimpun menjadi satu himpunan yang
teratur, berkatalah Abu Bakar: carilah nama untuk al-Qur’an itu! Lalu sebagian sahabat
mengusulkan agar diberi nama “as-Sifir”, kemudian berkatalah Abu Bakar: nama itu
ciptaan orang Yahudi.
Mereka pun tidak menyukai nama tersebut, lalu sebagian sahabat mengusulkan agar
diberi nama “al-Mushaf”. Akhirnya para sahabat bersepakat memberikan nama “al-
Mushaf”. (Subhiy as-Salih, 1972:78).
Pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan, tepat tahun 15 Hijriah, terjadi
perbedaan bacaan Alquran di kalangan umat Islam karena beragamnya lembaran mushaf
yang beredar. Kekhawatiran berupa perpecahan di antara kaum muslimin pun dirasakan
langsung oleh sang Khalifah, maka dia berkhutbah: "Kalian yang berada di dekatku saja
ikhtilaf (berbeda pendapat) tentang Alquran, membacanya dengan lahn, jadi wajar jika
orang-orang yang jauh dariku di kota-kota lain lebih parah perbedaan dan kesalahan
dalam membacanya. Berkumpullah, wahai Sahabat-Sahabat Muhammad, tulislah untuk
manusia al-imam (acuan dalam mushaf mereka)." (Jam'ul Qur-anul Karim fi ahdil
Khulafa-ir Rasyidin)
Pada zaman Utsman bin Affan tersebarlah mushaf-mushaf lain di kalangan umat
Islam, seperti mushaf Ibnu Mas'ud Radhiyallahu Anhu dan mushaf Ubay bin Ka'ab
Radhiyallahu Anhu. Perbedaan ini sesuai dengan tujuh huruf (dialek) yang Alquran
memang diturunkan demikian.
Utsman pun memerintahkan empat Sahabat dalam tugas ini, yaitu Zaid bin Tsabit,
Abdullah bin az-Zubair, Sa'id bin al-Ash, dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam
Radhiyallahu Anhum.
Mereka ditugaskan untuk menyalin mushaf pertama yang dikumpulkan pada masa
Abu Bakar menjadi beberapa mushaf. Zaid sendiri berasal dari kaum Anshar, sedangkan
tiga Sahabat terpilih lainnya adalah orang Quraisy (dari kaum Muhajirin).
Sang Khalifah sempat berpesan bahwa apabila tiga Sahabat itu berselisih paham
dengan Zaid tentang lafazh (bacaan) dalam Alquran, maka hendaknya ia ditulis dengan
dialek Quraisy. Maka mereka segera melaksanakan perintah tersebut hingga selesai. Lalu
Amirul Mukminin mengirimkan mushaf-mushaf salinannya ke beberapa wilayah Islam.
Hingga akhirnya bersatulah kaum muslimin di atas mushaf utsmani hingga kini. (Syarh
Muqaddimah Jazariyah)
Cetakan Hanburg
Pencetakan al-Qur’an berikutnya adalah pada tahun 1694 di Hamburg oleh
Abraham Hinckelmann (1652-1695), seorang Kepala Pastur yang mendapat pendidikan
istimewa di Oriental Studies di Wittenberg dari 1668-1672. Pendidikan ini yang
membawanya pada kegiatan mengumpulkan manuskrip-manuskrip al-Qur’an hingga
kemudian berhasil menerbitkan teks al-Qur’an dengan judul Alcoranus s. Lex Islamitica
Muhammadis, filii Abdallae pseudoprophetae. Cetakan ini tidak menyertakan terjemahan,
hanya dilengkapi kata pengantar berbahasa Latin. Cetakan ini merupakan cetakan al-
Qur’an pertama yang dilengkapi dengan tanda baca, tanda huruf dan penomoran ayat.
Cetakan St. Petersburg
Lama berselang, pada tahun 1787 baru muncul lagi cetakan al-Qur’an di St.
Petersburg di bawah instruksi Ratu Rusia, Tsarina Catherine II (w. 1796). Pencetakan ini
dalam rangka sikap toleransi keagamaan Ratu Tsarina pada keturunan Muslim Turki agar
mudah mengakses kitab suci mereka, karena pada masa ini Rusia yang menguasai
sejumlah wilayah Turki setelah terjadinya perang Rusia-Turki (1768-1774). Al-Quran
cetakan ini di-tahqiq oleh sarjana-sarjana Islam dan disertai kutipan-kutipan keterangan
dari kitab tafsir. Kemudian edisi ini dicetak lagi pada tahun 1789, 1790, 1793, 1796 dan
1798. Pada tahun 1905 al-Qur’an dicetak lagi di sini dengan format yang lebih bagus,
menggunakan khat Kufi (dikatakan hampir mirip dengan al-Qur’an yang dimiliki
khalifah Usman) untuk dipresentasikan pada para pejabat.
Tidak hanya itu, sebagai jaminan, pada tahun 1786/1787 di St. Petersbug didirikan seni
cetak Tatar dan Turki dan sebagai penanggung jawabnya, ditunjuklah Sarjana domestik,
Mullah Osman Ismail. Salah satu produk yang pertama kali dicetak adalah al-Qur’an.
Cetakan Leipzig
Leipzig juga mencatatkan namanya dalam perjalanan pencetakan al-Qur’an.
tepatnya pada tahun 1834, al-Qur’an dicetak dan diterjemahkan oleh orientalis Jerman,
Gustav Flugel (1802-1870) dengan judul Corani texn Arabicus. Tahun ini merupakan
peristiwa penting dalam kajian Islam di Eropa, karena edisi Flugel ini dianggap yang
paling baik dari sebelum-sebelumnya, cetakan ini pun kemudian banyak dijadikan
rujukan oleh sarjana-sarjana Barat hinga abad 20. Selain itu, cetakan ini juga banyak
yang sudah menyebar secara luas di dunia Islam setelah Perang Dunia I, meski orang-
orang Islam menilai adanya ketidak sesuaian dengan al-Qur’an yang digunakan umat
Islam pada umumnya, terutama pada penomoran surat. Edisi ini dicetak lagi pada tahun
1841, 1855, 1867, 1870, 1881 dan 1893. Beberapa tahun kemudian, Flugel juga
menerbitkan concordance of the Qur’an (indeks al-Qur’an) yang merupakan kontribusi
yang sangat besar bagi kajian keislaman.
Cetakan Mesir
Pencetakan al-Qur’an di Mesir dilaksanakan pada tahun 1923 dan diterbitkan pada
10 Juli 1924 M. (7 Dzul Hijjah 1342 H.) di Kairo. Cetakan Mesir ini merupakan agenda
dari pemerintahan yang kemudian menunjuk Muhammad b. ‘Ali al-Husayni al-Haddad
sebagai ketua panitia. Edisi ini dicetak lagi kemudian pada tahun 1936 yang populer
dengan edisi Faruq yang ketika itu menjadi Raja. Pencetakan ini juga difokuskan pada
keseragaman qira’at, yaitu Hafsh yang diriwayatkan dari ‘Ashim. Edisi ini kemudian
menyebar luas di dunia Islam dan sedikit demi sedikit menggantikan edisi Flugel di
kalangan akademisi. Adapun Arab Saudi mulai mencetak al-Qur’an pada tahun 1970-an.
Hasil cetakannya kemudian disebar luaskan ke seluruh dunia. Cetakan Mesir dan Arab
Saudi ini telah berhasil melakukan standarisasi final bagi al-Qur’an.
Cetakan Indonesia
Di Indonesia,, mushaf al-Qur’an cetakan tertua berasal dari Palembang, yaitu
produk cetak batu Haji Muhammad Azhari bin Kemas Haji Abdullah yang selesai dicetak
pada 21 Ramadlan 1264 H. (21 Agustus 1848 M.). cetakan ini sekaligus menjadi cetakan
al-Qur’an tertua di Asia Tenggara. Tinggalan yang sampai saat ini hanya ada pada koleksi
Abd Azim Amin. Azhari juga memproduksi cetakan al-Qur’an lagi enam tahun kemudian
(1270/1854) yang sekarang dimungkinkan ada dalam koleksi Perpustakaan Nasional RI.
Ada juga yang mengatakan bahwa yang mencetak adalah Ibrahim bin Husain di
toko percetakan milik Muhammad Azhari di Palembang. Versi lain mengatakan berbeda,
pencetakan al-Qur’an di Indonesia dimulai sekitar tahun 1950 oleh penerbit Salim
Nabhan dari Surabaya (berdiri pada tahun 1904) dan Afif dari Cirebon. Sebelum
mencetak al-Qur’an penerbit Salim adalah pemasok buku-buku berbahasa Arab
BAB II
PENUTUP
C. KESIMPULAN