Anda di halaman 1dari 23

PENGANTAR HUKUM INDONESIA

TENTANG :
RASM AL-QUR’AN
Disusun oleh:
Amri Firman Tomi(2032022018)
Alif Dziaullhaq(2032022003)
Muhammad Haikal Tawakal(2032022025)
Dosen Pembimbing:
Dr. ZULFIKAR, MA

FAKULTAS SYARIAH
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA
INSITUT AGAMA ISLAM NEGERI LANGSA
2022/2023
KATA PENGANTAR

‫الر حمن حي˚م‬ ‫س ِم‬


‫الر‬
Segala puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah swt. karena
berkat rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya sehingga karya ilmiah (makalah) ini dapat
diselesaikan. Shalawat dan salam penulis kirimkan kepada junjungan Nabi
Muhammad saw., keluarga beliau, para sahabat, dan tabi’in yang telah
memperjuangkan agama Islam.
Penulis menyadari bahwa di dalam penyusunan makalah ini, penulis
mengalami berbagai macam hambatan dan rintangan. Akan tetapi, berkat bantuan dan
kerja sama dengan teman-teman, makalah ini dapat terselesaikan, namun masih jauh
dari kesempurnaan. Dengan segala kerendahan hati, penulis sangat menyadari
bahwa makalah masih sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun dari pembaca yang budiman sangat penulis harapkan
demi perbaikan dan kesempurnaan karya ilmiah selanjutnya. Semoga karya ilmiah
ini dapat bermanfaat bagi pengembangan wacana keilmuan kita semua,
khususnya bagi penulis sendiri dan mahasiswa pada umumnya.
Āmin Yā Rabb al-‘Ālamin....

Langsa, 16 November 2022

Penulis
Kelompok 8

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i

KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii

DAFTAR ISI ..................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1-2

A. Latar Belakang ............................................................................ 1


B. Rumusan Masalah ....................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN......................................................................................3-16

A. Definisi Rasm Al-Qur’an............................................................. 3

B. Sejarah Singkat Perkembangan Rasm Al-Qur’an ......................... 4

C. Kaidah-kaidah Penulisan Al-Qur’an ............................................ 8

D. Kedudukan Rasm Al-Qur’an................................................................13

BAB III PENUTUP..............................................................................................17-18

A. Kesimpulan..........................................................................................17

B. Implikasi..............................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................19

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an sebagai kitab suci terakhir di maksutkan untuk menjadi petunjuk,


bukan saja bagi anggota masyarakat tempat kitab ini diturunkan, tetapi juga bagi
seluruh masyarakat manusia hingga akhir zaman.
Al-Qur’an juga merupakan salah satu sumber hokum islam yang menduduki
peringkat teratas. Dan seluruh ayatnya berstatus qat’I al-Qurud yang diyakini
eksistensinya sebagai wahyu dari Allah swt. Dengan demikian, autentitas al-Qur’an
benar-benar dapat di pertanggung jawabkan, karena ia merupakan wahyu Allah baik
dari segi lafadz maupun dari segi maknanya.
Sejak awal hingga akhir turunnya, seluruh ayat al-Qur’an telah ditulis dan
didokumentasikan oleh para juru tulis wahyu yang ditunjuk oleh rasulullah saw.
Disamping itu seluruh ayat-ayat al-Qur’an dinukilkan atau diriwayatkan secara
mutawatir baik secara hafalan maupun tulisan. Dalam pada itu, al-Qur’an sebagai
yang dimiliki umat Islam sekarang, ternyata telah mengalami proses sejarah yang
cukup unik dalam upaya penulisan dan pembukuannya. Pada masa Nabi saw, al-
Qur’an belum ditulis dan dibukukan dalam satu mushaf. Ia baru ditulis pada
kepingan-kepingan tulang, pelepah-pelepah kurma, dan batu-batu sesuai dengan
kondisi peradaban masyarakat waktu itu yang belum mengenal adanya alat tulis
menulis seperti kertas. 1

1
Djamilah Usup, “Ilmu Rasm Al-Qur’an”, Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah, vol. 5 no. 1 (2007), h. 1.
http://journal.iain-manado.ac.id/index.php/JIS/article/view/229/202 (Diakses 1 Mei 2018).

1
2

Untuk mengfungsikan al-Qur’an dan memahami isi serta kandungan maka

diperlukan suatu ilmu yang terkait. Salah satunya adalah ilmu rasm al-Qur’an.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijelaskan sebelumnya, penulis


dapat merumuskan masalah dalam penulisan makalah ini yaitu sebagai berikut.
1. Bagaimana Definisi Rasm Al-Qur’an ?

2. Sejarah Singkat Perkembangan Rasm Al-Qur’an ?

3. Kedudukan Rasm Al-Qur’an ?

4. Kaidah Ras’m Al-qur’an


BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Rasm Al-Qur’an

Secara bahasa rasm berarti gambar atau tulisan. Secara istilah rasm al-
Qur’an adalah tata cara menuliskan huruf dan kalimat al-Qur’an sesuai dengan
metode yang ditetapkan dalam mushaf utsmani pada masa khalifah Utsman bin
Affan. Istilah rasm al-Quran juga diartikan sebagai pola penulisan al-Qur’an yang
digunakan Utsman bin Affan dan empat sahabat ketika menulis dan membukukan
al-Qur’an.1
Rasm al-Qur’an berarti cara atau kaidah-kaidah penulisan huruf-huruf dari
kata-kata al-Qur’an yang disetujui khalifah Utsman bin Affan dan dipedomani
oleh tim penyalin Al-Qur’an yang dibentuknya dan terdiri atas Zaid ibn Tsabit,
‘Abdullah ibn al-Zubair, Sa’id ibn al-‘Ash, dan ‘Abd al-Rahman ibn al-Harits ibn
Hisyam.2
Zaid bin Tsabit bersama tiga orang Quraisy telah menempuh suatu metode
khusus dalam penulisan al-Qur’an yang disetujui oleh Utsman. Para ulama
menamakan metode tersebut dengan Ar-Rasm Al-‘Utsmani lil Mushaf (penulisan
mushaf Utsmani), suatu nama yang dinisbatkan kepada Utsman.3
Rasm al-Qur’an adalah tata cara menulis al-Qur’an yang ditetapkan pada
masa khalifah Utsman bin Affan. Mushaf Utsman ditulis dengan kaidah-kaidah
tertentu.4

Anshori, Ulumul Qur’an: Kaidah-kaidah Memahami Firman Tuhan (Cet. III; Jakarta:
1

Rajawali Pers, 2016), h. 155.


2
Ramli Abdul Wahid, Ulumul Qur’an I (Cet. IV; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002),
h. 29.
Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an (Cet. VI; Jakarta: Pustaka
3

Al-Kautsar, 2011), h. 182.


4
Acep Hermawan, Ulumul Qur’an (Cet. III; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2016), h. 94.

3
4

Berdasarkan beberapa definisi yang telah dijelaskan sebelumnya dapat


dipahami bahwa rasm al-Qur’an adalah tata cara penulisan kalimat-kalimat dan
huruf-huruf al-Qur’an yang dilakukan oleh para sahabat sesuai dengan kaidah-
kaidah yang disetujui oleh khalifah Utsman bin Affan.

B. Sejarah Singkat Perkembangan Rasm Al-Qur’an

Pada mulanya mushaf para sahabat yang berbeda antara satu dengan yang
lainnya mereka mencatat wahyu al-Qur’an tanpa pola penulisan standar, karena
umumnya dimaksudkan hanya untuk kebutuhan pribadi, tidak direncanakan akan
diwariskan kepada generasi sesudahnya.
Pada zaman Nabi saw., al-Qur’an ditulis pada benda-benda sederhana,
seperti kepingan-kepingan batu, tulang-tulang kulit unta dan pelepah kurma.
Tulisan al-Qur’an ini masih terpencar-pencar dan belum terhimpun dalam sebuah
mushaf dan disimpan di rumah Nabi saw.. Penulisan ini bertujuan untuk
membantu memelihara keutuhan dan kemurnian al-Qur’an.
Pada zaman Abu Bakar, al-Qur’an yang terpencar-pencar itu di salin
kedalam shuhuf (lembaran-lembaran). Penghimpunan al-Qur’an ini dilakukan
Abu Bakar setelah menerima usul dari Umar ibn al-Kattab yang khawatir akan
semakin hilangnya para penghafal al-Qur’an sebagaimana yang terjadi pada
perang yamamah yang menyebabkan gugurnya 70 orang penghafal al-Qur’an.
Karena itu, tujuan pokok dalam penyalinan al-Qur’an di zaman Abu Bakar masih
dalam rangka pemeliharaan agar jangan sampai ada yang terluput dari al-Qur’an.5
Sepeninggal Abu Bakar, estafet pemerintahan beralih kepada Umar bin
Khattab, pada periode inilah mushaf zaman Khalifah Abu Bakar disalin dalam
lembaran (shahifah). Umar tidak menggandakan lagi shahifah yang ada, karena

55
Djamilah Usup, “Ilmu Rasm Al-Qur’an”, Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah, vol. 5 no. 1 (2007),
h. 2-3. http://journal.iain-manado.ac.id/index.php/JIS/article/view/229/202 (Diakses 1 Mei 2018).
5

motif awalnya memang dipergunakan sebagai naskah asli (original), bukan


sebagai naskah hafalan. Setelah semua rangkaian naskah selesai, naskah tersebut
diserahkan kepada Hafshah, istri Rasulullah untuk disimpan. Pertimbangannya,
selain istri Rasulullah, Hafshah juga dikenal sebagai orang yang pandai membaca
dan menulis.6
Pada zaman khalifah Utsman bin Affan, al-Qur’an disalin lagi ke dalam
beberapa naskah. Untuk melakukan pekerjaan ini, Utsman membentuk tim 4 yang
terdiri dari Zaid bin Tsabit, Abdullah Ibn Az-Zubair, Saad Ibn al-Ash, dan Abd al-
Rahman Abd al-harits. Dalam kerja penyalinan al-Qur’an ini mereka mengikuti
ketentuan-ketentuan yang disetujui oleh Khalifah Utsman. Di antara ketentuan-
ketentuan itu adalah bahwa mereka menyalin ayat berdasarkan riwayat mutawatir,
mengabaikan ayat-ayat mansukh dan tidak diyakini dibaca kembali di masa hidup
Nabi saw. Tulisannya secara maksimal maupun diakomodasi ira’at yang berbeda-
beda, dan menghilangkan semua tulisan sahabat yang tidak termasuk ayat al-
Qur’an. Para penulis dan para sahabat setuju dengan tulisan yang mereka gunakan
ini. Para ulama menyebut cara penulisannya ini sebagai rasm al-Mushaf. Karena
cara penulisan disetujui oleh Utsman sehingga sering pula dibangsakan oleh
Utsman. Sehingga mereka sebut rasm Utsmani atau rasm al-Utsmani. Namun
demikian pengertian rasm ini terbatas pada mushaf oleh tim 4 di zaman Utsman
dan tidak mencakup rasm Abu Bakar pada zaman Nabi saw. Bahkan, Khalifah
Utsman membakar salinan-salinan mushaf tim 4 karena khawatir akan beredarnya
dan menimbulkan perselisihan di kalangan umat Islam. Hal ini nanti membuka

6
Zainal Arifin Madzkur, “Urgensi Rasm Utsmani”, Jurnal Khatulistiwa, vol. 1 no. 1
(Maret 2011), h. 18. http://jurnaliainpontianak.or.id/index.php/khatulistiwa/article/download
/176/138 (Diakses 1 Mei 2018).
6

peluang bagi ulama kemudian untuk berbeda pendapat tentang kewajiban


mengikuti rasm Utsmani..7
Pada zaman Ali bin Abi Thalib terjadi proses perbaikan rasm Utsmani,
karena seperti yang kita ketahui mushaf atau rasm Utsmani tidak memakai tanda
baca titik dan harakat, karena semata-mata didasarkan atas karakter pembacaan
orang-orang Arab yang masih murni, sehingga mereka tidak memerlukan syakal
dengan harakat dan pemberian titik. Ketika bahasa Arab mulai mengalami
kerusakan karena banyaknya percampuran (dengan bahasa non Arab) maka para
penguasa menganggap pentingnya ada formasi penulisan mushaf dengan harakat,
titik dan lain-lain yang dapat membantu pembacaan yang benar.8
Orang pertama yang melakukan hal itu adalah Abul Aswad Adalah-Duali
atas permintaan Ali bin Abi Thalib. Diriwayatkan, konon abul Aswad Adalah-
Duali mendengar seorang qari membaca firman Allah swt.
7

Perbaikan rasm Mushaf itu berjalan secara bertahap. Pada mulanya syakal
berupa titik. Kemudian terjadi perubahan penentuan harakat yang berasal dari
huruf, dan itulah yang dilakukan oleh al-Khalil. Perubahan itu ialah fathah berupa
tanda garis bujur di atas huruf, kasrah berupa tanda garis bujur di bawah huruf,
dhammah dengan wawu kecil di atas huruf dan tanwin dengan tambahan tanda
serupa. Alif yang dihilangkan dan diganti, pada tempatnya dituliskan dengan
warna merah. Hamzah yang dihilangkan dituliskan berupa hamzah dengan warna
merah tanpa huruf. Pada nun dan tanwin sebelum huruf ba diberi tanda iqlab
berwarna merah. Sedang nun dan tanwin sebelum huruf tekak (halaq) diberi tanda
sukun dengan warna merah. Nun dan tanwin tidak diberi tanda apa-apa ketika
idgham dan ikhfa’. Setiap huruf yang harus dibaca sukun (mati) diberi tanda sukun
dan huruf yang diidghamkan tidak diberi tanda sukun tetapi huruf yang
sesudahnya diberi tanda syaddah; kecuali huruf ta sebelum tha maka sukun tetap
dituliskan.11
8

Kemudian pada abad ketiga Hijriah terjadi perbaikan dan penyempurnaan


rasm Mushaf. Dan orang pun berlomba-lomba memilih bentuk tulisan yang baik
dan menemukan tanda-tanda yang khas. Mereka memberikan untuk huruf yang
disyaddah sebuah tanda seperti busur. Sedang untuk alif wasal diberi lekuk di
atasnya, di bawahnya atau di tengahnya sesuai dengan harakat sebelumnya;
fathah, kasrah atau dhammah.12
Berdasarkan sejarah perkembangan yang diuraikan sebelumnya dapat
dipahami bahwa seiring perkembangan zaman terjadi perbaikan-perbaikan untuk
mencapai kesempurnaan dari penulisan al-Qur’an agar tidak terjadi kekeliruan
pada saat membaca al-Qur’an.

C. Kedudukan Rasm Al-Qur’an

Para ulama berbeda pendapat tentang status atau kedudukan rasm al-
Qurán atau rasm Utsmani. Perdebatan para ulama tentang ini adalah seputar
hukum rasm al-Qur’an ini apakah dapat dihukumkan tauqifi, yaitu diajarkan
langsung oleh Rasulullah saw., atau ini adalah hasil ijtihad para sahabat terdahulu.
Perbedaan pendapat para ulama ini dibagi kepada tiga golongan antara lain.
1. Golongan Pertama

Para ulama yang mengakui bahwa rasm Utsmani itu bersifat tauqifi
berpendapat, wajib mengikuti rasm Utsmani dalam penulisan al-Qur’an dan tidak
dibolehkan menyalahinya. Pendapat ini diikuti oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan
Imam Malik, keduanya mengharamkan penulisan al-Qur’an dengan selain rasm
Utsmani.22
Mereka menyebutkan, Nabi pernah mengatakan pada Muawiyah, salah
seorang penulis wahyu, “goreskan tinta, tegakkan huruf ya’, bedakan sin, jangan
kamu miringkan mim, baguskan tulisan lafal Allah, panjangkan Ar-Rahman,
baguskan Ar-Rahim dan letakkan penamu pada telinga kirimu, karena yang
demikian akan lebih dapat mengingatkan kamu”.23

Acep Hermawan, Ulumul Qur’an, h. 97.


21
9
Anshori, Ulumul Qur’an: Kaidah-kaidah Memahami Firman Tuhan, h. 163.
22

Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, h. 182-183.


23
10

Rasm Utsmani mendapatkan hal-hal yang masing-masing pantas dihargai


dan wajib diikuti. Hal itu adalah pengakuan Rasulullah saw. terhadapnya, perintah
beliau dengan menggunakan undang-undang, kesepakatan sahabat yang
jumlahnya lebih dari dua belas ribu orang dan kesepakatan umat setelah itu pada
masa tabiin dan para imam mujtahid.24
2. Golongan Kedua

Para ulama yang menyatakan rasm Utsmani itu bukan tauqifi tentu mereka
membolehkan penulisan al-Qurán dengan selain rasm Utsmani.25 Banyak ulama
berpendapat bahwa rasm Utsmani bukan tauqifi dari Nabi, tetapi hanya
merupakan satu cara penulisan yang disetujui Utsman dan diterima umat dengan
baik, sehingga menjadi suatu keharusan yang wajib dijadikan pegangan dan tidak
boleh dilanggar.26
Beberapa argumentasi yang dikemukakan perihal rasm Utsmani bukan
tauqifi antara lain:
a. Tidak satupun dari dalil al-Qur’an maupun hadis yang secara eksplisit
mengatur penulisan al-Qur’an dengan metode-metode tertentu, yang ada justru
sebaliknya, al-Qur’an boleh ditulis dengan skrip manapun yang memudahkan.
b. Kondisi kebudayaan bangsa Arab awal Islam masih dalam fase-fase peralihan,
artinya budaya tulis-menulis belumlah mencapai puncak kulminasinya. Hal ini
terlihat dari banyakya para sahabat yang tidak memiliki kecakapan menulis

24
Syeikh Muhammad Abdul Adzim al-Zarqani, Manahil Al-‘Urfan Fi Ulum Al-Qur’an
(Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), h. 392.
Anshori, Ulumul Qur’an: Kaidah-kaidah Memahami Firman Tuhan, h. 163.
25

Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, h. 184.


26
11

(ummi) dan hampir mayoritas umat Islam mempelajari al-Qur’an dengan cara

menghafalnya (sima’i).27

Secara teori, pendapat yang dibidani oleh Abdurrahman Ibn Khaldun, Abu
Bakar al-Baqillani dapat diterima dan dibenarkan. Akan tetapi persoalannya
adalah teks yang dimaksudkan telah menyatu dan terintegrasi dengan al-Qur’an,
ia menjadi bagian integral dari suatu teks suci. Artinya, dalam konteks penulisan
teks-teks Arab umum tentu tidak ada masalah dan sah-sah saja, namun bila
pendapat ini diekspor tanpa batas, sehingga orang dengan semaunya sendiri
menuliskan al-Qur’an dengan skrip apapun yang ia kehendaki, maka akan
berakibat cukup serius. Skrip tulisan al-Qur’an akan dengan mudah berubah dan
berganti edisi dalam tiap generasi seiring perkembangan zaman. Lambat laun,
kandungan al-Qur’an yang terintegrasi dalam teks akan muncul sebagai sebuah
kitab suci yang tidak lagi sakral, tak ubahnya seperti buku-buku cetak pada
umumnya yang mudah direvisi dalam setiap edisi.28
Berdasarkan uraian mengenai pendapat rasm Utsmani tidak tauqifi dapat
dipahami bahwa pendapat mereka lebih cenderung kepada penulisan al-Qur’an
bebas dengan mengikuti kaidah Arab secara umum tanpa harus terikat dengan
rasm Utsmani.
3. Golongan Ketiga

Golongan ini mengatakan, bahwa al-Qur’an adalah bacaan umum, harus


ditulis menurut kaidah arabiyyah dan sharfiyah, akan tetapi harus senantiasa ada
Mushaf al-Qur’an yang ditulis dengan khat rasm Utsmani sebagai barang penting
yang harus dipelihara, dijaga dan dilestarikan. Pendapat ini oleh Abu Muhammad

27
Zainal Arifin Madzkur, “Legalisasi Rasm Utsmani dalam Penulisan al-Qur’an”, Journal
of Qur’an and Hadith Studies, vol. 1 no. 2. (2012), h. 223-224. http://journal.uinjkt.ac.id/
index.php/journal-of-quran-and-hadith/article/download/1325/1178 (Diakses 1 Mei 2018).
28
Zainal Arifin Madzkur, “Legalisasi Rasm Utsmani dalam Penulisan al-Qur’an”, Journal
of Qur’an and Hadith Studies, vol. 1 no. 2. (2012), h. 224.
12

al-Maliki disebutnya sebagai pendapat moderat (ra‟yu wasthin), dipelopori oleh


Syaikh Izzudin bin Abdussalam, kemudian diikuti oleh pengarang kitab al-
Burhandan al-Tibyan. Kemudian diikuti oleh Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah dan al-
Azarqani.29

pendapat ketiga ini lebih moderat dan lebih sesuai dengan kondisi umat.
Memang tidak ditemukan nash ditemukan nash yang jelas diwajibkan penulisan
al-Qur’an dengan rasm Utsmani. Namun demikian, kesepakatan para penulis al-
Qur’an dengan rasm Utsmani harus diindahkan dalam pengertian menjadikannya
sebagai rujukan yang keberadaannya tidak boleh hilang dari masyarakat Islam.
Sementara jumlah umat islam dewasa ini cukup besar dan tidak menguasai rasm
Utsmani. Bahkan, tidak sedikit jumlah umat Islam yang tidak mampu membaca
aksara arab. Mereka membutuhkan tulisan lain untuk membantu mereka agar
membaca ayat-ayat al-Qur’an, seperti tulisan latin. Namun demikian, al-Qur’an
dengan rasm Utsmani harus dipelihara sebagai standar rujukan ketika dibutuhkan.
Demikian juga tulisan ayat-ayat al-Qur’an dalam karya ilmiah, rasm Utsmani
mutlak diharuskan karena statusnya sudah masuk dalam kategori rujukan dan
penulisannya tidak mempunyai alasan untuk mengabaikannya.30
Berdasarkan hal tersebut dapat dipahami bahwa penulisan al-Qur’an pada
pendapat ini lebih kepada bagaimana yang termudah bagi pembaca tapi rasm
Utsmani harus tetap dipelihara sebagai standar rujukan ketika dibutuhkan.
Dari ketiga pendapat di atas penulis lebih cenderung menyatakan, bahwa
untuk penulisan al-Qur’an secara utuh sebagai kitab suci umat Islam, mesti

Zainal Arifin Madzkur, “Urgensi Rasm Utsmani”, Jurnal Khatulistiwa, vol. 1 no. 1
29

(Maret 2011), h. 22.


Djamilah Usup, “Ilmu Rasm Al-Qur’an”, Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah, vol. 5 no. 1 (2007),
30

h. 5-6.
13
mengikuti dan berpedoman kepada rasm Utsmani, hal ini mengingat pertimbangan-
pertimbangan sebagai berikut:
1. Agar umat Islam diseluruh dunia memiliki kitab suci yang seragam dalam pola
penulisannya, sesuai dengan pedoman aslinya.
2. Pola penulisan al-Qur’an dengan rasm Utsmani, kalaupun tidak bersifat taufiqi
minimal telah merupakan ijma’ atau kesepakatan para sahabat Nabi. Ijla’
sahabat memiliki kekuatan hokum tersebut yang wajib diikuti, termasuk dalam
penulisan al-Qur’an dengan rasm Utsmani (bila dimaksudkan sebagai kitab suci
secara utuh).

D. Kaidah Ras’m Al-qur’an

I. Kaidah-kaidah rasm Usmani

Mushaf Usmani ditulis menurut kaidah-kaidah tulisan tertentu yang berbeda dengan
kaidah tulisah imlak. Para ulama merumuskan kaidah-kaidah tersebut menjadi enam istilah.12

1). Kaidah Buang (al-Hadzf).

a. Membuang atau menghilangkan huruf alif:

1. dari ya nida (ya seru)

2. dari ha tanbi (ha menarik perhatian)

3. dari kata na,

12
Muhammad Ibnu Abdillah Al-Zarqazi, al-Burhan fi Ulum Ai-Qur’an, (Jilid I, Cairo: Maktabah: Isla al-babi al-
Halabi wa syirkah, 1972), h.376-403.
4. dari lafal Allah 14

5. dari dua kata “Arrohman” dan sabbihun

6. sesudah huruf lam

7. Dari semua bentuk musanna (dual)

8. dari semua bentuk jamak shahih, baik muzakkir maupun muannas

9. dari semua bentuk jamak yang setimbang

10. Dari semua kata bilangan

11. Dari basmalah

b. Membuang huruf “ya”

Huruf ya dibuang dari setiap manqushah munawwan, baik berbaris raf maupun jar

a. Membuang huruf waw


Huruf waw dibuang apabila bergandengan dengan waw juga

d. membuang huruf lam

2). Kaidah Penambahan (al-Ziyadah)

Penambahan (al-ziyadah) disini berarti penambahan huruf alif atau ya atau hamza
pada kata-kata tertentu.

a. Penambahan huruf alif


1. sesudah waw apda akhir setiap isim jama’ kata benda berbentuk jamak atau
mempunya hokum jamak
2. Penambahan huruf alif sesudah hamza (hamza yang ditulis di atas rumah
waw)
b. Penambahan huruf ya

3. Kaidah Hamzah (al-Hamzah)


Apabilah hamzah berharakat (berbaris) sukun (tanda mati), maka tulis dengan huruf
15
berharakat yang sebelumnya, kecuali pada beberapa keadaan.
Adapun hamzah yang berharakat, maka jika ia berada diawal kata dan bersambung
dengan hamah tersebut tambahan, mutlak harus ditulis dengan alif dalam keadaan berharakat
fathah atau kasrah
Adapun jika hamzah terletak ditengah, maka ia ditulis sesuai dengan huruf
harakatnya. Kalau fathah dengan alif, kalau kasrah dengan ya dan kalau Dhammah dengan
waw. Tetapi, apabila huruf yangsebelum hamzah itu sukun, maka tidak ada tambahan.
Namun , diluar tersebut ini kata yang di kecualikan.

4. Kaidah Penggantian (al_Badal)


Dalam surah al-Baqarah, al-A’raf, Hud, Maryam, Al’Rum, dan al-Zurhur. Dan kata
ta’nis ditulis dengan kata maftuhah pada kata yang terdapat dalam Surah Al-Baqarah, Ali
Imran, Al-Maidah, Ibrahim, Al-Nahl, Lukman, Fathir, dan Al-Thur demikian juga yang
terdapat pada surah al-Mujadalah.

5. Kaidah Sambung dan Pisah (washl dan fashl)


Washl berarti menyambung, disini washl dimaksutkan metode penyambungkan kata
yang mengakibatkan hilang atau dibuangnya huruf tertentu seperti antara lain
a. Bila an dengan harakat fatha pada hamzanya disusun dengan la, maka
penulisannya bersambung dengan menghilangkan huruf nun, tidak ditulis.
b. Min yang disusun dengan man ditulis bersambung dengan menghilangkan huruf
nun sehingga menjadi mimman, bukan min man.

6. Kata yang bisa dibaca dua bunyi


Satu kata yang boleh dibaca dengan dua cara dalam bahasa Arab penulisannya
disesuaikan dengan salah satu bunyinya. Didalam mushaf Usmani penulisan kata semacam
itu ditulis dengan menghilangkan alif, seperti pada kalimat maliki yaumiddin yakhdaunallah,
ayat-ayat ini boleh dibaca dengan menetapkan alif (madd) dan boleh dengan suara tanpa alif
sehingga bunyinya pendek.13

I. Faedah penulisan Al-Qur’an dengan rasm Usmani

13
Al-Zakqani, MNuhammad Abd al-Azim, op,cit (jilit I). h.369-373
16
Rasm Usmani memiliki beberapa faedah sebagai berikut:

1. Memilihara dan melestarikan penulisan al-Qur’an sesuai dengan pola


penulisan
al-Qur’an pada alaw penulisan dan pembukuannya.
2. Memberi kemungkinan pada lafaz yang sama untuk dibaca dengan versi
qira’at,
seperti dalam firman Allah swt. Dalam Qs.2:7
3. Kemungkinan dapat menunjukan makna atau maksut yang tersembunyi,
dalam ayat-ayat tertentu yang penulisannya menyalahi rasm imla’I seperti
dalam firman Allah SWT Qs.:51:47
4. Kemungkinan dapat menunjukan keaslian harakat (syakal) suatu lafaz.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya,


penulis dapat memberikan kesimpulan bahwa:
1. Rasm al-Qur’an adalah tata cara penulisan kalimat-kalimat dan huruf-
huruf al-Qur’an yang dilakukan oleh para sahabat sesuai dengan kaidah-
kaidah yang disetujui oleh khalifah Utsman bin Affan.
2. Sejarah rasm al-Qur’an dari masa ke masa mengalami perkembangan
yang signifikan. Mulai dari masa atau zaman Rasulullah saw. sampai
dengan sekarang ini. Pada masa rasulullah ayat ayat al-Qur’an al-Qur’an
ditulis pada benda-benda sederhana, seperti kepingan-kepingan batu,
tulang-tulang kulit unta dan pelepah kurma. Tulisan al-Qur’an ini masih
terpencar-pencar dan belum terhimpun dalam sebuah mushaf. Pada masa
khalifah Abu Bakar, al-Qur’an di zaman Abu Bakar masih dalam rangka
pemeliharaan agar jangan sampai ada yang terluput dari al-Qur’an. Pada
masa khalifah Umar bin Khattab, hanya meneruskan bagaimana
pemeliharaan al-Qur’an pada masa Khalifah Abu bakar yaitu dengan
menjaga al-Qur’an dengan memberikan tugas kepada Hafshah untuk
menyimpannya. Pada masa Utsman bin Affan, penulisan al-Qur’an ditulis
dalam satu mushaf untuk mengatasi perbedaan logat bacaan yang
dilakukan oleh umat Islam yang sudah menyebar di beberapa daerah di
luar Arab. Pada masa Ali bin Abi Thalib terjadi perbaikan Al-Qur’an
dengan pemberian harakat-harakat pada tulisan al-Qur’an berupa tanda
titik. Perkembangan selanjutnya, penulisan al-Qur’an diberikan harakat

17
18

berupa tanda-tanda baca yang dikenal saat ini, guna memudahkan umat
Islam dalam membaca al-Qur’an.
3. Al-Qur’an memiliki kaidah-kaidah penulisan. Kaidah atau aturan
penulisan tersebut berkisar pada enam hal, yaitu penghapusan (al-hadzf ),
penambahan (al-ziyadah), penulisan al-hamzah, penggantian (al-badal),
persambungan dan pemisahan (al-washlu wa al-fashlu), dan tulisan atau
kata yang bisa dibaca dua bunyi.
4. Para ulama berbeda pendapat tentang status atau kedudukan rasm al-
Qurán atau rasm Utsmani. Perdebatan para ulama tentang ini adalah
seputar hukum rasm al-Qur’an ini apakah dapat dihukumkan tauqifi,
yaitu diajarkan langsung oleh Rasulullah saw., atau ini adalah hasil ijtihad
para sahabat terdahulu. Perbedaan pendapat para ulama ini dibagi kepada
tiga golongan.
a. Golongan pertama mengatakan bahwa rasm Utsmani itu bersifat
tauqifi berpendapat, wajib mengikuti rasm Utsmani dalam penulisan
al-Qur’an dan tidak dibolehkan menyalahinya. Golongan ini berdasar
pada Rasulullah saw. yang pernah memerintahkan kepada Muawiyah
untuk menulis al-Qur’an berdasarkan penekanan-penekanan tertentu.
b. Golongan kedua berpendapat bahwa rasm Utsmani itu bukan tauqifi,
tentu mereka membolehkan penulisan al-Qurán dengan selain rasm
Utsmani. Banyak ulama berpendapat bahwa rasm Utsmani bukan
tauqifi dari Nabi, tetapi hanya merupakan satu cara penulisan yang
disetujui Utsman dan diterima umat dengan baik.
c. Golongan ketiga beranggapan bahwa dalam penulisan al-Qur’an boleh

menggunakan teknik penulisan sesuai dengan yang memudahkan tapi


19

rasm Utsmani harus dipelihara sebagai standar rujukan ketika


dibutuhkan.

B. Implikasi

Implikasi yang diharapkan oleh penulis dalam penulisan makalah ini, di


antaranya adalah:
1. Penulis berharap dengan adanya makalah ini dapat memberikan kontribusi
atau sumbangsih kepada para pembaca terkait dengan penelitian sensus,
penelitian survei, teknik pengambilan sampel, dan metode pengumpulan
data.
2. Makalah ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA

Acep. Ulumul Qur’an. Cet. III; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2016.


Anshori. Ulumul Qur’an: Kaidah-kaidah Memahami Firman Tuhan. Cet. III;
Jakarta: Rajawali Pers, 2016.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Cet. X; Bandung:
Diponegoro, 2013.Wahid, Ramli Abdul. Ulumul Qur’an I. Cet. IV;
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Madzkur, Zainal Arifin. “Legalisasi Rasm Utsmani dalam Penulisan al-Qur’an”,
Journal of Qur’an and Hadith Studies, vol. 1 no. 2. (2012).
http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/journal-of-quran-and-hadith/article/
download/1325/1178 (Diakses 1 Mei 2018).
-------. “Urgensi Rasm Utsmani”, Jurnal Khatulistiwa, vol. 1 no. 1 (Maret 2011).
http://jurnaliainpontianak.or.id/index.php/khatulistiwa/article/download/
176/138 (Diakses 1 Mei 2018).
al-Qaththan, Syaikh Manna. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Cet. VI; Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2011.
Syuhbah, Muhammad bin Muhammad Abu. Studi Ulumul Quran. Cet. I;
Bandung: Pustaka Setia, 2003.
Usup, Djamilah. “Ilmu Rasm Al-Qur’an”, Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah, vol. 5 no. 1
(2007). http://journal.iain-manado.ac.id/index.php/JIS/article/view/229/
202 (Diakses 1 Mei 2018).
al-Zarqani, Syeikh Muhammad Abdul Adzim. Manahil Al-‘Urfan Fi Ulum Al-
Qur’an. Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002.

19

Anda mungkin juga menyukai