TENTANG :
RASM AL-QUR’AN
Disusun oleh:
Amri Firman Tomi(2032022018)
Alif Dziaullhaq(2032022003)
Muhammad Haikal Tawakal(2032022025)
Dosen Pembimbing:
Dr. ZULFIKAR, MA
FAKULTAS SYARIAH
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA
INSITUT AGAMA ISLAM NEGERI LANGSA
2022/2023
KATA PENGANTAR
Penulis
Kelompok 8
ii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1-2
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................3-16
A. Kesimpulan..........................................................................................17
B. Implikasi..............................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................19
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Djamilah Usup, “Ilmu Rasm Al-Qur’an”, Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah, vol. 5 no. 1 (2007), h. 1.
http://journal.iain-manado.ac.id/index.php/JIS/article/view/229/202 (Diakses 1 Mei 2018).
1
2
diperlukan suatu ilmu yang terkait. Salah satunya adalah ilmu rasm al-Qur’an.
B. Rumusan Masalah
Secara bahasa rasm berarti gambar atau tulisan. Secara istilah rasm al-
Qur’an adalah tata cara menuliskan huruf dan kalimat al-Qur’an sesuai dengan
metode yang ditetapkan dalam mushaf utsmani pada masa khalifah Utsman bin
Affan. Istilah rasm al-Quran juga diartikan sebagai pola penulisan al-Qur’an yang
digunakan Utsman bin Affan dan empat sahabat ketika menulis dan membukukan
al-Qur’an.1
Rasm al-Qur’an berarti cara atau kaidah-kaidah penulisan huruf-huruf dari
kata-kata al-Qur’an yang disetujui khalifah Utsman bin Affan dan dipedomani
oleh tim penyalin Al-Qur’an yang dibentuknya dan terdiri atas Zaid ibn Tsabit,
‘Abdullah ibn al-Zubair, Sa’id ibn al-‘Ash, dan ‘Abd al-Rahman ibn al-Harits ibn
Hisyam.2
Zaid bin Tsabit bersama tiga orang Quraisy telah menempuh suatu metode
khusus dalam penulisan al-Qur’an yang disetujui oleh Utsman. Para ulama
menamakan metode tersebut dengan Ar-Rasm Al-‘Utsmani lil Mushaf (penulisan
mushaf Utsmani), suatu nama yang dinisbatkan kepada Utsman.3
Rasm al-Qur’an adalah tata cara menulis al-Qur’an yang ditetapkan pada
masa khalifah Utsman bin Affan. Mushaf Utsman ditulis dengan kaidah-kaidah
tertentu.4
Anshori, Ulumul Qur’an: Kaidah-kaidah Memahami Firman Tuhan (Cet. III; Jakarta:
1
3
4
Pada mulanya mushaf para sahabat yang berbeda antara satu dengan yang
lainnya mereka mencatat wahyu al-Qur’an tanpa pola penulisan standar, karena
umumnya dimaksudkan hanya untuk kebutuhan pribadi, tidak direncanakan akan
diwariskan kepada generasi sesudahnya.
Pada zaman Nabi saw., al-Qur’an ditulis pada benda-benda sederhana,
seperti kepingan-kepingan batu, tulang-tulang kulit unta dan pelepah kurma.
Tulisan al-Qur’an ini masih terpencar-pencar dan belum terhimpun dalam sebuah
mushaf dan disimpan di rumah Nabi saw.. Penulisan ini bertujuan untuk
membantu memelihara keutuhan dan kemurnian al-Qur’an.
Pada zaman Abu Bakar, al-Qur’an yang terpencar-pencar itu di salin
kedalam shuhuf (lembaran-lembaran). Penghimpunan al-Qur’an ini dilakukan
Abu Bakar setelah menerima usul dari Umar ibn al-Kattab yang khawatir akan
semakin hilangnya para penghafal al-Qur’an sebagaimana yang terjadi pada
perang yamamah yang menyebabkan gugurnya 70 orang penghafal al-Qur’an.
Karena itu, tujuan pokok dalam penyalinan al-Qur’an di zaman Abu Bakar masih
dalam rangka pemeliharaan agar jangan sampai ada yang terluput dari al-Qur’an.5
Sepeninggal Abu Bakar, estafet pemerintahan beralih kepada Umar bin
Khattab, pada periode inilah mushaf zaman Khalifah Abu Bakar disalin dalam
lembaran (shahifah). Umar tidak menggandakan lagi shahifah yang ada, karena
55
Djamilah Usup, “Ilmu Rasm Al-Qur’an”, Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah, vol. 5 no. 1 (2007),
h. 2-3. http://journal.iain-manado.ac.id/index.php/JIS/article/view/229/202 (Diakses 1 Mei 2018).
5
6
Zainal Arifin Madzkur, “Urgensi Rasm Utsmani”, Jurnal Khatulistiwa, vol. 1 no. 1
(Maret 2011), h. 18. http://jurnaliainpontianak.or.id/index.php/khatulistiwa/article/download
/176/138 (Diakses 1 Mei 2018).
6
Perbaikan rasm Mushaf itu berjalan secara bertahap. Pada mulanya syakal
berupa titik. Kemudian terjadi perubahan penentuan harakat yang berasal dari
huruf, dan itulah yang dilakukan oleh al-Khalil. Perubahan itu ialah fathah berupa
tanda garis bujur di atas huruf, kasrah berupa tanda garis bujur di bawah huruf,
dhammah dengan wawu kecil di atas huruf dan tanwin dengan tambahan tanda
serupa. Alif yang dihilangkan dan diganti, pada tempatnya dituliskan dengan
warna merah. Hamzah yang dihilangkan dituliskan berupa hamzah dengan warna
merah tanpa huruf. Pada nun dan tanwin sebelum huruf ba diberi tanda iqlab
berwarna merah. Sedang nun dan tanwin sebelum huruf tekak (halaq) diberi tanda
sukun dengan warna merah. Nun dan tanwin tidak diberi tanda apa-apa ketika
idgham dan ikhfa’. Setiap huruf yang harus dibaca sukun (mati) diberi tanda sukun
dan huruf yang diidghamkan tidak diberi tanda sukun tetapi huruf yang
sesudahnya diberi tanda syaddah; kecuali huruf ta sebelum tha maka sukun tetap
dituliskan.11
8
Para ulama berbeda pendapat tentang status atau kedudukan rasm al-
Qurán atau rasm Utsmani. Perdebatan para ulama tentang ini adalah seputar
hukum rasm al-Qur’an ini apakah dapat dihukumkan tauqifi, yaitu diajarkan
langsung oleh Rasulullah saw., atau ini adalah hasil ijtihad para sahabat terdahulu.
Perbedaan pendapat para ulama ini dibagi kepada tiga golongan antara lain.
1. Golongan Pertama
Para ulama yang mengakui bahwa rasm Utsmani itu bersifat tauqifi
berpendapat, wajib mengikuti rasm Utsmani dalam penulisan al-Qur’an dan tidak
dibolehkan menyalahinya. Pendapat ini diikuti oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan
Imam Malik, keduanya mengharamkan penulisan al-Qur’an dengan selain rasm
Utsmani.22
Mereka menyebutkan, Nabi pernah mengatakan pada Muawiyah, salah
seorang penulis wahyu, “goreskan tinta, tegakkan huruf ya’, bedakan sin, jangan
kamu miringkan mim, baguskan tulisan lafal Allah, panjangkan Ar-Rahman,
baguskan Ar-Rahim dan letakkan penamu pada telinga kirimu, karena yang
demikian akan lebih dapat mengingatkan kamu”.23
Para ulama yang menyatakan rasm Utsmani itu bukan tauqifi tentu mereka
membolehkan penulisan al-Qurán dengan selain rasm Utsmani.25 Banyak ulama
berpendapat bahwa rasm Utsmani bukan tauqifi dari Nabi, tetapi hanya
merupakan satu cara penulisan yang disetujui Utsman dan diterima umat dengan
baik, sehingga menjadi suatu keharusan yang wajib dijadikan pegangan dan tidak
boleh dilanggar.26
Beberapa argumentasi yang dikemukakan perihal rasm Utsmani bukan
tauqifi antara lain:
a. Tidak satupun dari dalil al-Qur’an maupun hadis yang secara eksplisit
mengatur penulisan al-Qur’an dengan metode-metode tertentu, yang ada justru
sebaliknya, al-Qur’an boleh ditulis dengan skrip manapun yang memudahkan.
b. Kondisi kebudayaan bangsa Arab awal Islam masih dalam fase-fase peralihan,
artinya budaya tulis-menulis belumlah mencapai puncak kulminasinya. Hal ini
terlihat dari banyakya para sahabat yang tidak memiliki kecakapan menulis
24
Syeikh Muhammad Abdul Adzim al-Zarqani, Manahil Al-‘Urfan Fi Ulum Al-Qur’an
(Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), h. 392.
Anshori, Ulumul Qur’an: Kaidah-kaidah Memahami Firman Tuhan, h. 163.
25
(ummi) dan hampir mayoritas umat Islam mempelajari al-Qur’an dengan cara
menghafalnya (sima’i).27
Secara teori, pendapat yang dibidani oleh Abdurrahman Ibn Khaldun, Abu
Bakar al-Baqillani dapat diterima dan dibenarkan. Akan tetapi persoalannya
adalah teks yang dimaksudkan telah menyatu dan terintegrasi dengan al-Qur’an,
ia menjadi bagian integral dari suatu teks suci. Artinya, dalam konteks penulisan
teks-teks Arab umum tentu tidak ada masalah dan sah-sah saja, namun bila
pendapat ini diekspor tanpa batas, sehingga orang dengan semaunya sendiri
menuliskan al-Qur’an dengan skrip apapun yang ia kehendaki, maka akan
berakibat cukup serius. Skrip tulisan al-Qur’an akan dengan mudah berubah dan
berganti edisi dalam tiap generasi seiring perkembangan zaman. Lambat laun,
kandungan al-Qur’an yang terintegrasi dalam teks akan muncul sebagai sebuah
kitab suci yang tidak lagi sakral, tak ubahnya seperti buku-buku cetak pada
umumnya yang mudah direvisi dalam setiap edisi.28
Berdasarkan uraian mengenai pendapat rasm Utsmani tidak tauqifi dapat
dipahami bahwa pendapat mereka lebih cenderung kepada penulisan al-Qur’an
bebas dengan mengikuti kaidah Arab secara umum tanpa harus terikat dengan
rasm Utsmani.
3. Golongan Ketiga
27
Zainal Arifin Madzkur, “Legalisasi Rasm Utsmani dalam Penulisan al-Qur’an”, Journal
of Qur’an and Hadith Studies, vol. 1 no. 2. (2012), h. 223-224. http://journal.uinjkt.ac.id/
index.php/journal-of-quran-and-hadith/article/download/1325/1178 (Diakses 1 Mei 2018).
28
Zainal Arifin Madzkur, “Legalisasi Rasm Utsmani dalam Penulisan al-Qur’an”, Journal
of Qur’an and Hadith Studies, vol. 1 no. 2. (2012), h. 224.
12
pendapat ketiga ini lebih moderat dan lebih sesuai dengan kondisi umat.
Memang tidak ditemukan nash ditemukan nash yang jelas diwajibkan penulisan
al-Qur’an dengan rasm Utsmani. Namun demikian, kesepakatan para penulis al-
Qur’an dengan rasm Utsmani harus diindahkan dalam pengertian menjadikannya
sebagai rujukan yang keberadaannya tidak boleh hilang dari masyarakat Islam.
Sementara jumlah umat islam dewasa ini cukup besar dan tidak menguasai rasm
Utsmani. Bahkan, tidak sedikit jumlah umat Islam yang tidak mampu membaca
aksara arab. Mereka membutuhkan tulisan lain untuk membantu mereka agar
membaca ayat-ayat al-Qur’an, seperti tulisan latin. Namun demikian, al-Qur’an
dengan rasm Utsmani harus dipelihara sebagai standar rujukan ketika dibutuhkan.
Demikian juga tulisan ayat-ayat al-Qur’an dalam karya ilmiah, rasm Utsmani
mutlak diharuskan karena statusnya sudah masuk dalam kategori rujukan dan
penulisannya tidak mempunyai alasan untuk mengabaikannya.30
Berdasarkan hal tersebut dapat dipahami bahwa penulisan al-Qur’an pada
pendapat ini lebih kepada bagaimana yang termudah bagi pembaca tapi rasm
Utsmani harus tetap dipelihara sebagai standar rujukan ketika dibutuhkan.
Dari ketiga pendapat di atas penulis lebih cenderung menyatakan, bahwa
untuk penulisan al-Qur’an secara utuh sebagai kitab suci umat Islam, mesti
Zainal Arifin Madzkur, “Urgensi Rasm Utsmani”, Jurnal Khatulistiwa, vol. 1 no. 1
29
h. 5-6.
13
mengikuti dan berpedoman kepada rasm Utsmani, hal ini mengingat pertimbangan-
pertimbangan sebagai berikut:
1. Agar umat Islam diseluruh dunia memiliki kitab suci yang seragam dalam pola
penulisannya, sesuai dengan pedoman aslinya.
2. Pola penulisan al-Qur’an dengan rasm Utsmani, kalaupun tidak bersifat taufiqi
minimal telah merupakan ijma’ atau kesepakatan para sahabat Nabi. Ijla’
sahabat memiliki kekuatan hokum tersebut yang wajib diikuti, termasuk dalam
penulisan al-Qur’an dengan rasm Utsmani (bila dimaksudkan sebagai kitab suci
secara utuh).
Mushaf Usmani ditulis menurut kaidah-kaidah tulisan tertentu yang berbeda dengan
kaidah tulisah imlak. Para ulama merumuskan kaidah-kaidah tersebut menjadi enam istilah.12
12
Muhammad Ibnu Abdillah Al-Zarqazi, al-Burhan fi Ulum Ai-Qur’an, (Jilid I, Cairo: Maktabah: Isla al-babi al-
Halabi wa syirkah, 1972), h.376-403.
4. dari lafal Allah 14
Huruf ya dibuang dari setiap manqushah munawwan, baik berbaris raf maupun jar
Penambahan (al-ziyadah) disini berarti penambahan huruf alif atau ya atau hamza
pada kata-kata tertentu.
13
Al-Zakqani, MNuhammad Abd al-Azim, op,cit (jilit I). h.369-373
16
Rasm Usmani memiliki beberapa faedah sebagai berikut:
A. Kesimpulan
17
18
berupa tanda-tanda baca yang dikenal saat ini, guna memudahkan umat
Islam dalam membaca al-Qur’an.
3. Al-Qur’an memiliki kaidah-kaidah penulisan. Kaidah atau aturan
penulisan tersebut berkisar pada enam hal, yaitu penghapusan (al-hadzf ),
penambahan (al-ziyadah), penulisan al-hamzah, penggantian (al-badal),
persambungan dan pemisahan (al-washlu wa al-fashlu), dan tulisan atau
kata yang bisa dibaca dua bunyi.
4. Para ulama berbeda pendapat tentang status atau kedudukan rasm al-
Qurán atau rasm Utsmani. Perdebatan para ulama tentang ini adalah
seputar hukum rasm al-Qur’an ini apakah dapat dihukumkan tauqifi,
yaitu diajarkan langsung oleh Rasulullah saw., atau ini adalah hasil ijtihad
para sahabat terdahulu. Perbedaan pendapat para ulama ini dibagi kepada
tiga golongan.
a. Golongan pertama mengatakan bahwa rasm Utsmani itu bersifat
tauqifi berpendapat, wajib mengikuti rasm Utsmani dalam penulisan
al-Qur’an dan tidak dibolehkan menyalahinya. Golongan ini berdasar
pada Rasulullah saw. yang pernah memerintahkan kepada Muawiyah
untuk menulis al-Qur’an berdasarkan penekanan-penekanan tertentu.
b. Golongan kedua berpendapat bahwa rasm Utsmani itu bukan tauqifi,
tentu mereka membolehkan penulisan al-Qurán dengan selain rasm
Utsmani. Banyak ulama berpendapat bahwa rasm Utsmani bukan
tauqifi dari Nabi, tetapi hanya merupakan satu cara penulisan yang
disetujui Utsman dan diterima umat dengan baik.
c. Golongan ketiga beranggapan bahwa dalam penulisan al-Qur’an boleh
B. Implikasi
19