Anda di halaman 1dari 23

STUDI AL-QUR’AN

SEJARAH PENGUMPULAN DAN PENULISAN AL-QUR’AN

Oleh :

FAJAR FEBRIYADI (11950115043)

GANDHI NUGRAHA S (11950115072)

TEKNIK INFORMATIKA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

2020
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim...

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh...

Alhamdulillahi rabbil’alamin, penulis ucapkan puji syukur kehadirat Allah


Swt yang dengan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan
makalah yang berjudul “Sejarah Pengumpulan dan Penulisan Al-Qur’an” ini dengan
baik.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas terstruktur yang diberikan oleh
dosen mata kuliah studi Al-Qur’an Bapak Syarifuddin, M.Ag. Makalah ini ditulis
dari hasil penyusunan referensi yang penulis peroleh dari buku panduan mengenai
sejarah pengumpulan dan penulisan Al-Qur’an. Tidak lupa penulis ucapkan terima
kasih atas bimbingan dan arahan dalam penulisan makalah ini. Penulis juga ucapkan
terima kasih kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah mendukung sehingga dapat
menyelesaikan makalah ini.

Penulisan makalah ini masih banyak kesalahan dan kekurangan. Oleh


karena itu, kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya, penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan sesuatu yang
bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya. Amin.

Wassalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh

Pekanbaru, 9 Maret 2020

i
Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................i
DAFTAR ISI................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan..................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................3
2.1 Pengumpulan Al-Qur’an Pada Masa Rasulullah.................................................3
2.2 Pengumpulan Al-Qur’an Pada masa Khulafaur Rosyidin...................................5
2.2.1 Pengumpulan Al-Qur’an Pada Masa Abu Bakar..........................................5
2.2.2 Pengumpulan al-Qur’an Pada Masa ‘Ustsman bin ‘Affan............................7
2.3 Penyempurnaan dan Pemeliharaan Al-Qur’an setelah masa Khalifah.............9
2.4 Rasm Al-Qur’an.................................................................................................10
2.4.1 Pengertian....................................................................................................10
2.4.2 Pendapat Para Ulama Sekitar Rasm Utsmani dan Rasm Imla’i..................11
BAB II PENUTUP.....................................................................................................15
3.1 Simpulan............................................................................................................15
3.2 Saran..................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................17

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Al-Qur’an, sebagaimana yang disampaikan oleh as-Shabuni adalah


Kalam Allah yang bernilai Mu’jizat yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad dengan perantara Malaikat Jibril yang tertulis dalam Mashahif.
Dan membacanya bernilai Ibadah. Yang diawali dengan Surat al-Fatihah
dan diakhiri dengan Surat an-Nas .

Mengacu pada definisi tersbut agaknya kita akan memahami


bahwa al-Qur’an memang berupa satuan buku yang tertulis. kendati
al-Qur’an diwahyukan secara lisan, Al-Qur'an sendiri secara
konsisten menyebut dirinya sebagai kitab tertulis. Penulisan Wahyu
memang telah dilakukan sejak Zaman Rasulullah, bahkan Nabi
sendiri yang memerintahkan hal tersebut.

Namun untuk pembukuannya bukanlah nabi yang


memerintahkan, al-Qur’an dibukukan setalah Nabi Wafat. Terlebih
jika kita membaca al-Qur’an yang saat ini biasa kita baca, maka kita
akan dikejutkan dengan fakta bahwa ayat yang pertama kali turun
justru diletakan dibagian akhir dari al-Qur’an, bukan di awal.
Seharusnya itu menjadi pertanyaan tersendiri bagi kita, lantas siapa
yang yang menyusun al-Qur’an hingga akhirnya bisa menjadi
seperti yang kita baca saat ini?.

Untuk itu maka perlu kajian yang khusus membahas hal


tersebut guna setidaknya memberikan informasi yang memadai
mengenai hal tersebut, mengingat kajian semacam itu akan
berpengaruh bagi pembuktian atas keorisinilan al-Qur’an yang kita

1
baca saat ini. Berdasarkan hal tersebut maka penulis merasa perlu
untuk menyusun sebuah makalah pendek dengan judul “Sejarah
Pengumpulan dan Penulisan Al-Qur’an”.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam makalah ini sebagai berikut:

1. Bagaimana pengumpulan Al-Qur’an di masa Nabi ?

2. Bagaimana pengumpulan Al-Qur’an di masa Khulafaur Rosyidin ?

3. Bagaimana pemeliharaan Al-Qur’an setelah masa Khalifah ?

4. Bagaimana pendapat Para Ulama sekitar Rasm Utsmani tentang Al-Qur’an ?

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan dalam makalah ini sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui sejarah Pengumpulan Al-Qur’an di masa Nabi.

2. Untuk mengetahui sejarah Pengumpulan Al-Qur’an di masa


Khulafaur Rosyidin.

3. Untuk mengetahui pemeliharaan Al-Qur’an setelah masa


Khalifah.

4. Untuk mengetahui pendapat Para Ulama sekitar Rasm Utsmani


tentang Al-Qur’an.

2
3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengumpulan Al-Qur’an Pada Masa Rasulullah

Pengertian pengumpulan Al-Qur’an menurut para ‘ulama terbagi menjadi 2


macam yaitu: Pertama, pengumpulan dalam arti hifzhuhu (menghafalnya dalam
hati). Kedua, pengumpulan dalam arti Kitabatuhu kulluhu (penulisan qur’an
semuanya) baik dengan memisahkan ayat-ayat dan surat-suratnya, atau menertibkan
ayat-ayat semata dan setiap surat ditulis dalam satu lembaran secara terpisah, ataupun
menertibkan ayat-ayat dan surat-suratnya dalam lembaran-lembaran yang terkumpul,
yang menghimpun semua surat sebagiannya ditulis sesudah bagian yang lain.1

Sejak awal pewahyuan Al-Qur’an hingga menjadi sebuah mushaf, telah


melalui proses panjang. Mulai dari Ayat yang pertama turun sampai ayat yang
terakhir turun, benar-benar terjaga kemurniaanya. Upaya untuk menjaga dan
memelihara ayat-ayat agar tidak terlupakan atau terhapus dari ingatan terus-menerus
dilakukan. Upaya-upaya tersebut dengan cara yang sederhana yaitu Nabi Menghafal
Ayat-ayat itu dan menyampaikannya kepada para sahabat yang kemudian juga
menghafalnya sesuai dengan yang disampaikan Nabi. Upaya kedua yang dilakukan
Umat Islam dalam upaya pemeliharaan Al-Qur’an adalah mencatat atau
menuliskannya dengan persetujuan Nabi.2

Pada mulanya, bagian-bagian al-Quran yang diwahyukan kepada Nabi


Muhammad dipelihara dalam ingatan Nabi dan para sahabatnya. Tradisi hafalan yang
kuat di kalangan masyarakat Arab telah memungkinkan terpeliharanya al-Quran
dalam cara semacam itu. Jadi, setelah menerima suatu wahyu, Nabi Lalu
menyampaikannya kepada para pengikutnya, yang kemudian menghafalkannya.
Sejumlah hadits menjelaskan berbagai upaya Nabi dalam merangsang penghafalan

1
. Mana’ Qathan, Mabahits Fi ‘Ulum al-Qur’an, (Cairo : Maktabah Wahbah, 1995). Hal. 114
2
. H.M. Rusdi Khalid, Mengkaji Ilmu-ilmu Al-Qur’an, ( Alauddin Universiti Press : Makassar, 2011). Hal. 55

3
wahyu-wahyu yang telah diterimanya. Salah satu di antaranya adalah yang
diriwayatkan oleh Utsman ibn Affan bahwa Rasulullah pernah bersabda: “Yang
terbaik di antara kamu adalah mereka yang mempelajari al-Quran dan kemudian
mengajarkannya.”3

Semasa hidup Nabi Muhammad dikenal beberapa orang yang dijuluki sebagai
Qari’ yaitu seorang yang menghafal al-Qur’an, adapun para Qari’ pada masa Nabi
Muhammad adalah sebagai berikut : Keempat Khulafa’ur Rasyidin, Tholhah, Said,
Ibn Mas’ud, Hudaifa, Abu Hurairah, Ibn ‘Umar, Ibn Abbas, ‘Amr bin ‘Ash, Abdullah
bin ‘Amr bin ‘Ash, Mu’awiyah bin Abu Sufyan, Ibn Jabir, Abdullah bin Sa’ib,
‘Aisyah, Hafshah, Ummu Salamah.4

Sedangkan untuk penulisan wahyu yang turun, dikenal beberapa sahabat yang
bertugas untuk menuliskan wahyu yang turun atas perintah Rasulullah sendiri. Para
penulis wahyu tersebut kemudian mendapat julukan sebagai Kutabul Wahyu. Adapun
para penulis wahyu pada masa nabi muhammad yaitu Khulafaur Rasyidin,
Muawiyah, Zaid bin Sabit, ‘Ubai bin Ka’ab, Khalid bin Al-Walid dan Tsabit bin
Qays.5

Namun karena keterbatasan media tulis yang digunakan pada waktu itu
sehingga para sahabat menggunakan apa saja yang dapat digunakan sebagai media
tulis dalam menuliskan wahyu. Beberapa media tulis yang digunakan para sahabat
untuk menuliskan wahyu sebegaimana yang disampaikan oleh az-Zarqany adalah :
lembaran lontar atau perkamen (Riqa), batu tulis berwarna putih (Likhaf), pelapah
kurma (Asib),tulang belikat(Aktaf), tulang rusuk (Adlla’), lembaran kulit (Adim).6

3
. Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, (Jakarta : Yayasan Abad Demokrasi, 2011). Hal. 151
4
. Muhammad Abdul Adzim az-Zarqany, Manahil al-‘Irfan Fi ‘Ulum al-Qur’an, Jilid I, (Beirut : Dar al-Kitab al-
`Araby, 1995). Hal. 199
5
. Shubhi Sholih, Mabahits Fi ‘Ulum al-Qur’an, Cet. X. (Beirut : Dar al-Ilmi, 1977). Hal. 68
6
. az-Zarqany, Ibid. Hal. 202

4
Namun yang menjadi catatan dari pengumpulan al-Qur’an pada masa
Rasulullah adalah walupun telah ada penulisan pada masa Rasulullah atas perintah
beliau sendiri, hanya saja pada saat itu al-Qur’an yang dituli masih berupa lembaran
yang tercecer dan belum disatukan. Mengenai hal tersebut, az-Zarqany secara khusus
menjelaskan alasan yang mendasari hal tersebut, yaitu :7

1. Keterbatasan Media untuk membukukan al-Qur’an pada masa Rasulullah,


tidak seperti pada masa Abu Bakar bahkan ‘Utsman yang cenderung lebih
mudah menemukan bahan baku pembukuannya.
2. Pada saat itu para Qari’ masih sangat banyak, dan Islam belum menyebar
seperti pada masa Abu Bakar maupun Ustman.
3. Singkatnya jarak antara berhentinya wahyu dan wafatnya Nabi.
4. Ayat-Ayat al-Qur’an yang turun terkadang untuk menghapus keberlakuan
ayat sebelumnya.
5. Al-Qur’an tidak turun sekaligus, melainkan dengan jalan sedikit demi sedikit
(Munajaman) selama rentang duapuluh tahun atau lebih.
6. Urutan ayat turun kepada Nabi berdasarkan Asbabun Nuzul, sedangkan urutan
ayat dalam al-Qur’an tidak disusun berdasakan hal tersebut.

2.2 Pengumpulan Al-Qur’an Pada masa Khulafaur Rosyidin

2.2.1 Pengumpulan Al-Qur’an Pada Masa Abu Bakar

Ketika Rasulullah telah Wafat, al-Qur’an memang telah terkumpul di dada


para sahabat berupa hafalan serta telah dituliskan dalam lembaran-lembaran. Namun
al-Qur’an yang ditulis para sahabat tersebut masih berupa lembaran-lembaran yang
tercecer ditangan para sahabat atau dengan kata lain al-Qur’an pada saat itu masih
belum sepenuhnya terbukukan. Sehingga ketika terjadi perang Yamamah yang terjadi
setahun setelah wafatnya Nabi yang menewaskan 70 Qari’ menimbulkan kegelisahan
dihati ‘Umar bin Khattab hingga kemudian mendesak Abu Bakar untuk segera
7
. az-Zarqany, Ibid. Hal. 204

5
membukukan al-Qur’an mengingat para Qari’ telah banyak yang meninggal
sedangkan al-Qur’an yang tertulis masih berupa lembaran-lembaran yang tercecer.8

Atas desakan ‘Umar tersebut kemudian Abu Bakar berkenan untuk


memerintahkan pengumpulan tersebut walaupun pada awalnya beliau menolaknya
dengan alasan bahwa hal tersebut bukanlah perbuatan yang dilakukan oleh Nabi,
namun ‘Umar meyakinkannya dengan alasan bahwa pembukuan tersebut adalah hal
yang baik dan sangat penting. Setelah Abu Bakar merasa yakin dengan keputusannya
tersebut, maka diutuslah Zaid bin Tsabit untuk mulai mengumpulkan al-Qur’an.9

Pemilihan Zaid sebagai orang yang ditugasi untuk mengumpulkan al-Qur’an


menurut beberapa Ahli Ilmu Qur’an didasarkan oleh beberapa alasan diantaranya
adalah Zaid adalah seorang yang cerdas, masih muda, dan tidak memiliki sifat tercela,
selain itu peranannya sebagai penulis wahyu dimasa Rasulullah menjadi alasan yang
mendsari pemilihannya.10

Dalam mengumpulkan al-Qur’an Zaid menggunakan metode yang sangat


teliti berdasarkan arahan yang diberikan oleh abu Bakar dan ‘Umar. Selama
pengumpulan tersebut, Zaid tidak serta-merta mengandalkan hafalan yang
dimilikinya, tidak juga dengan apa yang telah ditulisnya maupun yang telah
didengarkannya. Dalam pengumpulan tersebut, zaid menggunakan dua rujukan
utama, yaitu 11:

1. Berdasarkan ayat yang telah ditulis dihadapan Rasulullah dan telah


disaksikan langsung oleh beliau.

8
. Philip K. Hitti, History of The Arabs, (Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta, 2013). Hal. 154.
9
. Badruddin Muhammad bin Abdullah az-Zarkasy, al-Burhan Fi Ulum al-Qur’an, (Cairo : Dar at-Turats, tt). Hal.
233
10
. az-Zarqany, Ibid. Hal. 206
11
. Ibid.

6
2. Ayat yang dihafal dan ditulis dalam lembaran dengan menyertakan dua
saksi yang adil yang menyaksikan bahwa ayat tersebut telah benar-benar
ditulis dihadapan Rasulullah.

Adapun yang dimaksud dimaksud dengan disaksikan oleh dua orang adalah,
bahwa hal itu merupakan sesuatu yang ditulis sebagaimana bentuk yang dengannya
al-Qur’an telah diturunkan, atau bahwa yang ditulis itu memang telah ditulis di depan
Rasulullah saw. Tujuan dari penyertaan syarat tersebut adalah agar al-Qur’an
tersebut tidak ditulis dengan tulisan yang sama dengan yang ditulis di depan
Rasulullah saw.
Karena itu, kesaksian tersebut bukan kesaksian atas al-Qur’an, karena hal itu
tidak perlu diragukan. Mengingat jumlah para penghafal dan pembacanya sangat
banyak. Namun, kesaksian yang dimaksud di sini adalah kesaksian atas tulisan yang
ditulis di depan Nabi saw. Dengan cara itulah, penulisan tersebut telah selesai dengan
sempurna sehingga terkumpul dalam lembaran yang diikat dengan benang,
sebagaimana yang dijelaskan dalam sebagian riwayat. Inilah peranan yang dimainkan
oleh Zayd bin Tsâbit.

2.2.2 Pengumpulan al-Qur’an Pada Masa ‘Ustsman bin ‘Affan

Pengumpulan al-Qur’an pada masa ‘Utsman bin ‘Affan punya motif berbeda
dengan pengumpulan al-Qur’an dimasa Abu Bakar, Jika motif Abû Bakar
mengumpulkan al-Qur’an karena khawatir akan hilangnya materi yang tertulis tadi
sebagai akibat dari banyaknya para penghafal dan pembaca yang telah meninggal
dunia, maka motif ‘Utsmân adalah karena takut akan terjadinya perbedaan yang
meruncing mengenai ragam bacaan.

Pada masa ‘Utsman ini Islam telah tersebar luas dan kaum Muslimin telah
hidup berpencar ke berbagai pelosok. Di berbagai daerah telah terkenal Qira’at
sahabat yang mengajarkan al-Qur’an kepada penduduk setempat. Penduduk Syam
memakai Qira’at Ubay bin Kaab, penduduk Kuffah memakai Qira’at Abullah bin

7
Mas’ud, penduduk di wilayah lainnya menggunakan Qira’at Abu Musa al-Asy’ary.
Tidak jarang terjadi pertentangan mengenai masalah bacaan dikalangan pengikut
sahabat-sahabat tersebut, hingga kemudian pertentangan tersebut memuncak menjadi
perpecahan dikalangan Muslimin sendiri.12

Kondisi semacam ini kemudian didengar oleh Hudaifah bin Yaman. Ketika
Hudaifah mengetaui hal tersebut, maka dengan sesegera mungkin beliau
melaporkannya kepada Khalifah ‘Utsman agar segera ditindak lanjuti. Setelah
mendapatkan laporan tersebut, ‘Utsman segera mengirim surat kepada Hafshah yang
berisikan perintah untuk memberikan al-Qur’an yang telah dibukukan Zaid
sebelumnya untuk kemudian diperbanyak dan disebarluaskan ke seluruh penjuru.
Untuk membukukan al-Qur’an tersebut, ‘Ustman mengutus empat orang sahabat
untuk membukukan al-Qur’an, dari keempat orang tersebut tiga diantaranya adalah
muhajirin dan satu orang lainnya adalah kaum anshar, empat orang tersebut adalah :
Zaid bin Tsabit, ‘Abdullâh bin Zubayr, Sa’id bin al-‘Ash, ‘Abdurrahmân bin al-Harits
bin Hisyam.13

Dalam melakukan pembukuan tersebut, keempat orang tersebut berpegang


pada arahan dari ‘Utsman, yaitu 14:

1. Menjadikan Mushaf Abu Bakar yang telah dibukukan oleh Zaid bin Tsabit
sebagai acuan pokok dan sumber utama dalam penulisan al-Qur’an.
2. Mengacu pada Mushaf Abu Bakar tersebu dalam hal penulisan dan
urutannya, dan apabila terdapat perbedaan pendapat dikalangan para
anggota panitia, maka mengacu berdasarkan dialek Quraisy karena al-
Qur’an diturunkan dengan dialek Quraisy.

12
. Muhammad Ali ash- Shabuni, Ibid, Hal. 89.
13
. Badruddin Muhammad bin Abdullah az-Zarkasy, Op. Cit. Hal. 236
14
. Musthofa Dhib al-Bigha dan Muhyiddin Dhib Matu,al-Wadih Fi Ulum al-Qur’an, (Damaskus : Dar al-
Ulum al-Insaniyah, 1998). Hal. 91-92

8
3. Dan al-Qur’an tidak ditulis kecuali berdasarkan persetujuan antara para
panitia, dan para sahabat bersepakat bahwa al-Qur’an yang telah
dibukukan tersebut sebagai al-Qur’an sebagaimana yang diturunkan
kepada Rasulullah.

Usaha yang dilakukan oleh ‘Ustman tersebut mendapatkan apresiasi


dikalangan sahabat, sehingga hasil dari usaha tersebut mendapat pengakuan dari
kalangan sahabat dan mereka meyakini bahwa al-Qur’an yang dikumpulkan oleh
‘Utsman tersebut telah sesuai dan sama persis dengan al-Qur’an yang ada pada masa
Nabi Muhammad. Baik dari segi urutan ayat (Tartibul Ayat), maupun urutan Surat
(Tartibus suwar), maupun Qira’atnya. Mushaf ‘Utsman yang telah mendapatkan
pengakuan dari para sahabat tersebut kemudian disebarkan dan menjadi pegangan
dalam penulisan al-Qur’an hingga saat ini yang dikenal dengan Mushaf atau Rasm
‘Ustmany.15

2.3 Penyempurnaan dan Pemeliharaan Al-Qur’an setelah masa Khalifah

Tulisan yang tertera di dalam mushaf Abu Bakar dan Utsman yang dilakukan
oleh panitia pelaksana penulis wahyu tanpa menggunakan tanda baca, baik berupa
titik, syakal,harakah, dan lain-lain, karena memang perkembangan dan situasi saat itu
tidak menuntut hal itu untuk dilakukan. Dalam kondisi itu, menurut Abu Ahmad al-
Askariy, mushaf utsmani dibaca kaum muslimin selama kurang lebih 40 tahun,
tepatnya sampai pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan dari khalifah
Bani Umayah.

Islam terus menerus berkembang, baik wilayah ataupun pemeluknya. Islam


tidak hanya dianut oleh orang Arab, sehingga benturan kultural antara orang Arab dan
non Arab pun tidak dapat di elakkan. Sejak saat itulah, perkembangan yang dirasa
menggembirakan juga membawa kekhawatiran berupa keselamatan kemurnian
bahasa Arab. Oleh sebab itu, timbulah usaha-usaha untuk memberi pungtuasi di
15
. Mana’ Qathan, Ibid, Hal. 126

9
kalangan para ulama’. Seorang Tabi’in, Abu al-Aswad al-Duali pertama kali
mengenalkan tanda titik ke dalam naskah al qur’an. Tanda baca yang diberikan
adalah berupa titik diatas huruf sebagai tanda fathah, titik dibawah huruf sebagai
kasrah, dan titik disamping huruf sebagai dhummah.

Tahap berikutnya, Yahya bin Ya’mur dan Nashr bin ‘Ashim menyempurnakan
pemberian titik pada semua huruf al qur’an yang dianggap penting untuk diberi
harakat. Usaha selanjutnya dilakukan oleh Khalil bin Ahmad, yaitu mengganti titik
diatas huruf dengan huruf alif kecil sebagai tanda fathah, titik dibawah huruf diganti
ya’ sebagai kasrah, titik disamping huruf diganti dengan waw kecil sebagai
dhummah, pemberian tanda sukun berupa mim kecil diatas huruf, tanda tasydid
berupa sin kecil diatas huruf, dan pemberian tanda madd. Pemberian nomor ayat,
tanda waqof, batas pangkal surah dan akhir surah, penulisan jenis Makkiyah dan
Madaniyah, dan penulisan sejumlah ayat dari setiap surah dilakukan oleh para ulama’
berikutnya. Begitu pula pembuatan tanda untuk setiap juz, dll, sehingga jadilah
bentuk mushaf al qur’an seperti sekarang.

2.4 Rasm Al-Qur’an

2.4.1 Pengertian

Kita telah membicarakan penumpulan al-Qur’an pada masa Utsman. Zaid bin
Tsabit Bersama tiga orang Quraisy telah menempuh metode khusus dalam penulisan
al-Qur’an yang disetuju oleh Utsman. Para ulama menamakan metode tersebut
dengan ar-rasmul ‘Utsmani lil Mushaf, yaitu dengan menisbatkan kepada Utsman.16
Rasm Utsmani adalam rasm (bentuk ragam tulisan) yang telah diakui dan
diwarisi oleh umat islam sejak masa Utsman. Dan pemeliharaan rasm Utsmani
merupakan jaminan kuat bagi penjagaan al-Qur’an dari berubahan dan penggantian
huruf-hurufnya. Seandainya diperbolehkan menuliskannya menurut imla’ disetiap

16
Manna’ Khalil al-Qattan. Studi Ilmu-ilmu Qur’an (Surabaya: Litera Antar Nusa, 2014), 213

10
masa, maka hal ini akan mengakibatkan perubahan Mushaf dari masa ke masa.
Bahkan kaidah-kaidah imla’ itu sendiri berbeda-beda kecenderungannya pada masa
yang sama, dan bervariasi pula dalam beberapa kata di antara satu negeri dengan
negeri lain.17

Perbedaan bentuk tulisan yang disebutkan oleh Abu Bakar al-Balqani adalah
satu hal, dan rasm imla’ adalah hal lain sebab perbedaan bentuk tulisan adalah
perubahan dalam bentuk huruf, bukan dalam rasm kata. Mengenai alasan kemudahan
membaca bagi para siswa dan pelajar dengan meniadakan pertentangan antara rasm
Qur’an dengan rasm imla’, tidaklah dapat menghindarkan perubahan tersebut dengan
yang akan mengakibatkan kekurang cermatan dalam penulisan Qur’an.

Dalam Syu’abul Iman Baihaqi mengatakan: “Barang siapa menulis Mushaf,


hendaknya ia memperhatikan ejaan (kaidah imla’) yang mereka pakai dalam
penulisan mushaf-mushaf dahulu, janganlah menyalahi mereka dalam hal itu dan
jangan pula mengubah apa yang telah mereka tulis sedikit pun. Ilmu mereka lebih
banyak, lebih jujur hati dan lisannya, serta lebih dapat dipercaya daripada kita. Maka
bagi kita tidak pantas menyangka bahwa diri kita lebih tahu dari mereka.18

2.4.2 Pendapat Para Ulama Sekitar Rasm Utsmani dan Rasm Imla’i

Kedudukan rasm Utsmani diperselisihkan para ulama. Apakah pola penulisan


merupakan petunjuk Nabi atau hanya ijtihad kalangan sahabat. Adapun pendapat
mereka adalah sebagai berikut:

A. Jumhur Ulama berpendapat bahwa pola rasm Utsmani bersifat taufiqi dengan
alasan bahwa para penulis wahyu adalah sahabat-sahabat yang ditunjuk dan dipercaya
Nabi SAW. Pola penulisan tersebut bukan merupakan ijtihad para sahabat Nabi, dan
para sahabat tidak mungkin melakukan kesepakatan (ijma) dalam hal-hal yang

17
Ibid, 217
18
Al-Itqan, jilid 2, halaman 167 dalam Manna’ Khalil al-Qattan. Studi Ilmu-ilmu Qur’an (Surabaya: Litera Antar
Nusa, 2014), 218

11
bertentangan dengan kehendak dan restu Nabi. Bentuk-bentuk inkonsentensi didalam
penulisan baku, tetapi dibalik itu ada rahasia yang belum dapat terungkap secara
keseluruhan. Pola penulisan tersebut juga dipertahankan para sahabat dan tabi’in.19

Dengan demikian, menurut pendapat ini hukum mengikuti rasm Usmani


adalah wajib, dengan alasan bahwa pola tersebut merupakan petunjuk Nabi, (taufiqi).
Pola itu harus dipertahankan meskipun beberapa diantaranya menyalahi kaidah
penulisan yang telah dibukukan. Bahkan Imam Ahmad Ibnu Hambal dan Imam Malik
berpendapat bahwa haram hukumnya menulis Al-Qur’an menyalahi rasm Usmani.
Bagaimanapun, pola tersebut sudah merupakan kesepakatan ulama mayoritas (jumhur
ulama).20

B. Sebagian Ulama berpendapat, bahwa pola penulisan al-Qur’an dalam rasm


Utsmani hanya merupakan hasil ijtihad para sahabat Nabi, tidak bersifat taufiqi . Hal
ini karena, tidak ada nash baik berupa ayat al-Qur’an maupun al-Sunnah yang
menunjukkan adanya keharusan menulis al-Qur’an menurut rasm atau pola tertentu.
Sehubungan dengan ini, al-Qadi Abu Bakr al-Baqilani sebagaimana dikutip oleh
Muhammad Rajab Farjani menyatakan sebagai berikut :
“Sesungguhnya Rasulullah SAW. Memerintahkan untuk menulis al-Qur’an,
tetapi beliau tidak menunjukkan pola tertentu kepada para sahabat, dan tidak juga
melarang menulisnya dengan model tertentu. Karena itu, berbeda model penulisan al-
Qur’an dalam mushaf-mushaf mereka; ada yang menulis suatu lafaz al-Qur’an sesuai
dengan bunyi lafaz tersebut, dan ada yang menambah atau menguranginya (huruf-
huruf tertentu), karena mereka tahu bahwa hal ini hanya suatu cara. Karena itu,
dibolehkan menulis mushaf dengan bentuk huruf serta pola penulisan gaya masa
lampau, dan boleh pula menulisnya dengan bentuk huruf serta pola penulisan
menurut gaya baru.”21
19
M.Quraish Shihab, dkk, Sejarah dan Ulum Al-Qur’an (Cet. III; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), 95.
20
Ahmad Izzan, Ulumul Qur’an, Bandung: Humaniora,2011. 110
21
Hasanuddin AF, Anatomi Al-Quran Perbedaan dan Pengaruhnya Terhadap Istimbath Hukum Dalam Al-
Qur’an (Cet, I; Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1995), 86.

12
Ulama yang tidak mengakui Rasm Utsmani sebagai rasm tauqifi berpendapat
bahwa tidak ada masalah jika Al-Qur’an ditulis dengan pola penulisan standar (rasm
imla’i). Persoalan pola penulisan diserahkan kepada pembaca. Jika pembaca merasa
lebih mudah dengan rasm imla’i, ia dapat menulisnya dengan pola tersebut karena
pola penulisan itu hanyalah simbol pembacaan yang tidak akan mempengaruhi makna
Al-Qur’an.22

C. Sebagian Ulama lainnya mengatakan, bahwa Al-Qur’an dengan rasm imla’i dapat
dibenarkan, tetapi khusus bagi orang awam. Bagi para ulama atau yang memahami
rasm Usmani tetap wajib mempertahankan keaslian rasm tersebut. Pendapat diperkuat
Al-Zarqani dengan mengatakan bahwa rasm imla’i diperlukan untuk menghindarkan
ummat dari kesalahan membaca Al-Qur’an, sedangkan rasm Usmani di perlukan
untuk memelihara keaslian mushaf Al-Qur’an .
Tampaknya, pendapat yang ketiga ini berupaya mengkompromikan antara dua
pendapat terdahulu yang bertentangan. Disatu pihak mereka ingin melestarikan rasm
Utsmani, sementara dipihak lain mereka menghendaki dilakukannya penulisan Al-
Qur’an dengan rasm imla’i, untuk memberikan kemudahan bagi kaum muslimin yang
kemungkinan mendapat kesulitan membaca Al-Qur’an dengan rasm Usmani. 23 Dan
pendapat ketiga ini lebih moderat dan lebih sesuai dengan kondisi ummat. Namun
demikian, kesepakatan para penulis Al-Qur’an dengan rasm Usmani harus diindahkan
dalam pengertian menjadikannya sebagai rujukan yang keberadaannya tidak boleh
hilang dari masyarakat Islam. Sementara jumlah ummat Islam dewasa ini cukup besar
yang tidak menguasai rasm Usmani. Bahkan, tidak sedikit jumlah ummat Islam untuk
mampu membaca aksara arab. Mereka membutuhkan tulisan lain untuk membantu
mereka agar dapat membaca ayat-ayat Al-Qur’an, seperti tulisan latin. Namun
demikian, Rasm Usmani harus dipelihara sebagai standar rujukan ketika dibutuhkan.

22
Ibid, Ahmad Izzan, Ulumul Qur’an. 110
23
Hasanuddin AF, Anatomi Al-Quran. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1990. 90

13
Demikian juga tulisan ayat-ayat Al-Qur’an dalam karya ilmiah, rasm Usmani mutlak
diharuskan karena statusnya sudah masuk dalam kategori rujukan dan penulisannya
tidak mempunyai alasan untuk mengabaikannya.
Dari ketiga pendapat diatas penulis menarik kesimpulan bahwa menjaga
keotentikan Al-Qur’an tetap merujuk kepada penulisan mushaf Usmani. Akan tetapi
segi pemahaman membaca Al-Qur’an bisa menggunakan penulisan yang lain
berdasarkan tulisan yang diketahui ummat Islam. Namun tidak lepas dari subtansi
tulisan mushaf Usmani. Sebab berdasarkan sejarah dalam proses penulisan Al-Qur’an
mulai dari Zaman Rasulullah, zaman khalifah Abu Bakar sampai khalifah Usman Bin
Affan yang penulisnya tidak pernah lepas dari Zaid Bin Tsabit yang merupakan
sekretaris Rasulullah SAW. Secara historis ini membuktikan bahwa Allah SWT tetap
menjaga dan memelihara keotentikan Al-Qur’an.

14
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan

Beberapa kesimpulan yang dapat diperoleh berdasarkan pembahasan yang


telah dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Upaya yang dilakukan Rasulullah untuk menjaga dan memelihara ayat-ayat agar
tidak terlupakan atau terhapus dari ingatan dengan cara yang sederhana yaitu Nabi
Menghafal Ayat-ayat itu dan menyampaikannya kepada para sahabat yang kemudian
juga menghafalnya sesuai dengan yang disampaikan Nabi. Upaya kedua yang
dilakukan Umat Islam dalam upaya pemeliharaan Al-Qur’an adalah mencatat atau
menuliskannya dengan persetujuan Nabi.

2. Pembukuan al-Qur’an yang dilakukan oleh Abu Bakar didasari


oleh kekhawatiran al-Qur’an akan hilang jika tidak dikumpulkan
karena telah banyak para Qari’ yang meninggal dan Mushaf al-
Qur’an masih tercecer. Atas desakan ‘Umar akhirnya Abu Bakar
berkenan untuk membukukannya dengan memerintahkan Zaid
untuk membukukan al-Qur’an. Pembukuan al-Qur’an yang
dilakukan pada masa ‘Ustman didasari oleh perpecahan dikalngan
sahabat akibat perbedaan bacaan yang mereka gunakan sehingga
‘Utsman memerintahkan untuk membukukan ulang Mushaf yang
sudah ada dimasa Abu Bakar dan menyebar luaskan diseluruh
penjuru. Untuk melakukan tugas tersebut ‘Utsman memerintahkan
empat orang sahabat yaitu : Zaid bin Tsabit, ‘Abdullâh bin Zubayr,
Sa’id bin al-‘Ash, ‘Abdurrahmân bin al-Harits bin Hisyam.

3. Islam terus menerus berkembang, baik wilayah ataupun pemeluknya. Islam tidak
hanya dianut oleh orang Arab, sehingga benturan kultural antara orang Arab dan non
Arab pun tidak dapat di elakkan. Sejak saat itulah, perkembangan yang dirasa
menggembirakan juga membawa kekhawatiran berupa keselamatan kemurnian
bahasa Arab. Oleh sebab itu, timbulah usaha-usaha untuk memberi pungtuasi di
kalangan para ulama

4. bahwa menjaga keotentikan Al-Qur’an tetap merujuk kepada penulisan mushaf


Usmani. Akan tetapi segi pemahaman membaca Al-Qur’an bisa menggunakan
penulisan yang lain berdasarkan tulisan yang diketahui ummat Islam. Namun tidak
lepas dari subtansi tulisan mushaf Usmani. Sebab berdasarkan sejarah dalam proses
penulisan Al-Qur’an mulai dari Zaman Rasulullah, zaman khalifah Abu Bakar sampai
khalifah Usman Bin Affan yang penulisnya tidak pernah lepas dari Zaid Bin Tsabit
yang merupakan sekretaris Rasulullah SAW. Secara historis ini membuktikan bahwa
Allah SWT tetap menjaga dan memelihara keotentikan Al-Qur’an.

3.2 Saran

Beberapa saran dari makalah ini sebagai berikut :

1. Makalah selanjutnya dapat membahas penentuan urutan ayat dan surat dalam
Al-Qur’an.

2. Makalah selanjutnya dapat membahas kaitan Rasm Al-Qur’an dengan Qira’at.

16
17
DAFTAR PUSTAKA

https://www.academia.edu/35231570/Makalah_Sejarah_Turun_dan_Penulisa
n_Al-Quran

Mana’ Qathan, Mabahits Fi ‘Ulum al-Qur’an, (Cairo : Maktabah


Wahbah, 1995).

H.M. Rusdi Khalid, Mengkaji Ilmu-ilmu Al-Qur’an, ( Alauddin


Universiti Press : Makassar, 2011).

Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, (Jakarta :


Yayasan Abad Demokrasi, 2011).

Muhammad Abdul Adzim az-Zarqany, Manahil al-‘Irfan Fi ‘Ulum


al-Qur’an, Jilid I, (Beirut : Dar al-Kitab al-`Araby, 1995).

Shubhi Sholih, Mabahits Fi ‘Ulum al-Qur’an, Cet. X. (Beirut : Dar al-


Ilmi, 1977).

Philip K. Hitti, History of The Arabs, (Jakarta : PT. Serambi Ilmu


Semesta, 2013).

Badruddin Muhammad bin Abdullah az-Zarkasy, al-Burhan Fi


Ulum al-Qur’an, (Cairo : Dar at-Turats, tt).

Muhammad Ali ash- Shabuni, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis,


(Jakarta : Pustaka Amani, 2001).

Musthofa Dhib al-Bigha dan Muhyiddin Dhib Matu, al-Wadih Fi


Ulum al-Qur’an, (Damaskus : Dar al-Ulum al-Insaniyah, 1998).
16

Anda mungkin juga menyukai