Anda di halaman 1dari 11

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah Swt. atas rahmat dan karunia-Nya sehingga
makalah dapat selesai tepat waktu. Makalah ini membahas mengenai ”sumber akidah dan
peranan akal”. Penulis ucapkan terima kasih kepada pihak yang berkontribusi dalam pembuatan
makalah ini. Harapan penulis semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan pembaca. Tidak
lupa penulis ucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Studi Hadits,
Syarifuddin, M.Ag. yang telah memberikan bimbingan sehingga dapat menyelesaikan makalah
ini dengan baik. Karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman penulis, mengharapkan saran
dan kritik dari pembaca demi kesempurnaan karya selanjutnya.

Pekanbaru, 27 Maret 2020

Penulis
BAB II

PEMBAHASAN

1. PENGERTIAN DAN LANDASAN FILSOFIS AQIDAH ISLAM

A. Pengertian Aqidah Islam

Secara etimologi (lughatan), aqidah berakar dari kata ‘aqada – ya’qidu – ‘aqdan yang berarti
simpul, ikatan, perjanjian dan kokoh. Setelah terbentuk menjadi aqidah berarti keyakinan. Relevansi
antara arti kata aqdan dan aqidah adalah keyakinan itu tersimpul dengan kokoh di dalam hati, bersifat
mengikat dan mengandung perjanjian.

Secara terminologis (isthilahan), terdapat beberapa definisi (ta’rif) antara lain:

1. Menurut Hasan al-Banna:

‫العقائد هي األمور التى يجب أن يصدق بها قلبك وتطمئن اليها نفس ك وتك ون يقين ا عن دك ال يمازج ه ريب‬
‫واليخالطه شك‬

“Aqidah adalah beberapa perkara yang wajib diyakini keberadaannya oleh hatimu, mendatangkan
ketentraman jiwa, menjadi keyakinan yang tidak bercampur sedikitpun dengan keragu-raguan”

2. Munurut Abu Bakar Jabir al-Jazairy:

‫ يعق د عليه ا اإلنس ان‬,‫ والس مع والفط رة‬,‫العقيدة هي مجموعة من قضايا الحق البدهية المس لمة بالعق ل‬
‫ قاطعا بوجودها وثبوتها اليرى خالفها أنه يصح أو يكون أبدا‬,‫ ويثنى عليها صدره جازما بصحتها‬,‫قلبه‬

“Aqidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum (axioma) oleh manusia
berdasarkan akal, wahyu dan fithrah. (Kebenaran) itu dipatrikan oleh manusia di dalam hati serta
diyakini kesahihan dan kebenarannya secara pasti dan ditolak segala sesuatu yang bertentangan dengan
kebenaran itu”

Untuk lebih memahami kedua definisi di atas maka perlu dikemukakan beberapa catatan tambahan:

1. Ilmu terbagi dua: pertama ilmu dharuri, kedua ilmu nazhari. Ilmu yang dihasilkan oleh indera, dan
tidak memerlukan dalil disebut ilmu dharuri. Misalnya anda melihat meja di hadapan mata, anda tidak
lagi memerlukan dalil atau bukti bahwa benda itu ada. Sedangkan ilmu yang memerlukan dalil atau
pembuktian itu disebut ilmu nazhari. Misalnya 1+1=2, tentu perlu dalil untuk orang yang belum tahu
teori itu. Di antara ilmu nazhari itu, ada hal-hal yang karena sudah sangat umum dan terkenal maka
tidak memerlukan lagi adanya dalil, misalnya sepeda bannya ada dua sedangkan mobil bannya ada
empat, tanpa dalil siapapun pasti mengetahui hal tersebut. Hal inilah yang disebut badihiyah. Badihiyah
adalah segala sesuatu yang kebenarannya perlu dalil pembuktian, tetapi karena sudah sangat umum dan
mendarah daging maka kebenaran itu tidak perlu pembuktian lagi.
2. Setiap manusia memiliki fithrah mengakui kebenaran (bertuhan), indera untuk mencari kebenaran,
akal untuk menguji kebenaran dan memerlukan wahyu untuk menjadi pedoman menentukan mana
yang benar dan mana yang tidak. Tentang Tuhan, misalnya, setiap manusia memiliki fithrah bertuhan,
dengan indera dan akal dia bisa buktikan adanya Tuhan, tapi hanya wahyulah yang menunjukkan
kepadanya siapa Tuhan yang sebenernya.

3. Keyakinan tidak boleh bercampur sedikitpun dengan keraguan. Sebelum seseorang sampai ke tingkat
yakin dia akan mengalami lebih dahulu Syak (50%-50% antara membenarkan dan menolak), kemudian
Zhan (salah satu lebih kuat sedikit dari yang lainnya karena ada dalil yang menguatkan), kemudian
Ghalabatuz Zhan (cenderung menguatkan salah satu karena dalilnya lebih kuat, tapi masih belum bisa
menghasilkan keyakinan penuh), kemudian Ilmu/Yakin (menerima salah satu dengan sepenuh hati
karena sudah meyakini dalil kebenarannya). Keyakinan yang sudah sampai ke ringkat ilmu inilah yang
disebut aqidah.

4. Aqidah harus mendatangkan ketenteraman jiwa. Artinya lahiriyah seseorang bisa saja pura-pura
meyakini sesuatu, akan tetapi hal itu tidak akan mendatangkan ketenangan jiwa karena dia harus
melaksanakan sesuatu yang berlawanan dengan keyakinannya. Kawin paksa misalnya, hidup satu rumah
dengan orang yang tidak pernah dia sukai, secara lahiriyah hubungan mereka telah sukses karena
berakhir dipelaminan namun jiwa mereka tidaklah tenteram seperti kelihatan.

5. Bila seseorang sudah meyakini suatu kebenaran, dia harus menolak segala yang bertentangan dengan
kebenaran itu. Artinya seseorang tidak akan bisa meyakini sekaligus dua hal yang bertentangan.
Misalnya ada meyakini gula itu rasanya manis, tentunya anda akan menolak untuk meyakini bahwa gula
itu rasanya asin, tidak mungkin anda yakin bahwa gula itu rasanya manis dan asin.

6. Tingkat keyakinan (aqidah) seseorang tergantung kepada tingkat pemahamannya terhadap dalil.
Misalnya:

– Anda akan meyakini adanya beasiswa bila anda mendapatkan informasi tentang beasiswa tersebut
dari orang yang anda kenal tidak pernah berbohong.

– Keyakinan itu akan bertambah apabila anda mendapatkan informasi yang sama dari beberapa orang
lain, namun tidak menutup kemungkinan bahwa anda akan meragukan kebenaran informasi itu apabila
ada syubuhat (dalil dalil yang menolak informasi tersebut).

– Bila anda melihat pengumuman beasiswa di fakultas maka bertambahlah keyakinan anda sehingga
kemungkinan untuk ragu semakin kecil

– Apabila anda diberi formulir pengajuan beasiswa maka keyakinan anda semakin bertambah dan segala
keraguan akan hilang bahkan anda tidak mungkin ragu lagi bahkan anda tidak akan merubah pendirian
anda sekalipun semua orang menolaknya

– Ketika anda bolak balik mengurus segala yang terkait dengan beasiswa maka bertambahlah
pengetahuan dan pengalaman anda tentang beasiswa yang diyakini tadi.
B. Landasan Filosofis Aqidah Islam

Pada hakikatnya filsafat dalam bahasan aqidah tetap bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Allah mengutus (Rasul) yang membawa pesan dari-Nya untuk disampaikan kepada seluruh umat
manusia. Pesan Allah itu ditulis dalam Al-Kitab (Al-Qur’an). Allah menganugerahkan kebijakan dan
kecerdasan berfikir kepada manusia untuk mengenal adanya Allah dengan memperhatikan alam sebagai
bukti hasil perbuatan-Nya Yang Maha Kuasa. Hasil perbuatan Allah itu serba teratur, cermat dan berhati-
hati. Yang menerima hikmah-hikmai inilah yang disebut “Hukuman” atau “Filosof.

Berikut beberapa pendapat para filosof barat tentang Tuhan:

-Pendapat Xenophanes

Xenophanes menyatakan: “Tuhan hanya satu, yang terbesar di antara dewa dan manusia, tidak serupa
dengan makhluk yang fana.”

“Tuhan Yang Esa itu tidak dijadikan tidak bergerak dan berubah-ubah, dan ia mengisi seluruh alam. Dia
melihat semuanya, mendengar semua dan memikirkan seluruhnya. Mudah sekali Ia memimpin alam ini
dengan kakuatan fikirNya.”

 Pendapat Socrates

Socrates menyatakan: “Tuhan pencipta ala mini bukanlah hanya untuk memikirkan dan memperhatikan
manusia saja, tapi ialah roh bagi manusia. Jika tidak begitu cobalah sebutkan padaku, hewan manakah
yang dapat mengetahui adanya Tuhan yang mengatur susunan tubuh yang mempunyai sifat-sifat tinggi
seperti ini! Coba katakana hewan mana selain manusia yang dapat dibawa akalnya menyembah dan
berkhidmah kepada Tuhan?”

-Pendapat Descartes

Descartes menyatakan: “Saya tidak menjadikan diri saya sendiri. Sebab kalau saya menjadikan, tentulah
saya dapat memberikan segala sifat kesempurnaan kepada diri saya itu. Oleh sebab itu tentu saya
dijadikan oleh Dzat yang lain. Dan sudah pasti pula Dzat lain itu menjadikan saya mempunyai sifat-sifat
kesempurnaan, kalau tidak akan sama halnya dengan diri saya.”

“Saya selalu merasa diri saya dalam kekurangan, dan pada waktu itu juga diri saya merasa tentu ada
Dzat yang tidak kekurangan, yakni sempurna. Dan Dzat yang sempurna itu ialah Allah”[5]

Mari kita kaji Al-Qur’an lalu kita perhatikan kandungannya, bahwa apa yang dinyatakan oleh para filosof
di atas, semakna dengan apa yang dinyatakan oleh Allah di dalam Al-Qur’an:
Dan Apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari setitik air(ma

Dan ia membuat perumpamaan bagi kami; dan Dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata: “Siapakah yang
dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?”

Katakanlah: “Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. dan Dia Maha
mengetahui tentang segala makhluk. [QS.36:77-79].

Maka hendaklah manusia memperhatikan dari Apakah Dia diciptakan?

Dia diciptakan dari air yang dipancarkan,

yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan.

Sesungguhnya Allah benar-benar Kuasa untuk mengembalikannya (hidup sesudah mati). [QS.86:5-8]

Dari uraian di atas, nyatalah bahwa pada hakikatnya landasan aqidah Islam adalah Al-Qur’an dan
Sunnah.

C. Sumber Aqidah

1. Al-Qur’an sebagai sumber aqidah

Firman ALLAH SWT yang diwahyukan kepada Rasulullah melalui perantara malaikat Jibril. Di
dalamnya ALLAH telah menjelaskan segala sesuatu yang telah dibutuhkan oleh hamba-Nya sebagai
bekal kehidupan di dunia dan di akhirat. Ia merupakan petunjuk bagi orang-orang yang diberi petunjuk,
pedoman hidup bagi orang-orang yang beriman, dan obat bagi jiwa-jiwa yang terluka. Sebagaimana
Firman ALLAH dalam QS.Al-An’am:115.

‫ت‬
ْ ‫م‬
َّ َ ‫ت وَت‬ َ ِ ‫ك كَل‬
ُ ‫م‬ ِ ‫ل اَل ۚ وَعَدْاًل‬
َ ِّ ‫صدْقًا َرب‬ َ ِّ ‫مبَد‬ َ ِ ‫ميعُ وَهُوَۚ ل ِكَل‬
ُ ِ‫ماتِه‬ ِ ‫س‬ ُ ‫الْعَل ِي‬
َّ ‫م ال‬

“dan telah sempurna firman Tuhanmu (Al-Qur’an) dengan benar dan adil. Tidak ada yang dapat
mengubah Firman-Nya. Dan Dia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui”.

Al-imam Asy- Syatibi mengatakan Bahwa sesungguhnya ALLAH telah menurunkan syariat ini
kepada Rasul-Nya yang didalamnya terdapat penjelasan atas segala sesuatu yang dibutuhkan manusia
tentang kewajiban dan peribadatan yang dipikulkan diatas pundaknya, termasuk didalamnya perkara
aqidah. Allah menurunkan Al-Qur’an sebagai sumber hukum aqidah karena Allah mengetahui kebutuhan
manusia sebagai seorang hamba yang diciptakan untuk beribadah kepada-Nya. Bahkan jika dicermati
akan ditemui banyak ayat dalam Al-Qur’an yang dijelaskan tentang aqidah, baik secara tersurat maupun
secara tersirat. Oleh karena itu, menjadi hal yang wajib jika kita mengetahui dan memahami aqidah yang
bersumber dari Al-Qur’an. Kitab mulia ini merupakan penjelasan langsung dari Rabb manusia, yang hak
dan tidak pernah sirna ditelan masa.

2. As-Sunnah sumber kedua

Seperti halnya Al-Qur’an, As-Sunnah adalah satu jenis wahyu yang datang dari Allah Swt walaupun
Lfadznya bukan dari Allah tapi maknanya datang darinya. Hal ini diketahui dalam firman Allah QS. An-
Najm: 3-4.

“dan tidaklah yang diucapkan-Nya itu (Al-Qur’an) menurut keinginan-Nya. Tidak lain (Al-Qur’an itu)
adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.”

Rasulullah saw bersabda,”tulislah demi dzat yang jiwaku berada ditangan-Nya, tidak keluar dari-
Nya kecuali kebenaran sambil menunjuk lidahnya” (HR. Abu dawud)

Yang menjadi persoalan adalah banyaknya hadits lemah yang beredar ditengah umat dianggap
“mutiara” yang bukan berasal dari Rasulullah saw dinisbahakan kepada beliau. Hal ini tidak lepas dari
usaha penyimpangan yang dilakukan oleh musuh-musuh ALLAH untuk mendapatkan keuntungan yang
sedikit. Akan tetapi, maha suci ALLAH yang telah menjaga kemurnian As-Sunnah hingga akhir zaman
melalui para ulama ahli ilmu.

Selain melakukan penjagaan terhadap ahli sunnah, ALLAH telah menjadikan As-Sunnah sebagai
sumber hukum.dalam Agama. Kekuatan As-Sunnah dalam menetapkan syari’at termasuk perkara aqidah
ditegaskan dalam banyak ayat Al-Qur’an, diantaranya firman ALLAH dalam QS.An-nisa:59.
َ ُ َ
َ َّ ‫ل ا وَأطِيعُو الل‬
‫ه‬ َ ‫سو‬ ُ ‫الر‬ ْ ‫م اأْل‬
َّ ‫مرِ وَأول ِي‬ ْ ُ ‫منْك‬ ْ ِ ‫م فَإ‬
ِ ۖ‫ن‬ ْ َ‫ول اللَّهِ إِلَى فَ ُردُّوهُ ش‬
ْ ُ ‫ي ٍء فِي تَنَا َزعْت‬ ِ ‫س‬ُ ‫الر‬
َّ َ‫ن و‬ ْ ُ ‫ن كُنْت‬
ْ ِ‫م إ‬ ِ ْ‫تُؤ‬
َ ‫منُو‬
َ
‫ين أيُّهَا يَا‬ َّ َ
َ ِ‫منُوا الذ‬
َ ‫آأطِيعُوآ‬
َ ْ
ِ‫ك ۚاآْل خِرِ وَالْيَوْم ِ بِاللَّه‬
َ ِ ‫خي ْ ٌر ذَٰل‬
َ ‫ن‬
ُ ‫س‬ ْ ‫تَأوِياًل وَأ‬
َ ‫ح‬

“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri
(pemegang kekuasaan) diantara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah pada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (As-Sunnah), jika kamu beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu, lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.”

Firman Allah di atas menunjukkan bahwa tidak ada pilihan lain bagi seorang muslim untuk
mengambil sumber-sumber hukum aqidah dari As-Sunnah dengan pemahaman ulama. Ibnu Qayyim juga
pernah berkata “Allah memerintahkan untuk mentaati-Nya dan mentaati Rasul-Nya dengan mengulangi
kata kerja (taatilah)yang menandakan bahwa menaati Rasul wajib secara independen tanpa harus
mencocokkan terlebih dahulu dengan Al-Qur’an, jika beliau memerintahkan sesuatu. Hal ini dikarenakan
tidak akan pernah ada pertentangan antara Qur’an dan Sunnah.
3. Ijma’ para Ulama

Sumber aqidah yang berasal dari kesepakatan para mujtahid Umat Muhammad saw setelah beliau
wafat, tentang urusan pada suatu masa. Mereka bukanlah orang yang sekedar tahu tentang ilmu tetap
juga memahami dan mengamalkan ilmu. Berkaitan dengan ijma’, Allah swt berfirman dalam QS.An-
Nisa:115.

“dan barang siapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan
yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu
dan akan masukkan ia kedalam Neraka Jahannam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali.”

Imam Syafi’I menyebutkan bahwa ayat ini merupakan dalil pembolehan disunnatkannya Ijma’,
yaitu diambil dari kalimat “Jalannya orang-orang yang beriman” yang berarti Ijma’. Beliau juga
menambahkan bahwa dalil ini adalah dalil Syar’I yang wajib untuk diikuti karena Allah menyebutkannya
secara bersamaan dengan larangan menyelisihi Rasul.

Di dalam pengambilan Ijma’ terdapat juga beberapa kaidah-kaidah penting yang tidak boleh
ditinggalkan. Ijma’ dalam masalah akidah harus bersandarkan kepada dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah
yang shahih karena perkara aqidah adalah perkara tauqifiyah yang tidak diketahui kecuali dengan jalan
wahyu. Sedangkan fungsi Ijma’ adalah menguatkan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta menolak
kemungkinan terjadinya kesalahan dalam dalil yang dzani sehingga menjadi qotha’i.

4. Akal Sehat Manusia

Selain ketiga sumber diatas, akal juga menjadi sumber hukum aqidah dalam Islam. Hal ini
merupakan bukti bahwa Islam sangat memuliakan akal serta memberikan haknya sesuai dengan
kedudukannya, dengan cara memberikan batasan dan petunjuk kepada akal agar tidak terjebak
kedalam pemahaman-pemahaman yang tidak benar. Hal ini sesuai dengan sifat akal yang memiliki
keterbatasan dalam memahami suatu ilmu atau peristiwa.

Agama Islam tidak membenarkan pengagungan terhadap akal dan tidak pula membenarkan
membenarkan pelecehan terhadap kemampuan akal manusia, seperti yang biasa dilakukan oleh
beberapa golongan (firqoh) yang menyimpang. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan : “akal
merupakan syarat untuk memahami ilmu dan kesempurnaan beramal dengan keduanyalah ilmu dan
dan amal menjadi sempurna, hanya saja ia tidak dapat berdiri sendiri . di dalam jiwa ia berfungsi sebagai
sumber kekuatan, sama seperti kekuatan penglihatan pada mata yang jika mendapatkannya cahaya
Iman dan Al-Qur’an seperti mendapat cahaya matahari dan api. Tetapi jika berdiri sendiri, ia tidak akan
mampu melihat (hakikat) sesuatu dan jika sama sekali dihilangkan ia akan menjadi sesuatu yang
berunsur kebinatangan”.

Eksistensi akal memiliki keterbatasan pada apa yang bisa dicerna tentang perkara-perkara nyata
yang memungkinkan panca indra untuk menangkapanya. Adapun masalah-masalah gaib yang tidak
dapat disentuh oleh panca indra maka tertutup jalan bagi akal untuk sampai pada hakikatnya. Sesuatu
yang abstrak/gaib, seperti akidah tidak dapat diketahui poleh akal kecuali mendapatkan cahaya dan
petunjuk wahyu baik dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih. Al-Qur’an dan As-Sunnah menjelaskan
bagaimana cara memahami dan melakukan masalah tersebut. Salah satu contohnya adalah akal
mungkin tidak bisa menerima surge dan neraka karena tidak bisa diketahui melalui indera. Akan tetapi
melalui penjelasan yang berasal dari Al-Qur’an dan As-Sunnah maka akan dapat diketahui bahwasanya
setiap manusia harus meyakininya. Mengenai hal ini ibnu taimiyah mengatakan bahwa apa yang tidak
terdapat dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’ yang menyelisih akal sehat karena sesuatu yang
bertentangan dengan akal sehat adalah batil. Sedangkan tidak ada kebatilan dalam Al-Qur’an, Sunnah,
dan ijma’. Tetapi padanya terdapat kata-kata yang mungkin sebagian orang tidak memahaminya atau
mereka memahaminya dengan makna yang batil.

5. Fitrah kehidupan

Dalam sebuah hadits Rasulullah saw bersabda : “setiap anak yang lahir dalam keadaan fitrah, maka
kedua orangtuanyalah yang membuat ia menjadi yahudi, nasrani, atau majusi.( H. R. MUSLIM )

Dari hadits dapat diketahui bahwa sebenarnya manusia memiliki kecenderungan untuk
menghamba kepada ALLAH. Akan tetapi bukan berarti bahwa bayi yang lahir telah mengetahui rincian
agama islam. Setiap bayi yang lahir tidak mengetahui apa-apa. Tetapi setiap mamiliki fitrah untuk
sejalan dengan islam sebelum dinodai oleh penyimpangan-penyimpangan. Bukti mengenai hal ini adalah
fitrah manusia untuk mengakui bahwa mustahil ada dua penciptaalam yang memiliki sifat dan
kemampuan yang sama. Bahkan ketika ditimpa musibah pun banyak manusia yang menyeruh kepada
ALLAH seperti dijelaskan dalam firmannya: Q. S Al- Israa’:67.

“dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilang semua yang biasa kamu seru, kecuali Dia.
Tapi ketika Dia menyelamatkan kamu kedaratan, kamu berpaling dari-Nya. Dan manusia memang selalu
ingkar (tidak bersyukur).”
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Ada beberapa sumber-sumber aqidah yang terdapat dalam islam yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’
para Ulama, Akal sehat manusia, dan fitrah kehidupan.

2. Penjelasan sumber-sumber aqidah

a. Al-Qur’an, yaitu sebagai sumber aqidah yang pertama. Di dalamnya Allah telah menjelaskan segala
sesuatu yang telah dibutuhkan oleh hamba-Nya sebagai bekal kehidupan didunia dan di akhirat. Dan ia
merupakan petunjuk bagi orang-orang yang diberi petunjuk, pedoman hidup bagi orang-orang yang
beriman dan obat bagi jiwa-jiwa yang terluka. Oleh karena itu, Wajiblah kita mengetahui dan memahami
aqidah yang bersumber dari Al-Qur’an karena kitab ini merupakan penjelasan langsung dari Rabb
manusia yang hak dan tidak di telan masa.

b. As-Sunnah, yaitu sumber aqidah yang kedua, seperti halnya Al-Qur’an. As-Sunnah adalah satu jenis
wahyu yang datang dari Allah walaupun lafadznya bukan dari Allah tetapi maknanya datang darinya.

c. Ijma’ para Ulama, merupakan sumber aqidah yang berasal dari kesepakatan para mujtahid Umat
Muhammad Saw setelah beliau wafat tentang urusan pada suatu masa. Mereka bukanlah orang-orang
yang sekedar tahu tentang ilmu tetapi juga memahami dan mengamalkan ilmu.

d. Akal sehat manusia. Selain ketiga sumber diatas, akal juga menjadi sumber hukum aqidah dalam
Islam. Hal ini merupakan bukti bahwa Islam sangat memuliakan akal serta memberikan haknya sesuai
dengan kedudukannya, dengan cara memberikan batasan dan petunjuk kepada akal agar tidak terlibta
kedalam pemahaman yang tidak benar karena akal memiliki sifat keterbatasan dalam memahami ilmu
atau peristiwa.

e. Fitrah kehidupan. Setiap manusia memiliki fitrah untuk sejalan dengan Islam sebelum dinodai oleh
penyimpangan-penyimpangan. Bukti mengenai hal ini adalah fitrah manusia untuk mengakui bahwa
mustahil ada dua pencipta alam yang memiliki sifat dan kemampuan yang sama. Bahkan ketika ditimpa
musibah pun banyak manusia yang menyeru kepada Allah bahkan meminta pertolongan kepada-Nya.

B. SARAN

Kami sangat menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, kami
mengharapkan saran atau masukan demi untuk penyempurnaan makalah kami dan semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi kita semua. Terima kasih.
Sumber :

Drs. H. Yunahar Ilyas. Kuliah Aqidah Islam. (Yogyakarta: 1992). h. 1

Al-Banna, Majmu’atu ar-Rasail. Muassasah ar-Risalah Beirut: tanpa tahun. h.165

Al-Jazairy, Aqidah al-Mukmin. (Cairo: 1978). h. 21

Drs. Edi Suresman. A.Md. Aqidah Islam. Malang. IKIP. 1993.

Drs. Edu Suresman. Aqidah Islam. (Malang: 1993). h. 1

Ibid. h. 21

Al-Jazairy, Abu Bakar Jabir. Aqidah al-Mukmin. Cairo. Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyah. 1978.

Drs. H. Yunahar Ilyas. Kuliah Aqidah Islam. (Yogyakarta: 1992). h. 6

Dr. Ahmad Daudy, Kuliah Aqidah Islam. Jakarta. Bulan Bintang. 1997

Anda mungkin juga menyukai