Anda di halaman 1dari 7

 MACAM MACAM ALIRAN FILSAFAT ISLAM DAN CORAK

PEMIKIRANNYA

dalam buku saku filsafat islam karya Haidar bagir, dijelaskan bahwa setidaknya ada lima
macam aliran filsafat dalam islam, diantaranya adalah Teologi Dialetik ( ‘Ilm Al-kalam),
Peripatetisme (Masyisya’iyyah), Iluminisme (Isyraqiyyah), Sufisme/Teosofi (Tasyawuf
atau ‘Irfan), dan Filsafat Hikmah (Al-Hikmah Al-Muta’aliyah).

1. Teologi Dialetik (‘Ilm Al-kalam)

Dalam KBBI, kata Teologi diartikan sebagai “pengetahuan ketuhanan


(mengenai sifat Allah, dasar kepercayaan kepada Allah dan agama,
terutama berdasarkan pada kitab suci)”. Sedangkan kata Dialetika
diartikan sebagai “hal berbahasa dan bernalar dengan dialog sebagai
cara untuk menyelidiki suatu masalah” dan “ajaran Hegel yang
menyatakan bahwa segala sesuatu yang terdapat di alam semesta itu
terjadi dari hasil pertentangan antara dua hal dan yang menimbulkan
hal lain lagi”. Dari kedua pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa
teologi dialetik memiliki metode deduktif-silogistik, yaitu cara
medapatkan kesimpulan dengan membandingkan dua premis
(pernyataan yang sudah disepakati terlebih dahulu nilai kebenarannya).
Dalam logika Aristotelian dinyatakan bahwa dua premis tersebut adalah
premis mayor (umum) dan premis minor (khusus). Teologi dialetik
berangkat dari pemahaman baik dan buruk yang dilandaskan pada
kebenaran agama.

2. Peripatetisme (Masyisya‘iyyah)

Istilah perioatetisme berasal dari bahasa Yunani (peripatos) yang


berarti berjalan mondar-mandir. Sedangkan kata Masyisya‘iyyah adalah
terjemahan bahasa Arab harfiah atas kata peripatos ini. Metode epistemologi
yang digunakan dalam teologi dialetik memiliki kemiripan dengan
metode paretisme, hanya saja dalam paretisme, dalam proses
silogistiknya premis-premis yang digunakan adalah premis yang telah
disepakati kebenarannya dan tak perlu diperdebatkan lagi (primary
truth). Dari situlah didapatkan kesimpulan-kesimpulan yang akan
menjadi premis untuk proses silogistik selanjutnya. Penggunaan istilah
ini didasarkan pada kebiasaan Plato ( seorang filsuf dan matematikawan
Yunani) berjalan mondar-mandir saat ketika mengajarkan filsafat.meskipun
penamaannya sama seklai tidak menggambarkan ciri dari aliran ini, namun ini
menunjukan adanya pengaruh dari filsafat Yunani terhadap peripatetisme Islam.
Meskipun banyak melakukan revisi dan inovasi yang tidak ada dalam filsafat Yunani,
kenyataannya peripatetisme Islam ini memang dibangun atas dasar Aristotelianisme
dan (Neo-) Platonisme.

3. Iluminisme (Isyraqiyyah)

Metode yang digunakan dalam Iluminisme dan Sufisme atau Teosofi adalah
metode intuitif atau eksperiensial (berasal dari kata experirience = pengalaman).
Peran intuisi ini kenyataannya bukan hanya ditemukan oleh para pemikir agama,
tetapi juga pernah dikatakan oleh Aristoteles sejak abad ke-4 sebelum Masehi.
Intuisi ini, dalam filsafat Islam identic dengan hati (qalb atau fu’ad) atau bahkan
dengan ruh dan sebagiannya.

Prinsip dasar iluminisme adalah bahwa mengetahui sesuatu adalah untuk


mendapatkan pengalaman tentangnya, yang berarti intuisi langsung atas hakikat
sesuatu. Bahwa pengetahuan eksperiensial tentang sesuatu dianalisis hanya
setelah diraih secara total, intuitif dan langsung (immediate).

Ontologi iIluminisme berdasarkan filsafat cahaya (nur), yaitu menyamakan wujud


sebagai cahaya, dan nonwujud sebagai kegelapan.

4. Sufisme atau Teosofi (Tasyawuf atau ‘Irfan)


Sufisme atau Teosofi memiliki metode yang sama dengan Iluminisme, yaitu
metode intuitif atau ekperiensial. Perbedaannya adalah metode iluminisme
mengungkapkan pengalaman tersebut dengan bahasa-bahasa diskursif-logis atau
pemikiran yang dapat disimpulkan secaran logis. Ini jugalah pandangan ‘irfan dan
Filsafat Hikmah.

Mengenai aspek ontologi, dalam ‘irfan, yang ditekankan adalah prinsip kesatuan
wujud segala sesuatu dan tingkatan-tingakatan (hierarki) nya.

5. Filsafat Hikmah (Al-Hikmah Al-Muta’aliyah)

Sama halnya seperti filsafat Iluminisme dan ‘irfan, filsafat Hikmah menggunakan
metode intuitif atau eksperiensial. Filsafat Hikmah mengembangkan lebih jauh
epistemologi dari filsafat Iluministik. Dalam Filsafat Hikmah, pengalaman intuitif
tersebut bukan hanya mungkin, namun harus bisa diungkapkan secara diskursif-
logis untuk keperluan verifikasi publik. Selain itu, filsafat Hikmah menjadikan
filsafat wujud (being) Ibn ‘Arabi sebagai poros filsafatnya. Filsafat Hikmah
menekankan prinsipialitas (fundamentalitas) eksistensi terhadap esensi. Yaitu
bahwa yang yang real−yang memiliki korespondensi dengan realitas−adalah
eksistensi. Sedangkan esensi−penampakan atau atribut-atribut lahiriah dan
mental−sebenarnya tidak real dan hanya merupakan bentukan (keterbatasan)
persepsi manusia (i’tibari). Filsafat Hikmah juga mengembangkan prinsip
ambiguitas (tasykik) wujud. Yaitu bahwa wujud bersifat tidak tetap, tetapi
berpindah-pindah dalam hierarki (tingkatan-tingakatan) wujud sejalan dengan
gerak substansial.

Tabel ikhtisar ciri-ciri epistemologis dan ontologis aliran-aliran dalam


filsafat Islam.

ALIRAN Epistemologi Ontologi


Peripatetisme Demonstrasional -
(diskursif-logis)
Tasawuf Eksperiensial-intuitif -
‘Irfan Eksperiensial-intuitif Kesatuan dan Hierarki
wujud
Iluminisme Ekperiensial,-intuitif+ Wujud sebagai cahaya
logis-analitis
Filsafat Hikmah Ekperiensial-intuitif+ Prinsipialitas, Kesatuan,
logis-analitis dan Ambiguitas Wujud

 TEMA-TEMA UTAMA YANG DIBICARAKAN DALAM FILSAFAT ISLAM


Tematema yang dibahas dalam filsafat islam khususnya yang terdapat dalam mazhab
mashsya’iyah sama dengan filsafat secara umum, yaitu mengenai alam, manusia, dan Tuhan
dengan berbagai permasalahannya masing-masing, yaitu:

1. Tentang Tuhan (Theology)


Persoalan-persoalan yang dibahas mencakup hakikat Tuhan, argumentasi adanya Tuhan,
hubungan Tuhan dengan manusia, dan sebagainya. Al-Farabi, misalnya dalam
membuktikan adanya Tuhan mendasarkan pada teori wājib alwujūd dan mumkin al-
wujūd, karena segala yang ada tidak terlepas dari dua kemungkinan tersebut.40
Kemudian Ibn Sina menambahkan satu lagi, yaitu sesuatu yang tidak mungkin ada
(mumtani’al-wujūd).
Ia juga mengkaji persoalan agama, seperti hakikat agama, mengapa manusia harus
beragama, mengapa manusia tidak beragama (ateis), dan lainlain. Dikaji pula hubungan
agama dengan filsafat, terutama para filosof fase awal seperti al-Kindi. Kajian relasi
agama dan filsafat ini juga dikaji oleh filosof lainnya, seperti Ibn Rusyd melalui bukunya
Fash al-Maqal fi mā bayna al-Shariát wa al- ‘Aql min al-Ittishāl. Karya yang menguraikan
hubungan akal dan filafat ini sangat mempengaruhi pemiki Barat, sehingga filsafat dapat
diterima di sana setelah sebelumnya ditolak.
2. Tentang Alam (Cosmology)
Tema-tema yang dibicarakan ialah seperti teori penciptaan alam yang melahirkan
beberapa teori, seperti:
a. Teori Emanasi (Nazriyyat al-Fayḍ) Menurut teori ini, alam tercipta melalui
pelimpahan dari kesempurnaan wujud Tuhan. Dalam kaitan ini Tuhan dipandang
sebagai Aktus Murni, yang tugasnya ialah untuk Berpikir. Berpikir dalam arti
mencipta, karena di antara Berpikir dan Mencipta (wujud) tidak terpisahkan.
Dari proses ini lahirlah 9 (sembilan) akal, dan dari akal kesempbilanlah muncul
alam semesta melalui empat unsurnya, yaitu air, api, angin, dan tanah.
b. Teori Penciptaan (Nazriyyat al-Ṣudur) Berbeda dengan teori emanasi yang
mendasarkan pada pelimpahan melalui 9 (sembilan) akal, teori ini mendasarkan
pada penciptaan (al-ṣudur). Al Ṣudur yang berarti sumber, melukiskan bahwa
Tuhan sebagai sumber penciptaan alam. Dari Tuhan lahirlah jiwa universal,
materi pertama, potensi jiwa universal, materi absolut, alam planet-planet,
anasir-anasir terendah (air, api, angin, tanah), dan materi gabungan, yang terdiri
dari mineral, tumbuhtumbuhan, dan hewan. Selanjutnya tentang, kebaruan
(ḥudūth) dan keabadian (qadīm) alam, para filosof Muslim sepakat bahwa
Tuhan bersifat qadim sedangkan alam bersifat baru (ḥudūth). Namun qadīm di
sini tidak sama dengan yang diberi arti kalangan teolog sebagai “sesuatu yang
tidak memiliki awal”, melainkan sebagai “sesuatu yang terus menerus berproses
mengada tanpa henti” (kullun fi ḥudūth dāím mā lā nihāyah). Dalam konteks ini
qadim dalam arti yang luas bisa diberikan kepada selain Tuhan, seperti
pandangan Ar-Razi yang yang melahirkan teori tentang adanya 5 (lima) yang
kekal. Menurut teori ini terdapat lima yang kekal dengan intensitas yang
berbeda, yaitu Allah Ta’ala) (al-Bāri Ta’āla), Jiwa Universal (alNafs al-Kulliyah),
Materi Pertama (al-Maddat al-’Ūlā), Tempat yang mutlak (alMakān al-Muṭlaq),
dan Zaman yang mutlak (al-Zamān al-Muṭlaq). Kelima yang qadim ini memiliki
cirinya masing-masing. Dua yang pertama bersifat hidup dan aktif, yaitu Tuhan
dan Jiwa Universal, satu tidak aktif dan tidak hidup, yaitu materi, sedang dua
lainnya tidak hidup, tidak aktif dan tidak pula pasif, yaitu ruang dan waktu.
Termasuk dalam kajian ini ialah tentang akhir dari kehidupan alam semesta,
apakah abadi (eternity) atau bukan.

3. Tentang Manusia (Anthropology)


Persoalan-persoalan yang dibahas ialah seputar proses penciptaan manusia, unsur
manusia, hakikat manusia, makna hidup manusia, tujuan kehidupan, dan sebagainya.
Kajian terhadap beberapa persoalan manusia ini menyita banyak waktu dan energi
filosof Muslim. Tentang unsur manusia, misalnya, secara umum dibagi kepada dua
unsur, yaitu jasmani dan rohani. Unsur jasmani dapat diamati secara nyata, sedangkan
unsur rohani memiliki banyak dimensi, sehingga lahirlah beberapa istilah, seperti akal,
roh, nafs, jiwa, syahwat, dan sebagainya. Dimensi-dimensi ini memiliki kekuatan
tersendiri, yang melahirkan banyaknya sumber kebenaran dalam diri manusia, seperti
kebenaran akal, kebenaran intuisi, kebenaran indra (indra luar dan indra dalam), dan
sebagainya. Kajian tentang jiwa ini, selain melahirkan figur Imam al-Ghazali, nama Ibn
Sina cukup terkenal di dunia Barat, terutama teorinya tentang adanya indra batin.
Pemikiran yang berkembang sebelumnya ialah yang menyatakan bahwa indra berpusat
pada lima yang disebut pancaindra, yaitu mata (untuk melihat), telinga (untuk
mendengar), hidung (untuk mencium), lidah (untuk merasa), dan kulit juga untuk
merasa. Ibn Sina hadir dengan teori barunya, yaitu adanya indra dalam (baṭin), yaitu: (1)
indra bersama (ḥiss al-mushtarak) yang menerima segala apa yang ditangkap
pancaindra; (2) representasi (quwwa al-khiyal) yang menyimpan segala apa yaang
diterima oleh indra bersama; (3) imaginasi (alquwwah al-mutakhayyilah) yang
menyusun apa yang disimpan dalam representasi; (4) estimasi (al-quwwah al-
wahmiyyah) yang dapat menangkap hal-hal abstrak yang terlepas dari materi seperti
keharusan lari bagi kambing ketika melihat serigala; dan (5) rekoleksi (al-quwwah al-
ḥafiẓah) yang menyimpan hal-hal abstrak yang diterima oleh estimasi.

4. Tentang Akhlaq atau Moral (Ethica)


Membicarakan perbuatan manusia, yaitu perbuatan baik (akhlāq maḥmūdah) dan
perbuatan buruk (akhlāq madhmūmah). Kemudian membicarakan tentang alat ukur
baik dan buruk dalam etika. Ada yang menetapkan akal sebagai alat ukur (etika
rasional), ada pada tabiat dasar manusia (ṭabi’ah), ada pada kenikmatan (hedonisme),
ada pada materi (materialisme), ada pada manfaat yang dihasilkan (utilitarianisme), dan
sebagainya. Menurut Ibn Miskawayh masalah pokok yang dikaji akhlaq ialah kebaikan
(al-khayr), kemabahagiaan (alsa’ādah), dan keutamaan (al-faḍīlah). Kebaikan ialah suatu
keadaan dimana manusia sampai pada batas akhir kesempurnaan wujuf. Kebaikan ada
yang bersifat umum dan khusus, namun ada kebaikan mutlak, yaitu Tuhan. Sedangkan
keutamaan ialah jika mampu mencapai semua kebaikan tersebut. Selanjutnya etika
berbicara tentang upaya pencapaian kebahagiaan. Upaya ini tentu terkait dengan
standard baik buruk yang digunakan. Kajian ini juga membicarakan konsep kebahagiaan
secara etika, ukuran baik buruk, dan sebagainya. Kemudian berlanjut pada kajian politik
(negara ideal), seperti yang diajukan al-Farabi dengan teori Negara Utama (al-Madīnah
al-Faḍīlah), yaitu negara utama yang dipimpin oleh seorang pemimpin yang cerdas,
memiliki ingatan baik, pikiran yang tajam, mencintai pengetahuan, bersikap moderat,
mencintai kejujuran, murah hati, sederhana, mencintai keadilan, pemberani, sehat
jasmani, dan pandai bicara. Persoalan lainnya ialah tentang masyarakat yang melahirkan
para filosof masyarakat (sosiolog), seperti Ibn Khaldun, Ali Syariáti, dan sebagainya.

5. Tentang Ilmu Pengetahuan (Epistemology)


Epistemologi, dari kata episteme (bahasa Yunani) yang berarti ilmu, merupakan cabang
filsafat yang mengkaji segala sesuatu yang terkait dengan ilmu pengetahuan, seperti
tabi’at dasar (nature), sifat, jenis-jenis, objek, struktur, asal mula, metode dan validitas
ilmu pengetahuan. Hal ini terkait dengan tiga jenis pendekatan dalam memahami suatu
objek, yaitu:
a. Ontologi, membicarakan ke-apa-an sesuatu. Dikaitkan dengan ilmu,
permasalahannya ialah pakah ilmu yang ada dalam pemikiran manusia sama
dengan fakta yang ada secara empiris, atau yang manakah yang paling benar
yang ada dalam pikiran atau yang ada secara empiris. Kajian ini melahirkan tiga
pandangan; idealisme, realisme, dan dualisme. Jika idealisme berpandangan
bahwa yang benar adalah yang dalam pikiran dan realisme yang ada dalam
empiris, maka menurut dualisme keduanya harus sejalan, yaitu gambaran
dalam pemikiran harus sesuai dengan apa yang ada dalam kenyataan.
b. Epistemologi, membicarakan sumber ilmu dan bagaimana cara
memperolehnya. Berbicara sumber melahirkan empat pandangan, yaitu: (1)
rasionalisme, yang menyatakan bahwa ilmu bersumber dari rasio (2)
empirisme, yang menyatakan bahwa ilmu bersumber dari bersumber dari indra
(3) intuisisme, yang menyatakan bahwa ilmu bersumber dari bersumber dari
hati, dan transendentalisme, yang menyatakan bahwa ilmu bersumber dari
bersumber dari luar diri manusia, yaitu Tuhan. Termasuk di sini wahyu sebagai
sumber ilmu.
c. Aksiologi, membicarakan ke-guna-an sesuatu, yaitu apakah kegunaan dari suatu
ilmu. Dalam pandangan filosof Muslim, kegunaan ilmu tidak hanya sekedar
menggambarkan dan menguraikan objek, tetapi yang terpenting ialah
bagaimana dengan ilmu yang ada mampu mengantarkan manusia pada
pengenalan Tuhan (makrifah), seperti teori Imam Ghazali, Zunnun al-Mishri,
dan lain-lain. Dari tema-tema tersebut mazhab Mashsha’iyah sebagai mazhab
awal filsafat Islam menampilkan wujudnya yang utuh. Seperti wujud filsafat
secara keseluruhan yang mengadakan kajian tentang segala yang ada,
peripatesis filsafat Islam juga mengkaji seluruh persoalan yang ada (al-mawjud)
dengan cara pandang Islam, dan inilah ciri khas filsafat Islam dibanding filsafat
umum (filsafat Barat).
DAFTAR PUSTAKA
https://kbbi.web.id/teologi diakses jumat 06 maret 2020, pukul 19: 18 wib

https://kbbi.web.id/dialektika DIAKSES jumat 06 maret 2020, pukul 19 : 20 wib


https://id.wikipedia.org/wiki/Plato diakses sabtu, 07 maret 2020, pukul 07: 19
wib
Bagir, Haidar.2005. Buku Saku Filsafat Islam, 2005. Jakarta : Penerbit Mizan
Nasution, Hasan Bakti. 2016. Mashsha’iyah: Mazhab Awal Filsafat Islam, 2016.
JURNAL THEOLOGIA. 27(1) : 94-99.

Anda mungkin juga menyukai