Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia sendiri mengatakan bahwa
sejarah merupakan asal-usul, kejadian ataupun peristiwa yang benar-benar
terjadi pada masa lampau Bidang ilmu sejarah memiliki ranah lingkup yang
cukup luas dimana berfumgsi untuk memberi gamabran tentang berbagai
macam kehidupan dan alam dan sekitar kemudian disusun secara ilmiah dan
lengkap dengan meliputi urutan fakta masa dengan tafsiran dan penjelasan.
Sejarah Islam suatu yang membicarakan segala hal kehidupan yang dialami
manusia pada masa yang telah lalu, yang merupakan manifestasi/
penjelmaan kerja jiwa manusia Muslim yang didasari dan mencerminkan
ajaran islam dalam arti Islam. Islam Agama islam merupakan agama
samawi yang dibawakan oleh Nabi Muhammad saw.
Beliau memulai dakwah di tanah kelahirannya, Mekkah Al-
Mukkaramah. Awal berdakwah, beliau hanya diikuti oleh beberapa orang
terdekat saja. Banyak dari kalangan kaum Quraisy yang menentang ajaran
beliau. Hingga akhirnya sekitar sepuluh tahun berdakwah jumlah pengikut
beliau masih terbilang sedikit.
Ditahun kesebelas kenabiannya, beliau dan umatnya memutuskan
untuk hijrah ke kota Madinah. Disinilah Nabi Muhammad mulai menyusun
strategi dakwah untuk mengajak lebih banyak orang mengikuti ajaran Islam.
Hal pertama yang dilakukan nabi adalah dengan membangun pemerintahan
Islam terlebih dahulu. Dari hal ini dapat terlihat mampu untuk
meningkatkan jumlah umat Islam yang semakin hari, semakin bertambah.
Gambaran tentang sejarah kebudayaan Islam diperhitungkan sejak
Islam diterima oleh Rasulullah sampai massa timbulnya pemikiran dan
berbagai macam aliran. Modernisasi barat berkembang pesat dikarenakan
sejarah kebudayaan Islam yang dibagi menjadi tiga periode, yaitu : periode
klasik, periode pertengahan, dan periode modern. Adanya perkembangan
setiap zaman pada masa lalu ini tentunya dipengaruhi oleh pakar-pakar
tertentu yang sudah menguasai bidangnya masing-masing.

1
1.2 Rumusan Masalah
 Apa pengertian dan fungsi sejarah peradaban Islam?
 Bagaimana periodesasi sejarah dan kebudayaan Islam?
 Siapa saja para pakar muslim tentang sejarah dan peradaban Islam?

1.3 Tujuan
 Mengetahui manfaat dari mempelajari sejarah peradaban Islam
 Menambah pengetahun tentang periodesasi sejarah dan kebudayan
Islam
 Mengenal para pakar muslim tentang sejarah dan peradaban Islam

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Peradaban Islam
a. Pengertian Sejarah
Sejarah berasal dari bahasa arab yaitu “syajaratun” artinya
pohon. Dalam bahasa yunani sejarah berasal dari kata “istoria” yang
berarti ilmu. Secara etimologi, sejarah berasal dari bahasa arab yaitu
Tarikh, sirah atau ilmu tarikh artinya ketentuan masa atau waktu. Dan
secara terminologi, sejarah adalah sejumlah keadaan dan peristiwa
penting yang terjadi di masa lampau dan benar-benar terjadi pada
individu dan masyarakat sesuai pada kenyataan-kenyataan alam dan
manusia yang telah terjadi.
Sejarah yang lebih umum adalah masa lampau manusi baik yang
berhubungan dengan peristiwa politik, sosial, ekonomi, maupun gejala
alam. Definisi ini member pengertian bahwa sejarah tidak lebih dari
sebuah rekaman peristiwa masa lampau manusia denan segala sisinya.

b. Pengertian Peradaban
Peradaban yaitu bagian dari kebudayaan yang halus, indah, maju dan
tinggi. Peradaban juga diartikan sebagai kumpulan suatu identitas terluas
dari semua hasil budidaya manusia yang mencakup seluruh aspek kehidupan
manusia yang berupa fisik seperti bangunan, jalan ataupun non fisik seperti
nilai-nilai tatanam, seni budaya maupun iptek, yang di identifikasi dari unsur
obyektif umum, seperti bahasa, sejarah, agama, kebiasaan, institusi ataupun
dengan identifikasi diri yang subyektif. Istilah peradaban seringkali
dipakai untuk memberikan pendapat dan penilaian terhadap
perkembangan kebudayaan yang mana ketika perkembangan
kebudayaan tersebut meraih titik tertinggi

3
c. Pengertian Islam
Secara istilah, Islam bermakna penyerahan diri; ketundukan dan kepatuhan
terhadap perintah Allah serta pasrah dan menerima dengan puas terhadap ketentuan
dan hukum-hukum-Nya Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya
diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia melalui Nabi
Muhammad SAW. Sebagai Rasul. Islam pada hakikatnya membawa
ajaran-ajaran yang bukan hanya mengenai satu segi, tetapi mengenai
berbagai segi kehidupan manusia sumber dari ajaran-ajaran yang
mengambil berbagai aspek itu ialah Al-Quran dan hadist.

d. Pengertian Sejarah Peradaban Islam


Sejarah Islam adalah suatu yang membicarakan segala hal kehidupan
yang dialami manusia pada masa yang lalu, yang merupakan
manifestasi/penjelmaan kerja jiwa manusia muslim yang didasari dan
mencerminkan ajaran Islam dalam arti yang luas. Peradaban islam adalah
terjemahan dari al-hadharah al-islamiyah yang artinya kebudayaan islam.
Sehingga pengertian sejarah peradaban islam adalah kebudayaan islam
yang terjadi pada masa lampau.

e. Fungsi Mempelajari Sejarah Peradaban Islam

1. Untuk mengetahui pandangan, metode penelitian, dan penulisan


sejarah;
2. Untuk mengenal sumber sejarah islam;
3. Untuk mendapatkan sumber-sumber yang benar di antara
sumber-sumber yang banyak dianggap “primer” itu;
4. Sebagai sumber pelajaran dan suri tauladan dari peristiwa pada
masa lalu.

4
2.2 Periodesasi Sejarah dan Kebudayaan Islam
Menurut Nourouzzaman Shiddiqy, sejarah peradaaban Islam dibagi
menjadi tiga periode; pertama, periode klasik (± 650 – 1258 M); kedua,
periode pertengahan (jatuhnya Baghdad sampai ke penghujung abad ke-
17 M) dan periode modern (mulai abad ke-18 sampai sekarang).
Sedangkan menurut Harun Nasution Sejarah peradaaban Islam dibagi
menjadi tiga periode; pertama, periode klasik (650 –1250 an); kedua,
periode pertengahan (1250 – 1800 an) dan periode modern (1800 sampai
sekarang).

2.2.1 Periode Klasik

Periode Klasik merupakan masa kemajuan, keemasan dan


kejayaan Islam dan dibagi ke dalam dua fase. Pertama, adalah fase
ekspansi, integrasi dan pusat kemajuan (650 – 1000 M). Di masa inilah
daerah Islam meluas melalui Afrika utara sampai ke Spanyol di belahan
Barat dan melalui Persia sampai ke India di belahan Timur. Daerah –
daerah itu tunduk kepada kekuasaan Islam. Di masa ini pula lah
berkembang dan memuncak ilmu pengetahuan, baik dalam bidang agama
maupun umum dan kebudayaan serta peradaban Islam. Di masa inilah
yang menghasilkan ulama-ulama besar, seperti Imam Malik, Imam Abu
Hanifah, Imam Syafi’i dan Imam Ibn Hambal dalam bidang Fiqh. Imam
al-Asya’ri, Imam al-Maturidi, Wasil ibn ‘Ata’ , Abu Huzail, Al-Nazzam
dan Al-Jubba’i dalam bidang Teologi. Zunnun al-Misri, Abu Yazid al-
Bustami dan alHallaj dalam bidang Tasawuf. Al-Kindi, al-Farabi, Ibn
Sina dan Ibn Miskawaih dalam bidang Falsafat. Ibn Hayyam, al-
Khawarizmi, al-Mas’udi dan al-Razi dalam bidang Ilmu Pengetahuan,
dan lain-lainnya.
Kedua, fase disintegrasi (1000 – 1250 M). Di masa ini keutuhan
umat Islam dalam bidang politik mulai pecah. Kekuasaan khalifah
menurun dan akhirnya Baghdad dapat dirampas dan dihancurkan oleh
Hulagu Khan di tahun 1258 M. Khalifah sebagai lambang kesatuan
politik umat Islam

5
2.2.2 Periode Pertengahan

Periode pertengahan juga dibagi ke dalam dua fase. Pertama, fase


kemunduran (1250 – 1500 M). Di masa ini desentralisasi dan disintegrasi
bertambah meningkat. Perbedaan antara Sunni dan Syi’ah dan juga antara
Arab dan Persia bertambah nyata kelihatan. Dunia Islam terbagi dua.
Bagian Arab yang terdiri dari Arabia, Irak, Suria, Palestina, Mesir dan
Afrika utara berpusat di Mesir. Bagian Persia yang terdiri dari Balkan,
Asia kecil, Persia dan Asia tengah berpusat di Iran. Kebudayaan Persia
mendesak kebudayaan Arab. Pada fase ini, di kalangan umat Islam
semakin meluas pendapat bahwa pintu ijtihat tertutup. Demikian juga
tarekat dengan pengaruh negatifnya. Perhatian pada ilmu pengetahuan
kurang sekali. Umat Islam di Spanyol dipaksa masuk Kristen atau keluar
dari daerah itu.
Kedua, fase tiga kerajaan besar (1500 – 1700 M) dan masa
kemunduran (1700 – 1800 M). Tiga kerajaan besar tersebut adalah
kerajaan Usmani di Turki, kerajaan Safawi di Persia dan kerajaan
Mughal di India. Kejayaan Islam pada tiga kerajaan besar ini terlihat
dalam bentuk arsitek sampai sekarang dapat dilihat di Istambul, Iran dan
Delhi. Perhatian pada ilmu pengetahuan kurang sekali. Masa
kemunduran, Kerajaan Safawi dihancurkan oleh serangan-serangan
bangsa Afghan. Kerajaan Mughal diperkecil oleh pukulan-pukulan raja-
raja India. Kerajaan Usmani terpukul di Eropa. Umat Islam semakin
mundur dan statis. Dalam pada itu, Eropa bertambah kaya dan maju.
Penjajahan Barat dengan kekuatan yang dimilikinya meningkat ke dunia
Islam. Akhirnya Napoleon menduduki Mesir di tahun 1748 M. Saat itu
Mesir adalah salah satu pusat peradaban Islam yang terpenting.

2.2.3 Periode Modern

Periode modern (1800 – sekarang) merupakan zaman kebangkitan


umat Islam. Jatuhnya Mesir ke tangan Barat menginsafkan dunia Islam
akan kelemahannya dan menyadarkan umat Islam bahwa di Barat telah
timbul peradaban baru yang lebih tinggi dan merupakan ancaman bagi

6
umat Islam. Raja – raja dan para pemuka Islam mulai memikirkan
bagaimana meningkatkan mutu dan kekuatan umat Islam kembali.
Dengan demikian, keadaan menjadi berbalik seratus delapan puluh
derajat. Kalau di periode klasik, orang Barat yang kagum melihat
kebudayaan dan peradaban umat Islam, tetapi di periode modern umat
Islam yang heran melihat kebudayaan dan kemajuan Barat. Karena umat
Islam heran melihat alat-alat ilmiah seperti teleskop, mikroskop, alat-alat
untuk percobaan kimiawi, dan dua set alat percetakan dengan huruf
Latin, Arab dan Yunani yang dibawa serta oleh Napoleon. Jadi, di
periode modern ini, timbul lah pemikiran – pemikiran, ide – ide mengapa
umat Islam lemah, mundur, dan bagaimana mengatasinya, dan perlu
adanya pembaharuan dalam Islam.
Dari uraian di atas dapat dilihat perjalanan sejarah naik turunnya
peradaban Islam mulai dibentuk pada masa Nabi, mengalami
pertumbuhan di masa Daulah Umaiyah Suria, dan masa puncak di masa
Dinasti Abbasiyah Baghdad dan Dinasti Umayah Spanyol, serta
memasuki masa kemundurannya pada periode pertengahan, hal itu
menimbulkan kesadaran bagi umat Islam untuk kembali bangkit di
periode modern.

2.3 Pakar Muslim dalam Sejarah dan Peradaban Islam

A. Al-Thabari

Nama Lengkap : Abu Ja’far Muhammad Ibn


Jarir al-Thabari
Wafat : Bagdad, 310 H/923
M
Tempat, Tanggal Lahir : Amul, Tabaristan 225
H/839 m
Bidang Keahliaan : Sejarah, ensiklopedia, ahli tafsir,
ahli qira’at, ahli hadist, dan ahli fikih

7
1. Al-Thabari sebagai Sejarawan
Dalam bidang sejarah dia dapat dibandingkan dengan Bukhari dan
Muslim dalam bidang hadist. Kitab Tarikh al-Umam wa al-Muluk ini
sudah beberapa kali diterbitkan ulang dengan diringkas dan diterbitkan
di Leiden. Untuk mengetahui kandungan kitab beliau yang lebih dalam
dibutuhkan kajian dengan karya sejarawan yang sezaman dengannya.
Kitab al-Thabari dalam bidang sejarah ini sebenernya sudah
diterjemahkan ke dalam Bahasa Prancis pada tahun 963 M. Akan tetapi,
kitab ini diringkas dengan banyak penambahan dari sumber lainnya.
Kitab ini sudah diterjemahkan dalam Bahasa Turki dan Bahasa Arab
juga.
Pada bagian pertama, al-Thabari memulai sejarah para rasul dan
raja-raja itu dengan mengetengahkan sejarah Nabi Adam dan nabi-nabi
permulaan dan sistem pemerintahan mereka. Pada bagian selanjutnya, ia
mengetengahkan sejarah kebudayaan Sasania (Persia). Riwayat-riwayat
yang dikumpulkannya yang berhubungan dengan sejarah Sasania
tersebut dikutipnya dari naskah berbahasa Arab dari buku raja-raja Persia
yang diterjemahkan oleh Ibn Muqaffa’. Dalam hal itu, al-Thabari tidak
banyak berusaha menganalisis kaitan sejarah antara satu peristiwa
dengan peristiwa lainnya. Dia hanya mengumpulkan peristiwa-peristiwa
itu, meskipun ada yang saling bertentangan, karena demikianlah
informasi yang sampai kepadanya, dan dia pun enggan mempertanggung
jawabkan kebenaran peristiwa-peristiwa itu. Pada bagian ini, dia juga
memaparkan sejarah bangsa Romawi, bangsa Yahudi, dan bangsa Arab
sebelum Islam.[9]
Adapun pada bagian kedua, al-Thabari memaparkan sejarah Nabi
Muhammd saw., peristiwa-peristiwa penting yang dilaluinya dan perang-
perang yang dipimpinnya. Setelah itu ia memaparkan sejarah Islam pada
masa al-Khulafa’ al-Rasyidun termasuk didalamnya ekpansi-ekspansi
yang terjadi pada saat ini. Sejarah Dinasti Umawiyah merupakan bagian
tersendiri, dan karyanya itu diakhiri dengan sejarah ‘Abbasiyah.

8
Peristiwa yang terakhir yang diangkat oleh al-Thabari adalah peristiwa
yang terjadi pada tahun 302 H (915 M).
Dalam mengumpulkan bahan-bahan sejarah ini, dia bersandar
kepada riwayat-riwayat yang sudah dibukukan dan yang belum
dibukukan. Berkenaan dengan peristiwa-peristiwa yang hampir sezaman
dengannya, ia melakukan pengumpulan riwayat-riwayat yang belum
dibukukan dengan banyak melakukan perjalanan ke berbagai negeri
untuk menuntut ilmu dan belajar kepada ulama-ulama.

2. Metode sejarah al-Thabari


Dilihat dari karya sejarahnya yang terkenal ini, dapat bdisimpulkan
beberapa hal yang berkenaan dengan metode yang digunakan al-Thabari
dalam menulis sejarah, yang membedakannya dengan sejarawan-
sejarawan sebelum dan sesudahnya. Hal-hal yang berkenaan dengan
metode penulisan sejarah al-Thabari ini adalah:[10]
a. Bersandar kepada Riwayat
Setiap informasi yang disajikannya didalam kitab sejarahnya ini
disandarkannya kepada para perawi. Dalam hal ini dia berpendapat
bahwa sejarawan tidak otentik apabila hanya bersandar kepada logika
dan kias. Didalam muqaddimah kitabnya itu dia berkata: “hendaknya
para pembaca mengetahui bahwa semua informasi yang disajikan
didalam kitab ini adalah informasi yang aku peroleh/terima/dengar dari
perawinya langsung, dan aku tidak menyandarkannya kepada alasan-
alasan logika, kecuali sangat sedikit.”
Karena disandarkan hanya kepada perawinya, maka didalam
kitabnya ini banyak ditemukan informasi yang berbeda-beda tentang
peristiwa yang sama. Dalam hal ini, al-Thabari sendiri membiarkan para
pembaca untuk menyeleksi, menilai, dan memilih informasi-informasi
yang disajikan itu.

9
b. Sangat Memperhatikan Sanad
Setiap informasi yang disajikan di dalam kitab ini disertai
penyebutan perawinya dan sanadnya sehingga sehingga sampai kepada
tangan pertama, sebagaimana yang dilakukan oleh para ahli hadits dalam
meriwayatkan hadits-hadits Rasulullah saw. Apabila informasi itu
dikutip dari buku, maka al-Thabari akan menyebutkan nama pengarang
buku itu, misalnya aw qal Muhammad ibn Ishaq, aw qal al-Waqidi
(berkata ibn Kalbi, atau berkata Muhammad ibn Ishaq, atau berkata al-
Waqidi). Jarang sekali al-Thabari menyebut nama buku yang dikutipnya.
Apabila informasi itu didengarnya langsung sendirian, maka di
dalam karyanya itu dia akan berkata: haddatsani fulan .... (“Si Fulan
berkata kepadaku ....”), dan apabila ada orang yang mendengar informasi
itu bersamanya, maka ia akan berkata: haddatsani fulan .... (“Si Fulan
berkata kepada kami ...”). kadang-kadang dia juga menyandarkan
informasi yang dituangkannya di dalam kitabnya itu kepada surat-
menyurat. Misalnya, di dalam karyanya ini dia berkata: kataba ilayya al-
sadiyy ‘an fulan ila akhirih (al-Sadiyy menulis surat kepadaku, dari fulan
dari fulan dan seterusnya).
Akan tetapi, di akhir bukunya, terlihat bahwa dia tidak begitu ketat
kepada sanad ini, seperti tidak lagi menyebut nama sumber pengambilan
informasi. Ahmad Muhammad al-Hufi berpendapat bahwa sebab tidak
ketatnya al-Thabari dalam menyebutkan perawi dan sanad dalam
informasi-informasi yang tertuang di dalam bukunya pada bagian akhir
itu adalah karena informasi-informasi yang disajikan itu dapat
menimbulkan kemurkaan penguasa. 0leh karena itu, al-Thabari berupaya
mencegah terjadinya hal-hal yang tidak di inginkan terhadap sumber
informasi tersebut.[11]
c. Sistematika Penulisan Bersifat Kronologi Berdasarkan Tahun
(hawliyat, annalistic form)
Pada bagian bukunya yang menyajikan informasi sejarah sebelum
Islam, peristiwa-peristiwa itu tidak disusun berdasarkan tahun, karen
6TJa hal itu diluar kemampuannya. Bagian ini dimulainya dengan

10
penciptaan Nabi Adam, kemudian Nabi-nabi dan peristiwa-peristiwa
pada masing-masingnya.
Pada bagian yang menyajikan peristiwa-peristiwa sejarah setelah
kedatangan Islam, sistematika penulisannya dilakukan berdasarkan tahun
demi tahun, sejak awal hijrahnya Nabi Muhammad ke Madinah sampai
tahun 302 H. Pada setiap disajikannya peristiwa-peristiwa yang pantas
disajikan. apabila peristiwa itu berlarut-larut sehingga berlangsung
bertahun-tahun, maka ada dua kemungkinan. Pertama peristiwa itu
dipotong-potongnya sesuai dengan tahun kejadian itu sehingga dapat
disajikan dalam bentuk hawliyat, dan kedua, dia memberi isyarat pada
setiap tahun bahwa peristiwa tertentu itu terjadi, dan kemudian
menjelaskan peristiwa itu secara rinci pada tempat tertentu yang
menurutnya pantas.
Metode hawliyat ini sudah digunakan oleh sejarawan muslim
sebelumnya seperti al-Haytsam ibn ‘adi (w. 208 H), Ja’far ibn
Muhammad ibn al-Azhar (w.276 H), ‘Ammar ibn Wasimah al-Mishri (w.
289 H), dan al-Waqidi (w. 207 H). Metode ini kemudian digunakan pula
oleh sejarawan muslim sesudahnya, seperti ibn al-Atsir, Abu al-Fida’.
Akan tetapi, al-Yaqubi, al-Dinawari, al-Mas’udi, dan ibn Khaldun tidak
menggunakan metode ini. Mereka yang tersebut terakhir ini menulis
suatu peristiwa secara runtut dan rinci dari awal sampai akhir, meskipun
berlangsung dalam waktu bertahun-tahun.[12]
d. Informasi yang umum
Informasi-informasi sejarah yang tidak ada hubungannya dengan
waktu tertentu, ditulis sendiri secara tematik. Misalnya, setelah
membicarakan peristiwa-peristiwa pada masa pemerintahan khalifah
tertentu, setelah itu dia membicarakan sifat-sifat, akhlak, dan
keistimewaan-keistimewaan khalifah bersangkutan. Contohnya, setelah
membicarakan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa pemerintahan
khalifah Harun al-Rasyid, al-Thabari menyajikan riwayat hidup khalifah
Harun al-Rasyid itu secara ringkas yang memakan tempat sekitar sepuluh
halaman. Dalam hal ini dia menyajikan perkara-perkara tertentu yang

11
berhubungan dengan Harun al-Rasyid, seperti, khalifah Harun al- Rasyid
menunaikan shalat setiap hari sebanyak seratus rakaat, mengeluarkan
sedekah dari hartanya sendiri sebanyak seribu dirham setiap hari,
disamping zakat.
e. Menyajikan juga teks-teks sastra (syair)
Al-Thabari dipandang banyak menyajikan teks-teks sastra, seperti
syair, khithabah (pidato), surat-surat, dan perbincangan-perbincangan
dalam peristiwa-peristiwa sejarah. Di antara sejarawan yang melanjutkan
kajian sejarah al-Thabari ini adalah:

1. Kitab al-Muzayyil atau Shilat al-Tarikh karya Abu Muhammad al-


Farghani, seorang murid al-Thabari.

2. Kitab yang dikarang oleh Abu al-Hasan Muhammad al-Hamadzani


(w. 1128). Kitab ini merekam peristiwa sejarah sampai tahun 1094 M.

Ibn Atsir seorang sejarawan Arab sesudah al-Thabari banyak sekali


mengutip riwayat-riwayat al-Thabari. Sejarawan-sejarawan Arab yang
lain sesudahnya juga banyak berhutang budi kepada al-Thabari karena
karya sejarahnya tersebut diatas.

B. Al-Mas’udi

Nama Lengkap : Abu al-Hasan ‘Ali ibn


Husein ibn ‘Ali
Tempat, Tanggal Lahir : Bagdad – Fustat, Mesir 956
M
Wafat : Fustat (Mesir) pada tahun 345H/956M.
Bidang Keahliaan :Sejarawan dan ahli geografis,ahli
geologi, dan ahli zoology Muslim,
juga mempelajari ilmu kalam (theology), akhlaq,
politik, dan ilmu

12
Oleh Ibn Khalikan (608-681/1211-1282), sejarawan muslim
terkenal pada masanya, dia digelari sebagai imam al-mu’arrikbin,
pemimpin para sejarawan. Dia juga digelari sebagai Herodotusnya orang
Arab.
Masa kecilnya tidak banyak diketahui orang. Sebagian besar
sejarawan berpendapat bahwa ia dilahirkan di Baghdad di penghujung
abad ke-9 dan meninggal dunia difustat pada tahun 956M. Namun, Ibn
Nadim dalam kitabnya al–Fibrits (indeks) menyebutkannya sebagai
berasal dari Maghrib.[13] Oleh karena itu ahnad Ramadhan Ahmad
(seorang ahli sejarah), dalam karyanya al–Rihlah wa al-Rahalah al-
Muslimun (wisata dan Para Penjelajah Muslimin) menyimpulkan
pertama, keluarganya datang dari Maghrib ketika ia masih dalam usia
kanak-kanak dan kemudian menetap di Baghdad. Ahmad sendiri tidak
berusaha mengambil pendapat yang lebih kuat.
Setelah menyelesaikan pendidikan pertama yang diterima dari
ayahnya, ia segera merencanakan untuk mendalami sejarah, adat istiadat,
kebiasaan dan cara hidup setiap negeri. Rencananya ini membawanya
mengembara dari satu negeri ke negeri lain. Negeri pertama yang
dikunjungi adalah Iran dan Kiraman (917 M) dan bermukim di ushtukar,
dan dari sana ia melanjutkan pengembaraannya bersama para pedagang
ke Ceylon dan ikut mengarungi Laut Cina. Dengan demikian ia telah
berkeliling di Persia, Asia Tengah, India dan Timur Dekat. Bahkan
menurut riwayat tradisional, dalam perjalanan pulangnya, ia mengelilingi
Lautan Hindia, untuk kemudian mengunjungi Oman, Zanzibar, pesisir
Afrika Timur, Sudan dan bahkan Madagaskar. Beberapa lama kemudian
ia kembali mengadakan perjalanan ke beberapa negeri seperti ke
Tiberias, Palestina, dan Antioch (943 M). Dia juga mengelilingi negeri-
negeri Suriah, Irak, dan Arab Selatan. Sepuluh tahun terakhir hidupnya
dilaluinya mula-mula di Syria dan kemudian di Mesir, tempat ia
meninggal dunia. Oleh sebab itula ia juga dikenal sebagai seorang
pengembara dunia.

13
Ia meninggalkan banyak karangan. Sebagian besar tidak
ditemukan lagi. Yang sampai ke tangan generasi sekarang ini, ada yang
utuh, ada juga dalam bentuk ringkasan. Dia juga menyebut beberapa
karya geografis, yang sampai ke generasi sekarang. Diantara karyanya
yang dapat diketahui adalah sebagia berikut. (1) Dzakba’ir al-Ulum wa
Ma Kana fi Sa’ir al- Duhur (Khazanah ilmu pada setiap Kurun), (2) al–
Istidzkar Lima Marra fi Salif al-A’mar, tentang peristiwa-peristiwa
masa lalu. Kedua buku ini telah diterbitkan ulang di Najaf pada tahun
1955. (3) Tarikh fi akhbar al–Umam min al- ‘Arab wa al-‘Ajam (
Sejarah Bangsa –bangsa, Arab dan Persia), (4) Akhbar al–Zaman wa
Man Abadahu al–Hadtsan min al–Umam al–Madhiyah wa al Ajyal al-
Haliyab wa al-Mamalik al-Da’irab (tentang sejarah umat masa lampau
dan bangsa-bangsa sekarang serta kerajaan-kerajaan mereka). Dikatan
bahwa buku yang memuat sejarah dunia ini terdiri dari 30 jilid. Buku
ini tidak seluruhnya sampai ke tangan generasi sekarang. yang sampai
ke tangan generasi kita hanya dalam bentuk ringkasan. Salah satu
ringkasan yang ditemukan tidak diketahui pengarang nya. Beberapa
manuskrip menyebut bahwa ringkasan itu justru merupakan jilid
pertama dari kitab ini. Meskipun demikian ,materi-materinya termuat
didalam dua karya berikut. (5) al–Awsath. Kitab ini merupakan
ringkasan dari karyanya yang berjudul Akhbar al–Zaman diatas, berisi
kronologi sejarah umum. (6) Muruj al-Dzabab wa al Ma’adin, yang
berarti Padang rumput Emas dan tambang batu pemata. Karya ini
disusunnya pada tahun 947M. Kitab yang sekarang dianggap sebagai
kitab “Turats” (Khazanah Islam Klasik ), ini pertama diterbitkan
kembali pada tahun 1866 M di bulaq dan Kairo. Kitab ini telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis oleh C.B de Maynard dan P.de
Courteille menjadi 9 jilid (Paris 1861 -1877). Sebelumnya, jilid satu
dari kitab itu terjemahkan ke dalam bahasa inggris oleh A. Sprenger
(London, 1841M). Buku ini banyak memuat observasi ilmiah berharga,
yang menunjukan perhatiannya akan prinsip umum geografi. Ia
membuat studi deskriptif dan melakukan pengamatan khusus tentang

14
berbagai bagian dunia. Sebenarnya, pada tahun 956 M, menjelang akhir
hayatnya, ia telah menyelesaikan penulisan sebuah arab yang konon
cakupannya lebih luas dari kitab diatas, tetapi sayang kitabnya ini
belum berhasil ditemukan kembali. (7) al- Tanbib wa al- lsyraf (indiksi
dan revisi ). Kitab ini ditulis pada tahun 956 M itu juga. Buku ini
merupakan ringkasan sekaligus memuat beberapa revisi terhadap
beberapa tulisannya yang lain. Kitab ini telah di edit oleh M.j.de Geoje
(Leiden, 1894) dan telah pula diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis
oleh Carra de Vaux (Paris. 1896).[14]
Selain kitab-kitab ini, beberapa judul karya nya yang tidak
ditemukan lagi disebutkan didalam kitabnya Muruj al- Dzahab. Buku –
buku itu adalah sebagai berikut. (8) al-shafwah fi al-Imamah (tentang
kepemimpinan). (9) al-Istinshar (Kebangkitan). (10) al-Zahi (Masa
Kecemerlangan). (11) al-Intishar al-Mufrad Li Firaq al-Khawarij
(kemenangan tunggal melawan kelompok-kelompok khawarij) (12) al-
Qadhaya wa al-Tajarib (Peristiwa dan pengalaman). Dan (13) Mazhahir
al-Akhbar wa Thara’if al-Atsar (Fenomena dan peninggalan sejarah)
Sesuai dengan rencana studinya semula, ia betul-betul berusaha
mendalami sejarah, adat istiadat, kebiasaan dan cara hidup penduduk
negeri negeri yang dikunjunginya. Ia bahkan juga banyak mempelajari
ajaran Kristen dan Yahudi, dan memahami baik sejarah Barat dan timur
yang berlatar belakang Kristen dan Yahudi itu. Berkenaan dengan
informasi-informasi yang tertuang didalam karya-karyanya tentang
negeri-negeri yang dikunjunginya, didapatnya dari sumber-sumber
primer, terutama negeri-negeri islam
Secara keselurahan,karya-karyanya-bersama karya-karya para
sejarawan besar Muslim lainnya dapat di fungsikan sebagi sumber
berharga untuk memahami pandangan umum Muslim mengenai dunia,
dan juga sebagai bahan penyelidikan pengetahuan yang dimiliki saintis
dan sarjana Muslim tentang geografi dan sejarah alam.
Al-Mas’udi dikenal sebagai seorang pengikut aliran Muktazilah
yang tidak begitu ekstrem. Hal itu dapat diketahui dari karyanya Muruj

15
al-Dzahab. Bahkan ada juga yang menuduhnya sebagai pengikut
Syi’ah. Tuduhan itu bukan tidak beralasan sama sekali, karena ia
memang banyak mengungkapkan, dalam tulisannya, kebesaran syi’ah.
Dalam dua karyanya pertama dan kedua tersebut diatas, ia menyatakan
adanya “wasiat” Nabi kepada Ali ibn Abi Thalib, suatu peristiwa
sejarah yang tidak diakui oleh golongan Sunni dan secara ketat diyakini
oleh golongan Syiah.
Kitab al-Tanbib wa al-Isyraf memuat pandangan filsafatnya
tentang alam, dimana tergambar sintesa pengamatannya tentang evolusi
alam, dan dari mineral sampai ke tanaman, dari tanaman sampai ke
hewan, dan dari hewan kepada manusia. Sebagai contoh terjadinya
evolusi itu, ia berpendapat bahwa jerapah adalah hibrida dari unta dan
macan tutul (panter). Pendapatnya ini berbeda dengan pendapat dengan
pendapat ilmuwan muslim lainnya. Al-Jahiz dan Abu Yahya al-
Qazwini yang berpendapat bahwa jerapah sebagai hibrida dari unta
betina liar dan hyena jantan. Dari sini, sebenarnya kita dapat
mengatakan bahwa pemikiran evolusi dalam islam jauh mendahului
Darwin.[15]
Kitab Muruj al-Dzahab adalah karya ensiklopedia sejarah dan
sekaligus geografis (ilmu bumi) yang bernilai sangat tinggi. Kitab ini
secara garis besar dapat dibagi menjadi dua bagian besar. Bagian
pertama berisi sejarah “Penciptaan” alam dan manusia, sifat-sifat,
bumi, laut, peristiwa luar biasa, riwayat nabi-nabi, sejarah bangsa-
bangsa kuna beserta agama dan alirannya, adat-istiadat dan tradisi.
Bagian kedua khusus berisi sejarah islam mulai akhir masa al-Khulafa
al-Muthi. Berkenaan dengan bagian pertama, terutama yang
berhubungan dengan sejarah bangsa-bangsa kuna, dia banyak mengutip
karya-karya sejarawan sebelumnya. Oleh karena itu, dongeng dan
mitos, sebagaiman juga isra’iliyyat, tidak dapat dihindarinya. Bagian
kedua, berbicara tentang sejarah negeri-negeri yang dikunjungi dan
berlangsung pada masa hayatnya. Ia menjelaskan kehidapan Bani
Hasyim diwilayah kekuasaan ‘Abbasiyah, kehidupan para budak lelaki

16
dan wanita, mawali (orang asing, terutama Persia), kehidupan
masyarakat umum, pembangunan fisik seperti istana beserta segala
perlengkapannya, kebiasaan para pembesar, dan kebiasaan, adat
istiadat, dan tradisi negeri-negeri yang dikunjunginya.
Dia juga memaparkan pembagian bumi ke dalam beberapa
wilayah, sebagaimana ia juga memaparkan pemikirannya tentang
bentuk daratan dan lautan yang menyerupai segmen sebuah bola.
Dalam kitabnya itu ia menulis: “…. Para filosof berbeda pendapat
tentang bentuk lautan. Kebanyakan orang kuna, umpamanya ahli
Matematika Hindu dan Yunani mengatakan bahwa laut itu cembung.
Tapi hipotesis ini ditolak oleh orang yang ketat mengikuti wahyu. Yang
pertama mengajukan banyak alasan untuk membuktikan pernyataan
mereka. Kalau berlayar di lautan, daratan dan gunung makin lama
makin menghilang, hingga orang tidak melihat lagi puncak gunung
yang tertinggi pun, sebaliknya jika orang mendekati pantai, tampaklah
mula-mula pegunungan, dan jika tambah dekat, tampaklah pohon-
pohon dan padang datar, Inilah yang terjadi dengan gunung
Damawand... antara al-Rai dan Tabaristan... Gunung itu terletak kira-
kira 20 farsakh dari laut Kaspia. Jika kapal berlayar di laut ini dan
jaraknya jauh sekali, gunung itu tak tampak; tapi jika kapal itu menuju
pegunungan Tabaristan dan berjarak sekitar 100 farsakh, akan terlihat
bagian gunung ini akan makin tampak, ini adalah bukti nyata tentang
bentuk bulat air laut, yang menyerupai segment sebuah bola”.[16]
Berkenaan dengan langit, dia menyatakan bahwa langit dunia
(langit pertama) tercipta dari permata zamrud berwarna biru, langit
kedua tercipta dari perak berwarna putih, langit ketiga dari yakut
(sejenis batu mulia) berwarna merah, langit keempat dari mutiara
berwarna putih, langit kelima dari emas berwarna merah, langit keenam
dari yakut berwarna kuning, dan langit ketujuh dari cahaya.
Dalam penulisan sejarah, berbeda dengan sejarawan-sejarawan
lainnya yang kebanyakaan pada masa itu menggunakan pendekatan al-
hawliyat (al-Tarikh ‘ala al-sinin atau annalistic form, penulisan sejarah

17
berdasarkan tahun), dia malah sudah menggunakan pendekatan tematik
(al-tshnif al-mawdhu’i) dan tidak lagi menggunakan pendekatan al-
hawliyat itu.Tema-temanya bertolak dari bangsa-bangsa, raja-raja, dan
dinasti-dinasti. Dalam pemamparan sejarah, dia menyajikan materi
dengan menarik, diramu bersama peristiwa-peristiwa politik,
peperangan, dan informasi tentang masyarakat dan adat istiadatnya,
disamping pembahasan geografis yang bernilai tinggi. Dalam hal ini ia
banyak diikuti oleh sejarawan yang datang kemudian, termasuk Ibn
Khaldun

C. Al-Biruni
Nama Lengkap : Abu Rayhan Muhammad ibn
Ahmad al-Biruni al-Khawarizmi
Tempat, Tanggal Lahir : Khawarizm (Turkmenia),
Dzulhijjah 362 H/September 973
Wafat : Ghazna, Rajab 448/13 Desember
1048
Bidang Keahliaan : ilmu-ilmu sejarah, matematika,
fisika, ilmu falak, kedokteran, ilmu-
ilmu bahasa, geogologi, geografi, dan filsafat.

Al-Biruni adalah julukan yang diberikan kepadanya. Dalam bahasa


Khawarizmi, kata ‘biruni” berarti orang asing. Ada dua pendapat
tentang alasan mengapa ia dijuluki sebagai “orang asing” itu. Pendapat
pertama menyatakan bahwa ia dijuluki demikian karena dia, meskipun
berasal dari khawarizmi, dia bermukim disana hanya sebentar, karena
ia sering mengembara. Karena dia sering meniggalkan kota
kelahirannya itu, maka ketika ia kembali kesana, dia dijuluki sebagai
“al-Biruni”, orang asing. Pendapat kedua, menyebutkan bahwa sebab
dia dijuluki demikian karena dia pertama-pertama tinggal disalah satu
daerah di Khawarizmi yang banyak dihuni oleh orang asing
(pendatang). Pendapat kedua ini dipandang oleh Abu al-Futuh sebagai

18
pendapat yang paling kuat[18]. Disamping itu ada juga yang
menyatakan bahwa dia dijuluki demikian karena dia menetap cukup
lama di Birun, sebuah negeri yang terletak didekat Sungai Sind,
di India.
Setelah pindah ke jurjan dan beberapa lama tinggal disana,
kecerdasan dan penguasaan al-Biruni terhadap berbagai disiplin ilmu
sudah menonjol. Oleh karena itu para penguasa jurjan banyak
memperhatikan dan menghormatinya. Penguasa jurjan ketika itu adalah
seorang yang menyukai ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, penguasa
itu meminta al-Biruni untuk menulis. Namun, ia kemudian pindah dari
jurjan ke Kurkanj, sebelah utara Khawarizmi. Ia banyak melakukan
perjalanan ke daerah utara Persia.
Dia adalah seorang yang sangat gemar membaca dan menulis.
Sebagian besar kehidupannya digunakan untuk ilmu. Dia sangat
cenderung menggeluti ilmu-ilmu yang bertolak dari empirik, yaitu dari
pengalaman dan eksperimen. Demikian giatnya dalam dunia ilmu,
sehingga terlihat seolah-olah dia mengabaikan kehidupan materialnya
demi menuntut ilmu. Untuk memperhatikan berbagai cabang, ia
menguasai beberapa bahasa: Khawarizmi, Arab, Persia, sansekerta,
Yunani, ibrani dan suryani.
Diantara guru-gurunya adalah ‘Abd al-Shamad ibn ‘Abd al-
Shamad, Abu Sahal al- Masihi dan Abu al-Wafa’ al-Buzjani dalam
bidang astronomi, kedokteran, dan matematika. Dia juga berguru
kepada Abu Nashr Manshur ibn ‘Ali ibn ‘Iraq dalam bidang
ilmu ukur (handasah).[19]
Dalam bidang filsafat, disebutkan bahwa dia menjalin hubungan
intelektual dengan Ibn Sina, seorang Filosof besar dalam islam,
dengan surat-menyurat, meskipun pemikiran filsafat keduanya
berbeda. Al-Biruni, berbeda dari Ibn-Sina, tidak begitu terikat dengan
paripatetik dan bahkan juga dengan pemikiran filsafat Yunani secara
keseluruhan. Dia adalah seorang yang kritis dan berpikiran lebih bebas.
Meskipun dia banyak melakukan kritik terhadap pemikiran

19
filsafat Aristoteles, pengaruh ibn Sina, al-Kindi, dan al-Mas’udi,
banyak mempengaruhi pemikiran filsafatnya.[20] Hanya saja, sangat
disayangkan, karya-karya filsafatnya banyak tidak sampai ke generasi
sekarang karena hilang.
Dalam bidang astronomi islam, al-Biruni menulis karangan
yang berjudul al-Qaumun al-Mas’udi untuk dipersembahkan kepada
Sulthan Mas’ud al-Ghaznawi. Dalam bidang astrologi, dia menulis
sebuah buku tentang elemen astrologi.
Ketika Mahmud al-Ghaznawi menguasai Asia Tengah,
termasuk wilayah kekuasaan dinasti Khawarizmi, al-Biruni diminta
oleh Mahmud al-Ghaznawi untuk pindah ke istananya di Ghazna.
Selama hidup bersama Mahmud al-Ghaznawi, Mas’ud al-Ghaznawi, al-
Biruni banyak melakukan perjalanan wisata (rihlah) ilmiah ke negeri-
negeri Hindu yang sudah ditaklukan dinasti Ghaznawiyah. Bahkan
disebutkan bahwa sebagian besar hidupnya dihabiskannya di India,
terutama diwilayah Pakistan sekarang. Ketika itulah dia mempelajari
bahasa sansekerta, yang memungkinkannya untuk mengetahui sumber-
sumber kebudayaan India dan berhubungan dengan pendeta-pendeta
agama Hindu. Dalam perihalnya ini dia melakukan penelitian tentang
negeri-negeri yang dikunjunginya, searah, kebudayaan, dan agamanya.
Dalam penelitian itu, dia berusaha mendapat informasi dari tangan
pertama. Tentu saja dia menguasai bahasa negeri-negeri yang
dikunjunginya, yaitu bahasa sansekerta. Hal ini disebabkan karena dia
belajar dengan ilmuwan-ilmuwan Hindu. Melalui bahasa yang
dimilikinya dia berhasil melakukan dialog dengan pendeta-pendeta dan
ilmuwan-ilmuwan hindu dan berhasil menghimpun banyak informasi
tentang India. Berkenaan dengan karyanya tentang India ini, dia
cenderung untuk melakukan penelitian untuk mendapatkan
pengetahuan dengan bersandar kepada sumber-sumber India yang
ditulis ilmuwan pada masa sebelumnya atau yang semasa denganya.
Pada tahun 1017 dia mengarang sebuah buku terkenal yang berjudul al-
Hind. Karyanya ini, untuk masa itu, dinilai sebagi kajian terbaik

20
mengenai agama Hindu, sains dan adat-istiadat India pada abad
pertengahan. Data-data yang dihimpunnya dinilai akurat dan obyektif.
Dia adalah ilmuwan muslim pertama yang mempelajari filsafat hindu
.[21]
Sebagaimana al-Mas’udi, perhatiannya terhadap gerak bumi
mengelilingi matahari sudah ada. Dikatakan bahwa bukunya dalam hal
ini termasuk dalam buku-buku yang hilang itu. Seperti tertera dalam
suratnya kepada Ibn Sina, ia menyatakan bahwa gerak elipsis lebih
mungkin dari pada gerak melingkar pada planet.
Dalam dunia ilmu pada umumnya, dia dikenal sebagi seorang
ilmuwan-ilmuwan muslim yang mengembangkan teori eksperimen.
Pengetahuan, menurutnya, tidak mungkin dapat melalui pemikiran
rasional belaka, sebagaimana yang dianut oleh aliran Paripatetik. Dia
selalu berusaha menyaksikan langsung segala perkara yang dikajinya.
apa yang disaksikannnya itu dianalisis dan kemudian dirumuskannya .
Schoun berpendapat, bahwa al-Biruni adalah orang intelektual terbesar
dalam sejarah”, dan seorang orientalis yang lain menyatakan, bahwa
“merupakan hal yang mustahil penelitian pembahasan tentang
sejarah, astronomi, atau matematika, tanpa memandang karya-karya
ilmuwan-ilmuwan yang kreatif ini”… mungkin keistimewaan terbesar
al-Biruni adalah semangat ilmiahnnya, ketulusannya terhadap realitas,
dan seruannya, untuk memahami kesatuan asal-usul manusia dan ilmu
pengetahuan, diantara bangsa-bangsa, dalam dunia yang satu”.[22]

1. Karya-karyanya
Karyanya sangat banyak, tidak kurang dari seratus delapan puluh
buku. Namun, hanya sebagian kecil saja yang sampai ketangan generasi
sekarang. Di antaranya yang sudah ditemukan adalah (1) al-Atsar al-
Baqiyah ‘an al-Qurun al-Khaliyah (Peninggalan abad-abad masa lalu).
Buku ini adalah karyannya yang terkenal dan terpenting. (2) Tahqiq ma
li al-Hind min Maqulah Maqbulah fi al-Aql aw Mardzulah. buku ini
dikenal juga dengan nama lain, yaitu al-Hin al- Kabir. Secara ilmiah,

21
buku ini tidak kurang penting dari kitab yang pertama. (3) al-Kusuf wa
al-Khusuf ‘ala al-khayal al-Hunud (Pandangan Orang Hindu terhadap
Gerhana Matahari dan Gerhana bulan . (4) al-Hawy.(5) Maqalid ‘Ilm
al-Hayah, dan lainnya.

2. Metode Sejarah
Dua karyanya yang tersebut pertama dapat dikatakan sebagai
karya sejarah, meskipun tidak seluruh kandungannya berkenaan dengan
sejarah. Metode dalam melakukan penelitian sejarah dia melakukan
wawancana dengan ahlul kitab, penganut sekte-sektenya, dan orang-
orang yang memiliki pengetahuan tentang masalah yang diteliti. Cara
ini menurut al-Biruni sendiri adalah cara yang sulit
dilakukan,[23] apalagi objek kajian berkenaan dengan zaman yang
sudah lama berlalu, sejauh ini yang bisa dilakukan kritik berdasarkan
rasio, informasi itu perlu diperbaiki, tetapi apabila tidak, maka
informasi itu diambil sebagaimana adanya.
Dari kedua karyanya ini dapat diketahui metodenya dalam melakukan
penelitian sejarah.
Di dalam bukunya yang pertama sangat jelas disebutkan bahwa dalam
melakukan penelitian sejarah dia melakukan wawancara dengan ahlul
kitab, penganut sekte-sektenya, dan orang-orang yang memiliki
pengetahuan tentang masalah yang diteliti.

22
D. Ibn Khaldun
Nama lengkapnya : Waliyuddin ‘Abd al-Ramhan ibn
Muhammad ibn Muhammad ibn
Abi bakr Muhammad ibn al-Hasan
ibn Khaldun
Tempat, Tanggal Lahir : Tunisia di awal bulan
Ramadhan 732 H (27 mei 1333 M)
Wafat : kairo pada tanggal 25 Ramadhan 808 H (19 maret
1406 M).
Bidang Keahliaan : sejarawan, sosiologi Islam, ahli politik
Islam,Ekonomi Islam

Keluarganya berasal dari Hadhramaut dan silsilahnya sampai


kepada seorang sahabat Nabi yang bernama Wayl ibn Hujr dari kabilah
Kindah. Salah seorang cucu Wayl, Khalid ibn Utsman, memasuki
daerah Andalusia bersama orang-orang Arab penakluk di awal abad ke-
3 H (9 M). Anak cucu Khalid membentuk suatu keluarga yang besar
dengan nama Bani Khaldun. dari Bani inilah nama ibn Khaldun berasal.
Bani Khaldun ini pertama kali berkembang di kota Qarmunah di
Andalusia di kota inilah mereka bertempat tinggal sebelum hijrah ke
kota Isybilia (Seville). Di kota yang terakhir ini bintang Bani Khaldun
mulai bersinar. Anggota keluarga Bani Khaldun menduduki beberapa
jabatan penting. Ketika dinasti al-Muwahhidun mengalami
kemunduran di Andalusia, Bani Hafsh, penguasa Isybilia, hijrah ke
Tunisia, Afrika karena daerah kekuasaannya jatuh ke tangan penguasa
Kristen. Bani Khaldun juga ikut hijrah ke sana. Abu Bakr diangkat
menjadi gubernur di Tunisia, sementara anaknya, muhammad ibn Abi
Bakr, kakek ibn Khaldun, menjadi menteri kehakiman. Walaupun
kekuasaan Bani Hafsh di Tunisia jatuh ke tangan pemimpin al-
Muwahhidun, Amir Abu Yahya al-Lihyani (711 H), kakek ibn Khaldun
tetap menduduki jabatan penting. Akan tetapi, salah seorang puteranya,

23
Abu Abdillah Muhammad, ayah ibn Khaldun, tidak terjun ke dunia dan
cenderung memasuki dunia ilmu dan pendidikan.

Secara umum kehidupan Ibnu Khaldun dapat dibagi menjadi empat


fase, yaitu:[24]
1. Pertama, fase kelahiran, perkembangan, dan studi. Fase ini berlangsung
sejak kelahiran sampai usia dua puluh tahun, yaitu dari tahun 732 H-
1332 M hingga tahun 751 H/1350 M. Fase ini dilaluinya di tunis.
2. Kedua, fase bertugas di pemerintahan dan terjun ke dunia politik di
maghrib dan Andalusia, yaitu dari tahun 751 H/1350 M sampai tahun
776H/1374 M.
3. Ketiga, fase kepengarangan, ketika dia berpikir dan berkontemplasi di
Benteng Ibn Salman milik Banu Arif, yaitu sejak tahun 776 H/1374
M sampai 784 H/1382 M.
4. Keempat, fase mengajar dan bertugas sebagai Hakim Negeri di Mesir,
yaitu dari tahun 784 H/1382 M sampai wafatnya tahun 808 H/1406 M.

Tiga dinasti yang terkenal di antaranya adalah :


1. Dinasti Bani Hafsh di Maghrib Dekat, Tunisia, dan wilayah di
antara keduanya.
2. Dinasti Bani Abd al-Wad di Maghrib Tengah dengan ibukotanya
Tilimsan.
3. Dinasti Bani Marin di Maghrib jauh dengan ibukota Fez.

Ketika Fez jatuh ke tangan Sulthan Abu al-Abbas Ahmad


(776H/1374 M), ibn Khaldun pergi ke Granada untuk kedua kalinya.
Namun, Sulthan Bani Ahmar di sana meminta ibn Khaldun untuk
meninggalkan wilayah kekuasaannya dan kembali ke Afrika Utara.
Meski sudah bersalah, ibn Khaldun diterima kembali oleh penguasa
Tilimsan, Abu Hammu, menerimanya dengan senang hati.
Sesampainya di Tilimsan, dia berjanji pada dirinya sendiri, tidak akan
terjun lagi dalam dunia politik. Dia akhirnya menyepi di Qal’at

24
(Benteng) ibn Salamah dan menetap di sana sampai 780 H (1378 M).
Di sinilah dia mengarang kitab monumentalnya Kitab al-Tharwa
Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar fi Ayyam al-‘Arab wa al- Ajam wa
al-Barbar wa man Siwahum min Dzaw al-Sulthan al-Akbar (disingkat
al-Tbar) yang terdiri dari tujuh jilid besar. Kitab ini berisi kajian sejarah,
dan didahului oleh sebuah pembahasan tentang masalah-masalah sosial
manusia yang dikenal dengan nama Muqaddimah ibn Khaldun yang
sekaligus merupakan jilid pertama dari kitab al-‘ibar.
Kitab Muqaddimah itu membuka lebar-lebar jalan menuju bahasan
ilmu-ilmu sosial. Oleh karena itu dalam sejarah islam, ibn Khaldun
dipandang sebagai peletak dasar ilmu-ilmu sosial dalam Islam.

Selama di Mesir dia kembali merivisi dan menambah pasal-pasal


kitab Muqaddimah dan al-‘ibar. Peristiwa-peristiwa terbaru
dimasukkannya, demikian juga temuan-temuan ilmiahnya, seperti
konsep-konsep sosiologis. Selain kitab al-Tbar yang muqaddimah
sebagai jilid pertamanya, ibn Khaldun juga menulis kitab lain yang juga
bernilai sejarah sangat tinggi. Di antaranya adalah al-Ta’rif bi ibn
Khaldun, sebuah autobiografiyang dijadikannya sebagai dzayl, catatan,
dari kitab sejarahnya tersebut di atas. Ia juga menulis sebuah kitab
teologi berjudul Lubab al-Muhashshal fi Ushul al-Din yang merupakan
ringkasan dari kitab Muhashshal Afkar al-Mutaqaddimin wa al-
Muta’akhkhirin karya imam Fakhr al-Din al-Razi. Di samping
ringkasan ia juga menulis pendapat-pendapatnya dalam masalah teologi
dalam kitab itu.

25
2. Metode Sejarah Ibn Khaldun

a. Syarat-Syarat Yang Harus Dipenuhi Seorang Sejarawan


Di dalam pendahuluan kitab Muqaddimah-nya, Ibn Khaldun
menyebutkanbeberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang sejarawan
bila ingin tulisannya tidak ditolak oleh pembaca karena dianggap tidak
benar syarat-syarat itu adalah sebagai berikut :

1. Sarjana yang terjun langsung ke lapangan sejarah membutuhkan


pengetahuan tentang prinsip-prinsip politik, watak segala yang ada,
perbedaan bangsa-bangsa, tempat-tempat dan periode-periode dalam
hubungannya dengan sistem kehidupan, nilai-nilai akhlak, kebiasaan, sekte-
sekte mazhab-mazhab, dan segala ikhwal lainnya.
2. 2) Dia harus membandingkan kesamaan-kesamaan, atau membedakan
keadaan-keadaan, kini dan masa lalu. Dia harus mengetahui sebab
timbulnya kesamaan dalam beberapa situasi, dan sebab timbulnya
perbedaan dalam situasi lainnya.
3. 3) Dia harus mengetahui keadaan dan sejarah orang-orang yang
mendukung suatu peristiwa. Sasarannya tidak lain adalah untuk melengkapi
tentang sebab terjadinya setiap peristiwa dan untuk mengenal asal muasal
masing-masing.

b. Sebab-Sebab Kesalahan dalam Penulisan Sejarah


Menurut Ibn Khaldun ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya
kesalahan dalam penulisan sejarah. Sebab-sebab tersebut sebagai berikut :

1. Kecendrungan orang untuk menerima begitu saja berita yang sesuai dengan
pendapat atau kepercayaannya, tanpa penyelidikan terlebih dahulu. Atau
dengan terminologi dalam ilmu jiwa, dikatakan bahwa sebab kesalahan
dalam hal ini merupakan faktor psikologis murni. Karena penilaian-
penilaian orang tersebut telah terpengaruh oleh pendapat-pendapat yang
telah masuk ke pikirannya sebelumnya, yakni pendapat-pendapat yang

26
berkembang dalam masyarakat, yang berupa paham-paham yang
mengarahkan pemikiran orang perorang sehingga mempengaruhi penilaian
mereka.[25]
2. Kepercayaan yang berlebihan kepada para penutur, padahal penuturan apa
pun seharusnya baru bisa diterima apabila telah
dilakukan ta’dil dan tajrih (personality criticism).
3. Ketidaksanggupan memahami apa yang sebenarnya dimaksud. Banyak para
pencatat sejarah yang jatuh dalam kesalahan karena mereka tidak dapat
memahami maksud sebenarnya dari apa yang dilihat dan didengarnya.

4. Kepercayaan yang salah kepada ‘kebenaran’.


5. Ketidaksanggupan menempatkan dengan tepat suatu kejadian dalam
hubungan peristiwa-peristiwa yang sebenarnya, karena kabur dan rumitnya
keadaan.

3. Sebagai Filosof Sejarah


Di dalam mengantar kitab Muqaddimah-nya Ibn Khaldun membagi
sejarah ke dalam dua aspek : aspek lahir dan batin. Secara lahir, sejarah
tidak lebih dari pada berita-berita tentang peristiwa-peristiwa, negara-
negara, dan kejadian-kejadian pada abad-abad yang silam. Dalam
perjamuan-perjamuan besar, peristiwa-peristiwa itu dituturkan sebagai
sajian. Sedangkan secara batin (hakikat)-nya, dalam sejarah terkandung
pengertian observasi dan usaha mencari kebenaran, keterangan yang
mendalam tentang sebab dan asal mula kejadian, serta pengertian dan
pengetahuan tentang substansi, essensi, dan sebab-sebab terjadinya
peristiwa.
Dalam menyusun informasi sejarah itu semua, dia menggunakan
sistematika yang tidak biasa pada masa itu. Dia sadar betul bahwa apa
yang dilakukannya itu merupakan hal yang baru yang besar manfaatnya,
karena menurutnya dengan cara barunya ini akan tercapai makna dan
tujuan pengkajian sejarah.

27
Ilmu baru yang dimaksud Ibn Khaldun itu, menurut Zaynab al-
Khudhayri adalah filsafat sejarah yang di Eropa baru dikenal beberapa
abad kemudian. Banyak tokoh pemikir dunia yang memandang Ibn
Khaldun sebagai pengasas filsafat sejarah. Di antara mereka adalah
Arnold Tovnbee (sejarawan terkenal), Robert Flint (guru besar sejarah
pada Universitas Edinburgh) dll, semua terkenal pada negara masing-
masing.
Pemikiran filsafat sejarah Ibn Khaldun terlihat dalam pendapatnya
yang menyatakan bahwa, masyarakat adalah makhluk historis yang
hidup dan berkembang sesuai dengan hukum-hukum yang khusus
berkenaan dengannya. Di antara hukum atau faktor yang mengendalikan
sejarah itu, menurut Ibn Khaldun, ashabiyah (fanatisme, kesukuan,
nasionalisme) merupakan asas berdirinya negara. Dia juga berpendapat
bahwa faktor ekonomi adalah faktor terpenting yang menyebabkan
terjadinya perkembangan masyarakat.[26]

28
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sejarah adalah bagian masa lalu yang berpengaruh
terhadap interaksi makhluk dan alam saat itu. Sejarah
dipelajari agar kita menambah wawasan akan hal masa
lalu. Sejarah islam dibagi menjadi 3 fase, yaitu : klasik,
pertengahan, dan modern. Dalam terwujudnya kemajuan
juga diikuti dengan beragam pakar yang membantu
kehidupan dunia ilmu pengetahuan saat itu.

3.2 Saran
 Penyusun dapat membuat makalah yang lebih baik
sesuai sistematika
 Penyusun dapat mempelajari lebih dalam materi
yang dibahas

29
DAFTAR PUSTAKA
Al zahroh, Muthiah dkk. 2017. Sejarah Peradaban Islam.
https://www.academia.edu/36336960/SEJARAH_PERADABAN_ISLAM. 26
November 2019 (17.30).
Anto, Tari. Makalah Sejarah Peradapan Islam.
https://www.academia.edu/32059742/Makalah_sejarah_peradapan_islam. 26
November 2019 (17.20).
Yatim, Badri. 2009. Perkembangan Historiografi Islam. Jakarta : Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah.
Dr. H. Syamruddin Nasution. M.Ag. 2013. Sejarah Peradaban Islam. Halaman 5 –
8. Diakses pada tanggal 25 November 2019. Tersediadi:
http://repository.uinsuska.ac.id/10391/1/Sejarah%20Peradaban%20Islam.pd
f
Destri, Adela dkk. 2016. Sejarawan Muslim Terkenal Pada Masa Klasik dan
Pertengahan Serta Karya Sejarahnya.. Dialses pada tanggal 25 November
2019.http://pamungkas97.blogspot.com/2016/04/kel-5-hi-sejarawan-
muslim-masa-klasik.html

30

Anda mungkin juga menyukai