PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembicaraan tasawuf tidak terlepas juga dengan pembicaraan tentang
derajat-derajat kedekatan seseorang sufi kepada Tuhannya. Tingkatan atau derajat
dimaksud dalam kalangan sufi diistilahkan dengan maqam. Semakin tinggi
jenjang kesufian maka semakin dekat pula sufi tersebut kepada Allah Swt. Namun
demikian, para sufi juga memiliki perbedaan pendapat tentang maqam tersebut,
terutama mengenai yang mana maqam yang lebih tinggi dan yang mana maqam
yang lebih rendah. Hal ini terjadi karena tidak didapati dalil yang jelas tentang hal
ini, baik dari nash Alquran maupun Sunnah. Istilah maqam di kalangan para sufi
kadang kala disebut dengan ungkapan jamaknya yaitu maqamat. Menurut al-
Qusyairi yang dimaksud dengan maqam adalah hasil usaha manusia dengan kerja
keras dan keluhuran budi pekerti yang dimiliki hamba Tuhan yang dapat
membawanya kepada usaha dan tuntunan dari segala kewajiban.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Maqam dalam Tasawuf?
2. Apa macam - macam maqam dalam tasawuf?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Maqam dalam Tasawuf
2. Untuk mengetahui macam - macam Maqam dalam Tasawuf
PERBAHASAN
2. Zuhud
Zuhud atau asketisme secara etimologi berasal dari kata zahada, artinya
raghiba ‘anhu wa taraka (benci dan meninggalkan sesuatu). Secara terminology,
zuhud ialah menjauhkan diri dari segala sesuatu yang berkaitan dengan dunia.
Zuhud merupakan pendekatan penting dalam tahap awal perjalanan spiritual,
namun tidak dianjurkan bagi seseorang yang hendak mencapai kesempurnaan.
Sebab asketisme ini mengabaikan sebab-sebab sekunder, padahal melalui sebab-
sebab sekunder inilah manusia mendapatkan pengetahuan tentang Allah.
Menurut Prof. Dr. H. M. Amin Syukur, M.A. bahawa secara terminologi zuhud
tidak dapat dilepaskan dari dua hal. Pertama, zuhud sebagai bagian tidak
terpisahkan dari tasawuf. Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam dan gerakan
protes. Apabila tasawuf dartikan adanya kesadaran dan komunikasi langsung
antara manusia dan Tuhan sebagai perwujudan ihsan maka zuhud merupakan
suatu maqam menuju tercapainya perjumpaan atau ma’rifat kepadanya.
Zuhud adalah sebuah ungkapan yang menunjukkan berkurangnya kesenangan
akan sesuatu karena menginginkan yang lebih baik dari itu.
Dilihat dari maksudnya, zuhud terbagi menjadi tiga tingkatan. Pertama
(terendah), menjauhkan dunia ini agar terhindar dari hukuman di akhirat. Kedua,
menjauhi dunia dengan menimbang imbalan di akhirat. Ketiga, mengucilakn
dunia bukan karena takut atau karena berharap, tetapi karena cinta kepada Allah
3. Faqr (Fakir)
Fakir secara etimologi artinya membutuhkan atau memerlukan. Kata fakir
mengandung pengertian miskin terhadap spiritual atau hasrat yang sangat besar
terhadap pengosongan jiwa untuk menuju kepada Allah.
4. Syukur
Syukur secara etimologi ialah membuka dan menyatakan. Adapun menurut
terminologi tasawuf, syukur ialah menggunakan nikamat Allah untuk taat dan
tidak menggunakannya untuk berbuat maksiat kepada-Nya[15]. Orang yang
menggabungkan sabar dengan syukur adalah orang yang memiliki hikmah.
Syukur merupakan pengetahuan yang membangkitkan kesadaran bahwa satu-
satunya pemberi nikmat adalah Allah dan cakupan rahmat-Nya sangat luas.
Keutamaan syukur mengungguli peringkat lainnya dalam maqamat bahwa taubat,
zuhud dan sabar tidak berlaku lagi di akhirat. Orang tidak memerlukannya lagi di
syurga, tetapi bersyukur tetap dilakukan.
Bersyukur itu terbagi menjadi tiga bagian, yang diantaranya bersyukur dengan
lisan, maksudnya ialah mengakui segala kenikmatan yang telah diberikan oleh
Allah SWT. kepada hamba-Nya dengan sikap merendahkan diri. bersyukur
dengan badan, yakni Bersikap selalu sepakat serta melayani (mengabdi) kepada
Allah SWT. bersyukur dengan hati, yaitu : Mengasingkan diri di hadapan Allah
SWT. dengan cara konsisten menjaga akan keagungan Allah SWT.
Bersyukurnya orang dengan lisan itu biasanya adalah syukur yang berilmu.
Sedangkan syukur dengan badan itu biasanya adalah orang yang beribadah,
kenyataan ini dapat direalisasikan dengan bentuk perbuatan. Akan tetapi syukur
dengan hati adalah syukurnya orang yang ahli ma'rifat, dan ini dapatlah
direalisasikan dengan cara ihwal secara konsisten.
5. Sabar
Sabar menurut terminologi bahasa, artinya menahan dan mencegah diri. Allah
telah berfirman :
“Dan sabarlah kamu bersama dengan orang-orang yang menyeru Tuhanya di
pagi dan petang hari dengan mengharap keridaan (wajah)-Nya”. (Qs.
ALKhafi;28)
Sikap sabar dibutuhkan seorang pencari jalan untuk mendapatkan apa yang
berada disisi Allah. Sikap sabar yang sesungguhnya adalah pada saat memperoleh
cobaan yang pertama. Bagi Al-Jailani, dunia ini penuh dengan penderitaan dan
musibah, tidak ada satu kenikmatan pun, kecuali di didalamnya ada bencana, tidak
ada satupun kegembiraan, kecuali disertai kekhawatiran, dan tidak ada satupun
keluasan kecuali bersamanya ada kesempitan ( al-Fath al –Rabbany, hal. 29).
Maka, wajar jika kedudukan sabar dalam Al-Quran disamakan dengan kedudukan
shalat oleh allah, hanya mereka yang “khusyuk” yang dijamain allah dapat
melampaui ujian kesabaran dan shalat tersebut.
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang
demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.” (Qs. AL-
Baqarah;45)
Menurut Al-Jailani, kesabaran merupakan salah satu penghapus hijab antara
hamba dan Tuhanya. Al-Jailani menuturkan bahwa hal-hal yang dapat
menghilangkan penghalang tersebut, antara lain yang terpenting adalah menjauhi
segala kemaksiatan, bersabar saat datang kesulitan, ridha kertika datang ketentuan
dan takdir, serta bersyukur ketika datang kenikmatan ( al-Fath al –Rabbany, hal.
193). Barang siapa tidak punya kesabaran maka tiada sarana yang dapat
menolongnya. Allah menggantungkan pertolongan dengan kesabaran dan
ketakwaan.
“Ya (cukup), jika kamu bersabar dan bertakwa, dan mereka datang menyerang
kamu dengan seketika itu juga, niscaya allah menolong kamu dengan lima ribu
malaikat yang memakai tanda .” (Qs. Ali Imran:125)
Terkait dengan berbagai penjelasan tentang pentingnya kesabaran dalam dalam
mengelola nafsu atau jiwa untuk berjalan menuju Allah maka dalam Al-Quran
disebutkan berbagai jenis kesabaran yang utama, diantaranya :
a) Sabar dalam menghadapi berbagai cobaan di dunia
6. Ridho
Ridha adalah kesukarelaan atas apa yang menjadi ketentuan Allah bagi
dirinya, dalam segala hal, yang disertai dengan kesadaraan akan kekuasaan Allah
dalam apa yang terjadi dan berlaku bagi dirinya. Ridha yang dikuatkan
oleh nash ialah ridha dengan Allah sebagai Tuhan, islam sebagai agama,dan ridha
dengan Muhammad Saw sebagai nabi anutan, ridha dengan apa yang telah
disyariatkan oleh Allah bagi hamba-hamba-Nya dengan mengharamkan apa yang
diharamkan-Nya, mewajibkan apa yang diwajibkan-Nya, atau membolehkan apa
yang dibolehkan-Nya. Ridha kepada Allah Swt ialah ridha dengan qadha dan
7. Tawakkal
Secara umum pengertian tawakkal adalah pasrah dan mempercayakan secara
bulat kepada allah setelah seseorang membuat rencana dan melakukan usaha atau
ikhtiar. Akan tetapi, dikalangan sufi pengertian tawakal dipahami lebih mendalam
lagi. Misalnya al-Syibli (w.945 M) mengatakan, tawakkal adalah hendaknya
engkau merasa tidak ada dihadapan Allah dan Allah senantiasa dihadapan kamu.
Hal ini berarti bahwa dalam segala hal baik sikap maupun perbuatan seseorang
harus menerimanya secara tulus. Apapun yang terjadi adalah diluar pinta atau
usahanya tetapi semua diyakini dari Allah semata. Jelasnya harus menyerah secara
bulat kepada kuasa-Nya dan jangan meminta, menolak ataupun menduga-duga.
Karena nasib apapun yang diterima pada hakikatnya adalah karunia dari Allah.
Berkenaan dengan hal ini seseorang sufi Abu-Nasr as-Sarrj (W. 896 M)
mengatakan bahwa permulaan maqam tawakal adalah kesadaran seorang hamba
dihadapan Allah laksana mayat ditangan orang yang memandikan, dibolak balik
kehendaknya tanpa bergerak, protes maupun melakukan tindakan apapun.
Kesimpulnya tawakkal sebagai maqam sufi bersifat fatalis, individualis, dan
ahistoris.
Pandangan diatas berbeda dengan konsep tawakal dalam a’mal al-qulub yang
memberikan ruang gerak secara ikhtiyar kepada manusia, meskipun bersama
dengan itu manusia harus menyadari akan kemutlakan kekuasaan Tuhan. Ibn
Taimiyyah menolak tawakal dengan pengertian menyerah total, sebab sikap ini
pada giliranya akan mendorong orang untuk meninggalkan perbuatan yang
diperintahkan dan sebaliknya justru mengerjakan perbuatan yang dilarang serta
menghilangkan perbedaan antara hal-hal yang memang harus berbeda. Sebab baik
dalam Al-Quran maupun Hadis melarang seseorang meninggalkan perbuatan yang
diperintahkan karena percaya kepada takdir dan memerintahkan agar melakukan
perbuatan-perbuatan yang manfaat. Dengan demikian, pandangan tawakal ini
mengandung makna aktif dan dinamis yang berbeda dengan makna tawakal dalam
maqam sufi yang bersifat pasif dan fatalis.
Sementara menurut Al Quran, seruan kepada manusia untuk bertawakal
kepada Allah dikaitkan dengan berbagai nilai keagamaan dan kehidupan ( Madjid,
1992:47-48), yaitu:
a. Tawakal dikaitkan dengan sikap keimanan kepada Allah (Qs.Al-
Maidah:23) dan sikap pasrah kepada-Nya (Qs.Yunus:84)
b. Tawakal kepada Allah diperlukan setiap kali sehabis mengambil keputusan
penting (khususnya keputusan yang menyangkut orang banyak melalui
musyawarah) guna memperoleh keteguhan hati dan ketabahan dalam
melaksakannya, serta tidak mudah mengubah keputusan itu (Qs. Ali
Imran:159)
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. file:///C:/Users/prima/Downloads/105-207-1-SM%20(2).pdf
2. https://int.search.tb.ask.com/search/GGmain.jhtml?ct=ARS&n=78486b04
&p2=%5EBSB%5Exdm071%5ETTAB02%5Eid&pg=GGmain&pn=1&pt
b=AF1C9125-1F8C-400D-A253-
2EFC723B8566&qs=&si=EAIaIQobChMIrJ3lzfDi2AIVm0YrCh2KngRl
EAEYASAAEgIygfD_BwE&ss=sub&st=sb&searchfor=MAQAM+TASA
WUF&feedurl=ars%252Ffeedback%253ForiginalQuery%253D%252Bpen
gertian%252Bmaqam%252Bdalam%252Bilmu%252Btasawuf%2526relat
edQuery%253Dmaqam%252Btasawuf&tpr=jrel2&ots=1517288024172