Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembicaraan tasawuf tidak terlepas juga dengan pembicaraan tentang
derajat-derajat kedekatan seseorang sufi kepada Tuhannya. Tingkatan atau derajat
dimaksud dalam kalangan sufi diistilahkan dengan maqam. Semakin tinggi
jenjang kesufian maka semakin dekat pula sufi tersebut kepada Allah Swt. Namun
demikian, para sufi juga memiliki perbedaan pendapat tentang maqam tersebut,
terutama mengenai yang mana maqam yang lebih tinggi dan yang mana maqam
yang lebih rendah. Hal ini terjadi karena tidak didapati dalil yang jelas tentang hal
ini, baik dari nash Alquran maupun Sunnah. Istilah maqam di kalangan para sufi
kadang kala disebut dengan ungkapan jamaknya yaitu maqamat. Menurut al-
Qusyairi yang dimaksud dengan maqam adalah hasil usaha manusia dengan kerja
keras dan keluhuran budi pekerti yang dimiliki hamba Tuhan yang dapat
membawanya kepada usaha dan tuntunan dari segala kewajiban.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Maqam dalam Tasawuf?
2. Apa macam - macam maqam dalam tasawuf?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Maqam dalam Tasawuf
2. Untuk mengetahui macam - macam Maqam dalam Tasawuf

MAKALAH MAQAM DALAM ILMU TASAWUF | 1


BAB I

PERBAHASAN

A. Pengertian Maqam dalam Tasawuf


Maqamat merupakan bentuk jamak dari maqam. Secara etimologi maqam
mengandung arti kedudukan dan tempat berpijak dua telapak kaki. Menurut
terminology, istilah maqam mengandung pengerrtian kedudukan, posisi,
tingkatan, atau kedudukan tahapan hamba dalam mendekatkan diri kepada Allah.
Menurut Abdurrazaq Al-Qasami, maqam adalah pemenuhan terhadap
kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkkan. Jika seseorang belum memenuhi
kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam suatu maqam, ia tidak boleh naik ke
jenjang yang lebih tinggi.
Menurut Imam Al-Qusairi, yang dimaksud dengan maqam adalah tahapan
adab (etika) seorang hamba dalam wushul kepada-Nya dengan bermacam-macam
upaya yang diwujudkan dengan suatu tujuan pencapaian dan ukuran tugas.
Masing-masing berbeda dalam tahapannya sendiri ketika dalam kondisi tersebut,
serta tingkah lakuriyadhah menuju kepada-Nya.
Menurut Dzu An-Nun Al-Mishri, maqam-maqam dapat
diketahui berdasarkan tanda-tanda, symbol-simbol dan amalannya. Oleh karena
itu, keberhasilan menjalani maqamat merupakan penilaian yang berasal dari
Allah, sekaligus mencerminkan kedudukan seorang salik dalam pandangan-Nya.
Menurut Evelyn Underhill, jalan mistik sebagai jalan yang dilewati oleh seorang
salik menuju jalan Allah. Langkah-langkah dalam proses itu adalah
1. Bangkitnya kesadaran (awakening)
2. Pembersihan (purification)
3. Penerangan (illumination)
4. Malam gelap jiwa (the dark night state)
5. Kesadaran bersatu (the unitive state)
Maqam-maqam itu harus dilalui oleh seorang salik secara bertahap. Menurut
seoranf arif, mencapa suatu maqam tanpa melalui maqam sebelumnya merupakan
sesuatu yang tidak mungkin. Sesuatu yang menyulitkan adalah bahwa sufi
berbeda dalam mengonstruksi urutan-urutan maqam dalam tasawuf. Namun, hal
ini akan dijembatani oleh syaikh untuk memberikan petunjuk kepada murid.
Al-Ghazali memberikan urutan maqam seperti berikut : taubat, sabar, syukur,
khauf, raja’, tawakkal, mahabbah, ridha, iikhlas, muhasabah, dan muraqabah.
Sementara itu, As-Suhrawardi dalam bukunya Al-‘Awarif Al-Ma’arif
merumuskan maqam sebagai berikut: taubat, wara’, zuhud, sabar, fakir, syukur,
khaouf, tawakkal dan ridha.
Menurut Ibnu Arabi dalam Al-Futuhat Al-Makkiyah, menyebutkan enam
puluh maqam dan berusaha menjelaskan secara rinci, tetapi tidak begitu
mempedulikan sistematika maqam tersebut. Dalam menempuh itu, sufi atau calon

MAKALAH MAQAM DALAM ILMU TASAWUF | 2


sufi senantiasa melakukan bermacam-macam ibadah, mujahadah dan kontemplasi
yang sesuai dengan ajaran agama.
Maqam pertama yang harus ditempuh oleh sufi atau calon sufi adalah taubat.
Setelah itu, ia akan menempuh beberapa maqam yang lain, yaitu mujahadah
(kesungguhan), khalwat (bersunyi diri), uzlah (menyingkir diri dari masyarakat),
takwa, wara’ (mengekang dan menahan diri), zuhud, sahar ( berjaga pada malam
hari), khaouf (takut dan cemas) dan raja’ (harap).

B. Maqam-Maqam Dalam Tasawuf


1. Taubat
Taubat secara etimologi adalah kembali, meminta pengampunan. Dalam
perspektif sufistik, taubat dimaknai sebagai kembali dari segala perbuatan tercela
menuju perbuatan terpuji sesuai dengan ketentuan agama. Taubat adalah kembali
menuju kebenaran, perubahan hati, juga berarti penyesalan.
Taubat merupakan tahapan pertama yang ditempuh oleh sufi untuk
mendekatkan diri kepada Allah. Taubat adalah asal semua maqam dan dasrnya,
sebagai pembuka setiap hal. Taubat adalah permulaan dari maqamat. Taubat yang
dimaksud sufi adalah taubat yang sebenar-benarnya, taubat yang tidak akan
membawa dosa lagi.
Taubat terdiri dari tiga komponen yaitu :
1. Ilmu
2. Hal (kondisi)
3. Amal Perbuatan
Ilmu adalah mengetahui bahaya yang muncul dari dosa. Dosa dapat menjadi
hijab (penghalang) antara seorang hamba dan penciptanya yang dicintai. Apabila
seseorang telah mengetahui hal ini dengan penuh keyakinan di dalam hati, maka
akan muncul rasa sedih ketika sesuatu yang dicintainya hilang dari dirinya.
Semua harus diawali dengan ilmu karena dengan ilmu akan membawa ke arah
kebaikan, yaitu dengan melahirkan iman dan yaqin. Iman adalah mempercayai
bahwa dosa merupakan racun yang menghancurkan, sedangkan yaqin adalah
meyakinkan apa yang dipercayai dan menghilangkan keraguan bahwa dosa itu
adalah racun yang menghancurkan. Pada akhirnya akan membuahkan cahaya hati
yang dapat merasakan penyesalan atas kemaksiatan yang pernah dilakukannya
dan merasakan bahwa kemaksiatan itu telah menjadi hijab (penghalang) antara ia
dan Allah Zat yang sangat dicintainya.
Taubat juga sering diartikan dengan penyesalan. Selanjutnya, buah dari
penyesalan itu adalah meninggalkan apa yang membuatnya menyesal.
Rasulullah SAW bersabda, “ Penyesalan adalah taubat.” (Ibnu Maajah, Ibnu
Hibban dan Hakim).
Dengan pengertian ini dikatakan bahwa taubat adalah mencairkan apa yang
ada di dalam hati karena kesalahan yang pernah dilakukan, hal ini terjadi karena
semata-mata rasa sakit.
Dikatakan pula, “Taubat adalah api yang menyala di dalam hati.”

MAKALAH MAQAM DALAM ILMU TASAWUF | 3


Taubat adalah melepaskan pakaian kepalsuan dan mengenakan pakaian kesetiaan.
Sahal bin Abdillah at-Tastari berkata, “Taubat adalah mengganti perbuatan
tercela dengan perbuatan terpuji. Hal itu tidak dapat terealisasi kecuali dengan
menyendiri, diam dan makan-makanan yang halal.” Ia seakan-akan
mendefinisikan taubat dengan makna ketiga (amal perbuatan).
Definisi taubat yang diberikan oleh para ulama sangat banyak sekali, akan
tetapi dengan mengerti tiga makana taubat (ilmu, hal (kondisi), dan amal
perbuatan), maka akan dapat mencakup seluruh definisi yang diberikan para
ulama. Sesungguhya mengetahui hakikat permasalahan lebih penting daripada
mengetahui definisi-definisi secara tekstual.
Allah Ta’ala telah memerintahkan agar bertaubat dalam firman-Nya,
“…dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman
supaya kamu beruntung.” (An-Nuur : 31)
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan
nasuha (taubat yang semurni-murninya).” (At-Tahrim :8)
Sedangkan Nabi SAW bersabda,
“Wahai sekalian manusia, bertaubatlah kalian semua kepada Allah. Sesungguhnya
aku bertaubat kepada Allah dalam sehari seratus kali.” (Diriwayatkan Imam
Bukhari dan Imam Muslim).
Taubat selamanya wajib hukumnya. Manusia tidak lepas dari kemaksiatan.
Sekalipun lepas dari kemaksiatan anggota badan, namun tidak lepas dari
keinginan melakukan dosa didalam hatinya. Jika dia lepas dari semua itu, namun
dia tidak akan lepas dari bisikan syetan yang memunculkan berbagai macam yang
timbul di hati yang terpisah-pisah dan menjauhkan orang dari dzikir kepada Allah
Ta’ala. Jika dia lepas dari itu namun tidak lepas dari kelalaian dan keterbatasan
ilmu tentang Allah Ta’ala dengan segala sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya.
Semua itu adalah kekurangan dan setiap orang tidak akan lepas dari kekurangan
ini. Akan tetapi setiap manusia bertingkat-tingkat kemampuannya dan prinsip
dalam semua itu harus memilikinya.
 Kesempurnaan taubat dan syarat-syaratnya :
Diantara syarat-syarat taubat yang benar adalah azam (kemauan yang keras) untuk
tidak mengulangi dosa-dosa itu d masa yang akan datang, tidak juga mengulangi
dosa yang semacamnya. Dia harus berazam yang demikian dengan sekuat-
kuatnya. Perumpamaan yang demikian itu adalah seperti orang sakit yang
mengetahui bahwa buah-buahan berbahaya ketika ia sedang sakit, lalu dia
berazam sangat kuat untuk tidak memakannya sedikit pun dari jenis buah-buahan
selama dia masih dalam keadaan sakit.
Telah disebutkan bahwa orang yang bertaubat dia harus melakukan berbagai amal
yang berlawanan dengan kejahatan apa dilakukannya agar menghapus dan
mengkaffarahnya. Amal-amal kebaikan yang menghapus adalah dengan hati dan
lisan serta anggota badan sesuai dengan jenis kejahatannya. Apa-apa yang dengan
hati seperti merengek dan merendahkan diri. Sedangkan dengan lisan adalah

MAKALAH MAQAM DALAM ILMU TASAWUF | 4


pengakuan akan kezhaliman yang ia lakukan dan istigfar. Seperti mengucapkan,
“Wahai Rabbku, aku telah berbuat zhalim maka ampunilah aku.”
Tanda tobat itu sendiri adalah adanya penyesalan, kesedihan, meneteskan air mata
banayk menangis dan bertafakkur, sedangkan syarat diterimanya taubat atas
kemaksiatan yang telah dilakukan pada masa lalu (madhi) adalah mengingat apa
yang telah dilakukan sejak ia baligh atau ketika pertama kali mimpi junub, seperti
ibadah-ibadah yang telah ditinggalkan pada tahun demi tahun, bulan demi bulan,
hari demi hari, waktu demi waktu. Selain itu juga meninggalkan ibadah-ibadah
yang dilakukan dengan tidak sempurna. Kemudian mengingat kemaksiatan-
kemaksiatan yang pernah dilakukan .
Contoh:
Apabila ia meninggalkan sholat atau mengerjakan sholat dengan memakai
pakaian yang najis atau mengerjakan sholat dengan niat yang tidak benar karena
kebodohan akan syarat-syarat niat, maka ia harus mengqadha sholatnya.
Sekiranya ia ragu dengan jumlah sholat yang telah ditinggalkan, maka hitunglah
jumlah sholat mulai ia baligh, dengan dipotong beberapa waktu yang benar-benar
diyakininya telah ia kerjakan. Ia harus menghitung sholat-sholat yang telah
ditinggalkan sesuai dengan prasangka yang kuat.
Apabila meninggalkan puasa, baik meninggalkan puasa karena dalam perjalanan
dan ia belum membayarnya (qadha) atau ia berbuka puasa dengan sengaja, atau ia
lupa niat pada malam harinya, maka ia harus mengqadhanya, yaitu dengan cara
menghitung hari-hari yang ia tidak berpuasa.

2. Zuhud
Zuhud atau asketisme secara etimologi berasal dari kata zahada, artinya
raghiba ‘anhu wa taraka (benci dan meninggalkan sesuatu). Secara terminology,
zuhud ialah menjauhkan diri dari segala sesuatu yang berkaitan dengan dunia.
Zuhud merupakan pendekatan penting dalam tahap awal perjalanan spiritual,
namun tidak dianjurkan bagi seseorang yang hendak mencapai kesempurnaan.
Sebab asketisme ini mengabaikan sebab-sebab sekunder, padahal melalui sebab-
sebab sekunder inilah manusia mendapatkan pengetahuan tentang Allah.
Menurut Prof. Dr. H. M. Amin Syukur, M.A. bahawa secara terminologi zuhud
tidak dapat dilepaskan dari dua hal. Pertama, zuhud sebagai bagian tidak
terpisahkan dari tasawuf. Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam dan gerakan
protes. Apabila tasawuf dartikan adanya kesadaran dan komunikasi langsung
antara manusia dan Tuhan sebagai perwujudan ihsan maka zuhud merupakan
suatu maqam menuju tercapainya perjumpaan atau ma’rifat kepadanya.
Zuhud adalah sebuah ungkapan yang menunjukkan berkurangnya kesenangan
akan sesuatu karena menginginkan yang lebih baik dari itu.
Dilihat dari maksudnya, zuhud terbagi menjadi tiga tingkatan. Pertama
(terendah), menjauhkan dunia ini agar terhindar dari hukuman di akhirat. Kedua,
menjauhi dunia dengan menimbang imbalan di akhirat. Ketiga, mengucilakn
dunia bukan karena takut atau karena berharap, tetapi karena cinta kepada Allah

MAKALAH MAQAM DALAM ILMU TASAWUF | 5


belaka. Orang yang berada pada tingkat tertinggi ini akan memandang segala
sesuatu, kecuali Allah, tidak mempunyai arti apa-apa.
Menurut imam Al-Ghazali, ciri-ciri zuhud adalah :
1. Tidak senang apabila memiliki sesuatu dan tidak bersedih ketika
kehilangan sesuatu (zuhud dalam harta). Allah berfirman, “…..Supaya
kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya
kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya
kepadamu….”(al-hadid : 23).
2. Menganggap sama antara pujian dan celaan (zuhud dalam kedudukan).
3. Hatinya dipenuhi dengan kecintaan kepada Allah, meskipun tidak dapat
lebih daripada kecintaan kepada dunia dan kecintaan kepada Allah.
Keduanya ibarat air dan udara dalam gelas di hati. Apabila air dimasukkan
ke dalam gelas, maka udara akan keluar, begitu pula apabila ditiupkan
udara, air akan keluar. Air dan udara tidak mungkin dapat disatukan. Ahli
ma’rifah berkata, “ Apabila iman seseorang bergantung dengan hatinya,
maka ia akan mencintai Allah dan dunia bersama-sama. Akan tetapi,
apabila iman telah masuk ke lubuk hatinya, maka ia akan membenci
dunia.”
Abu Sulaiman berkata “ Barangsiapa yang sibuk dengan dirinya, maka ia
tidak akan disibukkan dengan orang lain. Ini merupakan maqam orang-
orang yang beramal. Barangsiapa sibuk dengan Tuhannya, maka ia tidak
disibukkan dengan dirinya sendiri. Ini merupakn maqam ma’rifah
(‘arifiin). Orang yang zuhud harus memiliki salah satu dari dua sifat ini.
Maqam yang pertama (‘amiliin) akan menyibukkan dirinya dengan dirinya
sendiri. Pada saat itu, bagi-Nya sama antara pujian dan celaan atau ada dan
ketiadaan. Tidaklah dengan memiliki harta menjadikan orang tidak
mempunyai sifat zuhud.”
Jadi, ciri-ciri sifat zuhud adalah kondisi yang sama ketika dalam keadaan
miskin atau kaya, mulia atau terhina, pujian atau celaan. Semua itu
disebabkan keakrabannya dengan Allah.
Yahya bin Mu’adz berkata, “Ciri-ciri sifad zuhud adalah dermawan atas
apa yang dimiliki.”
Ibnu Khalif berkata, “ciri-ciri sifat zuhud adalah merasa tenang ketika
sesuatu miliknya. Zuhud adalah menghindari dunia tanpa terpaksa.”
Ahmad bin Hanbal dan sufyan ats-Tsauri berkata, “Ciri-ciri zuhud adalah
tidak panjang angan-angan.”

3. Faqr (Fakir)
Fakir secara etimologi artinya membutuhkan atau memerlukan. Kata fakir
mengandung pengertian miskin terhadap spiritual atau hasrat yang sangat besar
terhadap pengosongan jiwa untuk menuju kepada Allah.

MAKALAH MAQAM DALAM ILMU TASAWUF | 6


Dalam term sufi pengertian fakir menunjukkan kepada seseorang yang telah
mencapai akhir “lorong spiritual”. Menurut Ibnu Qudamah bahwa semu orang itu
fakir, karena mereka membutuhkan kepada kemurahan Tuhan.
Fakir dapat berarti sebagai kekurangan harta dalam menjalankan kehidupan di
dunia. Sikap fakir penting dimiliki oleh orang yang berjalan menuju Allah, karena
kekayaan atau kebanyakan harta memungkinkan manusia lebih dekat pada
kejahatan dan sekurang-kurangnya membuat jiwa tertambat pada selain Dia.
Menurut Al-Ghazali, fakir dibagi dalam dua macam, yaitu sebagai berikut :
a. Fakir secara umum, yaitu hajat manusia kepada yang menciptakan dan yang
menjaga eksistensinya. Fakir seperti ini adalah fakir seorang hamba kepada
Tuhannya. Sikap seperti ini hukumnya wajib karena menjadi sebagian iman
dan sebagai buah dari ma’rifat.
b. Faqir muqayyad (terbatas), yaitu kepentingan yang menyangkut kehidupan
manusia, seperti uang yang belum dimiliki atau dengan kata lain kepentingan
manusia yang dapat dipenuhi oleh selain Allah.
Sufi tidak melarang seseorang yang fakir untuk menerima pemberian dan
bantuan orang lain, baik yang berupa fasilitas maupun materi. Jadi pada dasarnya
berusaha meninggalkan syubhat dan hanya mencari yang halal. Jika maqam fakir
telah sampai pada puncaknya, yaitu mengosongkan seluruh hati dari ikatan dan
keinginan terhadap apa saja selain Tuhan, maka maqam itu merupakan
perwujudan penyucian hati secara keseluruhan terhadap apa yang selain-Nya.

4. Syukur
Syukur secara etimologi ialah membuka dan menyatakan. Adapun menurut
terminologi tasawuf, syukur ialah menggunakan nikamat Allah untuk taat dan
tidak menggunakannya untuk berbuat maksiat kepada-Nya[15]. Orang yang
menggabungkan sabar dengan syukur adalah orang yang memiliki hikmah.
Syukur merupakan pengetahuan yang membangkitkan kesadaran bahwa satu-
satunya pemberi nikmat adalah Allah dan cakupan rahmat-Nya sangat luas.
Keutamaan syukur mengungguli peringkat lainnya dalam maqamat bahwa taubat,
zuhud dan sabar tidak berlaku lagi di akhirat. Orang tidak memerlukannya lagi di
syurga, tetapi bersyukur tetap dilakukan.
Bersyukur itu terbagi menjadi tiga bagian, yang diantaranya bersyukur dengan
lisan, maksudnya ialah mengakui segala kenikmatan yang telah diberikan oleh
Allah SWT. kepada hamba-Nya dengan sikap merendahkan diri. bersyukur
dengan badan, yakni Bersikap selalu sepakat serta melayani (mengabdi) kepada
Allah SWT. bersyukur dengan hati, yaitu : Mengasingkan diri di hadapan Allah
SWT. dengan cara konsisten menjaga akan keagungan Allah SWT.
Bersyukurnya orang dengan lisan itu biasanya adalah syukur yang berilmu.
Sedangkan syukur dengan badan itu biasanya adalah orang yang beribadah,
kenyataan ini dapat direalisasikan dengan bentuk perbuatan. Akan tetapi syukur
dengan hati adalah syukurnya orang yang ahli ma'rifat, dan ini dapatlah
direalisasikan dengan cara ihwal secara konsisten.

MAKALAH MAQAM DALAM ILMU TASAWUF | 7


Manusia pada umumnya adalah mempunyai sifat lalai dan tidak menyadari
bahwa nilai suatu nikmat yang telah dianugerahkan Allah kepada dirinya. Maka
dia baru terasa apabila nikmat itu dicabut dari dirinya, maka dia barulah
merasakan dan menyadarinya, contohnya adalah nikmat berupa kesehatan jasmani
dan juga kesehatan rohani dan sebagaimana dalam hal ini Allah telah berfirman
mengenai hidup. Kehidupan di dalam surat An-Naml ayat 40 yang artinya:
Barangsiapa yang bersyukur Maka Sesungguhnya Dia bersyukur untuk
(kebaikan) dirinya sendiri dan Barangsiapa yang ingkar, Maka Sesungguhnya
Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia".

5. Sabar
Sabar menurut terminologi bahasa, artinya menahan dan mencegah diri. Allah
telah berfirman :
“Dan sabarlah kamu bersama dengan orang-orang yang menyeru Tuhanya di
pagi dan petang hari dengan mengharap keridaan (wajah)-Nya”. (Qs.
ALKhafi;28)
Sikap sabar dibutuhkan seorang pencari jalan untuk mendapatkan apa yang
berada disisi Allah. Sikap sabar yang sesungguhnya adalah pada saat memperoleh
cobaan yang pertama. Bagi Al-Jailani, dunia ini penuh dengan penderitaan dan
musibah, tidak ada satu kenikmatan pun, kecuali di didalamnya ada bencana, tidak
ada satupun kegembiraan, kecuali disertai kekhawatiran, dan tidak ada satupun
keluasan kecuali bersamanya ada kesempitan ( al-Fath al –Rabbany, hal. 29).
Maka, wajar jika kedudukan sabar dalam Al-Quran disamakan dengan kedudukan
shalat oleh allah, hanya mereka yang “khusyuk” yang dijamain allah dapat
melampaui ujian kesabaran dan shalat tersebut.
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang
demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.” (Qs. AL-
Baqarah;45)
Menurut Al-Jailani, kesabaran merupakan salah satu penghapus hijab antara
hamba dan Tuhanya. Al-Jailani menuturkan bahwa hal-hal yang dapat
menghilangkan penghalang tersebut, antara lain yang terpenting adalah menjauhi
segala kemaksiatan, bersabar saat datang kesulitan, ridha kertika datang ketentuan
dan takdir, serta bersyukur ketika datang kenikmatan ( al-Fath al –Rabbany, hal.
193). Barang siapa tidak punya kesabaran maka tiada sarana yang dapat
menolongnya. Allah menggantungkan pertolongan dengan kesabaran dan
ketakwaan.
“Ya (cukup), jika kamu bersabar dan bertakwa, dan mereka datang menyerang
kamu dengan seketika itu juga, niscaya allah menolong kamu dengan lima ribu
malaikat yang memakai tanda .” (Qs. Ali Imran:125)
Terkait dengan berbagai penjelasan tentang pentingnya kesabaran dalam dalam
mengelola nafsu atau jiwa untuk berjalan menuju Allah maka dalam Al-Quran
disebutkan berbagai jenis kesabaran yang utama, diantaranya :
a) Sabar dalam menghadapi berbagai cobaan di dunia

MAKALAH MAQAM DALAM ILMU TASAWUF | 8


“ Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia berada dalam susah
payah.” (Qs.Al-Balad:4)
b) Sabar untuk tidak memperturutkan kemauan yang diinginkan oleh hawa
nafsu. Sehubungan dengan hal ini, Allah Swt. Telah berfirman
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-
anakmu melalaikan kamu dari mengigat Allah. Barang siapa yang
mengerjakan hal tersebut maka sungguh mereka itu termasuk golongan
orang yang merugi .” (Qs. Al-Munaafiquun :9)
c) Tetap bersabar, tidak pernah melirik pada kesenangan yang dimiliki oleh
orang lain dan tidak terpedaya oleh harta serta anak-anak yang dimiliki oleh
mereka
d) Sabar dalam mengerjakan ketaatan kepada Allah. Hal ini merupakan jenis
sabar yang paling besar dan yang paling berat dirasakan oleh jiwa manusia.
e) Sabar dalam menanggu derita menyeru manusia kejalan Allah Swt.
Karena sesungguhnya tidak samar lagi dari setiap keadaan yang dialami
manusia pada masa sekarang, kini mereka mulai menjauh dari agama.
Keadaan seperti ini jelas menuntut terselenggaranya dakwah yang besar,
protes yang keras terhadap segala bentuk kemungkaran, dan usaha yang
giat tak kenal lelah untuk menegakkan kebenaran.
f) Sesungguhnya disana terdapat jenis kesabaran yang sangat diperlukan
pada saat yang menegang, saat dalam peperangan, saat berhadapan dengan
musuh, dan saat bertarungnya dua barisan dalam kacah peperangan, saat
menghadapi orang-orang yang melawan Allah maka sabar merupakan
syarat utama untuk meraih kemenangan dan lari dari medan perang adalah
dosa besar. Oleh karena itu, dalam kondisi seperti tersebut Allah Swt.
Mewajibkan untuk teguh dan pantang mundur.
Dikalangan para sufi, sabar diartikan antara lain dengan hanyut (fana’) dalam
bencana tanpa keluhan. Secara rinci Abu Nasr as-Sarraj (w.988 M) menjelaskan
sabar adalah konsisten dalam menjauhi larangan dan memegang perintah dan orag
yang sabar adalah yang hanyut (fana’)bersama allah tanpa protes ataupun
mengeluh. Jadi sabar sebagai maqam, lebih diarahkan pada upaya menahan segala
rintangan dalam parjalanan menuju allah, karena lebih
bersifat intuitif dan transendental.
Sabar dalam a’mal al-qulub dimaknai sebagai sikap istiqamah atau konsisten
dalam melaksanakan kewajiban dan menjauhi larangan allah. Menerima segala
musibah dan mampu menahan ajakan nafsu terhadap hal-hal yang dilarang allah.
Kecuali itu disebutkan pula bahwa sabar mempunyai tingkatan berdasarkan ada
tidaknya ruang gerak kebebasan dan ikhtiar manusia. Sabar menjauhi maksiat
lebih tinggi derajatnya daripada sabar menanggung musibah. Sebab yang pertama
mengandung unsur ikhtiar dan kebebasan. Sedang yang kedua tidak demikian
karena suatu musibah jelas diluar ikhtiar dan pilihan manusia. Tingkat sabar

MAKALAH MAQAM DALAM ILMU TASAWUF | 9


pertama adalah dimiliki oleh para wali allah. Dengan demikian sabar dalam a’mal
al-qulub lebih rasional dan lebih empirik dankontekstual.

Ada beberapa definisi sabar :


1. Sabar merupakan kemampuan seseorang dalam mengendalikan dirinya
terhadap sesuatu yang terjadi, baik disenangi maupun dibenci (Abu
Zakaria Ansari)
2. Menerima yang terjadi, disebut syukur, menerima yang terjadi tidak sesuai
dengan yang diharapkan, namanya sabar, menerima sesuatu yang akan
datang, namanya ridlo
3. Sabar adalah keluar dari suatu bencana sebagaimana sebelum terjadi
bencana itu (asmaran)
4. Sabar adalah kondisi jiwa yang terjadi karena dorongan ajaran agama
dalam mengendalikan hawa nafsu (Al Ghazali).
Pembagian sabar Ada ulama yang membagi sabar menjadi tiga yaitu :
a. Sabar dalam musibah, yaitu kerelaan menerima kehendak Allah yang pada
awalnya terasa tidak nyaman, seperti sakit, kurangnya harta, ketakutan,
kelaparan, bencana alam, dsb.
b. Sabar dalam ibadah, kerelaan melakukan kehendak Allah yang wujud
dalam perintah-perintah-Nya.
c. Sabar dalam maksiat.
Tiga bentuk kesabaran itu memiliki tingkatan derajat kebaikan sebagaiman
urutan dari a-c. Sabar yang paling berat dan tinggi derajatnya adalah sabar dalam
maksiat, sedang yang paling ringan adalah sabar dalam musibah. Sabar terhadap
musibah sesungguhnya terasa ringan mengigat banyak orang yang peduli kepada
kita, berusaha menolong kita, membantu melepaskan kita dari musibah. Tetapi
berbeda dengan seseorang yang sedang memerankan diri sebagai pelaku
kemaksiatan. Terkadang diri kita menyadari bahwa yang kita lakukan melanggar
norma agama atau masyarakat. Namun kita seakan berulang kali ditarik untuk
kembali melakukanya. Lebih berat lagi kenyataan yang menyakitkan datang dari
lingkungan kita.

6. Ridho
Ridha adalah kesukarelaan atas apa yang menjadi ketentuan Allah bagi
dirinya, dalam segala hal, yang disertai dengan kesadaraan akan kekuasaan Allah
dalam apa yang terjadi dan berlaku bagi dirinya. Ridha yang dikuatkan
oleh nash ialah ridha dengan Allah sebagai Tuhan, islam sebagai agama,dan ridha
dengan Muhammad Saw sebagai nabi anutan, ridha dengan apa yang telah
disyariatkan oleh Allah bagi hamba-hamba-Nya dengan mengharamkan apa yang
diharamkan-Nya, mewajibkan apa yang diwajibkan-Nya, atau membolehkan apa
yang dibolehkan-Nya. Ridha kepada Allah Swt ialah ridha dengan qadha dan

MAKALAH MAQAM DALAM ILMU TASAWUF | 10


qadar-Nya, serta memuji-Nya dalam semua keadaan dan meyakini bahwa hal
tersebut mengandung hikmah belaka meskipun hal yang ditakdirkan oleh-Nya
menyakitkan.
Ridha kepada Allah sebagai Tuhan, ridha kepada Rasul Saw sebagai anutan
dengan penuh kepatuhan dan kepasrahan diri. Oleh karena itu, barang siapa dapat
merealisasikan dalam dirinya ketiga perkara, yaitu ridha kepada Allah sebagai
Tuhan dan sesembahan, ridha kepada Rasul sebagai anutan dengan penuh
ketaatan, ridha kepada agama-Nya dengan penuh kepasrahan maka dia adalah
orang yang benar-benarsiddiq. Hal ini memang mudah diucapkan, tetapi sangat
sulit pelaksanaanya.
Menurut al-Junaidi (W. 910 M), arti ridha adalah meninggalkan usaha (raf’u
al-ikhtiyar). Sedangkan Dzu al- Nun al-Misri (W.859 M) menjelaskan bahwa
ridha adalah menerima ketentuan dengan kerelaan hati. Selanjutnya dia
menjelaskan tanda-tanda orang yang ridha adalah
1) usaha sebelum terjadi ketentuan
2) lenyaplah resah gelisah sesudah terjadi ketentuan
3) cinta yang bergelora disaat terjadi mala petaka.
Pengertian ridha diatas merupakan perpaduan antara sabar dan tawakal,
sehingga melahirkan sikap mental senang dan tenang menerima segala situasi dan
kondisi. setiap yang terjadi disambut dengan hati yang terbuka bahkan dengan
rasa nikmat dan bahagia walaupun berupa bencana. Suka dan duka diterima
dengan gembira sebab diyakini apapun yang datang adalah ketentuan dari Allah.
Para sufi berbeda tentang posisi ridha sebagian mereka menempatkannya sebagai
maqam terakhir dari perjalanan sufi, karena dipandang merupakan akumulasi dari
maqam-maqam sebelumya. Tetapi sebagian sufi yang lain mengatakan bahwa
setelah maqam ridha masih terdapat maqam-maqam berikutnya seperti mahabbah,
fana’, ma’rifah, ittihad dan seterusnya.
Berbeda dengan pandangan diatas, Ibn Taimiyyah memandang ridha sebagai
moralitas islam yang harus dilakukan setip muslim. Karena itu dia memandang
ridha sebagai amalan batin yang integral dengan sifat-sifat lainnya. Berangkat dari
pandangan ini dia memberi makna ridha yang berbeda-beda sesuai dengan
konteksnya. Misalnya jika dikaitkan dengan sabar, maka ridha merupakan sabar
yang terbaik. Sebab hakikat ridha adalah sabar dengan tanpa protes dan mengeluh.
Jika dihubungkan dengan tawakal maka keduanya dapat memelihara takdir allah
secara benar. Tawakal diposisikan sebelum terjadinya takdir, sedangkan ridha
diposisikan sesudah terjadinya takdir. Jika dikaitkan dengan mahabbah maka
ridha merupakan bagian dari mahabbah. Dengan demikian, ridha dalam
konsep a’mal al-qulub merupakan pengendali batin yang bersifat dinamis dan
empiris tidak sebagaimana ridha dalam konsep maqamat yang bersifat pasif dan
fatalis.
Dalam uraian diatas dapat ditarik kesimpulan, terdapat perbedaan aspek
aksiologi dalam pemikiran tasawuf pada umumnya. Perbedaan itu terletak pada
pengetahuan tasawuf dan pengamalanya diorientasikan untuk menghayati

MAKALAH MAQAM DALAM ILMU TASAWUF | 11


eksistensi tuhan, sementara pada pemikiran tasawuf Ibn Taimiyyah diorientasikan
pada tujuan menghayati dan mengamalkan perintah-perintah Tuhan. Maka dari
itu, meski dalam konsep maqamat dan a’mal al-qulub menggunakan term-term
yang sama, namun keduanya memiliki kandungan dan implementasi yang
berbeda.
Syekh AL-Jailani menyebutkan tahapan-tahapan agar dapat bersifat ridha
kepada Allah sebagai berikut (Futuh al-Ghaib, majlis no. 53):
a. Tidak mengharap dan mengingat apa yang sudah ditentukan bagi
dirinya saja atau apa yang tidak ditentukan. Sebab, hukuman yang
paling berat adalah berussa mendapatkan apa yang tidak ditakdirkan
baginya.
b. Hendaklah dia mementingkan Allah diatas dunia sehingga jika ada
pemberian maka itu bukanlah karena ketamakan diri, bukan
menyekutukan penyembahanya karena keterlenaan diri.
c. Dalam menyembah-Nya, janganlah menghendaki balasan-Nya karena
jika hal itu yang terjadi maka ibadahnya berarti tidak ikhlas.
d. Orang yang ikhlas ialah menyembah Allah karena ketuhanan-Nya dan
karena memang hanya dia memiliki hak untuk itu.
e. Karena semua pemberian adalah karunia-Nya maka sikap yang pantas
adalah selalu bersyukur kepada-Nya dan bukan meminta imbalan atau
balasan karena melakukan ibadah atau penyembahan.
Ridha ditinjau dari penyebabnya adalah sesuatu yang bersifat kasbiy (dapat
diupayakan) namun jika ditinjau dari segi hakikatnya maka ridha
bersifat mauhibiy(karunia Tuhan). Sesungguhnya, ridha adalah kesudahan dari
tawakal. Bila tawakal tidak mampu merealisasikan yang didambakan maka
barulah datang ridha. Orang yang memantabkan langkah kakinya dengan kokoh
dijalan tawakal, niscaya akan meraih ridha. Karena sesungguhnya, sesudah
tawakal, pasrah, dan berserah diri, barulah ridha bisa didapatkan. Sebaliknya,
tanpa melalui proses tersebut, ridha tidak akan didapatkan.
Ridha mempunyai beberapa kedudukan, antara lain:
a. Ridha dengan rezeki yang telah diberikan dan dibagikan oleh Allah.
Ridha jenis ini bisa jadi ada sebagian orang awam yang dapat
melakukannya dengan baik.
b. Tingkatan ridha yang lebih tinggi ialah ridha dengan apa yang telah
ditakdirkan dan ditetapkan oleh Allah Swt.
c. Adapun yang lebih tinggi daripada kesemuanya ialah ridha dengan Allah
sebagai dari segala sesuatu yang selain-Nya.
Kedudukan ini adakalanya sebagaian orang hanya ampu meraih salah
satunya, tetapi tidak mampu meraih kedudukan lainya. Ada kalanya pula sebagian
dari mereka hanya mampu mendatangkan sebagian dari satu tingkatan tanpa bisa
merealisasikan sepenuhnya.
Jadi,intinya adalah ridha merupakan sikap menanggapi dan mengubah segala
bentuk penderitaan, kesengsaraan, dan kesusahan menjadi kegembiraan serta

MAKALAH MAQAM DALAM ILMU TASAWUF | 12


kenikmatan (Simuh, 1998:69), yang dalam bahasa Al-Ghazali disebut sebagai
sikap menerima apa adanya (Imam Al-Ghazali, ihya’ ‘ulum al-Din: IV, 337) .

7. Tawakkal
Secara umum pengertian tawakkal adalah pasrah dan mempercayakan secara
bulat kepada allah setelah seseorang membuat rencana dan melakukan usaha atau
ikhtiar. Akan tetapi, dikalangan sufi pengertian tawakal dipahami lebih mendalam
lagi. Misalnya al-Syibli (w.945 M) mengatakan, tawakkal adalah hendaknya
engkau merasa tidak ada dihadapan Allah dan Allah senantiasa dihadapan kamu.
Hal ini berarti bahwa dalam segala hal baik sikap maupun perbuatan seseorang
harus menerimanya secara tulus. Apapun yang terjadi adalah diluar pinta atau
usahanya tetapi semua diyakini dari Allah semata. Jelasnya harus menyerah secara
bulat kepada kuasa-Nya dan jangan meminta, menolak ataupun menduga-duga.
Karena nasib apapun yang diterima pada hakikatnya adalah karunia dari Allah.
Berkenaan dengan hal ini seseorang sufi Abu-Nasr as-Sarrj (W. 896 M)
mengatakan bahwa permulaan maqam tawakal adalah kesadaran seorang hamba
dihadapan Allah laksana mayat ditangan orang yang memandikan, dibolak balik
kehendaknya tanpa bergerak, protes maupun melakukan tindakan apapun.
Kesimpulnya tawakkal sebagai maqam sufi bersifat fatalis, individualis, dan
ahistoris.
Pandangan diatas berbeda dengan konsep tawakal dalam a’mal al-qulub yang
memberikan ruang gerak secara ikhtiyar kepada manusia, meskipun bersama
dengan itu manusia harus menyadari akan kemutlakan kekuasaan Tuhan. Ibn
Taimiyyah menolak tawakal dengan pengertian menyerah total, sebab sikap ini
pada giliranya akan mendorong orang untuk meninggalkan perbuatan yang
diperintahkan dan sebaliknya justru mengerjakan perbuatan yang dilarang serta
menghilangkan perbedaan antara hal-hal yang memang harus berbeda. Sebab baik
dalam Al-Quran maupun Hadis melarang seseorang meninggalkan perbuatan yang
diperintahkan karena percaya kepada takdir dan memerintahkan agar melakukan
perbuatan-perbuatan yang manfaat. Dengan demikian, pandangan tawakal ini
mengandung makna aktif dan dinamis yang berbeda dengan makna tawakal dalam
maqam sufi yang bersifat pasif dan fatalis.
Sementara menurut Al Quran, seruan kepada manusia untuk bertawakal
kepada Allah dikaitkan dengan berbagai nilai keagamaan dan kehidupan ( Madjid,
1992:47-48), yaitu:
a. Tawakal dikaitkan dengan sikap keimanan kepada Allah (Qs.Al-
Maidah:23) dan sikap pasrah kepada-Nya (Qs.Yunus:84)
b. Tawakal kepada Allah diperlukan setiap kali sehabis mengambil keputusan
penting (khususnya keputusan yang menyangkut orang banyak melalui
musyawarah) guna memperoleh keteguhan hati dan ketabahan dalam
melaksakannya, serta tidak mudah mengubah keputusan itu (Qs. Ali
Imran:159)

MAKALAH MAQAM DALAM ILMU TASAWUF | 13


c. Tawakal juga dilakukan agar keteguhan jiwa menghadapi lawan dan agar
perhatian kepada usaha untuk menegakkan kebenaran tidak terpecah
karena adanya lawwan itu, dengan keyakinan bahwa Tuhanlah yang akan
melindungi dan menjaga kita (Qs. An –Nisaa’:81)
Seorang muslim memandang tawakal kepada Allah dalam semua pekerjaanya
bukan sebagai kewajiban semata, melaikan juga fardu agama yang tidak hanya
berkaitan dengan urusan agama, tetapi juga urusan duniawi termasuk didalamnya.
Dengan kata lain, tawakal tidak hanya berkaitan dengan urusan duniawi dan
mencari rezeki semata, tetapi diharuskan pula dalam masalah beribadah kepada
Allah.
Dengan demikian, tawakal bagi seorang muslim merupakan bagian dari akidah.
“Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal jika kamu benar-benar
orang yang beriman.” (QS.Al-Maa’idah:23)
Melalui tawakal maka seseorang akan memperoleh berbagai manfaat :
a) Berkat tawakal kemenangan atas musuh dapat diraih.
b) Mendatangkan kemaslahatan, menolak mara bahaya dan berbagai macam
musibah, serta mendatangkan rezeki dan mneyegarkan kesembuhan
c) Tawakal kepada Allah menjadi penyebab bagi kuatnya hati dan
kebangkitan semangatnya.
d) Menangkal keterpurukan psikologi dan ketegangan syaraf.
Dari berbgai hikmah tersebut, jelas bahwa tawakal merupakan bagian tidak
terpisahkan dari jiwa seseorang yang memperjalankan dirinya menuju Allah.

MAKALAH MAQAM DALAM ILMU TASAWUF | 14


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Tasawuf adalah sebuah ilmu yang membicarakan tentang bagaimana upaya


seorang manusia sebagai hamba Allah, berusaha mendekatkan diri kepada-Nya.
Pendekatan diri manusia dalam konteks ini memberi makna bahwa seseorang
dikatakan dekat dengan Tuhannya apabila telah melaksanakan kewajiban pokok
ditambah ibadah-ibadah lainnya yang tidak wajib dilaksanakan. Dalam tasawuf
juga terdapat teori-teori yang digagas oleh para tokoh sufi sebagai sebuah metode
yang dapat dipraktekkan oleh siapa saja yang ingin dirinya dekat kepada Tuhan
mereka. Dalam konteks ini dikatakan dengan maqam-maqam (maqamat), yang
dihasilkan dari latihan spiritual seseorang hamba. Sedangkan ahwal adalah
kondisi seseorang yang menunjukkan kedekatannya kepada Tuhan mereka tanpa
dilalui latihan-latihan spiritual. Dengan kata lain ahwal adalah kondisi atau status
seorang hamba terhadap Tuhannya yang merupakan anugerah dari Tuhan, tanpa
melalui usaha berupa latihan maupun pembelajaran

B. Kritik Dan Saran

Demi kesempurnaan makalah ini kritik dan saran yang bersifat


membangun sangat kami harapkan, agar makalah ini dapat menjadikan
suatu pedoman untuk kalangan umum. Kami sebagai penyusun memohon
maaf atas segala kekurangan dan kesalahan dalam penyusunan makalah ini.
Atas kritik , saran, dan perhatiannya kami ucapkan terimakasih.

MAKALAH MAQAM DALAM ILMU TASAWUF | 15


DAFTAR PUSTAKA

1. file:///C:/Users/prima/Downloads/105-207-1-SM%20(2).pdf
2. https://int.search.tb.ask.com/search/GGmain.jhtml?ct=ARS&n=78486b04
&p2=%5EBSB%5Exdm071%5ETTAB02%5Eid&pg=GGmain&pn=1&pt
b=AF1C9125-1F8C-400D-A253-
2EFC723B8566&qs=&si=EAIaIQobChMIrJ3lzfDi2AIVm0YrCh2KngRl
EAEYASAAEgIygfD_BwE&ss=sub&st=sb&searchfor=MAQAM+TASA
WUF&feedurl=ars%252Ffeedback%253ForiginalQuery%253D%252Bpen
gertian%252Bmaqam%252Bdalam%252Bilmu%252Btasawuf%2526relat
edQuery%253Dmaqam%252Btasawuf&tpr=jrel2&ots=1517288024172

MAKALAH MAQAM DALAM ILMU TASAWUF | 16

Anda mungkin juga menyukai