Anda di halaman 1dari 18

Makalah Aliran Qodariyah

“Aliran Qadariyah”
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pancasila
Jurusan Teknik Informatika Sekolah Tinggi Teknologi Nurul Jadid

Oleh:
SAMSUDI
(09011164)

Dosen Pembimbing :
KH. MOH. ROMZI AL AMIRI MANNAN, SH. MHI

SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NURUL JADID


PAITON – PROBOLINGGO
2011

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Aliran-aliran (Firqoh) muncul setelah Rasulullah SAW wafat, pada zaman Nabi
Muhammad SAW umat Islam dapat kompak dalam lapangan agama, termasuk di bidang aqidah.
Kalau ada hal-hal yang tidak jelas atau hal-hal yang diperselisihkan di antara para sahabat,
mereka mengembalikan persoalannya kepada nabi. Maka penjelasan beliau itulah yang
kemudian menjadi pegangan dan ditaatinya.
Namun setelah Rasulullah wafat mulailah bermunculah aliran-aliran (firqoh) ilmu
kalam, terutama pada masa pemerintahan Kholifah Usman bin affan. Syi’ah merupakan firqoh
pertama yang kemudian disusul oleh firqoh-firqoh lainnya, salah satunya adalah firqoh
Qadariyah.
Persoalan Iman (aqidah) agaknya merupakan aspek utama dalam ajaran Islam yang
didakwahkan oleh Nabi Muhammad. Pentingnnya masalah aqidah ini dalam ajaran Islam tampak
jelas pada misi pertama dakwah Nabi ketika berada di Mekkah. Pada periode Mekkah ini,
persoalan aqidah memperoleh perhatian yang cukup kuat dibanding persoalan syari’at, sehingga
tema sentral dari ayat-ayat al-Quran yang turun selama periode ini adalah ayat-ayat yang
menyerukan kepada masalah keimanan.[[1]]
Berbicara masalah aliran pemikiran dalam Islam berarti berbicara tentang Ilmu Kalam.
Kalam secara harfiah berarti “kata-kata”. Kaum teolog Islam berdebat dengan kata-kata dalam
mempertahankan pendapat dan pemikirannya sehingga teolog disebut sebagai mutakallim yaitu
ahli debat yang pintar mengolah kata. Ilmu kalam juga diartikan sebagai teologi Islam atau
ushuluddin, ilmu yang membahas ajaran-ajaran dasar dari agama. Mempelajari teologi akan
memberi seseorang keyakinan yang mendasar dan tidak mudah digoyahkan. Munculnya
perbedaan antara umat Islam. Perbedaan yang pertama muncul dalam Islam bukanlah masalah
teologi melainkan di bidang politik. Akan tetapi perselisihan politik ini, seiring dengan
perjalanan waktu, meningkat menjadi persoalan teologi.[[2]]
Perbedaan teologis di kalangan umat Islam sejak awal memang dapat mengemuka
dalam bentuk praktis maupun teoritis. Secara teoritis, perbedaan itu demikian tampak melalui
perdebatan aliran-aliran kalam yang muncul tentang berbagai persoalan. Tetapi patut dicatat
bahwa perbedaan yang ada umumnya masih sebatas pada aspek filosofis diluar persoalan
keesaan Allah, keimanan kepada para rasul, para malaikat, hari akhir dan berbagai ajaran nabi
yang tidak mungkin lagi ada peluang untuk memperdebatkannya. Misalnya tentang kekuasaan
Allah dan kehendak manusia, kedudukan wahyu dan akal, keadilan Tuhan. Perbedaan itu
kemudian memunculkan berbagai macam aliran, yaitu Mu'tazilah, Syiah, Khawarij, Jabariyah
dan Qadariyah serta aliran-aliran lainnya.
Makalah ini akan mencoba menjelaskan aliran Qadariyah. Dalam makalah ini penulis
hanya menjelaskan secara singkat dan umum tentang aliran Qadariyah. Mencakup di dalamnya
adalah latar belakang lahirnya sebuah aliran dan ajaran-ajarannya secara umum. .

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka kami perlu merumuskan masalah
sebagai berikut :
1.2.1. Bagaimana Awal kemunculan aliran Qadariyah?
1.2.2. Siapa tokoh-tokoh Aliran Qadariyah?
1.2.3. Bagaimana ajaran-ajaran aliran Qadariyah ?

1.3. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penyususan makalah ini memiliki tujuan
sebagai berikut :
- Dapat mengetahui firqoh-firqoh ilmu kalam dalam Islam
- Dapat menjadi referensi dalam mempelajari firqoh-firqoh dalam Islam pada umumnya serta
aliran qadariyah pada umumnya.

1.4. Manfaat
Berdasarkan tujuan di atas, maka penyusunan makalah ini memberikan manfaat sebagai
berikut :
1.4.1. Kita dapat mengetahui sejarah munculnya aliran Qadariyah
1.4.2. Memahami tokoh-tokoh faham qadariyah
1.4.3. Memahami ajaran-ajaran aliran Qadariyah

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN ALIRAN QADARIYAH


Pengertian Qadariyah secara etomologi, berasal dari bahasa Arab, yaitu qadara yang
bemakna kemampuan dan kekuatan. Adapun secara termenologi istilah adalah suatu aliran yang
percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diinrvensi oleh Allah. Aliran-aliran ini
berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat
sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Aliran ini lebih menekankan atas
kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbutan-perbutannya. Harun Nasution
menegaskan bahwa aliran ini berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk
melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk
pada qadar Tuhan.[1]
Menurut Ahmad Amin sebagaimana dikutip oleh Dr. Hadariansyah, orang-orang
yang berpaham Qadariyah adalah mereka yang mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan
berkehendak dan memiliki kemampuan dalam melakukan perbuatan. Manusia mampu
melakukan perbuatan, mencakup semua perbuatan, yakni baik dan buruk.[2]

2.2 SEJARAH MUNCULNYA QADARIYAH


Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti dan masih
merupakan sebuah perdebatan. Akan tetepi menurut Ahmad Amin, ada sebagian pakar teologi
yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad al-Jauhani dan
Ghilan ad-Dimasyqi sekitar tahun 70 H/689M.[3]
Ibnu Nabatah menjelaskan dalam kitabnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh
Ahmad Amin, aliran Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh orang Irak yang pada mulanya
beragama Kristen, kemudian masuk Islam dan kembali lagi ke agama Kristen. Namanya adalah
Susan, demikian juga pendapat Muhammad Ibnu Syu’ib. Sementara W. Montgomery Watt
menemukan dokumen lain yang menyatakan bahwa paham Qadariyah terdapat dalam kitab ar-
Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan al-Basri sekitar tahun 700M [4]
Ada pula pendapat lain yang mengatakan bahwa Qadariyah mula-mula ditimbulkan
pertama kali sekitar tahun 70 H/689 M, dipimpin oleh seorang bernama Ma’bad al-Juhani dan
Ja’ad bin Dirham, pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan (685-705 M).
Menurut Ibn Nabatah, Ma’bad al-Juhani dan temannya Ghailan al-Dimasyqi mengambil faham
ini dari seorang Kristen yang masuk Islam di Irak. Ma’ad al-Juhni adalah seorang tabi’in, pernah
belajar kepada Washil bin Atho’, pendiri Mu’tazilah. Dia dihukum mati oleh al-Hajaj, Gubernur
Basrah, karena ajaran-ajarannya. Dan menurut al-Zahabi, Ma’ad adalah seorang tabi’in yang
baik, tetapi ia memasuki lapangan politik dan memihak Abd al-Rahman ibn al-Asy’as, gubernur
Sajistan, dalam menentang kekuasaan Bani Umayyah. Dalam pertempuran dengan al-Hajjaj,
Ma’ad mati terbunuh dalam tahun 80 H.
Sedangkan Ghailan al-Dimasyqi adalah penduduk kota Damaskus. Ayahnya
seorang yang pernah bekerja pada khalifah Utsman bin Affan. Ia datang ke Damaskus pada masa
pemerintahan khalifah Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H). Ghailan juga dihukum mati karena
faham-fahamnya. Ghailan sendiri menyiarkan faham Qadariyahnya di Damaskus, tetapi
mendapat tantangan dari khalifah Umar ibn Abd al-Aziz. Menurut Ghailan, manusia berkuasa
atas perbuatan-perbuatannya, manusia sendirilah yang melakukan perbuatan-perbuatan baik atas
kehendak dan kekuasaannya sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi
perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Dalam faham ini manusia merdeka
dalam tingkah lakunya.
Di sini tak terdapat faham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan
terlebih dahulu, dan bahwa manusia dalam perbuatan-perbuatannya hanya bertindak menurut
nasibnya yang telah ditentukan semenjak azal. Selain penganjur faham Qadariyah, Ghailan juga
merupakan pemuka Murji’ah dari golongan al-Salihiah. Tokoh-tokoh faham Qadariyah antara
lain : Abi Syamr, Ibnu Syahib, Galiani al-Damasqi, dan Saleh Qubbah
Kaum Qadariyah berpendapat bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan
kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Menurut faham Qadaiyah, manusia
mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Dengan demikian nama Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada
qadar atau kadar Tuhan.
Dalam istilah inggrisnya faham ini dikenal dengan nama free will dan free act.
Mereka, kaum Qadariyah mengemukakan dalil-dalil akal dan dalil-dalil naqal (Al-Qur’an dan
Hadits) untuk memperkuat pendirian mereka. Mereka memajukan dalil, kalau perbuatan manusia
sekarang dijadikan oleh Tuhan, juga kenapakah mereka diberi pahala kalau berbuat baik dan
disiksa kalau berbuat maksiat, padahal yang membuat atau menciptakan hal itu adalah Allah
Ta’ala.
Dikemukakan pula dalil dari ayat-ayat al-Qur’an yang ditafsirkan sendiri oleh kaum Qadariyah
sesuai dengan madzhabnya, tanpa memperhatikan tafsir-tafsir dari Nabi dan sahabat Nabi ahli
tafsir. Misalnya mereka kemukakan ayat, yang artinya :
“Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman dan barang yang
ingin (kafir) biarlah ia kafir”. (QS. Al-Kahfi : 29).
Menurut Qadariyah, dalam ayat ini, bahwa iman dan kafir dari seseorang tergantung pada orang
itu, bukan lagi kepada Tuhan. Ini suatu bukti bahwa manusialah yang menentukan, bukan Tuhan.
Dalam segi tertentu Qadariyah mempunyai kesamaan ajaran dengan Mu’tazilah.
Ditinjau dari segi politik kehadiran mazhab Qadariyah sebagai isyarat menentang
politik Bani Umayyah, karena itu kehadiran Qadariyah dalam wilayah kekuasaanya selalu
mendapat tekanan, bahkan pada zaman Abdul Malik bin Marwan pengaruh Qadariyah dapat
dikatakan lenyap tapi hanya untuk sementara saja, sebab dalam perkembangan selanjutnya ajaran
Qadariyah itu tertampung dalam Muktazilah.[5]
2.3 CIRI-CIRI PENGANUT ALIRAN QADARIYAH
Di antara cirri-ciri paham Qadariyah adalah sebagai berikut.
1. Manusia berkuasa penuh untuk menentukan nasib dan perbuatannya, maka perbuatan dan nasib
manusia itu dilakukan dan terjadi atas kehendak dirinya sendiri, tanpa ada campur tangan Allah
SWT.
2. Iman adalah pengetahuan dan pemahaman, sedang amal perbuatan tidak mempengaruhi iman.
Artinya, orang berbuat dosa besar tidak mempengaruhi keimanannya.
3. Orang yang sudah beriman tidak perlu tergesa-gesa menjalankan ibadah dan amal-amal
kebajikan
2.4 AJARAN-AJARAN QADARIYAH
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghalian tentang ajaran Qadariyah bahwa
manusia berkuasa atas perbuatan-perbutannya. Manusia sendirilah yang melakukan perbuatan
baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau
menjauhi perbuatan-perbutan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Tokoh an-Nazzam
menyatakan bahwa manusia hidup mempunyai daya, dan dengan daya itu ia dapat berkuasa atas
segala perbuatannya[6]
Dengan demikian bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya
sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya
sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala
atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan
yang diperbuatnya. Ganjaran kebaikan di sini disamakan dengan balasan surga kelak di akherat
dan ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akherat, itu didasarkan atas pilihan pribadinya
sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Karena itu sangat pantas, orang yang berbuat akan
mendapatkan balasannya sesuai dengan tindakannya.[7]
Faham takdir yang dikembangkan oleh Qadariyah berbeda dengan konsep yang
umum yang dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib
manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatannya, manusia hanya bertindak
menurut nasib yang telah ditentukan sejak azali terhadap dirinya. Dengan demikian takdir adalah
ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu
hokum yang dalam istilah Alquran adalah sunnatullah.
Secara alamiah sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat
diubah. Manusia dalam demensi fisiknya tidak dapat bebruat lain, kecuali mengikuti hokum
alam. Misalnya manusia ditakdirkan oleh Tuhan tidak mempunyai sirip seperti ikan yang mampu
berenang di lautan lepas. Demikian juga manusia tidak mempunyai kekuatan seperti gajah yang
mampu membawa barang seratus kilogram.
Dengan pemahaman seperti ini tidak ada alasan untuk menyandarkan perbuatan
kepada Allah. Di antara dalil yang mereka gunakan adalah banyak ayat-ayat Alquran yang
berbicara dan mendukung paham itu
Artinya : “Kerjakanlah apa yang kamu kehendaki sesungguhnya Ia melihat apa yang kamu
perbuat”. (QS. Fush-Shilat : 40).

Artinya : “Katakanlah kebenaran dari Tuhanmu, barang siapa yang mau beriman maka
berimanlah dan barang siapa yang mau kafir maka kafirlah”. (QS. Al-Kahfi : 29).

Artinya : “dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), Padahal kamu
telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar),
kamu berkata: "Darimana datangnya (kekalahan) ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu
sendiri". Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS.Ali Imran :165)

Artinya : “Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah
keadaan [Tuhan tidak akan merobah Keadaan mereka, selama mereka tidak merobah sebab-
sebab kemunduran mereka.] yang ada pada diri mereka sendiri”. (QS.Ar-R’d :11) [8]

Secara terperinci asas-asas ajaran Qadariyah adalah sebagai berikut :

1. Mengingkari takdir Allah Taala dengan maksud ilmuNya.

2. Melampau di dalam menetapkan kemampuan manusia dengan menganggap mereka bebas


berkehendak (iradah). Di dalam perbuatan manusia, Allah tidak mempunyai pengetahuan (ilmu)
mengenainya dan ia terlepas dari takdir (qadar). Mereka menganggap bahawa Allah tidak
mempunyai pengetahuan mengenai sesuatu kecuali selepas ia terjadi.

3. Mereka berpendapat bahawa Allah tidak bersifat dengan suatu sifat yang ada pada makhluknya.
Kerana ini akan membawa kepada penyerupaan (tasybih). Oleh itu mereka menafikan sifat-sifat
Ma'ani dari Allah Taala.

4. Mereka berpendapat bahawa al-Quran itu adalah makhluk. Ini disebabkan pengingkaran mereka
terhadap sifat Allah.

5. Mengenal Allah wajib menurut akal, dan iman itu ialah mengenal Allah.

6. Mereka mengingkari melihat Allah (rukyah), kerana ini akan membawa kepada penyerupaan
(tasybih).

7. Mereka mengemukakan pendapat tentang syurga dan neraka akan musnah (fana'), selepas ahli
syurga mengecap nikmat dan ali neraka menerima azab siksa.
2.5 REFLEKSI ALIRAN QADARIYAH DAN ALIRAN JABARIYAH (Sebuah
Perbandingan Tentang Musibah)
Dalam pembahasan-pembahasan tentang ilmu kalam khususnya dalam hal aliran-
aliran yang ada di dalamnya, aliran Qadariyah dan aliran Jabariyah selalu dikaitkan, karena
aliran keduanya ini sangatlah berbeda pandangan, di satu sisi Aliran Qadariyah beranggapan
bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Allah artinya segala tingkah laku
manusia tidak ada campur tangan Allah SWT sama sekali, di lain pihak Aliran Jabariyah berbeda
pandangan dan bertolak belakang yaitu aliran Jabariyah beranggapan bahwa segala tingkah laku
manusia semuanya ditentukan oleh Allah, manusia sangat tidak berdaya.
Dalam paham Jabariyah, berkaitan dengan perbuatannya, manusia digambarkan
bagai kapas yang melayang di udara yang tidak memiliki sedikit pun daya untuk menentukan
gerakannya yang ditentukan dan digerakkan oleh arus angin. Sedang yang berpaham Qadariyah
akan menjawab, bahwa perbuatan manusia ditentukan dan dikerjakan oleh manusia, bukan Allah.
Dalam paham Qadariyah, berkaitan dengan perbuatannya, manusia digambarkan sebagai
berkuasa penuh untuk menentukan dan mengerjakan perbuatannya.
Pada perkembangan selanjutnya, paham Jabariyah disebut juga sebagai paham
tradisional dan konservatif dalam Islam dan paham Qadariyah disebut juga sebagai paham
rasional dan liberal dalam Islam. Kedua paham teologi Islam tersebut melandaskan diri di atas
dalil-dalil naqli (agama) - sesuai pemahaman masing-masing atas nash-nash agama (Alquran dan
hadits-hadits Nabi Muhammad) - dan aqli (argumen pikiran). Di negeri-negeri kaum Muslimin,
seperti di Indonesia, yang dominan adalah paham Jabariyah. Orang Muslim yang berpaham
Qadariyah merupakan kalangan yang terbatas atau hanya sedikit dari mereka.
Kedua paham itu dapat dicermati pada suatu peristiwa yang menimpa dan berkaitan
dengan perbuatan manusia, misalnya, kecelakaan pesawat terbang. Bagi yang berpaham
Jabariyah biasanya dengan enteng mengatakan bahwa kecelakaan itu sudah kehendak dan
perbuatan Allah. Sedang, yang berpaham Qadariyah condong mencari tahu di mana letak
peranan manusia pada kecelakaan itu.
Kedua paham teologi Islam tersebut membawa efek masing-masing. Pada paham
Jabariyah semangat melakukan investigasi sangat kecil, karena semua peristiwa dipandang sudah
kehendak dan dilakukan oleh Allah. Sedang, pada paham Qadariyah, semangat investigasi amat
besar, karena semua peristiwa yang berkaitan dengan peranan (perbuatan) manusia harus
dipertanggungjawabkan oleh manusia melalui suatu investigasi.
Dengan demikian, dalam paham Qadariyah, selain manusia dinyatakan sebagai
makhluk yang merdeka, juga adalah makhluk yang harus bertanggung jawab atas perbuatannya.
Posisi manusia demikian tidak terdapat di dalam paham Jabariyah. Akibat dari perbedaan sikap
dan posisi itu, ilmu pengetahuan lebih pasti berkembang di dalam paham Qadariyah ketimbang
Jabariyah.
Dalam hal musibah gempa dan tsunami baru-baru ini, karena menyikapinya sebagai
kehendak dan perbuatan Allah, bagi yang berpaham Jabariyah, sudah cukup bila tindakan
membantu korban dan memetik "hikmat" sudah dilakukan.
Sedang hikmat yang dimaksud hanya berupa pengakuan dosa-dosa dan hidup
selanjutnya tanpa mengulangi dosa-dosa. Sedang bagi yang berpaham Qadariyah, meski gempa
dan tsunami tidak secara langsung menunjuk perbuatan manusia, namun mengajukan pertanyaan
yang harus dijawab : adakah andil manusia di dalam "mengganggu" ekosistem kehidupan yang
menyebabkan alam "marah" dalam bentuk gempa dan tsunami? Untuk itu, paham Qadariyah
membenarkan suatu investigasi (pencaritahuan), misalnya, dengan memotret lewat satelit
kawasan yang dilanda musibah

2.6 KEKELIRUAN QADARIYAH TERHADAP TAKDIR ALLAH


Iman kepada taqdir merupakan keyakinan yang harus dipegang teguh oleh setiap
muslim. Orang yang beriman kepada taqdir, dengan cara yang benar, berarti telah merealisasikan
tauhid kepada-Nya dan berjalan di atas petunjuk Rabb-nya. Sebab, beriman kepada qadar
termasuk mendapatkan petunjuk.
Allah Azza wa Jalla berfirman, "Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah
menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka (balasan) ketakwaannya."
[Muhammad: 17]Dia juga berfirman, "Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang
kecuali dengan izin Allah, Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan
memberi petunjuk kepada hatinya … ." [At-Taghaabun: 11]
‘Alqamah rahimahullahu berkata tentang ayat ini, “Yaitu, mengenai orang yang
tertimpa musibah, lalu dia tahu bahwa hal itu berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka dia
pun pasrah dan ridha.” ( Zaadul Masiir VIII/283, Ibnul Jauzi)
Kemudian orang yang beriman kepada tadir akan sadar bahwa semua makhluk
berada dalam kekuasaan-Nya, diatur dengan qadar (ketentuan)-Nya. Semua mahluk tidak
memiliki suatu kekuasaan pun, termasuk terhadap dirinya, terlebih terhadap selainnya, baik
kemanfaatan maupun kemudharatan. Karena itu kita harus yakin bahwa segala urusan itu berada
di tangan Allah. Karena Dialah yang memberi kepada siapa yang dikehendaki dan mencegah
dari siapa yang dikehendaki. Tidak ada yang dapat menolak ketentuan dan ketetapan-Nya.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah ditanya
oleh Malaikat Jibril tentang iman. Beliau menjawab bahwa salah satu tanda iman adalah percaya
pada taqdir baik dan buruk yang telah ditentukan Allah Ta'ala. (Arbain An-Nawawi hadits ke 2,
Imam Nawawi) Pemahaman seperti inilah yang dipegang teguh oleh para ulama salaf.
Imam Syahrastani dalam kitabnya, al-Milal wa al-Nihal hal.61, menyebutkan
bahwa keyakinan terhadap taqdir sudah menjadi ijmak para sahabat. Orang-orang yang dicintai
Rasulullah ini berkeyakinan bahwa qadar yang baik dan buruk pada hakekatnya berasal dari
Allah SWT.
Dari keterangan inilah kemudian para ulama menyimpulkan bahwa pada dasarnya
manusia hanyalah punya kemampuan berusaha, namun yang menentukan berhasil atau tidaknya
ada di tangan Allah SWT. Sebab tidak ada satu kekuasaanpun diluar kekuasaan-Nya.
2.7 BANTAHAN TERHADAP KAUM QADARIYAH
Meski ayat dan hadits tentang iman kepada taqdir sudah jelas, namun masih ada
sekelompok orang yang tidak mempercayainya. Terutama berkaitan dengan taqdir buruk.
Mereka berpendapat bahwa Allah tidak mungkin memberi taqdir buruk kepada hamba-Nya.
Sebab jika itu dilakukan, berarti Allah telah berbuat dhalim. Dan ini tidak mungkin dilakukan
Allah. Kalau ada seseorang tertimpa musibah berarti itu karena kesalahannya semata, bukan
taqdir Allah.
Pendapat ini sebenarnya bukanlah hal baru dalam wacana pemikiran Islam.
Kelompok yang berpendapat seperti itu adalah kaum Qadariyyah yang muncul pada akhir masa
sahabat. Keyakinan seperti ini disebarkan oleh Ma'bad al-Juhani, Gilan al-Damisqi dan Yunus
al-Ashwa yang mengingkari terhadap penyandaran baik dan buruk terhadap qadar. Mereka juga
berpendapat bahwa segala sesuatu mempunyai sebab, sebagaimana pemahaman para filosof
Yunani . Menurut kelompok ini, Allah wajib mewujudkan yang baik (al-ashlah) untuk
kemaslahatan manusia. Bisa saja Allah bertindak zalim dan berdusta, tetapi mustahil akan
berbuat begitu. Sebab kalau Dia mentakdirkan atau membuat yang buruk bagi seseorang dan
menghukum orang tersebut, maka berarti hilanglah keadilan-Nya. Intinya, menurut kaum
Qadariyyah, Allah hanya membuat yang baik dan tidak yang buruk. Mereka berpendapat bahwa
Allah tidak menciptakan kecuali yang baik, karena Allah berkewajiban memelihara kepentingan
hamba-Nya.
Pendapat sesat ini telah dijawab oleh para ulama. Yang benar, segala yang terjadi di
jagad raya ini adalah taqdir dan ciptaan-Nya. Allah berbuat sesuai kehendak-Nya. Dan karena
yang diperbuat adalah milik-Nya sendiri, maka tidak ada alasan untuk mengatakan Allah berlaku
aniaya. Karena tidak ada milik atau hak orang lain yang dirampas atau ditindas-Nya. Mengenai
paham Qadariyyah ini Rasulullah bersabda,
ُ ‫ش َهدُو ُه ْم ََا ْلقَد َِريَّةُ َم ُج‬
‫وس َه ِذ ِه األ ُ َّم ِة ِإ ْن َم ِرضُوا فَالَ تَعُودُو ُه ْم َو ِإ ْن َمات ُوا َفالَ ت‬ ْ

"Al-Qadariyyah adalah Majusinya umat (Islam) ini. Jika mereka sakit jangan dijenguk. Jika
mereka mati jangan disaksikan" (HR. Sunan Abu Daud, Sunan Baihaqi)

Dalam kitab Al Ibana al-Kubra Li Ibni Batha. disebutkan bahwa Imam Al- Au'zai mengatakan

"Qadariyyah adalah musuh Allah di dunia"

Yang dimaksud musuh Allah di sini adalah musuh mengenai taqdir Allah, karena
taqdir Allah terdiri dari kebaikan dan keburukan. Demikian pula perbuatan manusia terdiri dari
dua macam yaitu baik dan buruk.

Dalam kitab As-Sunnah, Ibn Abi 'Ashim meriwayatkan dari Sa'ad bin Abd al-
Jabbar, katanya: "Saya mendengar Imam Malik bin Anas berkata: Pendapat saya tentang
kelompok Qadariyyah adalah, mereka itu disuruh bertaubat. Apabila tidak mau, mereka harus
dihukum mati".

Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa pemahaman seperti kelompok


Qadariyyah itu sesat dan menyesatkan. Karena itu kaum muslimin hendaklah berhati-hati
terhadap orang atau kelompok yang memiliki pendapat seperti mereka. Allah yang Maha Suci,
tidak mungkin kekuasaan-Nya ditembus oleh sesuatu tanpa kehendak-Nya. Memang seorang
hamba memiliki keinginan dan kehendak, akan tetapi semua itu tetap mengikut kehendak dan
keinginan Allah. Manusia memiliki kebebasan untuk berbuat, namun kebebasan yang mengikuti
kehendak dan keinginan yang memberi kebebasan yaitu Allah.
2.8 SEJARAH SINGKAT PERPECAHAN DALAM ISLAM
Perpecahan dalam Islam sangat erat kaitannya dengan aliran Qadariyah, karna
aliran tersebut dapat dikatakan dari perpecahan itu sendiri, berikut ini adalah tokoh-tokoh bid’ah
yang termasuk didalamnya tokoh pencetus aliran Qadariyah :
1. Pelopor perpecahan : Ibnu Sauda' Abdullah bin Saba' Al-Yahudi, seorang Yahudi yang
mengaku-ngaku beragama Islam. berikut pengikut dan konco-konconya. Ide kotornya pertama
kali muncul sekitar tahun 34H. Ibnu Sauda' ini memadukan antara bid'ah Khawarij dan Syi'ah.
2. Setelah itu Ma'bad Al-Juhani (meninggal dunia tahun 80H) meluncurkan pemikiran bid'ah
seputar masalah takdir sekitar tahun 64H. Ia menggugat ilmu Allah dan takdirNya. Ia
mempromosikan pemikiran sesat itu terang-terangan sehingga banyak meninggalkan ekses.
Disamping orang-orang yang mengikutinya juga banyak. Namun bid'ahnya ini mendapat
penentangan yang sangat keras dari kaum Salaf, termasuk di dalamnya para sahabat yang masih
hidup ketika itu, seperti Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma.
3. Kemudian muncullah Ghailan Ad-Dimasyqi yang mengibarkan pengaruh cukup besar seputar
masalah-masalah takdir sekitar tahun 98H. Dan juga dalam masalah ta'wil, ta'thil (mengingkari
sebagian siaft-sifat Allah) dan masalah irja [2] Para salaf pun menentang pemikirannya itu.
Termasuk diantara yang menentangnya adalah Khalifah Umar bin Abdil Aziz. Beliau
menegakkan hujjah atasnya, sehingga Ghailan menghentikan celotehannya sampai Umar bin
Abdul Aziz wafat. Namun setelah itu, Ghailan kembali meneruskan aksinya. Ini merupakan ciri
yang sangat dominan bagi ahli bid'ah, yaitu mereka tidak akan bertaubat dari bid'ah. Sekalipun
hujjahnya telah dipatahkan, mereka tetap kembali menentang dan kembali kepada bid'ahnya.
Ghailan ini akhirnya dibunuh setelah dimintai taubat namun menolak bertaubat pada tahun
105H.
4. Setelah itu muncullah Al-Ja'd bin Dirham (yang terbunuh tahun 124H). Ia mengembangkan
pendapat pendapat sesat itu. Dan meracik antara bid'ah Qadariyah dengan bid'ah Mu'aththilah [3]
dan ahli ta'wil. Kemudian ia menyebarkan pemikiran rancu (syubhat) di tengah-tengah kaum
muslimin. Sehingga para ulama Salaf memberi peringatan kepadanya dan menghimbaunya untuk
segera bertaubat. Namun ia menolak bertaubat. Para ulama membantah pendapat-pendapat Al-
Ja'd ini dan menegakkan hujjah atasnya, namun ia tetap bersikeras. Maka semakin banyak kaum
muslimin yang terkena racun pemikirannya, para ulama memutuskan hukuman mati atasnya
demi tercegahnya fitnah (kesesatan). Ia pun dibunuh oleh Khalid bin Abullah Al-Qasri. Kisah
terbunuhnya Al-Ja'd ini sangat mashur, Khalid berpidato seusai menunaikan shalat 'Idul Adha :
"Sembelihlah hewan kurban kalian, semoga Allah menerima sembelihan kalian, sementara aku
akan menyembelih Al-Ja'd bin Dirham, karena telah mendakwahkan bahwa Allah Subhanahu wa
Ta'ala tidak menjadikan Ibrahim sebagai khalilNya dan Allah tidak mengajak Nabi Musa
berbicara ...... dan seterusnya". Kemudian beliau turun dari mimbar dam menyembelihnya.
Peristiwa ini terjadi pada tahun 124H.
5. Sesudah peristiwa itu, api kesesatan sempat padam beberapa waktu. Hingga kemudian marak
kembali melalui tangan Al-Jahm bin Shafwan. Yang mengoleksi bid'ah dan kesesatan generasi
pendahulunya serta menambah bid'ah baru. Akibat ulahnya muncullah bid'ah Jahmiyah serta
kesesatan dan penyimpangan kufur lainnya yang ditularkannya. Al-Jahm bin Shafwan ini banyak
mengambil ucapan-ucapan Ghailan dan Al-Ja'd, bahkan ia menambah lagi dengan bid'ah ta'thil
(penolakan sifat-sifat Allah), bid'ah ta'wil, bid'ah irja', bid'ah Jabariyah [4], bid'ah Kalam [5],
tidak meyakini Allah bersemayam di atas Arsy, menolak sifat Al-'Uluw (yang maha tinggi) bagi
Allah, menolak ru'yah
[6]. Al-Jahm dihukum mati pada tahun 128H
6. Dalam waktu yang bersamaan, munculah pula Washil bin Atha' dan Amr bin Ubeid. Mereka
berdua meletakkan dasar-dasar pemikiran Mu'tazilah Qadariyah.

Setelah itu terbukalah pintu perpecahan. Kelompok Rafidhah mulai berani menyatakan terang-
terangan aqidah dan keyakinannya. Kemudian sekte Syi'ah ini terpecah belah menjadi beberapa
golongan. Lalu muncullah kaum Musyabbihah
7. dari kalangan Syi'ah melalui tokoh-tokohnya seperti Daud Al-Jawaribi, Hisyam bin Al-Hakam,
Hisyam bin Al-Jawaliqi dan lain-lain. Mereka itulah peletak dasar ajaran Musyabbihah dan
pelopornya. Mereka juga termasuk pengikut ajaran Syi'ah.
8. Kemudian muncullah Al-Mutakallimun (Ahli Kalam) seperti Al-Kullabiyah, Al-Asy'ariyah dan
Al-Maturidiyah. Lalu muncul pula aliran-aliran sufi dan ahli-ahli filsafat. dengan demikian, pintu
perpecahan terbuka luas bagi setiap orang sesat, ahli bid'ah dan pengiku hawa nafsu. Sehingga
tertancaplah dasar-dasar perpecahan di antara kaum muslimin sekarang ini.
Sampai hari ini, ekses-ekses perpecahan masih terlihat di antara kaum muslimin.
Bahkan terus bertambah dengan muculnya bid'ah-bid'ah dan penyimpangan-penyimpangan baru
di samping perpecahan yang sudah ada, sejalan dengan hawa nafsu manusia yang sudah begitu
akrab dengan bid'ah kesesatan.
Sebagian orang mengira bahwa kelompok-kelompok bid'ah ini sudah sirna dan sudah
menjadi koleksi sejarah masa lalu. Entah karena kejahilan mereka atau karena pura-pura tidak
tahu! Asumsi seperti itu jelas keliru. Setiap golongan sesat yang besar dan berbahaya di masa
lalu masih tetap ada sampai sekarang di tengah-tengah kaum muslimin. Bahkan semakin banyak,
semakin berbahaya dan semakin menyimpang. Rafidhah dengan sekte-sektenya yang batil serta
golongan Syi'ah lainnya, Khawarij, Qadariyah, Mu'tazilah, Jahmiyah, Ahli Kalam, Kaum Sufi
dan Ahli Filsafat, masih berusaha menyesatkan umat. Bahkan mereka mulai berani
menampakkan taring, mempromosikan aqidah mereka dengan cara yang lebih keji dari pada
sebelumnya. Karena pada hari ini mereka mengklaim ajaran mereka sebagai ilmu pengetahun,
wawasan dan pemikiran. Disamping minimnya pemaham kaum muslimin tentang agama mereka
dan kejahilan mereka tentang aqidah yang benar. Cukuplah Allah sebagai pelindung kita, dan
Dia adalah sebaik-baik pelindung
2.9 PERSEPSI KELIRU TENTANG PERPECAHAN DALAM ISLAM
Aliran Qadariyah termasuk yang cukup cepat berkembang dan mendapat dukungan
cukup luas di kalangan masyarakat, sebelum akhirnya pemimpinnya, Ma’bad dan beberapa
tokohnya, berhasil ditangkap dan dihukum mati oleh penguasa Damsyiq pada tahun 80 H/699 M,
karena menyebarkan ajaran sesat. Sejak terbunuhnya pentolan Qadariyah tersebut, aliran
Qadariyah mulai pudar, sehingga akhirnya sirna dimakan zaman dan kini tinggal sebuah nama
yang tertulis di dalam buku. Namun, sebagai pahamnya masih dianut oleh sebagian orang.
Banyak sekali faidah yang dapat dipetik dari pembicaraan seputar sejarah
perpecahan umat. Berbagai peristiwa yang terjadi di awal Islam tersebut sarat dengan ibrah
(pelajaran). Tentunya kami tidak mampu menyuguhkan sejarah perpecahan itu secara terperinci,
akan tetapi ada beberapa point yang dapat kita jadikan pelajaran. Sembari meluruskan beberapa
persepsi keliru sebagian orang sekitar masalah tersebut dewasa in.
Pertama Sumbu perpecahan yang pertama kali muncul hanyalah berupa i'tiqad dan
pemikiran yang tidak begitu didengar dan diperhatikan. Yang pertama kali di dengar oleh kaum
muslimin dan para sahabat adalah aqidah Saba'iyah yang merupakan cikal bakal aqidah Syi'ah
dan Khawarij. Itulah benih awal perpecahan yang ditaburkan di tengah-tengah kaum muslimin.
Aqidah ini disebarkan oleh penganutnya secara terselubung nyaris tanpa suara. Orang pertama
yang memunculkan juga asing, nama dan identitasnya tidak jelas. Orang menyebutnya Ibnu
Sauda' Abdullah bin Saba'. Ia mengacaukan barisan kaum muslimin dengan aqidah sesat itu.
Sehingga aqidah tersebut diyakini kebenarannya oleh sejumlah kaum munafikin, oknum-oknum
yang merancang makar jahat terhadap Islam, orang-orang jahil dan pemuda-pemuda ingusan.
Begitu pula sekelompok barisan sakit hati yang negeri, agama dan kerajaan mereka telah
ditundukkan oleh kaum muslimin, yaitu orang-orang yang baru memeluk Islam dari kalangan
bangsa Parsi dan Arab Badui. Mereka membenarkan hasutan-hasutan Ibnu Saba', membuat
makar tersembunyi atas kaum muslimin, hingga muncullah cikal bakal Syi'ah dan Khawarij dari
mereka.
Hal ini ditinjau dari sudut pandang aqidah dan keyakinan sesat yang pertama kali
muncul yang menyelisihi asas Islam dan Sunnah.
Adapun kelompok sempalan yang pertama kali muncul yang memisahkan diri dari
imam kaum muslimin adalah kelompok Khawarij. Benih-benih Khawarij ini sebenarnya berasal
dari aqidah Saba'iyah. Banyak orang yang mengira keduanya berbeda, padahal sebenarnya cikal
bakal Khawarij berasal dari pemikiran kotor Saba'iyah. Perlu diketahui bahwa Saba'iyah ini
terpecah menjadi dua kelompok utama : Khawarij dan Syi'ah.
Kendati antara keduanya terdapat perbedaan-perbedaan yang mencolok, namun
dasar-dasar pemikirannya setali tiga uang. Baik Khawarij maupun Syi'ah meuncul pada peristiwa
fitnah atas diri Amirul Mukminin Utsman bin Affan Radhiyallahu 'anhu. Fitnah diprakarsai oleh
Abdullah bin Saba' lewat ide, keyakinan dan gerakannya. Dari situlah muncrat aqidah sesat,
yaitu aqidah Syi'ah dan Khawarij.
Perbedaan antara Khawarij dan Syi'ah direkayasa sedemikian rupa oleh tokoh-
tokohnya supaya dapat memecah belah umat. Ibnu Saba' dan konco-konconya menabur beragam
benih untuk menyuburkan kelompok-kelompok pengikut hawa nafsu itu. Kemudian membuat
trik seolah-olah antara kelompok-kelompok itu terjadi permusuhan guna memecah belah umat
sebagaimana yang terjadi dewasa ini. Itulah yang diterapkan oleh musuh-musuh Islam untuk
mengadu domba kaum muslimin, yakni dengan istilah yang mereka namakan blok kanan dan
blok kiri. Mereka mengkotak-kotakan kaum muslimin menjadi berpartai-partai, partai sayap
kanan dan partai sayap kiri. Begitu berhasil melaksanakan program, mereka munculkan babak
permainan baru dengan istilah sekularisme, fundamentalisme, modernisme, primitif,
ekstrimisme, radikalisme dan lain-lain. Semuanya adalah permainan yang sama, dari sumber
yang sama pula. Para pencetusnya juga itu-itu juga demikian pula tujuannya, hanya saja corak
ragamnya berbeda-beda. Jadi secara keseluruhan ini mencerminkan kuatnya kebatilan, kendati
satu sama lain saling bermusuhan.
Kedua ada satu point penting yang perlu diperhatikan, yakni dalam sejarah tidak
kita temui para sahabat saling berpecah belah satu sama lain. Yang terjadi diantara mereka
hanyalah perbedaan pendapat yang kadang kala diselesaikan dengan ijma' (kesepakatan), atau
salah satu pihak tunduk kepada pendapat jama'ah serta tetap komitment terhadap imam. Itulah
yang terjadi dikalangan sahabat. Tidak ada seorang sahabat-pun yang memisahkan diri dari
jama'ah. Tidak ada satupun diantara mereka yang melontarkan ucapan bid'ah atau mengada-ada
perkara baru dalam agama. Sungguh, para sahabat merupakan imam dalam agama yang mesti
diteladani oleh kaum muslimin. Tidak satupun dari kalangan sahabat yang memecah dari
jama'ah. Dan tak satupun ucapan mereka yang menjadi sumber bid'ah dan sumber perpecahan.
Adapun beberapa ucapan dan kelompok sempalan yang dinisbatkan oleh sejumlah oknum
kepada para sahabat adalah tidak benar! Hanyalah dusta dan kebohongan besar yang mereka
tujukan terhadap para sahabat. Sangat keliru bila Ali bin Abi Thalib disebut sebagai sumber
Syi'ah, Abu Dzar Al-Ghifari sebagai sumber sosialisme, para sahabat Ahlus Suffah sebagai cikal
bakal kaum sufi, Mua'wiyah diklaim sebagai sumber Jabariyah, Abu Darda' dituduh sebagai
sumber Qadariyah, atau sahabat lain menjadi sumber pemikiran sesat ini dan itu, mengada-
adakan bid'ah dan perkara baru, atau punya pendirian yang menyempal! Jelas itu semua
merupakan kebatilan murni!
Iftiraq (perpecahan) itu sendiri mulai terjadi setelah Utsman bin Affan Radhiyallahu
'anhu terbunuh. Pada masa kekhalifahan Utsman, belum terjadi perpecahan yang serius. Namun
ketika meletus fitnah di antara kaum muslimin pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib,
barulah muncul kelompok Khawarij dan Syi'ah. Sementara pada masa kekhalifahan Abu Bakar
Radhiyallahu 'anhu dan Umar Radhiyallahu 'anhu, bahkan pada masa kekhalifahan Utsman
Radhiyallahu 'anhu, belum terjadi sama sekali perpecahan yang sebenarnya. Selanjutnya, para
sahabat justru melakukan penentangan terhadap perpecahan yang timbul. Janganlah dikira para
sahabat mengabaikan atau tidak tahu menahu tentang fenomena negatif ini. Dan jangan pula
disangka mereka kurang tanggap terhadap masalah perpecahan ini, baik seputar masalah
pemikiran, keyakinan, pendirian maupun perbuatan. Bahkan mereka tampil terdepan menentang
perpecahan dengan gigih. Mereka telah teruji dengan baik dalam sepak terjang menghadapi
perpecahan tersebut dengan segala tekad dan kekuatan. Akan tetapi ketentuan Allah pasti terjadi

[1] Lihat Rosihan Anwar, op.cit., h. 70; Abudin Nata, op.cit., h. 36; Hadariansyah, op.cit., h. 68

[2] Hadariansyah, loc.cit.,


[3] Hadariansyah, loc.cit.,; Harun Nasution, op.cit., h. 32; Rosihan Anwar, op.cit., h. 71
[4] Rosihan Anwar, loc. cit,.
[5] Yusran Asmuni, op.cit., h. 74
[6] Harun Nasution, op.cit., h. 31
[7] Rosihan Anwar, op.cit., h. 73
[8] Abdul Rozak Ilmu Kalam, hal 64

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Bagi aliran Qodariyah manusia adalah pelaku kebaikan dan juga keburukan, keimanan
dan juga kekufuran, ketaatan dan juga ketidaktaatan. Dari keterangan ajaran-ajaran Qodariyah
tersebut di atas yang terpenting harus kita pahami bahwa mereka (Penganut Aliran Qodariyah)
mengemukakan alasan-alasan dan dalil-dalil serta pendapat yang demikian itu dengan maksud
untuk menghindarkan diri dari bahaya yang akan menjerumuskan mereka ke dalam kesesatan
beragama dan mencapai kemuliaan dan kesucian Allah SWT dengan sesempurna-sempurnanya.
Penghindaran itu pun tidak mutlak dan tidak selama-lamanya, bahkan jika dirasanya akan
berbahaya pula, mereka pun tentu akan mencari jalan dan dalil-dalil lain yang lebih tepat
3.2. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka kami memberi saran sebagai berikut:
1.2.1. Organisasi NU ini harus bisa membentengi dirinya sendiri agar tidak lagi dimanfaatkan oleh
orang-orang yang memiliki nafsu politik.
1.2.2. Mengembalikan NU ke dalam ruh-nya semula, sebagaimana yang tercantum dalam Qonun Asasi
pendirian organisasi, bahwa NU adalah jam’iyah diniyah ijtima’iyah, organisasi sosial
keagamaan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Anwar, Rosihan, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), cet ke-2
2. Asmuni, Yusran, Dirasah Islamiyah: Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan
Pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996)
3. Daudy, Ahmad, Kuliah Ilmu Kalam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997)
4. Hadariansyah, AB, Pemikiran-pemikiran Teologi dalam Sejarah Pemikiran Islam,
(Banjarmasin: Antasari Press, 2008)
5. Maghfur, Muhammad, Koreksi atas Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam, (Bangil: al-
Izzah, 2002)
6. Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta:
UI-Press, 1986), cet ke-5

Anda mungkin juga menyukai