Anda di halaman 1dari 24

RASM AL-QUR’AN

Makalah
Dipresentasikan pada Seminar Mata Kuliah Kuliah Ulumul Qur’an Program
Pascasarjana Konsentrasi Manajemen Pendidikan Islam
UIN Alauddin Makassar

Oleh

AKRAM
NIM. 80300217029

Dosen Pengampu

Dr. Muhsin Mahfudz, M.Th.I.


Dr. H. Muh. Zakir, M.A.

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN


MAKASSAR
2018
KATA PENGANTAR

‫ْالر ِحيم‬
َّ ‫ْالرح َم ِن‬
َّ ِ‫بِسْ ِمْهللا‬
Segala puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah swt. karena

berkat rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya sehingga karya ilmiah (makalah) ini dapat

diselesaikan. Shalawat dan salam penulis kirimkan kepada junjungan Nabi

Muhammad saw., keluarga beliau, para sahabat, dan tabi’in yang telah

memperjuangkan agama Islam.

Penulis menyadari bahwa di dalam penyusunan makalah ini, penulis

mengalami berbagai macam hambatan dan rintangan. Akan tetapi, berkat bantuan dan

kerja sama dengan teman-teman, makalah ini dapat terselesaikan, namun masih jauh

dari kesempurnaan. Dengan segala kerendahan hati, penulis sangat menyadari

bahwa makalah masih sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan

saran yang membangun dari pembaca yang budiman sangat penulis harapkan

demi perbaikan dan kesempurnaan karya ilmiah selanjutnya. Semoga karya ilmiah

ini dapat bermanfaat bagi pengembangan wacana keilmuan kita semua,

khususnya bagi penulis sendiri dan mahasiswa pada umumnya.

Āmin Yā Rabb al-‘Ālamin....

Samata, 5 Mei 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i

KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii

DAFTAR ISI ..................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1-2

A. Latar Belakang ............................................................................ 1

B. Rumusan Masalah ....................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 3-16

A. Definisi Rasm Al-Qur’an............................................................. 3

B. Sejarah Singkat Perkembangan Rasm Al-Qur’an ......................... 4

C. Kaidah-kaidah Penulisan Al-Qur’an ............................................ 8

D. Kedudukan Rasm Al-Qur’an ....................................................... 13

BAB III PENUTUP ......................................................................................... 17-18

A. Kesimpulan ................................................................................ 17

B. Implikasi .................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 19

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an sebagai kitab suci terakhir di maksutkan untuk menjadi petunjuk,

bukan saja bagi anggota masyarakat tempat kitab ini diturunkan, tetapi juga bagi

seluruh masyarakat manusia hingga akhir zaman.

Al-Qur’an juga merupakan salah satu sumber hokum islam yang menduduki

peringkat teratas. Dan seluruh ayatnya berstatus qat’I al-Qurud yang diyakini

eksistensinya sebagai wahyu dari Allah swt. Dengan demikian, autentitas al-Qur’an

benar-benar dapat di pertanggung jawabkan, karena ia merupakan wahyu Allah baik

dari segi lafadz maupun dari segi maknanya.

Sejak awal hingga akhir turunnya, seluruh ayat al-Qur’an telah ditulis dan

didokumentasikan oleh para juru tulis wahyu yang ditunjuk oleh rasulullah saw.

Disamping itu seluruh ayat-ayat al-Qur’an dinukilkan atau diriwayatkan secara

mutawatir baik secara hafalan maupun tulisan. Dalam pada itu, al-Qur’an sebagai

yang dimiliki umat Islam sekarang, ternyata telah mengalami proses sejarah yang

cukup unik dalam upaya penulisan dan pembukuannya. Pada masa Nabi saw, al-

Qur’an belum ditulis dan dibukukan dalam satu mushaf. Ia baru ditulis pada

kepingan-kepingan tulang, pelepah-pelepah kurma, dan batu-batu sesuai dengan

kondisi peradaban masyarakat waktu itu yang belum mengenal adanya alat tulis

menulis seperti kertas. 1

1
Djamilah Usup, “Ilmu Rasm Al-Qur’an”, Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah, vol. 5 no. 1 (2007), h. 1.
http://journal.iain-manado.ac.id/index.php/JIS/article/view/229/202 (Diakses 1 Mei 2018).

1
2

Untuk mengfungsikan al-Qur’an dan memahami isi serta kandungan maka

diperlukan suatu ilmu yang terkait. Salah satunya adalah ilmu rasm al-Qur’an.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijelaskan sebelumnya, penulis

dapat merumuskan masalah dalam penulisan makalah ini yaitu sebagai berikut.

1. Bagaimana Definisi Rasm Al-Qur’an ?

2. Sejarah Singkat Perkembangan Rasm Al-Qur’an ?

3. Kaidah-kaidah Penulisan Al-Qur’an?

4. Kedudukan Rasm Al-Qur’an ?


BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Rasm Al-Qur’an

Secara bahasa rasm berarti gambar atau tulisan. Secara istilah rasm al-

Qur’an adalah tata cara menuliskan huruf dan kalimat al-Qur’an sesuai dengan

metode yang ditetapkan dalam mushaf utsmani pada masa khalifah Utsman bin

Affan. Istilah rasm al-Quran juga diartikan sebagai pola penulisan al-Qur’an yang

digunakan Utsman bin Affan dan empat sahabat ketika menulis dan membukukan
al-Qur’an. 1

Rasm al-Qur’an berarti cara atau kaidah-kaidah penulisan huruf-huruf dari

kata-kata al-Qur’an yang disetujui khalifah Utsman bin Affan dan dipedomani

oleh tim penyalin Al-Qur’an yang dibentuknya dan terdiri atas Zaid ibn Tsabit,

‘Abdullah ibn al-Zubair, Sa’id ibn al-‘Ash, dan ‘Abd al-Rahman ibn al-Harits ibn

Hisyam. 2

Zaid bin Tsabit bersama tiga orang Quraisy telah menempuh suatu metode

khusus dalam penulisan al-Qur’an yang disetujui oleh Utsman. Para ulama
menamakan metode tersebut dengan Ar-Rasm Al-‘Utsmani lil Mushaf (penulisan

mushaf Utsmani), suatu nama yang dinisbatkan kepada Utsman. 3

Rasm al-Qur’an adalah tata cara menulis al-Qur’an yang ditetapkan pada

masa khalifah Utsman bin Affan. Mushaf Utsman ditulis dengan kaidah-kaidah

tertentu.4

Anshori, Ulumul Qur’an: Kaidah-kaidah Memahami Firman Tuhan (Cet. III; Jakarta:
1

Rajawali Pers, 2016), h. 155.


2
Ramli Abdul Wahid, Ulumul Qur’an I (Cet. IV; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002),
h. 29.
3
Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an (Cet. VI; Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2011), h. 182.
4
Acep Hermawan, Ulumul Qur’an (Cet. III; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2016), h. 94.

3
4

Berdasarkan beberapa definisi yang telah dijelaskan sebelumnya dapat

dipahami bahwa rasm al-Qur’an adalah tata cara penulisan kalimat-kalimat dan

huruf-huruf al-Qur’an yang dilakukan oleh para sahabat sesuai dengan kaidah-

kaidah yang disetujui oleh khalifah Utsman bin Affan.

B. Sejarah Singkat Perkembangan Rasm Al-Qur’an

Pada mulanya mushaf para sahabat yang berbeda antara satu dengan yang

lainnya mereka mencatat wahyu al-Qur’an tanpa pola penulisan standar, karena

umumnya dimaksudkan hanya untuk kebutuhan pribadi, tidak direncanakan akan


diwariskan kepada generasi sesudahnya.

Pada zaman Nabi saw., al-Qur’an ditulis pada benda-benda sederhana,

seperti kepingan-kepingan batu, tulang-tulang kulit unta dan pelepah kurma.

Tulisan al-Qur’an ini masih terpencar-pencar dan belum terhimpun dalam sebuah

mushaf dan disimpan di rumah Nabi saw.. Penulisan ini bertujuan untuk

membantu memelihara keutuhan dan kemurnian al-Qur’an.

Pada zaman Abu Bakar, al-Qur’an yang terpencar-pencar itu di salin

kedalam shuhuf (lembaran-lembaran). Penghimpunan al-Qur’an ini dilakukan


Abu Bakar setelah menerima usul dari Umar ibn al-Kattab yang khawatir akan

semakin hilangnya para penghafal al-Qur’an sebagaimana yang terjadi pada

perang yamamah yang menyebabkan gugurnya 70 orang penghafal al-Qur’an.

Karena itu, tujuan pokok dalam penyalinan al-Qur’an di zaman Abu Bakar masih

dalam rangka pemeliharaan agar jangan sampai ada yang terluput dari al-Qur’an.5

Sepeninggal Abu Bakar, estafet pemerintahan beralih kepada Umar bin

Khattab, pada periode inilah mushaf zaman Khalifah Abu Bakar disalin dalam

lembaran (shahifah). Umar tidak menggandakan lagi shahifah yang ada, karena

55
Djamilah Usup, “Ilmu Rasm Al-Qur’an”, Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah, vol. 5 no. 1 (2007),
h. 2-3. http://journal.iain-manado.ac.id/index.php/JIS/article/view/229/202 (Diakses 1 Mei 2018).
5

motif awalnya memang dipergunakan sebagai naskah asli (original), bukan

sebagai naskah hafalan. Setelah semua rangkaian naskah selesai, naskah tersebut

diserahkan kepada Hafshah, istri Rasulullah untuk disimpan. Pertimbangannya,

selain istri Rasulullah, Hafshah juga dikenal sebagai orang yang pandai membaca

dan menulis.6

Pada zaman khalifah Utsman bin Affan, al-Qur’an disalin lagi ke dalam

beberapa naskah. Untuk melakukan pekerjaan ini, Utsman membentuk tim 4 yang

terdiri dari Zaid bin Tsabit, Abdullah Ibn Az-Zubair, Saad Ibn al-Ash, dan Abd al-

Rahman Abd al-harits. Dalam kerja penyalinan al-Qur’an ini mereka mengikuti
ketentuan-ketentuan yang disetujui oleh Khalifah Utsman. Di antara ketentuan-

ketentuan itu adalah bahwa mereka menyalin ayat berdasarkan riwayat mutawatir,

mengabaikan ayat-ayat mansukh dan tidak diyakini dibaca kembali di masa hidup

Nabi saw. Tulisannya secara maksimal maupun diakomodasi ira’at yang berbeda-

beda, dan menghilangkan semua tulisan sahabat yang tidak termasuk ayat al-

Qur’an. Para penulis dan para sahabat setuju dengan tulisan yang mereka gunakan

ini. Para ulama menyebut cara penulisannya ini sebagai rasm al-Mushaf. Karena
cara penulisan disetujui oleh Utsman sehingga sering pula dibangsakan oleh

Utsman. Sehingga mereka sebut rasm Utsmani atau rasm al-Utsmani. Namun

demikian pengertian rasm ini terbatas pada mushaf oleh tim 4 di zaman Utsman

dan tidak mencakup rasm Abu Bakar pada zaman Nabi saw. Bahkan, Khalifah

Utsman membakar salinan-salinan mushaf tim 4 karena khawatir akan beredarnya

dan menimbulkan perselisihan di kalangan umat Islam. Hal ini nanti membuka

6
Zainal Arifin Madzkur, “Urgensi Rasm Utsmani”, Jurnal Khatulistiwa, vol. 1 no. 1
(Maret 2011), h. 18. http://jurnaliainpontianak.or.id/index.php/khatulistiwa/article/download
/176/138 (Diakses 1 Mei 2018).
6

peluang bagi ulama kemudian untuk berbeda pendapat tentang kewajiban

mengikuti rasm Utsmani..7

Pada zaman Ali bin Abi Thalib terjadi proses perbaikan rasm Utsmani,

karena seperti yang kita ketahui mushaf atau rasm Utsmani tidak memakai tanda

baca titik dan harakat, karena semata-mata didasarkan atas karakter pembacaan

orang-orang Arab yang masih murni, sehingga mereka tidak memerlukan syakal

dengan harakat dan pemberian titik. Ketika bahasa Arab mulai mengalami

kerusakan karena banyaknya percampuran (dengan bahasa non Arab) maka para

penguasa menganggap pentingnya ada formasi penulisan mushaf dengan harakat,


titik dan lain-lain yang dapat membantu pembacaan yang benar. 8

Orang pertama yang melakukan hal itu adalah Abul Aswad Adalah-Duali

atas permintaan Ali bin Abi Thalib. Diriwayatkan, konon abul Aswad Adalah-

Duali mendengar seorang qari membaca firman Allah swt.

   


 
 
Terjemahannya:
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang
musyrik”. 9
Orang itu membacanya dengan kasrah pada kata lam dalam kata wa

rasulahu.

7
Djamilah Usup, “Ilmu Rasm Al-Qur’an”, Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah, vol. 5 no. 1 (2007),
h. 3.
8
Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, h. 187.
9
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Cet. X; Bandung: Diponegoro,
2013), h. 187.
7

   


ُ   
 ‫هِل‬

Artinya Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan

Rasul-Nya. Hal ini membuat terkejut Abul Aswad, komentarnya “Maha tinggi

Allah untuk meninggalkan Rasul-Nya”. Setelah dikejutkan oleh peristiwa

tersebut, Abul Aswad bekerja keras dan hasilnya sampai pada pembuatan tanda

fathah berupa titik di atas huruf, tanda kasrah berupa satu titik di bawah huruf,

tanda dhammah berupa satu titik disela-sela huruf dan tanda sukun berupa dua

titik.10

Perbaikan rasm Mushaf itu berjalan secara bertahap. Pada mulanya syakal

berupa titik. Kemudian terjadi perubahan penentuan harakat yang berasal dari

huruf, dan itulah yang dilakukan oleh al-Khalil. Perubahan itu ialah fathah berupa

tanda garis bujur di atas huruf, kasrah berupa tanda garis bujur di bawah huruf,

dhammah dengan wawu kecil di atas huruf dan tanwin dengan tambahan tanda

serupa. Alif yang dihilangkan dan diganti, pada tempatnya dituliskan dengan

warna merah. Hamzah yang dihilangkan dituliskan berupa hamzah dengan warna

merah tanpa huruf. Pada nun dan tanwin sebelum huruf ba diberi tanda iqlab

berwarna merah. Sedang nun dan tanwin sebelum huruf tekak (halaq) diberi tanda

sukun dengan warna merah. Nun dan tanwin tidak diberi tanda apa-apa ketika

idgham dan ikhfa’. Setiap huruf yang harus dibaca sukun (mati) diberi tanda sukun

dan huruf yang diidghamkan tidak diberi tanda sukun tetapi huruf yang

sesudahnya diberi tanda syaddah; kecuali huruf ta sebelum tha maka sukun tetap

dituliskan. 11

10
Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, h. 187.
11
Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, h. 188.
8

Kemudian pada abad ketiga Hijriah terjadi perbaikan dan penyempurnaan

rasm Mushaf. Dan orang pun berlomba-lomba memilih bentuk tulisan yang baik

dan menemukan tanda-tanda yang khas. Mereka memberikan untuk huruf yang

disyaddah sebuah tanda seperti busur. Sedang untuk alif wasal diberi lekuk di

atasnya, di bawahnya atau di tengahnya sesuai dengan harakat sebelumnya;

fathah, kasrah atau dhammah.12

Berdasarkan sejarah perkembangan yang diuraikan sebelumnya dapat

dipahami bahwa seiring perkembangan zaman terjadi perbaikan-perbaikan untuk

mencapai kesempurnaan dari penulisan al-Qur’an agar tidak terjadi kekeliruan


pada saat membaca al-Qur’an.

C. Kaidah-kaidah Penulisan Al-Qur’an

Al-Qur’an memiliki kaidah-kaidah penulisan. Kaidah atau aturan

penulisan tersebut berkisar pada enam hal, yaitu penghapusan (al-hadzf ),

penambahan (al-ziyadah), penulisan al-hamzah, penggantian (al-badal),

persambungan dan pemisahan (al-washlu wa al-fashlu), dan tulisan atau kata yang

bisa dibaca dua bunyi. 13


1. Al-Hadzf

Al-Hadzf berarti menghapus, membuang, menghilangkan atau

meniadakan huruf. 14

a. Menghilangkan huruf alif ( ‫) ا‬

1) Dari ya nida’. Misalnya: ُ ‫ٰيأَيُّ َهاال َّن‬


‫اس‬
2) Dari ha’ tanbih. Misalnya: ‫ٰهأ َ ْنت ُ ْم‬

12
Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, h. 188.
13
Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, Studi Ulumul Quran (Cet. I; Bandung:
Pustaka Setia, 2003), h. 123.
14
Acep Hermawan, Ulumul Qur’an, h. 94.
9

ُ ‫اَ ْن َجي ْٰن‬


3) Dari kata na (‫)نَا‬. Misalnya: ‫ك ْم‬

4) Dari lafaz jalalah (‫)اَهلل‬

5) Dari dua kata ‫حمٰ ن‬


ْ ‫الر‬
َّ dan َ‫سبْحٰ ن‬
ُ
6) Sesudah huruf lam. Misalnya: ‫ف‬ َ ِ‫خ َٰلت‬
7) Setelah dua huruf lam. Misalnya: ُ‫ال َك ٰللَه‬

8) Dari semua mutsanna. Misalnya: ‫ن‬ ِ ‫َر ُج ٰل‬


9) Dari setiap jama’ tashih baik mudzakkar maupun mu’annats. Misalnya:

َ‫ سٰ ِمعُ ْون‬dan ُ‫ال ُمؤْ ِم ٰنت‬


10) Dari semua jama’ yang se-wazan dengan ُ ‫ َمسٰ ِجد‬dan ‫النَّصٰ َرى‬.
َ ‫ثَ ٰل‬
11) Dari semua kata bilangan. Misalnya: ‫ث‬

b. Menghilangkan huruf ya’ ( ‫) ي‬

Huruf ya’ (‫ )ي‬dibuang setiap manqush munawwan baik berharakat

rafa’ maupun jar. Misalnya: ‫ َغي َْربَاغٍ َوالَ َعا ٍد‬...


Termasuk yang dihilangkan huruf ya’ kata ‫أ َ ِط ْيعُ ْو ِن‬, ‫ِطقُ ْو ِن‬
ْ ‫ا‬, ‫خَافُ ْو ِن‬,
‫فَ ْر َهبُ ْو ِن‬, dan ‫فَأ َ ْر ِسلُ ْو ِن‬.
c. Menghilangkan huruf wawu ( ‫) و‬
Huruf wawu (‫ )و‬apabila terletak bergandengan. Misalnya: َ‫الَيَ ْستَ ُون‬ dan

‫ فَأ َ ُواالَى‬.
d. Menghilangkan huruf lam ( ‫) ل‬

Huruf lam (‫ )ل‬dihilangkan apabila dalam keadaan idgam. Misalnya: ‫اَلَّ ْي ُل‬
dan ‫اَلَّذِى‬
Diluar penghilangan empat huruf yang telah dijelaskan sebelumnya, ada

penghilangan huruf yang tidak masuk kaidah, misalnya penghilangan (hadzf)

huruf alif pada kata ‫َما ِل ِك‬ ِ ‫ اِب َْرا‬hadzf wawu pada empat
dan hadzf ya’ dari kata ‫ه ْي ُم‬
10

fi’il (kata kerja) berikut: َ ‫اال ْن‬


ُ‫سان‬ ِ ُ‫ َويَ ْدع‬- ُ‫ يَ ْم ُح للا‬- ٍ‫يَ ْو َم يَ ْدعُ التَاع‬ dan ُ‫سنَ ْدع‬
َ
َّ .15
‫آلزبَآنِيَة‬
2. Al-Ziyadah

Ziyadah berarti penambahan. Kata yang ditambah hurufnya dengan rasm

Utsmani adalah alif, ya, dan wawu.16

a. Penambahan huruf alif (‫)ا‬

1) Penambahan huruf alif (‫ )ا‬sesudah wawu (‫ )و‬pada akhir setiap isim jama’
(kata benda bentuk jamak) atau yang mempunyai hukum jamak, seperti

َ ‫ُم ََلقُ ْو‬


‫اربِ ِه ْم‬ ِ ‫اُولُ ْواْالَاَ ْلبَا‬
dan ‫ب‬

2) Penambahan huruf alif (‫ )ا‬sesudah huruf hamzah marsumah waw (hamzah

yang ditulis di atas rumah wawu), seperti ‫ تَاهللِ تَ ْفتَؤُا‬yang asalnya ُ ‫تَاهللِ تَ ْفتَأ‬
Demikian juga halnya dengan kata ‫ ِمائَة‬dan ‫ْن‬ ِ ‫ِمائَتَي‬
b. Penambahan huruf ya (‫ )ي‬pada kata-kata ‫ن تِ ْلقَائِنَ ْفسِى‬ ْ ‫ ِم‬dan ‫ب‬ ِ ‫ِم ْن َو َرا‬
ٍ ‫ئ ِح َجا‬
c. penambahan huruh wawu (‫ )و‬pada kata-kata tertentu seperti ‫اُولُو‬, َ‫ولئِك‬ ٰ ُ ‫ا‬,
‫اُوالَ ِء‬, dan ‫ت‬
ِ َ‫ا ُ ْوال‬.17
3. Al-Hamzah

Apabila hamzah berharakat sukun, maka ditulis dengan huruf berharakat

yang sebelumnya, misalnya ‫ اِئْذَ ْن‬, َ‫اُؤْ ت ُ ِمن‬ kecuali pada beberapa kata yang di

ekspepsikan.

Adapun hamzah (‫ )ء‬yang berharakat, jika ia berada di awal kata, dan

bersambung dengannya (dengan hamzah) huruf tambahan, mutlak harus ditulis

15
Acep Hermawan, Ulumul Qur’an, h. 94-95.
16
Acep Hermawan, Ulumul Qur’an, h. 95.
17
Ramli Abdul Wahid, Ulumul Qur’an I, h. 33-34.
11

َ ‫اَي ُّْو‬,
dengan alif, dalam keadaan berharakat fathah atau kasrah, misalnya: ‫ب‬ ‫ا ُ ْو ُل‬,
‫ف‬ ْ َ ‫سأ‬
ُ ‫ص ِر‬ َ , ِ ‫ فَبِاَي‬.
Adapun bila hamzah (‫ )ء‬terletak di tengah, maka ia ditulis sesuai dengan

huruf harakatnya. Kalau fathah dengan alif, kalau kasrah dengan ya dan kalau

َ َ ‫سأ‬
dhammah dengan wawu, misalnya ‫ل‬ َ dan ُ‫تَ ْق َر ُؤه‬.
َ , ‫سئِ َل‬
Akan tetapi, apabila huruf yang sebelumnya hamzah itu sukun, maka tidak
ْ 18
ْ ‫ ِم‬dan ‫ال َخبْ َء‬.
ada tambahan. Misalnya ‫ل ُء‬

4. Al-Badal
a. Huruf alif ditulis dengan wawu sebagai penghormatan pada kata َ ‫ الص ٰلوة‬dan
َ‫كوة‬ َّ serta َ‫ ال َح ٰيوة‬.
ٰ ‫الز‬
b. Huruf alif ditulis dengan ya (‫ )ي‬pada kata-kata berikut: ‫إلَى‬, ‫ َعلَى‬, ‫أَنَّى‬, ‫ َمتَى‬,
‫ َبلَى‬, ‫ َحتَّى‬dan ‫لَدَى‬.
ْ َ‫ ِإذ‬.
c. Huruf alif diganti dengan nun pada taukid kahfifah kata ‫ن‬

d. Huruf Ha’

1) Huruf Ha’ Ta’nits (‫ )ة‬dengan Ta’ Maftuhah pada kata: ُ‫َر ْح َمت‬ dalam

surah al- Baqarah, al-A’raf, Hud, Maryam, al-Rum, dan al-Zukruf.

2) Huruf Ha’ Ta’nits ditulis dengan Ta’ Maftuhah pada kata ُ‫نِ ْع َمت‬ yang
terdapat dalam surah al-baqarah, Ali ‘Imran, al-Maidah, Ibrahi, al-Nahl,

Luqman, Fathir, dan al-Thur. Demikian juga pada ِ‫للا‬ ِ ‫ ُم ْع‬dan ُ‫لَ ْعنَت‬
ُ‫صيْت‬
‫للا‬
ِ yang terdapat pada surah al-Mujadalah.19
5. Al-Washl wa Al-Fashl (Kaidah Sambung dan pisah)

Washl berarti menyambung. Di sini, washl dimaksudkan metode

penyambungan kata (dalam bahasa Arab disebut huruf, jadi penyambungan dua

huruf) yang mengakibatkan hilang atau dibuangnya huruf tertentu.

18
Acep Hermawan, Ulumul Qur’an, h. 96.
19
Acep Hermawan, Ulumul Qur’an, h. 96.
12

ْ ) dengan harakat fathah pada hamzah-nya disusul dengan (َ‫)ال‬,


a. Bila an (‫أن‬

maka penulisannya bersambung dengan menghilangkan huruf nun, seperti َّ َ‫أ‬


‫ال‬
tidak ditulis َ‫ال‬‫اَ ْن‬, kecuali pada kalimat ‫ اَ ْن الَتَقُ ْولُ ْوا‬dan ‫اَ ْن تَ ْعبُد ُْوااالَّللا‬.
b. Min (‫ن‬ْ ‫ ) ِم‬yang bersambung dengan ma (‫ ) َما‬penulisannya disambung dengan
huruf nun pada min-nya tidak ditulis, seperti ‫ ِم َّما‬kecuali ‫ك ْم‬ ْ ‫ِم ْن َما َملَ َك‬
ُ َ‫ت اَ ْي َمان‬
yang terdapat di dalam surah al-Nisa’ dan al-Rum dan ‫ك ْم‬ ُ ‫ارزَ ْقنَا‬َ ‫ َو ِم ْن َم‬pada
surah al-Munafiqun.
ْ ‫ ) ِم‬yang disusul dengan man (‫ ) َم ْن‬ditulus bersambung dengan
c. Min (‫ن‬

menghilangkan huruf nun (‫ )ن‬sehingga menjadi mimman ‫ِم َّم ْن‬ , bukan min
ْ ‫َم‬
man ‫ن‬ ‫ ِم ْن‬.
d. ‘An ْ ‫ ) َع‬yang
(‫ن‬ ْ ‫ ) َم‬ditulis bersambung dengan
disusul dengan man (‫ن‬
ْ ‫) َع َّم‬, bukan ‘an man
menghilangkan nun (‫ )ن‬sehingga menjadi ‘amman (‫ن‬
ْ ‫َم‬
(‫ن‬ ‫) َع ْن‬, kecuali pada firman Allah yang berbunyi ‫ َويَس ِْرفُه َع ْن َم ْن يَشَا ُء‬.
e. In (‫ )ا ِْن‬yang disusul dengan ma (‫ ) َما‬ditulis bersambung dengan meniadakan

nun (‫ )ن‬sehingga menjadi imma (‫)اِ َّم‬, kecuali firman Allah َ‫عد ُ ْون‬ َ ‫ا ِْن َمات ُ ْو‬.
f. An (‫ن‬ ْ َ‫ )ا‬disusul dengan ma (‫ ) َما‬mutlak disambung dan huruf nun (‫)ن‬
ditiadakan sehingga tulisannya menjadi amma (‫)ا َ َّما‬.

g. Kulla (‫ل‬ َّ ‫ ) ُك‬yang diiringi ma (‫ ) َما‬disambung sehingga tulisannya menjadi


kullama (‫كلَّ َما‬ ُ ), kecuali pada firman Allah swt. yang berbunyi ‫ِم ْن ُك ِل‬
ُ‫سأ َ ْلت ُ ُم ْوه‬َ ‫ َما‬dan ‫ارد ُّْوااِلَى ْال ِفتْنَ ِة‬
َ ‫ ُك َّل َم‬.20
6. Kata yang bisa dibaca dua bunyi

Suatu kata (di dalam bahasa Arab, kata yang kita maksud disebut kalimat)

yang bisa dibaca dua bunyi, penulisannya disesuaikan dengan salah satu

bunyinya. Di dalam Mushaf Utsmani penulisan kata semacam itu ditulis dengan

menghilangkan alif. Misalnya: ‫الدي ِْن‬ ُ َ‫يَ ْخد‬


ِ ‫ مٰ ِل ِك يَ ْو ِم‬dan َ‫ع ْونَ للا‬ . Ayat-ayat ini

20
Ramli Abdul Wahid, Ulumul Qur’an I, h. 35-36.
13

boleh dibaca dengan menetapkan alif (yakni dibaca dua alif), boleh juga hanya

dengan menurut bunyi harakat (biasa disebut satu alif).21

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan sebelumnya dapat dipahami

bahwa dalam rasm al-Qur’an ditetapkan kaidah-kaidah tertentu dalam penulisan

al-Qur’an.

D. Kedudukan Rasm Al-Qur’an

Para ulama berbeda pendapat tentang status atau kedudukan rasm al-
Qurán atau rasm Utsmani. Perdebatan para ulama tentang ini adalah seputar

hukum rasm al-Qur’an ini apakah dapat dihukumkan tauqifi, yaitu diajarkan

langsung oleh Rasulullah saw., atau ini adalah hasil ijtihad para sahabat terdahulu.

Perbedaan pendapat para ulama ini dibagi kepada tiga golongan antara lain.

1. Golongan Pertama

Para ulama yang mengakui bahwa rasm Utsmani itu bersifat tauqifi

berpendapat, wajib mengikuti rasm Utsmani dalam penulisan al-Qur’an dan tidak

dibolehkan menyalahinya. Pendapat ini diikuti oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan
Imam Malik, keduanya mengharamkan penulisan al-Qur’an dengan selain rasm

Utsmani.22

Mereka menyebutkan, Nabi pernah mengatakan pada Muawiyah, salah

seorang penulis wahyu, “goreskan tinta, tegakkan huruf ya’, bedakan sin, jangan

kamu miringkan mim, baguskan tulisan lafal Allah, panjangkan Ar-Rahman,

baguskan Ar-Rahim dan letakkan penamu pada telinga kirimu, karena yang

demikian akan lebih dapat mengingatkan kamu”.23

21
Acep Hermawan, Ulumul Qur’an, h. 97.
22
Anshori, Ulumul Qur’an: Kaidah-kaidah Memahami Firman Tuhan, h. 163.
23
Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, h. 182-183.
14

Rasm Utsmani mendapatkan hal-hal yang masing-masing pantas dihargai

dan wajib diikuti. Hal itu adalah pengakuan Rasulullah saw. terhadapnya, perintah

beliau dengan menggunakan undang-undang, kesepakatan sahabat yang

jumlahnya lebih dari dua belas ribu orang dan kesepakatan umat setelah itu pada

masa tabiin dan para imam mujtahid.24

2. Golongan Kedua

Para ulama yang menyatakan rasm Utsmani itu bukan tauqifi tentu mereka

membolehkan penulisan al-Qurán dengan selain rasm Utsmani. 25 Banyak ulama

berpendapat bahwa rasm Utsmani bukan tauqifi dari Nabi, tetapi hanya
merupakan satu cara penulisan yang disetujui Utsman dan diterima umat dengan

baik, sehingga menjadi suatu keharusan yang wajib dijadikan pegangan dan tidak

boleh dilanggar.26

Beberapa argumentasi yang dikemukakan perihal rasm Utsmani bukan

tauqifi antara lain:

a. Tidak satupun dari dalil al-Qur’an maupun hadis yang secara eksplisit

mengatur penulisan al-Qur’an dengan metode-metode tertentu, yang ada justru


sebaliknya, al-Qur’an boleh ditulis dengan skrip manapun yang memudahkan.

b. Kondisi kebudayaan bangsa Arab awal Islam masih dalam fase-fase peralihan,

artinya budaya tulis-menulis belumlah mencapai puncak kulminasinya. Hal ini

terlihat dari banyakya para sahabat yang tidak memiliki kecakapan menulis

24
Syeikh Muhammad Abdul Adzim al-Zarqani, Manahil Al-‘Urfan Fi Ulum Al-Qur’an
(Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), h. 392.
25
Anshori, Ulumul Qur’an: Kaidah-kaidah Memahami Firman Tuhan, h. 163.
26
Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, h. 184.
15

(ummi) dan hampir mayoritas umat Islam mempelajari al-Qur’an dengan cara

menghafalnya (sima’i).27

Secara teori, pendapat yang dibidani oleh Abdurrahman Ibn Khaldun, Abu

Bakar al-Baqillani dapat diterima dan dibenarkan. Akan tetapi persoalannya

adalah teks yang dimaksudkan telah menyatu dan terintegrasi dengan al-Qur’an,

ia menjadi bagian integral dari suatu teks suci. Artinya, dalam konteks penulisan

teks-teks Arab umum tentu tidak ada masalah dan sah-sah saja, namun bila

pendapat ini diekspor tanpa batas, sehingga orang dengan semaunya sendiri

menuliskan al-Qur’an dengan skrip apapun yang ia kehendaki, maka akan


berakibat cukup serius. Skrip tulisan al-Qur’an akan dengan mudah berubah dan

berganti edisi dalam tiap generasi seiring perkembangan zaman. Lambat laun,

kandungan al-Qur’an yang terintegrasi dalam teks akan muncul sebagai sebuah

kitab suci yang tidak lagi sakral, tak ubahnya seperti buku-buku cetak pada

umumnya yang mudah direvisi dalam setiap edisi. 28

Berdasarkan uraian mengenai pendapat rasm Utsmani tidak tauqifi dapat

dipahami bahwa pendapat mereka lebih cenderung kepada penulisan al-Qur’an


bebas dengan mengikuti kaidah Arab secara umum tanpa harus terikat dengan

rasm Utsmani.

3. Golongan Ketiga

Golongan ini mengatakan, bahwa al-Qur’an adalah bacaan umum, harus

ditulis menurut kaidah arabiyyah dan sharfiyah, akan tetapi harus senantiasa ada

Mushaf al-Qur’an yang ditulis dengan khat rasm Utsmani sebagai barang penting

yang harus dipelihara, dijaga dan dilestarikan. Pendapat ini oleh Abu Muhammad

27
Zainal Arifin Madzkur, “Legalisasi Rasm Utsmani dalam Penulisan al-Qur’an”, Journal
of Qur’an and Hadith Studies, vol. 1 no. 2. (2012), h. 223-224. http://journal.uinjkt.ac.id/
index.php/journal-of-quran-and-hadith/article/download/1325/1178 (Diakses 1 Mei 2018).
28
Zainal Arifin Madzkur, “Legalisasi Rasm Utsmani dalam Penulisan al-Qur’an”, Journal
of Qur’an and Hadith Studies, vol. 1 no. 2. (2012), h. 224.
16

al-Maliki disebutnya sebagai pendapat moderat (ra‟yu wasthin), dipelopori oleh

Syaikh Izzudin bin Abdussalam, kemudian diikuti oleh pengarang kitab al-

Burhandan al-Tibyan. Kemudian diikuti oleh Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah dan al-

Azarqani. 29

pendapat ketiga ini lebih moderat dan lebih sesuai dengan kondisi umat.

Memang tidak ditemukan nash ditemukan nash yang jelas diwajibkan penulisan

al-Qur’an dengan rasm Utsmani. Namun demikian, kesepakatan para penulis al-

Qur’an dengan rasm Utsmani harus diindahkan dalam pengertian menjadikannya

sebagai rujukan yang keberadaannya tidak boleh hilang dari masyarakat Islam.
Sementara jumlah umat islam dewasa ini cukup besar dan tidak menguasai rasm

Utsmani. Bahkan, tidak sedikit jumlah umat Islam yang tidak mampu membaca

aksara arab. Mereka membutuhkan tulisan lain untuk membantu mereka agar

membaca ayat-ayat al-Qur’an, seperti tulisan latin. Namun demikian, al-Qur’an

dengan rasm Utsmani harus dipelihara sebagai standar rujukan ketika dibutuhkan.

Demikian juga tulisan ayat-ayat al-Qur’an dalam karya ilmiah, rasm Utsmani

mutlak diharuskan karena statusnya sudah masuk dalam kategori rujukan dan
penulisannya tidak mempunyai alasan untuk mengabaikannya. 30

Berdasarkan hal tersebut dapat dipahami bahwa penulisan al-Qur’an pada

pendapat ini lebih kepada bagaimana yang termudah bagi pembaca tapi rasm

Utsmani harus tetap dipelihara sebagai standar rujukan ketika dibutuhkan.

Dari ketiga pendapat di atas penulis lebih cenderung menyatakan, bahwa

untuk penulisan al-Qur’an secara utuh sebagai kitab suci umat Islam, mesti

Zainal Arifin Madzkur, “Urgensi Rasm Utsmani”, Jurnal Khatulistiwa, vol. 1 no. 1
29

(Maret 2011), h. 22.


30
Djamilah Usup, “Ilmu Rasm Al-Qur’an”, Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah, vol. 5 no. 1 (2007),
h. 5-6.
17

mengikuti dan berpedoman kepada rasm Utsmani, hal ini mengingat

pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:

1. Agar umat Islam diseluruh dunia memiliki kitab suci yang seragam dalam

pola penulisannya, sesuai dengan pedoman aslinya.

2. Pola penulisan al-Qur’an dengan rasm Utsmani, kalaupun tidak bersifat

taufiqi minimal telah merupakan ijma’ atau kesepakatan para sahabat

Nabi. Ijla’ sahabat memiliki kekuatan hokum tersebut yang wajib diikuti,

termasuk dalam penulisan al-Qur’an dengan rasm Utsmani (bila

dimaksudkan sebagai kitab suci secara utuh).


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya,

penulis dapat memberikan kesimpulan bahwa:

1. Rasm al-Qur’an adalah tata cara penulisan kalimat-kalimat dan huruf-

huruf al-Qur’an yang dilakukan oleh para sahabat sesuai dengan kaidah-

kaidah yang disetujui oleh khalifah Utsman bin Affan.


2. Sejarah rasm al-Qur’an dari masa ke masa mengalami perkembangan

yang signifikan. Mulai dari masa atau zaman Rasulullah saw. sampai

dengan sekarang ini. Pada masa rasulullah ayat ayat al-Qur’an al-Qur’an

ditulis pada benda-benda sederhana, seperti kepingan-kepingan batu,

tulang-tulang kulit unta dan pelepah kurma. Tulisan al-Qur’an ini masih

terpencar-pencar dan belum terhimpun dalam sebuah mushaf. Pada masa

khalifah Abu Bakar, al-Qur’an di zaman Abu Bakar masih dalam rangka

pemeliharaan agar jangan sampai ada yang terluput dari al-Qur’an. Pada
masa khalifah Umar bin Khattab, hanya meneruskan bagaimana

pemeliharaan al-Qur’an pada masa Khalifah Abu bakar yaitu dengan

menjaga al-Qur’an dengan memberikan tugas kepada Hafshah untuk

menyimpannya. Pada masa Utsman bin Affan, penulisan al-Qur’an ditulis

dalam satu mushaf untuk mengatasi perbedaan logat bacaan yang

dilakukan oleh umat Islam yang sudah menyebar di beberapa daerah di

luar Arab. Pada masa Ali bin Abi Thalib terjadi perbaikan Al-Qur’an

dengan pemberian harakat-harakat pada tulisan al-Qur’an berupa tanda

titik. Perkembangan selanjutnya, penulisan al-Qur’an diberikan harakat

17
18

berupa tanda-tanda baca yang dikenal saat ini, guna memudahkan umat

Islam dalam membaca al-Qur’an.

3. Al-Qur’an memiliki kaidah-kaidah penulisan. Kaidah atau aturan

penulisan tersebut berkisar pada enam hal, yaitu penghapusan (al-hadzf ),

penambahan (al-ziyadah), penulisan al-hamzah, penggantian (al-badal),

persambungan dan pemisahan (al-washlu wa al-fashlu), dan tulisan atau

kata yang bisa dibaca dua bunyi.

4. Para ulama berbeda pendapat tentang status atau kedudukan rasm al-

Qurán atau rasm Utsmani. Perdebatan para ulama tentang ini adalah
seputar hukum rasm al-Qur’an ini apakah dapat dihukumkan tauqifi,

yaitu diajarkan langsung oleh Rasulullah saw., atau ini adalah hasil ijtihad

para sahabat terdahulu. Perbedaan pendapat para ulama ini dibagi kepada

tiga golongan.

a. Golongan pertama mengatakan bahwa rasm Utsmani itu bersifat

tauqifi berpendapat, wajib mengikuti rasm Utsmani dalam penulisan

al-Qur’an dan tidak dibolehkan menyalahinya. Golongan ini berdasar


pada Rasulullah saw. yang pernah memerintahkan kepada Muawiyah

untuk menulis al-Qur’an berdasarkan penekanan-penekanan tertentu.

b. Golongan kedua berpendapat bahwa rasm Utsmani itu bukan tauqifi,

tentu mereka membolehkan penulisan al-Qurán dengan selain rasm

Utsmani. Banyak ulama berpendapat bahwa rasm Utsmani bukan

tauqifi dari Nabi, tetapi hanya merupakan satu cara penulisan yang

disetujui Utsman dan diterima umat dengan baik.

c. Golongan ketiga beranggapan bahwa dalam penulisan al-Qur’an boleh

menggunakan teknik penulisan sesuai dengan yang memudahkan tapi


19

rasm Utsmani harus dipelihara sebagai standar rujukan ketika

dibutuhkan.

B. Implikasi

Implikasi yang diharapkan oleh penulis dalam penulisan makalah ini, di

antaranya adalah:

1. Penulis berharap dengan adanya makalah ini dapat memberikan kontribusi

atau sumbangsih kepada para pembaca terkait dengan penelitian sensus,

penelitian survei, teknik pengambilan sampel, dan metode pengumpulan


data.

2. Makalah ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi para pembaca.


DAFTAR PUSTAKA

Acep. Ulumul Qur’an. Cet. III; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2016.


Anshori. Ulumul Qur’an: Kaidah-kaidah Memahami Firman Tuhan. Cet. III;
Jakarta: Rajawali Pers, 2016.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Cet. X; Bandung:
Diponegoro, 2013.Wahid, Ramli Abdul. Ulumul Qur’an I. Cet. IV;
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Madzkur, Zainal Arifin. “Legalisasi Rasm Utsmani dalam Penulisan al-Qur’an”,
Journal of Qur’an and Hadith Studies, vol. 1 no. 2. (2012).
http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/journal-of-quran-and-hadith/article/
download/1325/1178 (Diakses 1 Mei 2018).
-------. “Urgensi Rasm Utsmani”, Jurnal Khatulistiwa, vol. 1 no. 1 (Maret 2011).
http://jurnaliainpontianak.or.id/index.php/khatulistiwa/article/download/
176/138 (Diakses 1 Mei 2018).
al-Qaththan, Syaikh Manna. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Cet. VI; Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2011.
Syuhbah, Muhammad bin Muhammad Abu. Studi Ulumul Quran. Cet. I;
Bandung: Pustaka Setia, 2003.
Usup, Djamilah. “Ilmu Rasm Al-Qur’an”, Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah, vol. 5 no. 1
(2007). http://journal.iain-manado.ac.id/index.php/JIS/article/view/229/
202 (Diakses 1 Mei 2018).
al-Zarqani, Syeikh Muhammad Abdul Adzim. Manahil Al-‘Urfan Fi Ulum Al-
Qur’an. Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002.

19

Anda mungkin juga menyukai