RASM AL-QUR’AN
Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas
Pada Mata Kuliah Ulum Al-qur’an
Dosen Pengampu : Ina Salmah Febriany, H. M.A.
Oleh kelompok 3:
Muhammad Abdulah 221210118
Sihabudin Ahmad 221210140
Nazwa Dwi Anjani 221210145
Dalam proses penyusunan makalah ini tidak akan berjalan dengan baik
tanpa arahan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
Penulis
I
DAFTAR ISI
II
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rasmul Qur’an merupakan salah satu bagian disiplin ilmu Al-Qur’an yang
di dalamnya mempelajari tentang penulisan mushaf Al-Qur’an yang dilakukan
dengan cara khusus, baik dalam penulisan lafal-lafalnya maupun bentuk-bentuk
huruf yang digunakan.
Penulisan al-Qur’an menggunakan metode rasm utsmani adalah tulisan yang
dinisbatkan kepada khalifah ke tiga, yaitu Utsman Bin Affan. Istilah ini muncul setelah
rampungnya penyalinan Al-Qur’an yang dilakukan oleh tim yang dibentuk oleh Utsman
pada tahun 25 H. Para ulama mengatakan bahwa cara penulisan ini biasanya di istilahkan
dengan Rasmul ‘Utsmani.1
Dari golongan sahabat, yakni Zaid bin Tsabit, Tsabit bin Qais, Amir bin
Fuhairah, Amr bin Ash, Abu Musa Al-Asy’ari dan Abu Darda’, Ketika turun ayat-
ayat al-Qur’an, maka Rasulullah SAW meminta mereka untuk menulisnya. Bahkan,
Rasulullah SAW hingga memberikan pengarahan mengenai letak dan sistematika
surat-suratnya. kemudian para sahabat menulis wahyu tersebut diberbagai media,
seperti diatas pelepah pohon, tulang-belulang, lempengan batu, dan di atas kulit
binatang. Pada masa Nabi SAW proses penghimpunan al-Qur’an menggunakan dua
metode, yaitu penghapalan dan penulisan. Kemudian setelah berhentinya proses
pewahyuan dan status kenabian sebagai nabi terakhir, maka penulisan al-Qur’an
telah selesai. Walaupun begitu, akhir dari proses tersebut masih menyisakan hal-
hal yang sifatnya metodis dan teknis terkait dengan terminologi penghimpunan al-
Quran secara modern yang menghendaki maksud dan definisi kodifikasi.
Contohnya, ayat dan surat al-Qur’an yang dihimpun di era Nabi SAW masih saling
terpisah. Di antara para sahabat masing-masingdari mereka memiliki peran yang
berbeda, ada yang mengumpulkan, menulis dan menghafalnya. Pada masa tersebut
al-Qur’an masih belum terhimpun atau terkodifikasi menjadi sebuah mushaf yang
utuh.
1
Jalaluddin al-suyuti, al-itqan fi ulum al-qur’an(mesir:mustafa al-babi al-halani,1973),h.166
1
B. Rumusan Masalah
Dari penjelasan latar belakang di atas, ada beberapa point masalah yang timbul
yang dapat kami rumuskan, yaitu :
C. Tujuan Penulisan
Makalah ini mengurai materi sebagai berikut:
2
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Rasm Al-Quran
Rasm Al-Qur’an terdiri dari dua kata, yaitu rasm dan al-Qur’an, Rasm berasal dari
kata rosama–yarsamu yang memiliki arti menggambar atau melukis. Istilah rasm dalam
Ulumul Qur’an diartikan sebagai metode penulisan al-Qur’an yang digunakan oleh Utsman
bin `Affan dan sahabat–sahabatnya ketika menulis dan membukukan al-Qur’an. kemudian,
metode penulisan tersebut menjadi gaya penulisan standar dalam penulisan kembali atau
penyalinan mushaf al-Qur’an. metode penulisan ini kemudian lebih dikenal dengan nama
Rasm Utsmani2
Pada waktu itu mereka menulis al-Qur’an berdasarkan petunjuk Nabi
Muhammad SAW, baik dalam penulisannya maupun urutannya. Penulisan mereka
lakukan dibeberapa tempat seperti; kulit binatang, pelepah pohon kurma, tulang-
tulang dan sebagainya. Kemudian tulisan-tulisan tersebut diserahkan kepada nabi
Muhammad SAW, untuk disimpan dan masing-masing juga menyimpannya untuk
sendiri dirumah serta menghafalnya.3
2
Mohammad Gufron. & Rahmawati , Ulumul Qur’an , Teras , Yogyakarta , 2013 , hlm.35-39
3
Kamaluddin Marzuki, Ulumul Qur”an, Rosdakarya, Bandung, 1994, hlm., 67
3
Pada contoh di atas dalam lafaẓ الصرطalif setelah huruf Rā’ dibuang
dengan mengikuti imam Abū Dawūd.
2. Rasm Qiyāsī
Rasm Qiyāsī adalah cara menuliskan kalimat atau lafadẓ sesuai dengan
ucapannya, dengan memerhatikan waktu memulai dan berhentinya kalimat
tersebut, rasm ini juga disebut rasm imlā‟i.
Contoh :
اهدنا الصراط المستقيم
3. Rasm Arūḍī
Rasm Arūdī adalah cara menuliskan bahasa arab sesui dengan wazan-
wazan dalam Syair Arab, hal ini bertujuan untuk mengetahui nama- nama syair
yang dimaksud.
Contoh :
قد كفاني من سؤالي واختياري
3. Kaidah-Kaidah Rasm Alquran
Mushaf utsmani ditulis dengan kaidah-kaidah tertentu. Para ulama
meringkas kaidah-kaidah itu menjadi enam istilah, yaitu:4
a) Al-Hadzf (membuang, menghilangkan, atau meniadakan huruf). Contohnya,
menghilangkan huruf alif pada ya’ nida’ ( ) يايهااالناس, dari ha tanbih ( ) هانتم,
pada lafadz jalalah ( ( هلال, dan dari kata na ( )نا. ( أنجينكمlafadz )
b) Az-Ziyadah (penambahan), seperti menambahkan huruf alif setelah wau atau
yang mempunyai hukum jama’) ) اسرائيل بنواdan menambah alif setelah hamzah
marsumah (hamzah yang terletak diatas tulisan wawu) ()تفتؤ تاهلل.
c) Al-Hamzah, Salah satu kaidahnya bahwa apabila hamzah ber-harkat sukun,
ditulis dengan huruf ber-harkat yang sebelumnya, contoh “I’dzan ( ) ائذنdan
“u’tumin” ( ) اؤتمن.
d) Badal (pengganti), seperti alif ditulis dengan wawu sebagai penghormatan pada
kata الصالة, الزكاة, الحيوة.
4
Roslin anwar,ulumul qur’an,lingkar selatan,cv pustaka setia,2007,hal.236
4
e) Washal dan Fashl (penyambungan dan pemisahan), seperti kata kul yang diiringi
kata ma ditulis dengan disambung ( ) كلما5.
f) Kata yang dapat dibaca dua bunyi
Suatu kata yang dapat dibaca dua bunyi penulisannya disesuaikan dengan
salah satu bunyinya. Didalam mushaf ‘Utsmani, penulisan kata semacam itu
ditulis dengan menghilangkan alif, misalnya “maliki yaumiddin” ملك الدين يوم.
Ayat diatas boleh dibaca dengan menetapkan alif (yakni dibaca dua alif), boleh
juga dengan hanya menurut bunyi harakat (yakni dibaca satu alif).
5
Syahbah, op. cit., hlm. 302-307, As-Suyuthi, op. cit., jilid II, hlm. 167; Marzuki, op. cit., hlm. 78-82
6
Yakni bukan produk manusia, tetapi sesuatu yang ditetapkan berdasarkan wahyu Allah yang Nabi sendiri
yang tidak mempunyai otoritas untuk menyangkalnya.
5
Rasulullah SAW memerintahkan menulis al-Qur’an, tetapi tidak memberikan
petunjuk teknis penulisannya, dan tidak melarang menulisnya dengan metode-
metode tertentu”. Karena hal tersebut timbul-lah adanya perbedaan model-model
penulisan al-Qur’an dalam mushaf-mushaf mereka. Ada yang menulis suatu lafal
al-Qur’an sesuai dengan bunyi lafal itu, ada yang menambah atau menguranginya,
karena mereka tau itu hanya cara. Karena itu dibenarkan menulis mushaf dengan
metode-metode penulisan masa lalu atau metode-metode baru. Lagi pula,
seandainya itu petunjuk nabi, rasm itu akan disebut rasm Nabi, bukan rasm
Utsmani. Belum lagi bila ummi diartikan sebagai buta huruf, yang artinya tidak
mungkin petunjuk dan teknis tersebut dari Nabi. Tidak pernah ditemukan suatu
riwayat, baik dari Nabi maupun sahabat yang menyatakan bahwa metode penulisan
al-Qur’an tersebut bersumber dari petunjuk Nabi. Kelompok ini pula berpendapat
bahwa tidak ada masalah jika al-Qur’an ditulis dengan metode penulisan standar
(rasm Imla’i). Soal penulisan diserahkan kepada pembaca, kalau pembaca merasa
lebih mudah menggunakan rasm imla’i, Maka ia dapat menulisnya denga metode
tersebut, karena metode penulisan itu symbol pembacaan, dan tidak mempengaruhi
makna dari al-Qur’an. Sehubungan hal tersebut, mereka menyatakan sebagai
berikut: sesungguhnya bentuk dan model penulisan itu tidak lain hanyalah
merupakan tanda atau symbol. Karena itu segala bentuk serta model tulisan al-
Qur’an yang menunjukan arah bacaan yang benar dapat dibenarkan. Sedangkan
rasm utsmani yang menyalahi rasm imla’i sebagaimana kita ketahui menyulitkan
banyak orang serta bisa mengakibatkan berat dan kacau bagi pembaca.
Pendapat ketiga, Mengatakan bahwa metode penulisan al-Qur’an dengan
Rasm Imla’i dapat dibenarkan, tetapi khusus bagi orang awam. Bagi para ulama
atau orang yang memahami Rasm Utsmani, tetap wajib mempertahankan keaslian
rasm tersebut.7
Pendapat ini diperkuat AZ-Zarqani dengan mengatakan bahwa rasm imla’i
diperlukan untuk menghindarkan umat dari kesalahan membaca al-Qur’an, sedang
rasm utsmani diperlukan untuk memelihara keaslian mushaf al-Qur’an. Dapat
disimpulkan bahwa pendapat yang ketiga ini berupaya mengkompromikan antara
dua pendapat terdahulu yang bertentangan. Di satu pihak mereka ingin melestarikan
7
Roslin anwar,ulumul qur’an,lingkar selatan,cv pustaka setia,2007,hal.238
6
rasm utsmani, sementara dipihak yang lain mereka menghendaki dilakukannya
penulisan al-Qur’an dengan rasm imla’i untuk memberikan kemudahan bagi kaum
muslimin yang kemungkinan mendapat kesulitan membaca al-Qur’an dengan rasm
utsmani. Dan pendapat ketiga ini lebih moderat dan lebih sesuai dengan kondisi
umat saat ini. Memang tidak ditemukan nash yang jelas diwajibkan penulisan al-
Qur’an dengan rasm utsmani. Namun demikian, kesepakatan para penulis al-Qur’an
dengan rasm utsmani harus di indahkan dalam pengertian menjadikannya sebagia
rujukan yang keberadaannya tidak boleh hilang dari masyarakat islam. Sementara
jumlah umat islam dewasa ini cukup besar dan kebanyakan tidak menguasai rasm
utsmani. Bahkan, tidak sedikit jumlah umat islam yang tidak mampu membaca
aksara-aksara arab. Mereka membutuhkan tulisan lain untuk membantu
memudahkan mereka agar dapat membaca ayat-ayat al-Qur’an, seperti tulisan latin.
Namun demikian, Al-Qur’an dengan rasm utsmani harus dipelihara sebagai standar
rujukan ketika dibutuhkan. Demikian juga tulisan ayat-ayat al-Qur’an dalam karya
imiah, rasm utsmani mutlak diharuskan karena statusnya sudah masuk dalam
kategori rujukan dan penulisannya tidak mempunyai alasan untuk
mengabaikannya. Dari ketiga pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa untuk
penulisan al-Qur’an secara utuh sebagai kitab suci umat Islam, mesti mengikuti dan
berpedoman kepada rasm utsmani, hal ini mengingat pertimbangan-pertimbangan
sebagai berikut:8
1. Agar umat Islam diseluruh dunia memiliki kitab suci yang seragam dalam
metode penulisannya sesuai dengan pedoman aslinya.
2. Metode penulisan al-Qur’an dengan rasm utsmani, seandainya tidak bersifat
taufiqi minimal bersifat ijma’ atau kesepakatan para sahabat Nabi. Ijma’
sahabat memiliki kekuatan hukum tersendiri yang wajib diikuti, termasuk
dalam penulisan al-Qur’an dengan rasm utsmani (bila dimaksudkan sebagai
kitab suci secara utuh).
3. Pola penulisan al-Qur’an berdasarkan rasm utsmani boleh dikatakan sebagian
besar sesuai dengan kaidah-kaidah rasm Imla’i dan hanya sebagian kecil saja
yang menyalahi atau beerbeda dengan rasm imla’i
8
Syahbah, op. cit., hlm. 302-307, As-Suyuthi, op. cit., jilid II, hlm. 167; Marzuki, op. cit., hlm. 78-82
7
5. Kaitan Rasm Al-Qur'an Dengan Qira'ah Al-Quran
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa keberadaan mushaf utsmani yang tidak
berharkat dan bertitik ternyata masih membuka peluang untuk membacanya dengan
barbagai qira’ah (cara membaca al-qur’an). Hal itu dibuktikan dengan masih
terdapatnya keragaman cara membaca al-Qur’an walaupun setelah muncul mushaf
utsmani, seperti qira’ah tujuh, qira’ah sepuluh, dan qira’ah empat belas. Kenyataan
itulah yang melatar belakangi Ibn Mujahid (859-935) untuk melakukan
penyeragaman tata cara membaca al-qur’an dengan tujuh cara saja (qira’ah sab’ah).
Tentu bukan itu saja yang amat berkepentingan dengan langkah penyeragaman teks
ini, umpamanya malik bin anas (w.795), ulama besar madinah dan pendiri madzhab
maliki. Ia dengan tegas menyatakan bahwa shalat yang dilaksanakan mengunakan
bacaan ibn mas’ud adalah tidak sah.9
9
Roslin anwar.ulumul qur’an,lingkar selatan,cv pustaka setia,2007,hal.236
8
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Rasm Al-Qur’an adalah metode ataupun cara penulisan al-Qur’an yang
merujuk pada penetapan penulisan yang dilakukan oleh Utsman Bin Affan pada
saat pengumpulan dan pembukuan al-Qur’an. Pada pembahasan rasm al-Qur’an
selain rasm utsmani ada juga rasm qiyasi dengan mengacu pada pelafalan ataupun
ucapan, dan rasm arudi yang mengacu pada wazan-wazan syair bahasa arab. Dalam
kaidah rasm al-Qur’an ada kaidah Hadzf (membuang, menghilangkan, atau
meniadakan huruf), Az-ziyadah (penambahan), Al-hamzah, Badal (pengganti),
Washal dan fashl (penyambungan dan pemisahan), dan Kata yang dapat dibaca dua
bunyi. Dalam pandangan sebagian ulama, rasm al-Qur’an termasuk taufiqi, dan ada
juga sebagian memandang bahwa rasm alQur’an bukanlah taufiqi.
B. SARAN
Kita sebagai orang awam tentulah mengikuti ulama-ulama yang masyhur
yang memandang rasm al-Qur’an adalah taufiqi dan rasm utsmani menjadi rujukan
bersama, selain mengikuti para ulama kita pun harus sedikit demi sedikit
mempelajari, mendalami serta melakukan penelitian terhadap rasm al-Qur’an agar
semakin memahami konsep rasm al-Qur’an yang telah dikonsepkan oleh para
ulama.
9
DAFTAR PUSTAKA
2013.
10