Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH JUM’UL QUR’AN

(PENGUMPULAN AL-QUR’AN)
Makalah ini disusun Untuk memenuhi tugas pada Mata Kuliah Studi al-Qur’an

Dosen Pengampu Dr. H. Kusnul Yaqin, S.HI., MH

DISUSUN OLEH:

MUSLIMIN

NIM: 161920211120009

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM MULTIKULTUR


PROGRAM STUDI PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
FATTAHUL MULUK PAPUA
2021
KATA PENGANTAR
Assalamu‟alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, hidayah
dan inayahNya. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW, sahabat dan tabiin hingga hari akhir. Amiin.

Tugas yang berjudul Jum’ul Qur’an ini selain salah satu persyaratan
untuk memperoleh gelar magister Prodi Pendidikan Agama Islam Multikultural,
juga merupakan salah satu usaha dalam mengkaji dan mempelajari proses
pengumpulan AlQur’an itu sendiri pada masa Kepemimpinan Nabi Muhammad
SAW hingga pasca khulafaur Rasyidin.

Penuyusunan tugas ini, tidak akan berhasil sebagaimana diharapkan


tanpa adanya restu, dorongan, semangat, dan pengertian dari dosen, orangtua,
sahabat dan teman. Semoga dengan adanya tugas ini, hasilnya dapat memenuhi
penilaian untuk mata kuliah Studi al-Qur’an (Kajian Studi al-Qur’an
Multikultural). Namun demikian, kami menyadari bahwa tugas ini jauh dari
sempurna, karena kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT. Untuk itu tiada
gading yang tak retak, segala kritik dan saran untuk kebaikan tugas ini, kami
merasakan bahwa itu adalah bagian dari kearifan pembaca yang sangat berharga
sehingga layak mendapat tempat yang tinggi.

Pada akhirnya, semoga tugas besar ini bermanfaat dalam menunjang


ilmu pengetahuan khususnya tentang materi Jum’ul Qur’an pada Mata Kuliah
Studi al-Qur’an (Kajian Studi al-Qur’an Multikultural).

Jayapura, 14 September 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.............................................................................................4
B. Rumusan Masalah........................................................................................6
C. Tujuan Penulisan.........................................................................................6
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Jam’ul Qur’an...........................................................................7
B. Pengumpulan al-Qur’an dalam arti menghafal dan penulisannya pada
masa Nabi Muhammad SAW........................................................................8
C. Pengumpulan al-Qur’an pada masa Khulafaurr Rasyidin........................12
1. Pengumpulan al-Qur’an pada masa Abu Bakar as-Sidiq ra..............12
2. Pengumpulan al-Qur’an pada masa Utsman bin Affan ra.................14
D. Pengumpulan Al-Qur’an dan Pemeliharaan Pasca Khulafaur Rasyidin. .16
E. Rasm...........................................................................................................20
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................................24
B. Rekomendasi..............................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur’an, sebagaimana yang disampaikan oleh as-Shabuni adalah

Kalam Allah yang bernilai Mu’jizat yang diturunkan kepada Nabi

Muhammad dengan perantara Malaikat Jibril yang tertulis dalam Mushaf.

Dan membacanya bernilai Ibadah. Yang diawali dengan Surat al-Fatihah dan

diakhiri dengan Surat an-Nas.1


Al-Qur’an merupakan firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi
Muhammad SAW sebagai sumber hukum Islam yang pertama. Ayat yang
pertama turun adalah al-Alaq 1 sampai 5 pada tanggal 17 Ramadhan dan ayat
yang terakhir turun adalah surat al Maidah ayat 3 ketika rasul menjalankan
haji wada’. Dalam sejarah al-Qur’an ada istilah pengumpulan al-Qur’an, yaitu
usaha pengumpulan berkas-berkas al-Qur’an yang tercecer di tangan para
sahabat kemudian berkas-berkas tersebut disatukan sebagai konteks utuh
yang bernama mushaf.

Proses itu dimulai pada masa Rasulullah SAW. Setiap kali menerima
wahyu al-Qur’an, Rasulullah SAW. Langsung mengingat, menghafalnya, dan
memberitahukan serta membacakannya kepada para sahabat, agar mereka
mengingat dan menghafalnya pula.

Selain dihafal wahyu al-Qur’an yang baru turun, kemudian ditulis


juru tulis wahyu, seperti Abu Bakar al-Siddiq, Umar bin al-Khattab, Utsman
bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah, Khalid bin Walid, Ubay bin
Ka’ab, Zain bin Tsabit, Tsabit bin Qays, Amir bin Fuhairah, Amr bin al-As
dan Zubair bin al-Awwam.2

1
Muhammad Ali ash- Shabuni, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis, (Jakarta : Pustaka Amani,
2001). hlm. 3
2
Al-Qathathan, syaikh Manna’, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Cet. 1 (Jakarta: Al-
Kautsar, 2005), hlm 158

4
5

Setelah Rasulullah SAW. Wafat, tonggak estafet pemeliharaan al-


Qur’an dilanjutkan Abu Bakar al-Siddiq, Umar bin al-Khattab dan Utsman
bin Affan. Upaya-upaya tersebut muncul bersifat reaktif atas kondisi yang
dihadapi umat Islam yang dipandang dapat mengancam keutuhan dan
keaslian al-Qur’an.

Namun untuk pembukuannya bukanlah nabi yang memerintahkan, al-


Qur’an dibukukan setalah Nabi Wafat. Terlebih jika kita membaca al-Qur’an
yang saat ini biasa kita baca, maka kita akan dikejutkan dengan fakta bahwa
ayat yang pertama kali turun justru diletakan dibagian akhir dari al-Qur’an,
bukan di awal. Seharusnya itu menjadi pertanyaan tersendiri bagi kita, lantas
siapa yang yang menyusun al-Qur’an hingga akhirnya bisa menjadi seperti
yang kita baca saat ini?. Untuk itu maka perlu kajian yang khusus membahas
hal tersebut guna setidaknya memberikan informasi yang memadai mengenai
hal tersebut, mengingat kajian semacam itu akan berpengaruh bagi
pembuktian atas keorisinilan al-Qur’an yang kita baca saat ini.

Pada masa khalifah Abu Bakar al-Siddiq juga mengemban tugas


pemeliharaan al-Qur’an yang berserakan menjadi satu mushaf. Faktor
pendorong usaha penghimpunan tersebut, adanya kekhawatiran hilangnya
sesuatu dari al-Qur’an disebabkan banyak para sahabat penghafal al-Qur’an
yang gugur di medan perang Yamamah. Perang ini terjadi tahun 12 H antara
kelompok muslim melawan kelompok yang menyatakan diri keluar dari Islam
(murtad) di bawah pimpinan Musailamah al-Kazzab. Dalam pertempuran
tersebut 70 orang penghafal al-Qur’an gugur.3

Pada masa pemerintahan Umar bin al-Khattab belum tampak


persoalan mengenai mushaf di atas, tetapi setelah periode Utsman bin Affan
baru mencuat persoalan yang serius tentang qira’at, terutama sesudah Islam
meluas sampai ke Syiria, Armenia dan Azarbaijan. Bahkan kondisinya lebih
kronis karena sudah mengarah kepada fanatisme golongan. Masing-masing
mengklaim paling benar, bahkan saling mengkafirkan. Kondisi yang rawan
3
Muhammad Yasir & Ade Jamaruddin, Studi All-Qur’an, (Pekanbaru: CV. Asa Riau,
2016), hlm 90
6

tersebut akhirnya mengharuskan adanya tindakan pembukuan al-Qur’an


standar dalam rangka menjaga otentitas al-Qur’an sekaligus mereduksi dan
mengantisipasi konflik internal sekitar qira’at. Sejak masa ini umat Islam
dalam membaca al-Qur’an berpegang pada bentuk bacaan yang sesuai dengan
mushaf Utsman.

Berdasarkan hal tersebut maka penulis merasa perlu untuk menyusun


sebuah makalah pendek dengan judul “Jam’ul Qur’an”. Makalah ini tentu
saja bukan makalah yang sangat sempurna dan tidak ada kesalahan sama
sekali, atas hal tersbut penulis meminta maaf atas segala kesalahan yang ada
dalam makalah ini, serta mengharapkan kritik dan saran yang membangun
untuk penyusunan makalah-makalah setelahnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Jam’ul al-Qur’an ?
2. Bagaimana cara pengumpulan al-Qur’an dalam arti menghafal dan
penulisannya pada masa Nabi Muhammad SAW ?
3. Bagaimana cara pengmpulan al-Qur’an pada masa Khulafaur Rasyidin ?
4. Bagaimana usaha pemeliharaan al-Qur’an Pasca Khulafaur Rasyidin ?
5. Bagaimana penulisan Rasm?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dari jam’ul al-Qur’an
2. Untuk mengetahui cara pengumpulan al-Qur’an dalam arti menghafal
dan menuliskannya pada masa Nabi Muhammad SAW
3. Untuk mengetahui cara pengumpulan Al-Qur’an pada masa Khulafaur
Rasyidin
4. Untuk mengetahui cara usaha lanjutan pemeliharaan al-Qur’an Pasca
Khulafaurr Rasyidin
5. Untuk mengetahui penulisan rasm.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Jam’ul Qur’an

Istilah pengumpulan al-Qur’an, setidaknya ada dua pengertian yang

terhimpun di dalamnya. Kedua pengertian itu merujuk pada makna jam’u al-

Qur’an, yaitu pertama; kata pengumpulan dalam arti penghafalannya di dalam

lubuk hati, sehingga orang-orang yang hafal al-Qur’an disebut jumma’ul al-

Qur’an atau huffadz al-Qur’an. Kedua; kata pengumpulan al-Qur’an dalam

arti penulisannya, yakni pengumpulan atau perhimpunan seluruh al-Qur’an

dalam bentuk tulisan, yang memisahkan masing-masing ayat dan surah, atau

hanya mengatur susunan ayat-ayat al-Qur’an dan mengatur semua susunan

ayat dan surah di dalam beberapa shahifah yang kemudian disatukan sehingga

menjadi suatu koleksi yang merangkum semua surah yang sebelumnya telah

disusun satu demi satu.4

Secara etimologi, istilah al-Jam’u berasal dari kata ‫ جمع‬- ‫ يخمع‬yang

berarti mengumpulkan. Sedangkan pengertian al-Jam’u secara terminologi,


para ulama mengemukakan pendapat yang berbeda-beda.

Menurut Az-Zarqani, Jam’ul Qur’an mengandung dua pengertian.

Pertama mengandung makna menghafal al-Qur’an dalam hati, dan kedua

yaitu menuliskan huruf demi huruf dan ayat demi ayat yang telah diwahyukan

oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW.

Menurut al-Qurtubi dan Ibnu Katsir maksud dari Jam’ul Qur’an

adalah menghimpun al-Qur’an dalam hati atau menghafal al-Qur’an.5 Dalam

sebagian besar literatur yang membahas tentang ilmu- ilmu al-Qur’an, istilah

4
Muhammad Yasir & Ade Jamaruddin, Studi All-Qur’an, hlm 77-78
5
Hafidz Abdurrahman, Ulumul Qur’an Praktis (Bogor: Idea Pustaka Utama, 2003) , hlm 82

7
8

yang dipakai untuk menunjukkan arti penulisan, pembukuan, atau kodifikasi

al- Qur’an adalah “Jam’u al- Qur’an” yang berarti pengumpulan al-Qur’an.

Tetapi ada juga sebagian kecil literatur yang memakai istilah “Kitabat al-

Qur’an” artinya penulisan al-Qur’an serta “Tadwin al-Qur’an” berarti

Pembukuan al-Qur’an.6

Menurut Ahmad Von Denffer, istilah pengumpulan al-Qur’an (jam’ul

al-Qur’an) dalam literatur klasik itu mempunyai berbagai makna, antara lain:7
1. Al-Qur’an dicerna oleh hati.

2. Menulis kembali tiap pewahyuan.

3. Menghadirkan materi al-Qur’an untuk ditulis.

4. Menghadirkan laporan (tulisan) para penulis wahyu yang telah


menghafal al-Qur’an.

5. Menghadirkan seluruh sumber, baik lisan maupun tulisan.

B. Pengumpulan al-Qur’an dalam arti menghafal dan penulisannya pada


masa Nabi Muhammad SAW

Sejak awal pewahyuan Al-Qur’an hingga menjadi sebuah mushaf,

telah melalui proses panjang. Mulai dari ayat yang pertama turun sampai ayat

yang terakhir turun, benar-benar terjaga kemurniaanya. Upaya untuk menjaga

dan memelihara ayat-ayat agar tidak terlupakan atau terhapus dari ingatan

terus-menerus dilakukan. Upaya-upaya tersebut dengan cara yang sederhana

yaitu Nabi Menghafal Ayat-ayat itu dan menyampaikannya kepada para

sahabat yang kemudian juga menghafalnya sesuai dengan yang disampaikan

Nabi. sebagaimana firman Allah SWT:

6
Said Agil Husin Al- Munawwar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki,
(Jakarta: Ciputat Press,2002), hlm15-16
7
Hafidz Abdurrahman, Ulumul Qur’an Praktis, Op.Cit., hlm 82
9

        


     
      

Terjemahan:
“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran
karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas
tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan
(membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami telah selesai
membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian,
sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya”. (QS. Al
Qiyamah/75:16-19 ).8

Ibnu Abbas mengatakan “Rasulullah SAW sangat ingin segera

menguasai al-Qur’an yang diturunkan. Ia menggerakkan lidah dan bibirnya,

karena takut apa yang turun itu akan terlewatkan. Ia ingin segera

mengahafalnya, maka Allah menurunkan ayat di atas, dengan maksud bahwa

Kamilah Allah yang mengumpulkannya di dadamu, kemudian Kami

membacakannya”. Dalam ungkapan yang lain dikatakan, “Atas tanggungan

Kamilah membacakannya”. Maka setelah ayat di atas turun, apabila malaikat

Jibril datang, Rasulullah diam. Dalam lafaz lain dikatakan, “Ia

mendengarkan”. Bila malaikat Jibril telah pergi, barulah ia membacanya

sebagaimana diperintahkan oleh Allah SWT.9

Upaya kedua yang dilakukan Umat Islam dalam upaya pemeliharaan

Al-Qur’an adalah mencatat atau menuliskannya dengan persetujuan Nabi.10

Pada mulanya, bagian-bagian al-Qur’an yang diwahyukan kepada Nabi

Muhammad dipelihara dalam ingatan Nabi dan para sahabatnya. Tradisi

hafalan yang kuat di kalangan masyarakat Arab telah memungkinkan

8
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya,1989.
9
Mardan, Al-QUR’AN: Sebuah Pengantar Memahami al-Qur’an Secara Utuh (Jakarta:
Pustaka MAPAN, 2009), hlm 64.
10
H.M. Rusdi Khalid, Mengkaji Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Makassar: Alauddin Universiti
Press, 2011), hlm 55
10

terpeliharanya al-Qur’an dalam cara semacam itu. Jadi, setelah menerima

suatu wahyu, Nabi Lalu menyampaikannya kepada para pengikutnya, yang

kemudian menghafalkannya. Sejumlah hadits menjelaskan berbagai upaya

Nabi dalam merangsang penghafalan wahyu-wahyu yang telah diterimanya.

Salah satu di antaranya adalah yang diriwayatkan oleh Utsman bin Affan

bahwa Rasulullah pernah bersabda: “Yang terbaik di antara kamu adalah

mereka yang mempelajari al-Qur’an dan kemudian mengajarkannya.” 11

Semasa hidup Nabi Muhammad dikenal beberapa orang yang dijuluki sebagai

Qari yaitu seorang yang menghafal al-Qur’an, adapun para Qari pada masa

Nabi Muhammad adalah sebagai berikut : Keempat Khulafa‟ur Rasyidin,

Tholhah, Said, Ibn Mas’ud, Hudaifa, Abu Hurairah, Ibn Umar, Ibn Abbas,

‘Amr bin Ash, Abdullah bin Amr bin Ash, Mu’awiyah bin Abu Sufyan, Ibn

Jabir, Abdullah bin Sa’ib, Aisyah, Hafshah, Ummu Salamah. Sedangkan

untuk penulisan wahyu yang turun, dikenal beberapa sahabat yang bertugas

untuk menuliskan wahyu yang turun atas perintah Rasulullah sendiri. Para

penulis wahyu tersebut kemudian mendapat julukan sebagai Kutabul Wahyu.

Adapun para penulis wahyu pada masa nabi muhammad yaitu Khulafaur

Rasyidin, Muawiyah, Zaid bin Sabit, Ubai bin Ka’ab, Khalid bin Al-Walid

dan Tsabit bin Qays.12

Namun karena keterbatasan media tulis yang digunakan pada waktu

itu sehingga para sahabat menggunakan apa saja yang dapat digunakan

sebagai media tulis dalam menuliskan wahyu. Beberapa media tulis yang

digunakan para sahabat untuk menuliskan wahyu sebagaimana yang

disampaikan oleh az-Zarqany adalah : lembaran lontar atau perkamen (Riqa),


11
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, (Jakarta : Yayasan Abad
Demokrasi, 2011). hal 151
12
Shubhi Sholih, Mabahits Fi ‘Ulum al-Qur’an, Cet. 10, (Beirut : Dar al-Ilmi, 1977). hlm
68
11

batu tulis berwarna putih (Likhaf), pelapah kurma (Asib), tulang

belikat(Aktaf), tulang rusuk (Adlla’), lembaran kulit (Adim).13 Namun yang

menjadi catatan dari pengumpulan alQur’an pada masa Rasulullah adalah

walupun telah ada penulisan pada masa Rasulullah atas perintah beliau

sendiri, hanya saja pada saat itu al-Qur’an yang dituli masih berupa lembaran

yang tercecer dan belum disatukan. Mengenai hal tersebut, az-Zarqany secara

khusus menjelaskan alasan yang mendasari hal tersebut, yaitu :14

1. Keterbatasan Media untuk membukukan al-Qur’an pada masa nabi


Muhammad SAW, tidak seperti pada masa Abu Bakar bahkan Utsman
yang cenderung lebih mudah menemukan bahan baku pembukuannya.
2. Pada saat itu para Qari’ masih sangat banyak, dan Islam belum menyebar
seperti pada masa Abu Bakar maupun Ustman.
3. Singkatnya jarak antara berhentinya wahyu dan wafatnya Nabi.
4. Ayat-Ayat al-Qur’an yang turun terkadang untuk menghapus
keberlakuan ayat sebelumnya.
5. Al-Qur’an tidak turun sekaligus, melainkan dengan jalan sedikit demi
sedikit (Munajaman) selama rentang duapuluh tahun atau lebih.
6. urutan ayat turun kepada Nabi berdasarkan Asbabun Nuzul, sedangkan
urutan ayat dalam al-Qur’an tidak disusun berdasakan hal tersebut.

C. Pengumpulan al-Qur’an pada masa Khulafaurr Rasyidin

Pengumpulan al-Qur’an sudah dilaksanakan pada zaman Rasulullah,


tetapi belum di bukukan seperti sekarang yang bisa kita lihat dari Juz 1
hingga Juz 30 atau surah al-fatihah sampai surah an-Naas. Saat zaman

13
Muhammad Abdul Adzim az-Zarqany, Manahil al-‘Irfan Fi ‘Ulum al-Qur’an, Jilid I,
(Beirut : Dar alKitab al-`Araby, 1995), hlm 202
14
Muhammad Abdul Adzim az-Zarqany, Manahil al-‘Irfan Fi ‘Ulum al-Qur’an, Jilid I,
hlm 204
12

Khulafaurr Rasyidin semangat pengumpulan al-Qur’an sangat luar biasa,


pengumpulan al-Qur’an ini terjadi pada zaman khalifah Abu Bakar as-Sidiq
dan pada zaman khalifah Utsman Bin Affan. Adapun penjelasannya sebagai
berikut:

1. Pengumpulan al-Qur’an pada masa Abu Bakar as-Sidiq ra.

Ketika Rasulullah telah Wafat, al-Qur’an memang telah


terkumpul di dada para sahabat berupa hafalan serta telah dituliskan
dalam lembaran-lembaran. Namun al-Qur’an yang ditulis para sahabat
tersebut masih berupa lembaran-lembaran yang tercecer ditangan para
sahabat atau dengan kata lain al-Qur’an pada saat itu masih belum
semuanya terbukukan. Sehingga ketika terjadi perang Yamamah yang
terjadi setahun setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW yang
menewaskan 70 penghafal Qur’am menimbulkan kegelisahan dihati
Umar bin Khattab hingga kemudian mendesak Abu Bakar untuk segera
membukukan al-Qur’an mengingat para penghafal al-Qur’an telah
banyak yang meninggal sedangkan al-Qur’an yang tertulis masih berupa
lembaranlembaran yang terpisah.15

Atas desakan Umar tersebut kemudian Abu Bakar berkenan


untuk memerintahkan pengumpulan tersebut walaupun pada awalnya
beliau menolaknya dengan alasan bahwa hal tersebut bukanlah perbuatan
yang dilakukan oleh Nabi Muhmmad SAW, namun ‘Umar
meyakinkannya dengan alasan bahwa pembukuan tersebut adalah hal
yang baik dan sangat penting. Setelah Abu Bakar merasa yakin dengan
keputusannya tersebut, maka diutuslah Zaid bin Tsabit untuk mulai
mengumpulkan al-Qur’an. Pemilihan Zaid sebagai orang yang ditugasi
untuk mengumpulkan al-Qur’an menurut beberapa Ahli Ilmu al-Qur’an
15
Philip K. Hitti, History of The Arabs, (Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta, 2013). hlm
154
13

didasarkan oleh beberapa alasan diantaranya adalah Zaid adalah seorang


yang cerdas, masih muda, dan tidak memiliki sifat tercela, selain itu
peranannya sebagai penulis wahyu dimasa Rasulullah menjadi alasan
yang mendsari pemilihannya.16

Dalam mengumpulkan al-Qur’an Zaid menggunakan metode


yang sangat teliti berdasarkan arahan yang diberikan oleh abu Bakar dan
Umar. Selama pengumpulan ayat-ayat tersebut, Zaid tidak serta-merta
mengandalkan hafalan yang dimilikinya, tidak juga dengan apa yang
telah ditulisnya maupun yang telah didengarkannya. Dalam pengumpulan
tersebut, zaid menggunakan dua rujukan utama, yaitu:17

a. Berdasarkan ayat yang telah ditulis dihadapan Rasulullah dan telah


disaksikan langsung oleh beliau.
b. Ayat yang dihafal dan ditulis dalam lembaran dengan menyertakan
dua saksi yang adil yang menyaksikan bahwa ayat tersebut telah
benar-benar ditulis dihadapan Rasulullah.
Adapun yang dimaksud dengan disaksikan oleh dua orang
adalah, bahwa hal itu merupakan sesuatu yang ditulis sebagaimana
bentuk yang dengannya al-Qur’an telah diturunkan, atau bahwa yang
ditulis itu memang telah ditulis di depan Rasulullah SAW. Tujuan dari
penyertaan syarat tersebut adalah agar al-Qur’an tersebut tidak ditulis
dengan tulisan yang berbeda dengan yang ditulis di depan Rasulullah
SAW.

Karena itu, kesaksian tersebut bukan kesaksian atas alQur’an,


dengan demikian hal tersebut tidak perlu diragukan. Mengingat jumlah
para penghafal dan pembacanya sangat banyak. Namun, kesaksian yang
16
Muhammad Abdul Adzim az-Zarqany, Manahil al-‘Irfan Fi ‘Ulum al-Qur’an, Jilid I, hlm
206
17
Az-Zarqany, Ibid, hlm 206
14

dimaksud di sini ialah kesaksian atas tulisan yang ditulis di depan Nabi
Muhammad SAW. Dengan cara itulah, penulisan tersebut telah selesai
dengan sempurna sehingga terkumpul dalam lembaran yang diikat
dengan benang, sebagaimana yang dijelaskan dalam sebagian riwayat.
Inilah peranan yang dimainkan oleh Zayd bin Tsabit.

2. Pengumpulan al-Qur’an pada masa Utsman bin Affan ra.

Pengumpulan al-Qur’an pada masa Utsman bin Affan punya


motif berbeda dengan pengumpulan al-Qur’an dimasa Abu Bakar, Jika
motif Abu Bakar mengumpulkan al-Quran karena dikhawatir akan
hilangnya materi yang tertulis tadi sebagai akibat dari banyaknya para
penghafal dan pembaca yang telah meninggal dunia, maka motif Utsman
adalah karena takut akan terjadinya perbedaan yang meruncing mengenai
ragam bacaan. Pada masa Utsman ini Islam telah tersebar luas dan kaum
Muslimin telah hidup berpencar ke berbagai pelosok. Di berbagai daerah
telah terkenal Qira’at sahabat yang mengajarkan al-Qur’an kepada
penduduk setempat. Penduduk Syam memakai Qira’at Ubay bin Kaab,
penduduk Kuffah memakai Qira’at Abullah bin Mas’ud, penduduk di
wilayah lainnya menggunakan Qira’at Abu Musa al-Asy’ary. Tidak
jarang terjadi pertentangan mengenai masalah bacaan dikalangan
pengikut sahabat-sahabat tersebut, hingga kemudian pertentangan
tersebut memuncak menjadi perpecahan dikalangan Muslimin sendiri.18

Kondisi semacam ini kemudian didengar oleh Hudaifah bin


Yaman. Ketika Hudaifah mengetaui hal tersebut, maka dengan sesegera
mungkin beliau melaporkannya kepada Khalifah Utsman agas segera
ditindak lanjuti. Setelah mendapatkan laporan tersebut, Utsman segerah
mengirim surat kepada Hafshah yang berisikan perintah untuk

18
Muhammad Ali ash- Shabuni, Ibid, hlm 89
15

memberikan al-Qur’an yang telah dibukukan Zaid sebelumnya untuk


kemudian diperbanyak dan disebarluaskan ke seluruh penjuru. Untuk
membukukan al-Qur’an tersebut, Ustman mengutus empat orang sahabat
untuk membukukan al-Qur’an, dari keempat orang tersebut tiga
diantaranya adalah muhajirin dan satu orang lainnya adalah kaum anshar,
empat orang tersebut adalah : Zaid bin Tsabit, Abdullâh bin Zubayr,
Sa’id bin al-Ash, Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam.19
Dalam melakukan pembukuan tersebut, keempat orang tersebut
berpegang pada arahan dari Utsman, yaitu:20

a. Menjadikan Mushaf Abu Bakar yang telah dibukukan oleh Zaid bin
Tsabit sebagai acuan pokok dan sumber utama dalam penulisan al-
Qur’an.
b. Mengacu pada Mushaf Abu Bakar tersebut dalam hal penulisan dan
urutannya, dan apabila terdapat perbedaan pendapat dikalangan para
anggota panitia, maka mengacu berdasarkan dialek Quraisy karena
al-Qur’an diturunkan dengan dialek Quraisy.
c. Dan al-Qur’an tidak ditulis kecuali berdasarkan persetujuan antara
para panitia, dan para sahabat bersepakat bahwa al-Qur’an yang
telah dibukukan tersebut sebagai al-Qur’an sebagaimana yang
diturunkan kepada Rasulullah.
Usaha yang dilakukan oleh Ustman tersebut mendapatkan
apresiasi yang sangat dikalangan sahabat, sehingga hasil dari usaha
tersebut mendapat pengakuan dari kalangan sahabat dan mereka
meyakini bahwa al-Qur’an yang dikumpulkan oleh Utsman tersebut telah
sesuai dan sama persis dengan al-Qur’an yang ada pada masa Nabi

19
Badruddin Muhammad bin Abdullah az-Zarkany, Op. Cit, hlm 236
20
Muhamad Sirojudin dan Supiah, Makalah Ilmu al-Qur’an, (Cirebon : Sekolah Tinggi
Islam Ma’had Ali), hlm 14
16

Muhammad. Baik dari segi urutan ayat (Tartibul Ayat), maupun urutan
Surat (Tartibus suwar), maupun Qira’atnya. Mushaf Utsman yang telah
mendapatkan pengakuan dari para sahabat tersebut kemudian disebarkan
dan menjadi pegangan dalam penulisan al-Qur’an hingga saat ini yang
dikenal dengan Mushaf atau Rasm Ustmany.21
Kesimpulannya bahwa Utman bin Affan berusa membukukan al-
Qur’an kembali, hal tersebut dikarenakan perbedaan bacaan al-Qur’an
dari setiap daerah yang membuat merubah makna al-Qur’an menjadi
berbeda. Setelah di bukukannya al-Qur’an kemudian Utsman bin Affan
menyatakan bahwa al-Qur’an adalah sebagai dasar hukum utama setelah
hadits dan al-Qur’an tidak akan di tulis kembali jika belum di setujui oleh
para panitia.

D. Pemeliharaan Al-Qur’an Pasca Khulafaur Rasyidin

Pada abad ke-7 Masehi, yakni pada masa Rasulullah, tulisan yang
digunakan hanya terdiri atas simbol dasar yang hanya melukiskan struktur
konsonan dari sebuah kata dan bahkan sering mengandung kekaburan.
Bahkan masa permulaan Islam, seluruh huruf biasanya dituliskan dengan cara
yang amat sederhana yakni dalam bentuk garis lurus tanpa titik dan baris.22
Keadaan semacam ini masih berlanjut sampai pasca Nabi wafat dan masa
khalifah, penulisan al-Qur’an masih dalam bentuk yang sama belum ada
penambahan apapun.
Bahkan pada masa Usman pun mushaf masih diseragamkan kedalam
satu bacaan, yang belum menggunakan tanda baca seperti titik dan simbol-
simbol bacaan lainnya. Hal ini semata-mata didasarkan pada watak
pembawaan orang-orang Arab yang masih murni mengandalkan hafalan.
21
Muhamad Sirojudin dan Supiah, Makalah Ilmu al-Qur’an, (Cirebon : Sekolah Tinggi
Islam Ma’had Ali), hlm 15
22
Anshori, Ulumul Qur’an; Kaidah-kaidah Memahami Firman Tuhan, (Jakarta: Rajawali
Press, 2013), hlm. 97
17

Sehingga mereka tidak membutuhkan pemberian titik dan harakat. Bagi orang
awam, ketiadaan tanda baca tersebut akan menyebabkan adanya peluang
terjadinya kekeliruan dalam membaca al-Qur’an. Bahkan bagi orang yang
telah membaca mushaf selama lebih dari empat puluh tahun hingga masa
kekhalifahan Abdul Malik pun masih banyak yang membuat kesalahan, dan
kesalahan itu merajalela di Irak.
Kesulitan pembacaan tulisan Arab khususnya al-Qur’an mulai muncul
ketika dunia Islam meluas ke wilayah-wilayah non-Arab, seperti Persia
disebelah timur, Afrika disebelah selatan, dan beberapa wilayah non Arab
sebelah Barat. Sehingga menjadikan bahasa Arab mengalami kerusakan
karena banyaknya pencampuran (dengan bahasa non-Arab), maka para
penguasa mulai mementingkan upaya perbaikan penulisan mushaf dengan
syakal, titik dan lain-lain yang dapat membantu pembacaan al-Qur’an.23
Adanya kekhawatiran salah baca inilah kemudian menggerakkan Ziyad,
Gubernur Basrah memerintahkan Abu Aswad ad-Du’ali untuk memberikan
tanda baca pada al-Qur’an. Adapun as-Suyuthi dalam al-Itqan menyebutkan
bahwa yang memerintahkan ad-Du’ali bukanlah Ziyad, melainkan Abdul
Malik bin Marwan pada masa kekhalifahan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Seketika Ad-Duwali tidak langsung memenuhi permintaan tersebut. Karena
sebagaimana hal ini bertentangan dengan zaman Nabi, dikategorikan bid’ah.
Terlebih dalam hal ini adalah penambahan simbol bacaan al-Qur’an yang
tidak dilakukan pada masa sebelumnya. Akan tetapi setelah mendengarkan
suatu kasus salah pembacaan yang fatal, yakni pada QS. At-Taubah:3..

       

23
Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, terj. Mudzakir, cet. 16, (Bogor: Pustaka
Litera AntarNusa, 2013), hlm 219
18

Pada potongan akhir ayat tersebut dibaca dengan  Padahal


seharusnya . Kesalahan pengucapan ini secara tidak langsung juga
akan mengakibatkan perubahan makna secara substansial, sebagaimana
makna yang seharusnya adalah “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas
diri dari orang-orang musyrik”. Tetapi ketika kata itu dibelokkan, maka
maknanya akan berubah menjadi “sesungguhnya Allah berlepas diri dari
orang-orang musyrik dan Rasul-Nya”. Setelah adanya kejadian tersebut, Abu
Aswad segera menemui Ziyad dan menyetujui untuk meletakkan tanda baca
pada rasm al-Qur’an.
Perbaikan penulisan berlangsung secara bertahap. Pada masa awal,
syakal24 berupa titik (naqt). Tanda baca baris atas (fathah) berupa sebuah titik
di atas awal huruf (--•--), tanda kasrah berupa sebuah titik dibawah awal
huruf (--˳--), tanda zammah berupa wawu kecil diantara dua huruf, dan tanpa
tanda baca bagi huruf konsonan mati. Pada masa kekhalifahan Abbasiyah,
tanda-tanda vokal (nuqt al-I’rab) yang diciptakan oleh ad-Du’ali kemudian
disempurnakan lebih jauh oleh al-Khalil ibn Ahmad.25 Penyempurnaan
tersebut meliputi membubuhkan huruf alif () kecil diatas huruf untuk tanda
vokal ‘a’, huruf ya’ ( ) kecil dibawah untuk vokal ‘i’, huruf waw () kecil
didepan huruf untuk tanda vokal ‘u’, menggandakan tanda-tanda vokal ini
untuk melambangkan vokal rangkap (tanwin), membubuhkan kepala huruf
‘ha’ diatas huruf untuk tanda sukun. Sementara untuk tanda konsonan
rangkap (syiddah) dibubuhkan kepala huruf ‘sin’ diatasnya.26 Tanda-tanda
vokal ini, dalam penulisan mushaf diberi warna yang berbeda dari warna
huruf-hurufnya. Misalkan alif yang dihilangkan dan diganti, pada tempatnya
dituliskan dengan warna merah. Hamzah dihilangkan ditulis berupa hamzah
24
Menunjuk arti “harakat”
25
Al-Khalil adalah seoarang pakar bahasa yang berdomisili di Basrah dan merupakan
sarjana pertama yang menyusun bahasa Arab serta pengembangan aturan-aturan persajakan.
26
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005),
hlm 321
19

dengan warna merah tanpa huruf.27 Bahkan menurut sebagian riwayat, tidak
seluruh huruf dalam mushaf dibubuhi tanda vokal. Tanda-tanda ini hanya
dicantumkan pada huruf-huruf terakhir setiap kata, atau pada huruf-huruf
tertentu yang memungkinkan terjadinya kekeliruan bacaan.28 Dari tanda-tanda
vokal yang diproduksi al-Khalil inilah kemudian dilakukan penyempurnaan
akhir sehingga berkembang bentuk yang dikenal dewasa ini. Selanjutnya
rasm mengalami perkembangan, tepatnya ketika Malik bin Marwan
memerintahkan al-Hajjaj ibn Yusuf al-Saqafi29 untuk menciptakan tanda-
tanda huruf al-Qur’an (nuqt al-Qur’an). Ia mendelegasikan tugas tersebut
kepada Nashr ibn’Ashim dan Yahya bin Ma’mur, keduanya adalah murid ad-
Du’ali. Kedua orang inilah yang membubuhi titik pada sejumlah huruf
tertentu yang mempunyai kemiripan antara satu dengan yang lainnya
misalnya penambahan titik diatas huruf  maka menjadi huruf  .
Penambahan titik yang bervariasi pada sejumlah huruf dasar  maka menjadi
huruf ,  huruf dasar  menjadi  , ,  dibedakan dengan  , dst. Pada  dan
tanwin sebelum huruf diberi tanda iqlab dengan huruf  berwarna merah.
Sedangkan dan tanwin sebelum huruf tekak (halaq) diberi tanda sukun
dengan warna merah. Adapun huruf nun dan tanwin tidak diberi tanda apa-
apa ketika idgham dan ikhfa’. Setiap huruf yang harus dibaca sukun (mati)
diberi tanda sukun dan huruf yang di-idghamkan tidak diberi tanda sukun
tetapi huruf yang sesudahnya diberi tanda syiddah; kecuali huruf , sebelum 
maka sukun tetap dituliskan dengan sukun diatasnya.30
Tanda titik lainnya diperkirakan muncul lebih belakangan dari tanda-
tanda harakat. Hamzah () dalam ranah rasm al-Qur’an merupakan salah satu
27
Jalaluddin al-Suyuti, Samudera Ulumul Qur’an (al-Itqan fi Ulum al-Qur’an), Jilid 4, terj.
Farikh Marzuqi Ammar dan Imam Fauzi, (Surabaya: Bina Ilmu, t.t.), hlm 543
28
Adnan Amal, Rekonstruksi sejarah al-Qur’an., hlm 321
29
Al-Hajjaj ibn Yusuf al-Saqafi (W. 95 H) adalah orang yang melakukan penyempurnaan
rasm al-Qur’an sebagaimana ad-Duwali.
30
Jalaluddin al-Suyuti, Samudera Ulumul Qur’an (al-Itqan fi Ulum al-Qur’an), Jilid 4, terj.
Farikh Marzuqi Ammar dan Imam Fauzi, (Surabaya: Bina Ilmu, t.t.), hlm 534
20

tanda terpenting yang diperkenalkan lebih awal dibandingkan dengan tanda


lainnya. dalam manuskrip-manuskrip al-Qur’an tertua, tanda hamzah
dieskpresikan dengan dua titik merah yang diletakkan berdampingan. Adapun
pada masa belakangan, hamzah ditampilkan dengan satu titik berwarna biru
atau lingkaran kecil yang terkadang ditempatkan di atas dan bawah alif atau
ya’. Setiap wilayah hampir dapat dipastikan memiliki tanda pewarna masing-
masing. Bahkan pada masanya, penduduk Andalusia menggunakan empat
warna dalam menuliskan mushaf, hal ini untuk membedakan antara tulisan al-
Qur’an dengan tanda baca yang menyandangnya, warna hitam untuk huruf,
merah untuk baris dengan cara meletakkan titik, kuning untuk hamzah dan
hijau untuk alif wasl.31
E. Rasm
Kata rasm berasal dari kata  ً ‫سم ـ رسما‬
ُ ‫س َم ـ ير‬
َ ‫ َر‬, berarti mengambarkan
atau melukis. Kata rasm ini juga bisa diartikan sebagai sesuatu yang resmi
atau menurut aturan.32 Jadi secara sederhana penulis mengartikan rasm adalah
bentuk penulisan yang menganut aturan tertentu yang memiliki kaidah dan
syarat yang sudah ditetapkan.
Beralih dari definisi dasar kata rasm, dalam diskursus ulumul Qur’an
rasm dibahas lebih luas dalam ilmu rasm. Ilmu rasm ini muncul dari sejarah
panjang mushaf Usmani yang mengakomodir seluruh pola tulisan al-Qur’an.
Secara teoritis ilmu rasm merupakan ilmu yang mempelajari tentang
penulisan mushaf al-Qur’an yang dilakukan dengan cara khusus, baik dalam
penulisan lafadz-lafadznya maupun bentuk-bentuk huruf yang digunakan.33

31
Abu Abdullah az-Zanjani, Wawasan Baru Tarikh al-Qur’an, terj. Kamaluddin Marzuki
dan A. Qurthubi Hassan, dalam Allamah Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’i dan Abu
Abdullah az-Zanjani, Mengungkap Rahasia al-Qur’an, edisi two book in one, (Bandung: Mizan
Pustaka, 2009), hlm. 391
32
Muhammad Quraish Shihab, Sejarah & ‘Ulum al-Qur’an, Cet. 4, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2008), hlm 91.
33
Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, terj. Mudzakir, cet. 16, (Bogor: Pustaka
Litera AntarNusa, 2013), hlm 146
21

Adapun yang dikemukakan oleh Badan Litbang, ilmu rasm Usmani ini
didefinisikan sebagai ilmu untuk mengetahui segi-segi perbedaan antara rasm
Usmani dan kaidah-kaidah rasm Qiyasi atau imla’I (rasm biasa yang selalu
memperhatikan kecocokan antara tulisan dan ucapan).34
Adapun telah disinggung tentang adanya macam-macam rasm, secara
umum dari spesifikasi cara penulisan kalimat-kalimat Arab, maka rasm dibagi
menjadi 3 macam:35
a. Rasm Qiyasi  (‫)الرسم القياسى‬
Rasm Qiyasi atau disebut Imla’I adalah penulisan menurut kelaziman
pengucapan/peraturan. Ada pendapat yang mengatakan bahwa al-Qur’an
dengan rasm imla’I dapat dibenarkan, tetapi khusu bagi orang awam. Bagi
para ulama atau yang memahami rasm Utsmani tetap wajib mempertahankan
keaslian rasm Utsmani.
Pendepat di atas diperkuat oleh al Zarqani dengan mengatakan bahwa
rasm imla’I diperlukan untuk menghindarkan umat dari kesalahan membaca
al-Qur’an, sedangkan rasm Utsmani diperlukan untuk memelihara keaslian
mushaf al-Qur’an. Tampaknya, pendapat ini lebih moderat dan lebih sesui
dengan kondisi umat, di satu sisi mereka ingin melestarikan rasm Utsmani,
sementara di pihak lain mereka menghendaki dilakukannya penulisan al-
Qur’an dengan rasm Imla’I untuk memberikan kemudahan bagi kaum
muslimin yang kemungkinan mendapat kesulitan membaca al-Qur’an dengan
rasm Utsmani. Namun demikian, kesepakatan para penulis al-Qur’an dengan
rasm Utsmani harus diindahkan dalam pengertian menjadikannya sebagai
rujukan yang keberadaannya tidak boleh hilang dari masyarakat Islam.

34
Mazmur Sya’roni, Pedoman Umum Penulisan dan Pentashihan Mushaf al-Qur’an
dengan Rasm Usmani, (Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Puslitbang Lektur
Agama, 1999), hlm 10
35
Fatchiya, http://aljasmine21.blogspot.com/2012/10/ilmu-rasm-quran.html?m=1, di akses
pada Jum’at, 08 Oktober 2021, Pukul 21.03
22

Demikian juga tulisan ayat-ayat Al-Qur’an dalam karya


ilmiah, rasm Utsmani mutlak diharuskan karena statusnya sudah masuk
dalam kategori rujukan dan penulisannya tidak mempunyai alasan untuk
mengabaikannya. Dari sini kita dapat memahami bahwa menjaga keotentikan
al-Qur’an tetap merujuk kepada penulisan mushaf Utsmani. Akan tetapi segi
pemahaman membaca al-Qur’an bisa mengunakan penulisan yang lain
berdasarkan tulisan yang dalam proses penulisan al-Qur’an mulai dari Zaman
Rasulullah, zaman khalifah Abu Bakar sampai khalifah Utsman Bin Affan
yang penulisnya tidak pernah lepas dari Zaid Bin Tsabit yang merupakan
sekretaris Rasulullah SAW. Secara historis ini membuktikan bahwa Allah
SWT tetap menjaga dan memelihara keotentikan Al-Qur’an.
b. Rasm ‘Arudi (‫)الرسم العروضي‬
Rasm ‘Arudi ialah cara menuliskan al-Qur’an kalimat-kalimat Arab
disesuiakan dengan wazan syair-syair Arab. Hal itu dilakukan untuk
mengetahui “bahr” (nama macam sya’ir)
c. Rasm Usmani (‫)الرسم العثمان‬
Rasmul Utsmani adalah pola penulisan al-Qur’an pada masa Utsman
dan disetujui oleh Utsman. Rasm utsmani menjadi salah satu cabang ilmu
pengetahuan yang bernama Ilmu Rasm Utsmani. Ilmu ini didefinisikan
sebagai ilmu untuk mengetahui segi-segi perbedaan antara Rasm utsmani dan
untuk mengetahui segi perbedaan antara rasm utsmani dan kaidah-kaidah
rasm istilahi (rasm yang biasa selalu memperhatikan kecocokan antara tulisan
dan ucapan) sebagai berikut contoh antara rasm utsmani dengan rasm istilahi.
1) lafaz (‫ )اليستوون‬ditulis (‫)اليستون‬
2)  Lafaz (‫)الصالة‬ ditulis (‫)الصلوة‬
3) Lafaz (‫ )الزكاة‬ditulis (‫)الزكوة‬
4) Lafaz (‫ )الحياة‬ditulis (‫)الحيوة‬
23
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hasil pembahasan jam’ul al-Qur’an atau pengumpulan al-Qur’an dan
penyempurnaan al-Qur’an dapat di tarik beberapa kesimpulan diantaranya:
1. Al-Quran adalah kalam Allah SWT yang diturunkan Allah SWT secara
berangsur-angsur melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW
dan jika di baca dari al-fatihah sampai an-Naas akan mendapatkan
pahala.
2. Pengumpulan al-Qur’an pada zaman Nabi Muhammad SAW dilakukan
dengan dua cara. Pertama menghafal, Jika Jibril datang dan membawa
wahyu dengan cepat Nabi Muhammad SAW mengahafalkannya serta
menyampaikan juga kepada sahabat kemudian ayat-ayat tersebut
tertanam dalam hati para sahabat. Kedua dengan cara menulis, setelah
Rasulullah mendapat ayat-ayat al-Qur’an dan disampaikan kepada
sahabat kemudian menuliskan pada batu, pelepah kurma,dan kulit unta.
3. Pengmpulan al-Qur’an pada masa Khulafaur Rasyidin ini terjadi dua kali
pada masa Abu Bakar as-Sidiq dan Utsman bin Affan. Pertama pada
masa Abu Bakar as-Sidiq, Umar bin al Khattab kawatir akan hilangnya
ayat-ayat al-Qur’an dikarenakan sahabat yang hafal Qur’an telah syahid
di medan perang Yamamah, sehingga Umar bin Khattab meminta segera
kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan al-Qur’an menjadi satu. Setelah
terkumpulkan al-Quran di simpan di kediaman Abu Bakar as-Sidiq.
Kedua pada masa Utsman bin Affan, jika pada masa Abu Bakar motif
pengumpulan al-Qur’an adalah kekhawatiran akan hilangnya materi atau
ayat-ayat Qur’an. Berbeda dengan pada masa Utsman bin Affan, pada
masa Ustaman Islam telah tersebar luas dan kaum Muslimin telah hidup
berpencar ke berbagai pelosok sehingga di kawatirkan aka nada
perbedaan bacaan dengan inisiatif Usman bin Affan maka mengambil al-
Qur’an dikediaman Abu Bakar dan menuliskan kembali, saat itu yang

24
25

bertugas menulis ialah Zaid bin Tsabit, Abdullâh bin Zubayr, Sa’id bin
al-Ash, Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam.
4. Usaha lanjutan pemeliharaan al-Qur’an Pasca Khulafaur Rasyidin banyak
terjadi penyempurnaan diantaranya pemberian titik oleh Nasr bin Ashim
(W. 89 H) atas permintaan Hajjaj bin Yusuf as-Tsaqafy, salah seorang
gubernur pada masa Dinasti Daulah Umayyah (40-95 H), dan yang
memberikan tanda Fathah, Kasrah, Dhammah, Sukun, dan Tasydid
seperti yang-kita kenal sekarang adalah al-Khalil bin Ahmad al-Farahidy
(W.170 H) pada abad ke II H.
5. Rasm atau penulisan al-Qur’an terbagi menjadi tiga yakni rasm Qiyasi,
rasm ‘Arudi dan Rasm Ustmani. Rasm utsmani inilah yang sering
digunakan oleh masyarakat.

B. Rekomendasi
Begitu banyak khazanah setelah mempelajari tentang jam’ul al-Qur’an
dari awal pada zaman Rasulullah SAW hingga pasca Khulafaur Rasyidin.
Namun butuh dibahas lebih mendalam lagi terkait jam’ul al-Qur’an pada
penulisan mahrajul huruf yang sekarang kita sudah kenal, penentuan hukum
tadjwid dan lain sebagainya. Maka penulis menyampaikan semoga makalah
ini dapat berguna bagi pembaca yang menginginkan reverensi untuk
menambah wawasan keilmuan. Penulis juga berterimakasih kepada teman-
teman yang selalu mensupotr penulis sehinnga makalah ini selesai tepat
waktu.

25
DAFTAR PUSTAKA

Abu Abdullah az-Zanjani, Wawasan Baru Tarikh al-Qur’an, terj. Kamaluddin


Marzuki dan A. Qurthubi Hassan, dalam Allamah Sayyid Muhammad
Husain Thabathaba’i dan Abu Abdullah az-Zanjani, Mengungkap Rahasia
al-Qur’an, edisi two book in one, Bandung: Mizan Pustaka, 2009.
Al-Qathathan, syaikh Manna’, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Cet. 1 Jakarta:
Al-Kautsar, 2005.
Anshori, Ulumul Qur’an; Kaidah-kaidah Memahami Firman Tuhan, Jakarta:
Rajawali Press, 2013.
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya,1989.
H.M. Rusdi Khalid, Mengkaji Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Makassar: Alauddin
Universiti Press, 2011.
Hafidz Abdurrahman, Ulumul Qur’an Praktis, Bogor: Idea Pustaka Utama, 2003.
Jalaluddin al-Suyuti, Samudera Ulumul Qur’an (al-Itqan fi Ulum al-Qur’an), Jilid
4, terj. Farikh Marzuqi Ammar dan Imam Fauzi, Surabaya: Bina Ilmu, t.t.
Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, terj. Mudzakir, cet. 16, Bogor:
Pustaka Litera AntarNusa, 2013.
Mardan, Al-QUR’AN: Sebuah Pengantar Memahami al-Qur’an Secara Utuh
Jakarta: Pustaka MAPAN, 2009.
Mazmur Sya’roni, Pedoman Umum Penulisan dan Pentashihan Mushaf al-
Qur’an dengan Rasm Usmani, Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Agama Puslitbang Lektur Agama, 1999.
Muhamad Sirojudin dan Supiah, Makalah Ilmu al-Qur’an, Cirebon : Sekolah
Tinggi Islam Ma’had Ali, 2018.
Muhammad Abdul Adzim az-Zarqany, Manahil al-‘Irfan Fi ‘Ulum al-Qur’an,
Jilid I, Beirut : Dar alKitab al-`Araby, 1995.

26
Muhammad Ali ash- Shabuni, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis, Jakarta : Pustaka
Amani, 2001.
Muhammad Ali Ash- Shabuni, Studi Ilmu Al- Qur’an Bandung Pustaka Setia,
1991.
Muhammad Quraish Shihab, Sejarah & ‘Ulum al-Qur’an, Cet. 4, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2008.
Muhammad Yasir & Ade Jamaruddin, Studi All-Qur’an, Pekanbaru: CV. Asa
Riau, 2016.
Philip K. Hitti, History of The Arabs, Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta, 2013
Said Agil Husin Al- Munawwar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan
Hakiki, Jakarta: Ciputat Press, 2002.
Shubhi Sholih, Mabahits Fi ‘Ulum al-Qur’an, Cet. 10, (Beirut : Dar al-Ilmi, 1977.
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Alvabet,
2005.
Fatchiya, http://aljasmine21.blogspot.com/2012/10/ilmu-rasm-quran.html?m=1,
di akses pada Jum’at, 08 Oktober 2021, Pukul 21.03

27

Anda mungkin juga menyukai