Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

STUDI HADITS MULTIKULTURAL


MUSYAWARAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Hadits Multikultural
Dosen Pengampu Dr. Sahudi, M.HI., M.Pd.I

COVER

Disusun oleh:
SUMARTIN

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM MULTIKULTURAL


PROGRAM STUDI PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
FATTAHUL MULK
2021

i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah atas segala rahmat dan kehadirat Allah SWT penulis haturkan sehingga
tugas makalah yang berjudul “Musyawarah” dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang
diberikan. . Semoga dengan adanya makalah ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan
pembaca.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Suhadi, M.HI., M.Pd.I selaku
dosen yang telah memberi bimbingan dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan tugas
makalah ini.

Tidak adanya kesempurnaan dalam penyusunan makalah ini sehingga penulis berharap
saran dan kritik yang membangun guna perbaikan kedepannya dalam makalah ini.

Sekian saya ucapkan terima kasih

Jayapura,

2021

ii
DAFTAR ISI

COVER.............................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR.....................................................................................................................ii
DAFTAR ISI..................................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................1
A. Latar Belakang......................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................................3
C. Tujuan Penulisan..................................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................................4
A. Pengertian.............................................................................................................................4
B. Etika Musyawarah................................................................................................................9
C. Manfaaat.............................................................................................................................10
D. Hadits dan Terjemahan.......................................................................................................10
E. Sanad dan Biografi Perawi Hadits......................................................................................13
BAB III PENUTUP.......................................................................................................................18
A. Kesimpulan.........................................................................................................................18
B. Rekomendasi.......................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................19

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Al-Quran Al-Karim adalah kitab suci umat Islam terdiri dari kumpulan pesan-
pesan Tuhan diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril. Ia
diturunkan untuk menjadi petunjuk bagi manusia dan alam, Di dalam Al-Quran termuat
berbagai prinsip dan aturan dasar yang dapat dipedomani manusia dalam seluruh aspek
kehidupannya1. Didalamnya juga terangkum berbagai tatanan social politik yang
mengatur tata cara kehidupan bermasyarakat, seperti cara penyelesaian persoalan-
persoalan melalui musyawarah.

Term musyawarah (syura) telah lama menjadi wacana public dan tema-tema
pokok pembicaraan di kalangan intelektual (highly educated) baik Muslim maupun non
Muslim yang sangat berpengaruh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Manusia
sebagai penduduk suatu Negara adalah makhluk social “Zoon Politicon” tidak mampu
hidup terpisah, terisolasi dari pergaulan masyarakat, karena memerlukan bantuan satu
sama lainnya, bantuan yang sangat penting antara lain kebutuhan informasi dan
pertukaran pendapat2. Pemberian Informasi dan tukar pendapat sudah sejak lama
dibicarakan oleh para cendikiawan angkatan Aristoteles yang hidup ratusan tahun
sebelum masehi menyangkut social – budaya – kemasyarakatan2.

Perkembangan masyarakat dan bangsa-bangsa semakin pesat oleh pengaruh


globalisasi dan teknologi informasi, hal ini menyebabkan kontak dunia Barat dan Timur,
termasuk pengaruh politik Barat terhadap dunia Islam, khususnya wacana demokrasi.
Ajaran demokrasi yang sudah lama berkembang di Barat yang dirintis oleh pionir-pionir
mereka seperti “John Lock dari Inggris, Thomas jeffereson dari Amerika, Karl Marx dari
Jerman, Lenin dari Rusia J.J Rousseau dan Montesquieu dari Prancis”.4 Sampai dewasa
ini ajarannya masih berpengaruh terhadap perkembangan demokrasi di berbagai belahan
dunia.

1
Muhammad Husain al-Dzahaby, Al-Tafsir wa al-Mufassirun (Mesir: dar al-Kutub, 1976)
2
Abd. Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Quran (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1994)

1
Sistem musyawarah sebagai bagian dari mekanisme pengambilan suatu
keputusan, dalam sejarah Islam telah cukup lama dikenal dan dipraktekkan. Sejak masa
awal pertumbuhan masyarakat Islam, tradisi musyawarah sudah mulai dipraktekkan
dalam masyarakat. Nabi sendiri menganggap bahwa musyawarah merupakan salah satu
sistem yang dapat digunakan untuk memutuskan suatu masalah dengan tepat. Karena itu,
beliau selalu menempuh jalan tersebut dengan para sahabatnya ketika menghadapi
berbagai persoalan, khususnya menyangkut kepentingan umum. Sebagai contoh, Nabi
Saw bermusyawarah dengan para sahabatnya mengenai strategi Perang Badar dan Uhud,
perjanjian Hudaibiyah, tawaran perang Badar dan perlakuan atas jenazah Abdullah bin
Ubay ibn Salul3.

Setelah Nabi SAW meninggal, tradisi musyawarah tetap dipraktekkan oleh


Khulafa’ al-Rasyidun. Misalnya dalam masalah pengisian jabatan Kepala Negara selalu
diselesaikan melalui musyawarah dengan cara yang berbeda-beda. Demikian pula dalam
hal penentuan garis-garis kebijakan pemerintahan selalu ditempuh melalui jalan
musyawarah.

Islam memandang musyawarah sebagai salah satu hal yang amat penting bagi
kehidupan manusia, baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kehidupan berumah
tangga dan lain-lainnya. Ini terbukti dari perhatian al-Qur’an yang menganjurkan umat
Islam agar bermusyawarah dalam memecah berbagai persoalan yang mereka hadapi.
Bahkan, musyawarah dapat mempersatukan sekelompok orang atau umat serta
menghimpun atau mencari pendapat yang paling tepat4.
Problema pokok yang akan diangkat berkisar pada apa hakikat dan bagaimana
wujud musyawarah yang dapat dipahami dari ayat-ayat al-Qur’an. Lalu bagaimana pula
prinsip-prinsip musyawarah menurut al-Qur’an. Masalah ini sangat penting untuk dibahas
agar berbagai hal-hal yang berkaitan dengan musyawarah dalam al-Qur’an dapat
dipahami secara komprehensif

3
Nurcholish Madjid, Islam doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina , 1992)
4
Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1996)

2
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Musyawarah?
2. Bagaimana penerapan musyawarah dalam kehidupan?
3. Bagaimana manfaat dari penerapan musyawarah?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian musyawarah
2. Mengetahui contoh penerapan musyawarah dalam kehidupan
3. Mengetahui manfaat dari penerapan musyawarah

3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian

Secara etimologis term musyawarah yang berasal dari bahasa Arab (Al-Quran)
5
“syura” yang berakar kata sy-w-r yaitu “memulai sesuatu, menampakkan dan
melebarkannya”. Juga mengandung makna mengeluarkan madu dari sarang lebah”.Dari
kata dibentuk lafal fi’il sebahagian ahlu al-lughah mengatakan bahwa lafdz syawara –
musyawarah berarti mencapai pendapat/buah pikiran seperti mengeluarkan madu dari
sarang lebah, dengan wazan (patron) bisa berarti saling mencari/ mengeluarkan pendapat
(Ra’yun). Kata tersebut selanjutnya mengalami perkembangan arti sehingga mencangkup
segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain termasuk pendapat.
Musyawarah juga dapat berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu. Juga berarti
perkara yang dimusyawarahkan6.
Kata al-syura dan al-masyurah7 mempunyai makna sama yang berarti
permusyawaratan atau hal bermusyawarah. Musyawarah dalam konteks terminologi
terdapat perbedaan pandangan dalam memberikan defenisi. Abdul Hamid Al-Anshari
mengatakan bahwa syura (musyawarah) berarti saling merundingkan atau bertukar
pendapat mengenai suatu masalah atau meminta pendapat dari berbagai pihak untuk
kemudian dipertimbangkan dan diambil yang terbaik demi kemaslahatan bersama.
Istilah musyawarah berasal dari bahasa Arab8, yaitu ‫مشاورة‬. Kata ini merupakan
bentuk mashdardari kata syaawara( ‫ )شاور‬yang artinya saling berembug. Adapun akar

katanya berasal dari kata ‫شىر‬ terdiri dari tiga huruf, yaitu syin, waw dan ra dengan
makna dasar menampakkan dan menawarkan sesuatu serta mengambil sesuatu. Dalam
kamus Lisan al ‘Arab9, kata tersebut diartikan dengan mengambil madu dari sarangnya
terambil dari kalimat (‫العسل‬ ‫ )شرت‬saya mengeluarkan madu dari wadahnya . Makna ini
mempersamakan pendapat yang terbaik dengan madu karena pendapat yang baik dan
5
Jamaluddin Muhammad Ibn Mukram Ibn al-Manzhur al-Afriqy al-Mishiriy, Lisan Al-Arabiy (Beirut: dar al-Fikr,
1990)
6
Abi al-Husain Ahmad bin Faris, Maqoyis al-Lughah, Juz III (t.t : dar al-Fikr, t.h.)
7
Ismail Badhawiy, Mabda al-Syura fi al-Syariat al-Islamiyah (t.t : dar al-Fikri al-Arabiy, 1981)
8
Ibrahim Anis, et al, Mu’jam al-Wasith, Juz 1 (Teheran: Maktabah al-Ilmiyah, t.h.)
9
Abi al-Husain Ahmad bin Faris, Maqoyis al-Lughah, Juz III (t.t : dar al-Fikr, t.h.)

4
paling tepat sangat bermanfaat bagi manusia, begitu pula dengan madu, dapat menjadi
obat yang sangat bermanfaat bagi kesehatan dan keselamatan bagi seseorang. Karena itu,
musyawarah adalah upaya meraih madu itu di mana pun ia ditemukan, atau dengan kata
lain, pendapat siapapun yang dinilai benar harus diambil tanpa mempertimbangkan siapa
yang menyampaikannya.
Selanjutnya, al-Raghib10 mengartikan musyawarah dalam kamusnya dengan
meminta satu sama lain untuk mengeluarkan pendapat secara berulang-ulang. Jadi, istilah
musyawarah pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan
makna dasarnya. Sedangkan menurut istilah fiqh musyawarah berarti meminta pendapat
orang lain atau umat mengenai suatu urusan. Kata musyawarah juga umum diartikan
dengan perundingan atau tukar pikiran11. Jadi, Perundingan itu juga disebut musyawarah,
karena masing-masing orang yang berunding dimintai atau diharapkan mengeluarkan
atau mengemukakan pendapatnya tentang suatu masalah yang dibicarakan dalam
perundingan itu.
Dari paparan beberapa defenisi di atas penulis mentransfer dalam bahasa
rangkuman bahwa musyawarah adalah suatu perundingan tentang suatu urusan yang baik
untuk mendapatkan buah pikiran dengan maksud mencari yang terbaik guna memperoleh
kemaslahatan bersama. Dengan demikian suatu majelis atau intitusi untuk melakukan
musyawarah bisa disebut Majelis Syura atau dengan bahasa yang populis Majelis
Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga legislatif.
Dalam Al-Quran terdapat tiga ayat yang membicarakan musyawarah, yakni. Q.S
Al-Syura (42):38 dengan menggunakan term syura, Q.S Al-Baqarah (2):233 dengan
menggunakan term tasyawur dan Q.S. Ali Imran (3):159 menggunakan term syawir 12.
Ayat 38 Surah Al-Syura adalah yang pertama kali diturunkan dan termasuk kelompok
ayat/surah Makkiyah sedang dua ayat lain termasuk kelompok ayat/surah Madaniyah atau
setelah Rasulullah hijrah ke Madinah.

10
Lihat al-Raghib al-Ashfaniy, Mufdarat alfazh Al-Quran (Beirut: dar al-alamsyah , 1992)
11
Abd. al-Hamid Ismail al-Anshory, Nizham al-Hukmi fi al Islam (Qothar: dar al-Qathariyin al-Fujaah, 1985)
12
Abi al-Husain Ahmad bin Faris, Maqoyis al-Lughah, Juz III (t.t : dar al-Fikr, t.h.)

5
Ayat ini diturunkan sebagai pujian kepada kelompok Muslim Madinah (kaum
Anshor) yang bersedia membela nabi SAW dan menyepakati hal tersebut melalui
musyawarah yang mereka laksanakan di rumah Abu Ayyub Al-Anshari 13. Namun
demikian ayat ini juga berlaku umum mencangkup setiap kelompok yang melakukan
musyawarah.

Ayat ini membicarakan bagaimana seharusnya hubungan suami-istri saat


mengambil keputusan yang berkaitan dengan masalah rumah tangga dan hal yang
berkaitan dengan anak-anak, seperti menyapih pengurusan anak 14. Al-Quran memberi
petunjuk agar persoalan itu dan juga persoalan-persoalan lainnya dimusyawarahkan
dengan baik antara suami-istri.

13
Ibn. Katsir, Ismail, Tafsir al-Quran al-Azhim (Singapura: Mar’iy, t,h,)
14
Al-Sayyid Muhammad rasyid Ridha, Tafsir Al-Quran al-Hakim al-Manar, IV (Beirut: Dar al-Ma’arif, t.th)

6
Secara lafzhiyah (redaksional)15, ayat ini ditujukan kepada Rasulullah SAW agar
memusyawarahkan persoalan-persoalan tertentu dengan para sahabat atau anggota
masyarakatnya. Tetapi ayat ini juga memaparkan kepada setiap mukmin, khususnya
kepada setiap pemimpin agar bermusyawarah dengan anggotanya. Ayat ini turun setelah
terjadinya peperangan Uhud (ghazwati Uhud) yang kurang menguntungkan bagi kaum
mulimin karena dipecundangi oleh kaum kafir quraisy. Namun nabi tetap sabar dalam
menghadapi musibah tersebut, bersikap lemah lembut dan tidak mencibir kesalahan
sahabat-sahabatnya dan nabi tetap bermusyawarah baik dalam keadaan gawat maupun
dalam keadaan damai (fi al harbwa al silmi) Sebenarnya cukup banyak hal dalam
peristiwa perang uhud yang dapat mengundang emosi manusia marah, namun demikian
cukup banyak pula bukti yang menunjukkan kelemah lembutan Nabi SAW,
yangmembuka jalan kenyamanan untuk bermusyawarah16.

Dalam QS. Ali „Imran: 159 dijelaskan tentang adanya tiga sikap yang secara
berurutan diperintahkan kepada Nabi Saw untuk dilaksanakan sebelum mengadakan
musyawarah. Ketiga sikap tersebut harus dimiliki oleh orang yang akan ikut dalam
musyawarah agar pelaksanaannya dapat berjalan sesuai dengan harapan. Sikap dasar
tersebut dapat dlihat dalam QS. Ali „Imran: 159, yaitu17

a. Sikap Lemah Lembut dan Tidak Ekstrim


15
Ahmad Mustafa al-Maraghy, Tafsir al-Maraghy IV (Kairo: Mustafa al-Babyal-Halaby wa Auladuh, 1962)
16
Al-Tirmidziy, Jami al-shalih – Sunan Al-Tirmidziy, IV (t.t: Mustafa Al-Babyal Al-Halabi, 1962)
17
Abdul Azis et al, (E.d) Ensiklopedia Hukum Islam (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru van Hoeve, 1986)

7
Dalam musyawarah, hendaknya memiliki sikap lemah lembut dan sedapat mungkin
menghindari kata-kata yang kasar dan dapat menyinggung peserta musyawarah yang
lain, tidak ekstrim dan tidak keras kepala. Jika sikap ini tidak dijaga dan tidak
dipraktekkan dalam musyawarah, maka peserta musyawarah yang lain dapat
meninggalkan musyawarah yang sedang berlangsung.

b. Sikap lapang dada, terbuka, dan pemaaf


Sikap ini harus dimiliki oleh mereka yang ikut bermusyawarah karena dalam
bermusyawarah sering kali terjadi perbedaan pendapat, bahkan perselisihan dan
pertengkaran di antara mereka. Dengan adanya sikap ini, perselisihan dan
pertengkaran dapat diredam. Sikap lapang dada, toleran dan memaafkan satu sama
lain akan melahirkan pikiran yang jernih, sehingga dapat mengambil salah satu
pendapat yang paling baik di antara mereka

c. Rendah hati dan memohon ampun


Sikap ini dapat dipahami dari klausa ayat ْ ‫ ُمَهْلِر ْفَغ ْتسَاو‬dalam QS. Ali-Imran: 159.
Klausa ayat ini memerintahkan untuk memohonkan ampun bagi mereka kepada
Allah Swt, atas hal-hal yang berkaitan dengan hak-Nya, agar curahan kasih sayang
dan pemeliharaan-Nya dapat terwujud secara maksimal

d. Sikap kebulatan tekad dan tawakkal


Sikap ini dilakukan setelah musyawarah dilaksanakan dan telah menghasilkan suatu
keputusan. Sikap ini tergambar dalam klausa ayat ‫ْتَم َز عَاِذ َإَِّف الًَّلَلْع َّلَك َىَتف‬. Menurut
Muhammad Rasyid Ridha ayat ini menjelaskan bahwa apabila musyawarah telah
dilaksanakan dan telah menghasilkan sebuah keputusan yang telah dipilih oleh
forum, maka seluruh peserta musyawarah harus berketetapan hati untuk
menjalankannya, kemudian bertawakkal kepada Allah Swt. (Muhammad Rasyid
Ridha: 205). Keputusan tersebut harus dilaksanakan dengan sepenuh hati, meskipun
keputusan tersebut berbeda dengan pendapat sebagian dari peserta musyawarah

8
B. Etika Musyawarah
Musyawarah menuntut manusia untuk bisa merubah taraf kehidupan ketingkat
yang lebih baik. Oleh karenanya untuk mencapai maksud tersebut, ada beberapa hal yang
penting diperhatikan, yang secara beruntun diperintahkan kepada Nabi SAW
sebagaimana terkandung dalam ayat-ayat tentang musyawarah, M.Quraish Shihab 18
melansir ada tiga sifat dan sikap yang harus dilakukan sebelum musyawarah, yaitu:
1. Sikap lemah lembut.
Seseorang yang melakukan musyawarah apalagi sebagai pemimpin harus
menghindari tutur kata-kata yang kasar serta keras kepala, karena jika sikap
itu dilakukan maka mitra musyawarah akan meninggalkan majelis.
2. Memberi manfaat dan membuka lembaran baru.
Sikap ini dapat difahami dari potongan ayat (maafkan mereka). Maaf secara
harfiah berarti menghapus, memaafkan berarti menghapus bekas luka dihati
akibat perlakuan pihak lain yang dinilai tidak wajar. Ini perlu karena
kejernihan hati dan kecerahan pikiran sangat diperlukan ketika
bermusyawarah. Di sisi lain peserta musyawarah mempersiapkan mental yang
selalu siap memberi maaf. Karena mungkin saja ketika bermusyawarah terjadi
perbedaan pendapat, atau bahkan keluar perkataan yang menyinggung
perasaan pihak lain.
3. Hubungan baik dengan Tuhan.
Seseorang yang melakukan musyawarah hendaklah menyadari bahwa
kemampuan akal dan ketajaman analisis belum cukup untuk mendapatkan
hasil yang optimal, sebab masih ada sesuatu yang dijangkau oleh kemampuan
akal. Jika demikian untuk mencapai hasil yang terbaik ketika musyawarah,
hubungan peserta musyawarah dengan Tuhan harus harmonis, antara lain
permohonan ampunan ilahi, meminta petunjuk dan bertawakkal kepada-Nya.
Petunjuk ini dikandung oleh frase Q.S. Al-Imran (3): 159

C. Manfaaat
Praktik musyawarah sudah sangat lama eksis mulai dari lingkungan keluarga
sampai meluas ke wilayah Negara dan dunia international, dengan bentuk dan cara yang
18
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah : Pesan Kesan dan Keserasian Al-Quran, vol 2 (Jakarta: Lentera hati, 2004)

9
berbeda, sesuai dengan perkembangan zaman 19. Itulah salah-satu hikmah tidak adanya
penuturan secara rinci tentang musyawarah, agar bisa berlaku secara fleksibel untuk
berbagai tempat dan masa. Jika dikaji lebih mendalam akan ada banyak manfaat yang
dapat dipetik dari pelaksanaan musyawarah, antara lain20:
 Musyawarah menjadi sarana untuk mengungkap kemampuan dan kesiapan,
sehingga umat dapat mengambil manfaat dari kemampuan itu.
 Musyawarah melatih ikut adil dalam pemerintahan memperkaya pengalaman
mengasah penalaran akal dan kecerdasan.
 Musyawarah menguatkan tekad, mendatangkan keberhasilan, menjelaskan
kebenaran, memperluas alasan, menghindarkan diri dari penyesalan, mengambil
kesimpulan yang benar sehingga timbul kepastian bertindak yang sesuai dengan
prinsip-prinsip yang telah ditetapkan.
 Menjadi agar tidak terjadi kekeliruan dan meminimalisir atau memperkecil
kemungkinan menemui kegagalan, karena kegagalan setelah bermusyawarah
dapat dimaklumi dan menghindarkan celaan.
 Musyawarah dapat mengungkap tabiat dan kualitas seseorang yang terlibat
dimintai pendapat dan pertimbangan mengenai suatu persoalan.
 Musyawarah dapat melapangkan dada untuk menerima kesalahan dan memberi
maaf atau menciptakan stabilitas emosi
D. Hadits dan Terjemahan

‫َّرْح َمِن ْبِن َزْي ِد ْبِن‬hh‫َح َّد َثَنا َع ْبُد ِهَّللا ْبُن ُيوُسَف َأْخ َبَر َنا َم اِلٌك َع ْن اْبِن ِشَهاٍب َع ْن َع ْبِد اْلَحِم يِد ْبِن َع ْبِد ال‬
‫اْلَخ َّطاِب َع ْن َع ْبِد ِهَّللا ْبِن َع ْبِد ِهَّللا ْبِن الَح اِرِث ْبِن َنْو َفٍل َع ْن َع ْبِد ِهَّللا ْبِن َعَّباٍس َأَّن ُع َم َر ْبَن اْلَخ َّط اِب َرِض َي‬
‫ُهَّللا َع ْنُه َخ َرَج ِإَلى الَّش ْأِم َح َّتى ِإَذ ا َك اَن ِبَس ْر َغ َلِقَيُه ُأَم َر اُء اَأْلْج َناِد َأُبو ُع َبْي َد َة ْبُن اْلَج َّراِح َو َأْص َح اُبُه َف َأْخ َبُروُه‬
‫َأَّن اْلَو َباَء َقْد َو َقَع ِبَأْر ِض الَّش ْأِم َقاَل اْبُن َعَّباٍس َفَق اَل ُع َم ُر اْدُع ِلي اْلُمَه اِج ِر يَن اَأْلَّو ِليَن َف َدَع اُهْم َفاْسَتَش اَر ُهْم‬
‫َو َأْخ َبَر ُهْم َأَّن اْلَو َباَء َقْد َو َقَع ِبالَّش ْأِم َفاْخ َتَلُفوا َفَقاَل َبْعُضُهْم َق ْد َخ َر ْج َت َأِلْم ٍر َو اَل َن َر ى َأْن َتْر ِج َع َع ْن ُه َو َق اَل‬
‫َبْعُضُهْم َم َع َك َبِقَّيُة الَّناِس َو َأْص َح اُب َر ُسوِل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْي ِه َو َس َّلَم َو اَل َن َر ى َأْن ُتْق ِد َم ُهْم َع َلى َه َذ ا اْلَو َب اِء‬
‫َفَقاَل اْر َتِفُع وا َع ِّني ُثَّم َق اَل اْدُع وا ِلي اَأْلْنَص اَر َف َدَعْو ُتُهْم َفاْسَتَش اَر ُهْم َفَس َلُك وا َس ِبيَل اْلُمَه اِج ِر يَن َو اْخ َتَلُف وا‬
‫َك اْخ ِتاَل ِفِهْم َفَقاَل اْر َتِفُعوا َع ِّني ُثَّم َقاَل اْدُع ِلي َم ْن َك اَن َها ُهَنا ِم ْن َم ْش َيَخ ِة ُقَر ْيٍش ِم ْن ُمَه اِج َرِة اْلَفْتِح َف َدَعْو ُتُهْم‬
19
Idris Thaha, Demokrasi Religius: Pemikiran Nurcholis Madjid dan M.Amien Rais (Bandung: Mizan Media Utama,
2005)
20
Muhammad Fuad Abd. Al-Baqiy, al-Mu’jam al Mufahras Li al Fazh al-Quran al-Karim (Beirut: dar al-fikr, 1987)

10
‫َفَلْم َيْخ َتِلْف ِم ْنُهْم َع َلْيِه َر ُج اَل ِن َفَقاُلوا َن َر ى َأْن َتْر ِج َع ِبالَّن اِس َو اَل ُتْق ِد َم ُهْم َع َلى َه َذ ا اْلَو َب اِء َفَن اَدى ُع َم ُر ِفي‬
‫الَّناِس ِإِّني ُمَص ِّبٌح َع َلى َظْهٍر َفَأْص ِبُحوا َع َلْيِه َقاَل َأُبو ُع َبْيَد َة ْبُن اْلَج َّراِح َأِف َر اًرا ِم ْن َق َد ِر ِهَّللا َفَق اَل ُع َم ُر َل ْو‬
‫َغْيُرَك َقاَلَها َيا َأَبا ُع َبْيَد َة َنَعْم َنِفُّر ِم ْن َقَد ِر ِهَّللا ِإَلى َقَد ِر ِهَّللا َأَر َأْيَت َلْو َك اَن َل َك ِإِب ٌل َهَبَطْت َو اِد ًي ا َل ُه ُع ْد َو َتاِن‬
‫ُأْل‬
‫ِإْح َد اُهَم ا َخ ِص َبٌة َو ا ْخ َر ى َج ْد َبٌة َأَلْيَس ِإْن َر َع ْيَت اْلَخْص َبَة َر َع ْيَتَها ِبَقَد ِر ِهَّللا َو ِإْن َر َع ْيَت اْلَج ْد َبَة َر َع ْيَتَها ِبَق َد ِر‬
‫ِهَّللا َقاَل َفَج اَء َع ْبُد الَّرْح َمِن ْبُن َعْو ٍف َو َك اَن ُم َتَغ ِّيًب ا ِفي َبْع ِض َح اَجِت ِه َفَق اَل ِإَّن ِع ْن ِد ي ِفي َه َذ ا ِع ْلًم ا َس ِم ْع ُت‬
‫َر ُسوَل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َيُقوُل ِإَذ ا َسِم ْع ُتْم ِبِه ِبَأْر ٍض َفاَل َتْقَد ُم وا َع َلْيِه َو ِإَذ ا َو َق َع ِب َأْر ٍض َو َأْنُتْم ِبَه ا َفاَل‬
‫َتْخ ُرُجوا ِفَر اًرا ِم ْنُه َقاَل َفَحِم َد َهَّللا ُع َم ُر ُثَّم اْنَص َر َف‬

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf telah mengabarkan kepada
kami Malik dari Ibnu Syihab dari Abdul Hamid bin Abdurrahman bin Zaid bin Al
Khatthab dari Abdullah bin Abdullah bin Al Harits bin Naufal dari Abdullah bin
Abbas bahwa Umar bin Khatthab pernah bepergian menuju Syam, ketika ia sampai di
daerah Sargha, dia bertemu dengan panglima pasukan yaitu Abu 'Ubaidah bersama
sahabat-sahabatnya, mereka mengabarkan bahwa negeri Syam sedang terserang wabah.
Ibnu Abbas berkata; "Lalu Umar bin Khattab berkata; 'Panggilkan untukku orang-orang
muhajirin yang pertama kali (hijrah), kemudian mereka dipanggil, lalu dia
bermusyawarah dengan mereka dan memberitahukan bahwa negeri Syam sedang
terserang wabah, merekapun berselisih pendapat. Sebagian dari mereka berkata; 'Engkau
telah keluar untuk suatu keperluan, kami berpendapat bahwa engkau tidak perlu menarik
diri.' Sebagian lain berkata; 'Engkau bersama sebagian manusia dan beberapa sahabat
Rasulullah Shalla Allahu 'alaihi wa sallam. Kami berpendapat agar engkau tidak
menghadapkan mereka dengan wabah ini, ' Umar berkata; 'Keluarlah kalian, ' dia berkata;
'Panggilkan untukku orang-orang Anshar'. Lalu mereka pun dipanggil, setelah itu dia
bermusyawarah dengan mereka, sedangkan mereka sama seperti halnya orang-orang
Muhajirin dan berbeda pendapat seperti halnya mereka berbeda pendapat. Umar berkata;
'keluarlah kalian, ' dia berkata; 'Panggilkan untukku siapa saja di sini yang dulu menjadi
tokoh Quraisy dan telah berhijrah ketika Fathul Makkah.' Mereka pun dipanggil dan tidak
ada yang berselisih dari mereka kecuali dua orang. Mereka berkata; 'Kami berpendapat
agar engkau kembali membawa orang-orang dan tidak menghadapkan mereka kepada

11
wabah ini.' Umar menyeru kepada manusia; 'Sesungguhnya aku akan bangun pagi di atas
pelana (maksudnya hendak berangkat pulang di pagi hari), bagunlah kalian pagi hari, '
Abu Ubaidah bin Jarrah bertanya; 'Apakah engkau akan lari dari takdir Allah? ' maka
Umar menjawab; 'Kalau saja yang berkata bukan kamu, wahai Abu 'Ubaidah! Ya, kami
lari dari takdir Allah menuju takdir Allah yang lain. Bagaimana pendapatmu, jika kamu
memiliki unta kemudian tiba di suatu lembah yang mempunyai dua daerah, yang satu
subur dan yang lainnya kering, tahukah kamu jika kamu membawanya ke tempat yang
subur, niscaya kamu telah membawanya dengan takdir Allah. Apabila kamu
membawanya ke tempat yang kering, maka kamu membawanya dengan takdir Allah
juga.' Ibnu Abbas berkata; "Kemudian datanglah Abdurrahman bin 'Auf(7), dia tidak ikut
hadir (dalam musyawarah) karena ada keperluan. Dia berkata; "Saya memiliki kabar
tentang ini dari Rasulullah Shalla Allahu 'alaihi wa sallam beliau bersabda: "Jika kalian
mendengar suatu negeri terjangkit wabah, maka janganlah kalian menuju ke sana, namun
jika dia menjangkiti suatu negeri dan kalian berada di dalamnya, maka janganlah kalian
keluar dan lari darinya." Ibnu 'Abbas berkata; "Lalu Umar memuji Allah kemudian
pergi."
Dengan melihat beberapa pernyataan Al-Quran dan Hadis tentang musyawarah
yang bisa dijadikan landasan hukum, menunjukkan musyawarah memiliki peranan yang
penting dan strategis di dalam kehidupan social kemasyarakatan dan kenegaraan. Maka
wajarlah jika Rasulullah SAW begitu sering bermusyawarah dan kerja bareng bersama
sahabat dalam kesehariannya
Kata fi’al-amri masih pula ditambah dengan lafadz wa amruhum dalam surah Al-
Syura (42): 38 adalah urusan umat khususnya kaum muslimin dalam kategori yang
ma’ruf yang dibenarkan oleh pemerintahan yang baku dan berlaku dalam adat kebiasaan
serta sesuai dengan situasi dan kondisi suatu daerah atau negara. Persoalan agama yang
sudah jelas dan ditetapkan oleh wahyu tidak lagi menjadi lapangan musyawarah, sebab
andai kata persoalan agama seperti aqidah, ibadah (ta’abbudiy) ditetapkan oleh hasil
musyawarah maka agama ini aturan manusia bukan aturan Tuhan.
Islam memberi posisi dan porsi istimewa musyawarah, sejak lingkungan keluarga
sampai kehidupan dalam sekala besar kemasyarakatan dan kenegaraan, namun dimaklumi

12
sangat terbatas ayatnya dalam al- Quran, itupun dalam bentuk yang sangat umum tanpa
menjelaskan secara rinci tentang cara-cara bermusyawarah.
E. Sanad dan Biografi Perawi Hadits

Berikut informasi tentang sanad dan biografi perawi hadits :


1. Abdullah bin Yusuf, At Tunisiy Al Kila'iy, Abu Muhammad, Tabi'ul Atba'
kalangan tua, wafat tahun 218 H, hidup di Maru, wafat di Maru.
2. Malik bin Anas bin Malik bin Abi 'Amir, Al Ashbahiy Al Humairiy, Abu
'Abdullah , Tabi'ut Tabi'in kalangan tua, wafat tahun 179 H, hidup di Madinah,
wafat di Madinah.
3. Muhammad bin Muslim bin 'Ubaidillah bin 'Abdullah bin Syihab, Al Qurasyiy Az
Zuhriy, Abu Bakar, Tabi'ut Tabi'in kalangan pertengahan, wafat tahun 124 H,
hidup di Madinah.
4. Abdul Hamid bin 'Abdur Rahman bin Zaid bin Al Khaththab, Al 'Adawiy Al
Madaniy, Abu 'Umar, Tabi'in kalangan biasa, hidup di Kufah, wafat di Harran.
5. Abdullah bin 'Abdullah bin Al Harits bin Naufal bin Al Harits bin 'Abdul Muthall,
Al Hasyimiy, Abu Yahya, Tabi'in kalangan pertengahan, wafat tahun 99 H, hidup
di Madinah.
6. Abdullah bin 'Abbas bin 'Abdul Muthallib bin Hasyim , Al Qurasyiy Al
Hasyimiy, Abu Al 'Abbas, Shahabat, wafat tahun 68 H, hidup di Marur Rawdz,
wafat di Tha'if.
7. Abdur Rahman bin 'Auf bin 'Abdi 'Auf bin 'Abdi bin Al Harits bin Zahrah, Az
Zuhriy Al Qurasyiy , Abu Muhammad, Shahabat, wafat tahun 32 H, hidup di
Madina

13
Sanad Shahih Bukhari 5288

BIOGRAFI PERAWI I
Nama : Abdur Rahman bin 'Auf bin 'Abdi 'Auf Laqob : -
bin 'Abdi bin Al Harits bin Zahrah
Kunyah : Abu Muhammad Negeri Hidup : Madinah
Nasab : Az Zuhriy Al Qurasyiy Negeri Wafat : -
Kalangan : Sahabat Tahun Wafat : 32 H
Komentar Ulama Tentang Perawi:
Ibnu Hajar al 'Asqalani : Shahabat Adz Dzahabi : Shahabat
Jumlah Hadits yang diriwayatkan perawi:
Bukhari : 17 Ibnu Majah : 5
Muslim : 4 Darimi : 1
Tirmidzi : 9 Ahmad : 43
Abu Daud : 6 Malik : 7
Nasa'i : 7

BIOGRAFI PERAWI 2
Nama : Abdullah bin 'Abbas bin 'Abdul Laqob : -
Muthalib bin Hasyim
Kunyah : Abu Al 'Abbas Negeri Hidup : Marur Rawdz
Nasab : Al Quraisyiy Al Hasymimiy Negeri Wafat : Tha'if
Kalangan : Sahabat Tahun Wafat : 68 H
Komentar Ulama Tentang Perawi:
Ibnu Hajar al 'Asqalani : Shahabat Adz Dzahabi : Shahabat
Jumlah Hadits yang diriwayatkan perawi:
Bukhari : 706 Ibnu Majah : 344
Muslim : 357 Darimi : 243
Tirmidzi : 328 Ahmad : 1897
Abu Daud : 425 Malik : 50
Nasa'i : 498

14
BIOGRAFI PERAWI 3
Nama : Abdullah bin 'Abdullah bin 'Al Harits bin Naufal Laqob : -
bin Al Harits bin 'Abdul Muthall
Kunyah : Abu Yahya Negeri Hidup : Madinah
Nasab : Al Hasymimiy Negeri Wafat : -
Kalangan : Tab'in kalangan pertengahan Tahun Wafat : 99 H
Komentar Ulama Tentang Perawi:
An Nasa'I : Tsiqah Al 'Ajli : Tsiqah
Ibnul Madini : Tsiqah Ibnu Hibban : Tsiqah
Ibnu Sa'd : Tsiqah Ibnu Hajar Al Atsqalani : Tsiqah
Jumlah Hadits yang diriwayatkan perawi:
Bukhari : 1 Ibnu Majah : 1
Muslim : 3 Darimi : 0
Tirmidzi : 0 Ahmad : 5
Abu Daud : 1 Malik : 1
Nasa'i : 1
BIOGRAFI PERAWI 4
Nama : Abdul Hamid bin 'Abdur Rahman Laqob : -
bin Zaid bin Al Khaththab
Kunyah : Abu 'Umar Negeri Hidup : Kufah
Nasab : Al 'Adawiy Al Madaniy Negeri Wafat : Harran
Kalangan : Tab'in kalangan biasa Tahun Wafat : -H
Komentar Ulama Tentang Perawi:
Abu Bakar Al Khatib : Tsiqah
Ibnu Hibban : disebutkan dalam 'ats tsiqaat
Ibnu Hajar Al 'Asqalani : Tsiqah
Jumlah Hadits yang diriwayatkan perawi:
Bukhari : 4 Ibnu Majah : 1
Muslim : 2 Darimi : 3
Tirmidzi : 1 Ahmad : 9
Abu Daud : 5 Malik : 2
Nasa'i : 2

15
BIOGRAFI PERAWI 5
Nama : Muhammad bin Muslim bin 'Ubaidillah Laqob : -
bin 'Abdullah bin Syihab
Kunyah : Abu Bakar Negeri Hidup : Madinah
Nasab : Al Qurasyiy Az Zuhriy Negeri Wafat : -
Kalangan : Tabi'ut Tab'in kalangan pertengahan Tahun Wafat : 124 H
Komentar Ulama Tentang Perawi:
Adz Dzahabi : Seorang tokoh

Ibnu Hajar Al 'Asqalani : Faqih hafidz mutqin


Jumlah Hadits yang diriwayatkan perawi:
Bukhari : 1181 Ibnu Majah : 296
Muslim : 606 Darimi : 274
Tirmidzi : 280 Ahmad : 1721
Abu Daud : 404 Malik : 269
Nasa'i : 699

BIOGRAFI PERAWI 6
Nama : Malik bin Anas bin Malik bin 'Abi Amir Laqob : -

Kunyah : Abu 'Abdullah Negeri Hidup : Madinah


Nasab : Al Ashbahiy Al Humairiy Negeri Wafat : Madinah
Kalangan : Tabi'ut Tabi'in kalangan tua Tahun Wafat : 179 H
Komentar Ulama Tentang Perawi:
Yahya bin Ma'in : Tsiqah Muhammad bin Saad : Tsiqah
Jumlah Hadits yang diriwayatkan perawi:
Bukhari : 355 Ibnu Majah : 0
Muslim : 0 Darimi : 0
Tirmidzi : 1 Ahmad : 0
Abu Daud : 3 Malik : 0
Nasa'i : 13

16
BIOGRAFI PERAWI 7
Nama : Abdullah bin Yusuf Laqob : -

Kunyah : Abu Muhammad Negeri Hidup : Maru


Nasab : At Tunisiy Al Kila'iy Negeri Wafat : Maru
Kalangan : Tabi'ul Atba' kalangan tua Tahun Wafat : 218 H
Komentar Ulama Tentang Perawi:
Yahya bin Ma'in : Tsiqah Ibnu Hajar : Tsiqah
Ibnu Hibban : disebutkan dalam Adz Dzahabi : Hafidz
'ats tsiqaat
Jumlah Hadits yang diriwayatkan perawi:
Bukhari : 355 Ibnu Majah : 0
Muslim : 0 Darimi : 0
Tirmidzi : 1 Ahmad : 0
Abu Daud : 3 Malik : 0
Nasa'i : 13

17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Musyawarah merupakan kegiatan perundingan dengan cara bertukar atau
mengemukakakn pikiran dan pendapat dari berbagai pihak untuk menyelesaikan suatu
masalah untuk kemudian dipertimbangkan dan diputuskan dan mengambil hasil terbaik
demi tercapainya kemaslahatan bersama
2. Musyawarah merupakan amalan yang mulia dengan mencerminkan etika dan sikap dari
pemusyawarah dengan diiringi tawakkal kepada Allah Yang Maha Mengetahui Maha
Bijaksana
3. Musyawarah memberikan banyak manfaat dan yang terpenting adalah menghormati dan
menaati keputusan yang diambil di atas musyawarah guna tercapainya kemaslahatan
bersama dimulai dari lingkungan keluarga, masyarakat hingga kehidupan berbangsa dan
bernegara

B. Rekomendasi
Selaku penulis berharap makalah ini bisa bermanfaat bagi para pembaca. Jika
terdapat kekurangan dalam pembuatan makalah kami, penulis siap menerima setiap
kritik dan saran yang membangun sebagai bahan pembelajaran dalam penyusunan
makalah kedepannya.

18
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Al-Baqiy, Muhammad Fuad, Al-Mu’jam Li al-Fazh Al-Quran al-Karim, Beirut : Dar al—
Fikr, 1987
Al-Afriqly al-Mishryl, Jamaluddin Muhammad ibn Mukram ibn al-Manzhhur, Lisan al-Arabiy,
Beirut: Dar al-Fikr, 1990
Anis, Ibrahim, et al. Mu’jam al-Wasith, Juz 1, Teheran : Maktabah al-Ilmiyah, 1992
Al-Anshoriy, Abd al-Hamid Ismail, Nizham al-Hukmi Fi al-Islam, Qothar: Dar al-Qathariyin al-
Fujaah, 1985
Al-Ashfahany , Al-Raghib, Mufadarat Alfazh al-Quran, Beirut: dar al-Samiyah, 1992
Al-Dzahabiy, Muhammad Husain, Al-Tafsir wa al-Mufassirun , Mesir: dar al-Kutub, 1976
Al-Maraghiy, Ahmad Mustafa, Tafsir Al-Maraghiy, IV, Kairo : Mustafa al-Baby al-Halaby wa
Auladuh, 1962
Al_Tirmidzi, Jami’ al-Shalih al-Tirmidzi, IV, t.t : Mustafa al-baby, al-Halabiy, 1962
Azis, Abdul, et al, Ensiklopedi Hukum islam, Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996
Badawiy, ismail, Mabda al-Syura fi al-Syariat al-Islamiyah, t.t: dar al-Fikr al-Arabiy, 1981
Ibn Katsir, Ismail, Tafsir Al-Quran Al-Adzim, Singapura: Sulayman Mar’iy, t.th.
Nasution, Harun, Islam Rasional, Bandung : Mizan, 1996
Madjid, Nurcholis, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1992
Ridha, al-Sayyid Muhammad Rasyid, Tafsir al-Qur’an al-Hakim al-Manar, IV , Beirut: dar al-
Maarif, t.th.
Salim, Abd. Muin, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Quran, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1994
Shihab, M.Quraish, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2001
Shihab, M.Quraish, LenteraHati , Bandung: Mizan, 2004
Thaha, Idris, Demokrasi Religius: Pemikiran Praktik Nurcholis Madjid dan M. Amien Rais,
Bandung: Mizan Media Utama, 2005

19

Anda mungkin juga menyukai