Anda di halaman 1dari 20

Al-Wujuh Wa Al-Nazhair

MAKALAH
Diajukan Guna Memenuhi Tugas Kelompok
Mata Kuliah : Ilmu Gharib al-Qur’an

Dosen Pembimbing
Syukran Abu Bakar, Lc., M.A.

Oleh:
1. Dolly Isma Indra
Nim: 180303088
2. Adun Meutuah
Nim: 180303058
3. Zia Misbahuddin
Nim: 180303094
4. Usra Khairan
180303038

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR–RANIRY BANDA ACEH


FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
PRODI ILMU AL–QURAN & TAFSIR
APRIL 2020
DAFTAR ISI

PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
PEMBAHASAN ............................................................................................... 2
A. Sejarah Perkembangan al-Wujuh wa al-Nazhair.................................... 2
B. Pengertian al-Wujuh wa al-Nazhair ....................................................... 4
a. Qadha.......................................................................................... 4
b. Doa ............................................................................................. 5
c. Dzikir.......................................................................................... 8
d. Al-Ihshan .................................................................................... 11
PENUTUP ......................................................................................................... 17
Kesimpulan......................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 18
PENDAHULUAN
Adanya al-wujuh wa al-nazhair dalam al-Qur’an menurut para ulama merupakan
bentuk kemu’jizatan al-Qur’an, bukti bahwa al-Qur’an merupakan Kalam Tuhan bukan
buatan manusia. Karena tidak mungkin dalam kalam manusia satu kosa kata memiliki
beberapa makna. Hal ini menjadikan pembahasan al-wujuh wa al-nazhair materi yang
mutlak harus diketahui oleh cendikiwan yang hendak memahami isi kandungan al-Qur’an.
Sebuah riwayat dari Muqatil bin Sulayman yang di marfu’ kan kepada nabi Muhammad
menerangkan bahwa:
‫ﻻ ﻳﻜﻮن اﻟﺮﺟﻞ ﻓﻘﻴﻬﺎ ﻛﻞ اﻟﻔﻘﻪ ﺣﱴ ﻳﺮى ﰲ اﻟﻘﺮأن وﺟﻮﻫﺎ ﻛﺜﲑة‬

“ Seseorang tidak akan benar-benar paham akan al-Qur’an sampai ia mengetahui


makna yang beragam di dalam al-Qur’an”
Riwayat ini menjadi argumen bahwa sesorang yang hendak memahami al-Qur’an
harus mengusai materi al-wujuh wa nazhair. Sehingga pemahaman yang didapatkan
menjadi luas tidak sempit dan kaku. Pluralitas makna yang dikandung dalam al-Qur’an
sudah diisyaratkan oleh sahabat ‘Ali bin Abi Thalib ketika mengutus Ibn Abbas untuk
beradu argumen dengan golongan khawarij.
Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa sahabat ‘Ali melarang Ibn Abbas
menggunakan dalil al-Qur’an ketika beradu argumen dengan golongan khawarij. Instruksi
ini sempat dibantah oleh Ibn Abbas karena menurutnya ia lebih paham mengenai al-Qur’an
dibanding dengan golongan khawarij. Namun ‘Ali menjawab bahwa al-Qur’an itu zu
wujuh, sehingga apabila kamu berpendapat mereka juga akan punya pendapat lain.
Menurut Sahabat Ali, hadis Nabil dalil yang tepat untuk beradu argumen dengan meraka,
karena hadis tidak wujuh sebagaimana al-Qur’an.

1
PEMBAHASAN

A. Sejarah Perkembangan
Didalam beberapa literatur yang membahas khusus mengenai al-wujuh wa al-
nazhair disebutkan bahwa kitab yang paling tua membahas mengenai al-wujuh wa nazhair
adalah kitab karya Muqatil bin Sulayman al-Balkhy (w. 150 H). Namun bukan berarti
sebelum masa Muqatil bin Sulayman al-Balkhy belum ada pembahasan mengenai al-
wujuh. Sangat mungkin sebelum masa Muqatil bin Sulayman al-Balkhy ini sudah ada
ulama yang membahas mengenai al-wujuh wa nazhair akan namun kitab-kitabnya tidak
terkodifikasikan secara baik. Asumsi ini berdasarkan keterangan Hatim Salih pen-tahqiq
kitab al-wujuh wa nazhair fi al-Qur’an al-Karim, bahwa kitab karya Muqatil bin Sulayman
ini adalah kitab tertua yang sampai pada zaman kita, dengan demikian sangat
dimungkinkan terdapat kitab-kitab terdahulu yang tidak sampai pada zaman kita.
Selain itu, istilah al-wujuh secara sharih sudah dikenal pada masa khalifah Ali bin
Abi Thalib. Sebagaiaman riwayat berikut :
‫أﺧﺮج اﺑﻮ ﺳﻌﺪ ﻣﻦ ﻃﺮﻳﻖ ﻋﻜﺮﻣﺔ ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎس أن ﻋﻠﻲ اﺑﻦ أﰉ ﻃﺎﻟﺐ أرﺳﻠﻪ اﱃ اﳋﻮارج ﻓﻘﺎل اذﻫﺐ اﻟﻴﻬﻢ ﻓﺨﺎﺻﻤﻬﻢ وﻻ‬

‫ﲢﺎﺟﻬﻢ ﺑﺎﻟﻘﺮأن ﻓﺎﻧﻪ ذو وﺟﻮﻩ وﻟﻜﻦ ﺧﺎﺻﻤﻬﻢ ﺑﺎﻟﺴﻨﺔ‬

‫وأﺟﺮج ﻣﻦ وﺟﻪ اﺧﺮ أن اﺑﻦ ﻋﺒﺎس ﻗﺎل ﻟﻪ ﻳﺎ اﻣﲑ اﳌﺆﻣﻨﲔ ﻓﺄﻧﺎ أﻋﻠﻢ ﺑﻜﺘﺎب اﷲ ﻣﻨﻬﻢ ﰱ ﺑﻴﻮﺗﻨﺎ ﻧﺰل ﻗﺎل ﺻﺪﻗﺖ وﻟﻜﻦ اﻟﻘﺮأن‬

‫ﲪﺎل ذو وﺟﻮﻩ ﺗﻘﻮل‬

.‫ﺑﺎﻳﺪﻫﻢ ﺣﺨﺔ‬

Abu Sa’id mempublikasikan (riwayat) dari jalur Ikrimah dari Ibn Abas bahwa Ali
mengutus Ibn Abbas untuk bertemu dengan golongan khawarij. Maka Ali berkata (kepada
Ibn Abas), pergilah kepada mereka maka debatlah mereka dan janganlah engkau
menggunakan dalil al-Qur’an karena sesungguhnya al-Qur’an itu zu wujuh akan tetapi
debatlah dengan al-sunnah.
Riwayat dari jalur lair menyebutkan sesungguhnya Ibn Abbas berkata kepada Ali,
wahai Amir al-mu’minin aku lebih tahu tentang al-Qur’an dibandingkan dengan mereka di
rumah kami al-Qur’an diturunkan. Ali menjawab, kamu benar, akan tetapi al-Qur’an
mengandung banyak kemungkinan makna (zu wujuh), engkau berpendapat, mereka juga
memiliki pendapat (yang berbeda), tetapi debatlah mereka dengan al-sunah, karena

2
mereka tidak akan menemukan dalam al-sunnah tempat berlari (hujjah). Maka Ibn Abbas
keluar dan mendebat mereka dengan dalil sunah, maka mereka tidak memilki hujjah (dari
hadis).
Dengan demikian asumsi bahwa sebelum Muqatil bin Sulayman sudah ada ulama
yang membahas mengenai pembahasan ini semakin kuat. Setelah masa Muqatil bin
Sulayman masih ada ulama yang membahas mengenai al-wujuh wa nazhair. Diantara
ulama-ulama yang menulis kitab mengenai al-wujuh wa nazhair berdasarkan kronologi
waktunya adalah sebagai berikut:
1. Al-asbah wa al-Nazhair fi al-Qur’an al-Karim karya yang dinisbahkan kepada
Muqatil bin Sulayman (w.150 H)
2. Al-Tasrif karya Yahya bin Salam (w. 200 H)
3. Tahsil Nazhair al-Qur’an karya Hakim al-Tirmidhi (w. 320 H)
4. Al-Ashbah wa al-Nazhair karya ini dinisbahkan kepada al-Tha’alaby (w. 429 H)
5. Islah al-Wujuh wa al-Nazhair fi al-Qur’an al-Karim kitab ini dinisbahkan kepada
Husayn bin Muhammad al-Damaghany, akan tetapi ada yang berpendapat
mungkin nisbah yang benar adalah kepada Abi Abdillah Muhammad bin Ali bin
Muhammad al-Damaghany (w. 487 H)
6. Nazhah al-A’yun al-Nazhair fi ‘Ilm al-Wujuh wa al-Nazhair karya ibn al-Jawzy
(w. 597 H)
7. Kashf al-sara’ir fi Ma’na al-Wujuh wa al-Ashbah wa al-Nazhair karya Ibn al-
‘Ummad al- Misry (w. 887 H).
Pada masa kontemporer ini ulama yang memberikan perhatian besar mengenai
penggunaan kosa kata dalam al-Qur’an diantaranya adalah ‘Aishah Abdurrahman bint
Shat}i’ dalam buku al-tafsir al-bayan. Di sana dikemukakan, bahwa hal pertama yang
hendaknya dilakukan oleh cendikiawan yang meneliti tentang kosa kata al-Qur’an adalah
menghimpun semua kata yang digunakan al-Qur’an yang menyangkut objek bahasannya
sambil memperhatikan arti-arti yang dikandungnya. Kemudian memperhatikan
penggunaan al-Qur’an terhadap kata itu dengan jalan memperhatikan redaksi ayat secara
menyeluruh, bukan pada kata yang di bahas secara berdiri sendiri terlepas dari konteksnya.
Sebagai contoh, hasil penelitian bint Shati’ tentang kata ni’mah dan na’im dalam al-
Qur’an. bint Shati’ menarik kesimpulan bahwa kata na’im digunakan untuk nikmat-nikmat
ukhrawi bukan duniawi. Dengan demikian tidak tepat jika kata na’im dalam firmanya :
‫ﰒُﱠ ﻟَﺘُ ْﺴﺄَﻟُ ﱠﻦ ﻳـ َْﻮَﻣﺌِ ٍﺬ َﻋ ِﻦ اﻟﻨﱠﻌِﻴ ِﻢ‬
3
Dalam arti kenikmatan duniawi, tetapi ayat tersebut agaknya bermaksud
menjelaskan bahwa kelak di Hari Kemudian semua manusia akan diminta
pertanggungjawaban menyangkut sikapnya terhadap Hari Kemudian, dalam konteks ayat
ini berarti surga dan aneka kenikmatannya. Apakah dia percaya wujud dan keniscayaannya
atau tidak.
Berdasarkan pengamatan Quraish Shihab, hal serupa juga dilakukan oleh al-
Tabataba’i dalam tafsir al-Mizan. Di dalam tafsir tersebut diantaranya membahas
mengenai makna kata sirat} dan perbedaannya dengan kata sabil. Ia menarik kesimpulan
bahwa sirat} adalah jalan yang lebar yang hanya mengantar kepada kebaikan, keadilan dan
hak. Sirat hanya satu, karena itu tidak ditemukan bentuk jama’nya. Ini berbeda dengan kata
sabil, yang merupakan jalan kecil dan banyak. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya
bentuk jama’ kata sabil dalam al-Qur’an.

B. Pengertian al-Wujuh wa al-Nazhair


Secara etimologi kata al-wujuh merupakan bentuk jama’ dari kata al-wajh yang
berarati sesuatu yang berada di depan. Wajh al-nahar berarti permulaan siang, wajh al-dahr
berarti permulaan tahun. Sedang al-nazhair merupakan bentuk plural dari kata nazir yang
berarti yang sama atau sepadan. Dari makna dasar ini dipakailah redaksi kata al-wujuh
sebagai suatu nama dari pembahasan tertentu dalam ilmu al-Qur’an yang membahas lafal-
lafal al-Qur’an yang memiliki beragama makna. Sedang al-nazhair adalah kesepadanan
makna lafal dalam al-Qur’an kendati menggunakan lafal yang berbeda.

a. Kata qadha, memiliki makna berbeda - beda:


1) Selesai, seperti dalam firmanya, : “fa idza qadhaitum manaasikakum” (Qs. Al-
Baqarah: 200)
2) Perintah, seperti dalam firman-nya: “ wa idza qadza amran (Qs.ali imran: 7)
3) Perintah, seperti firman-nya: “faminhum manqadha nahbahu (Qs. Al –
ahzab:33)
4) Keputusan, seperti dalam firman-nya: “laqudiyal amru baini wabainakum”
(Qs. Al-an’am: 58)
5) Keputusan yang lewat, seperti dalam firman-nya: “liyaqdiyallahu amran ka an
mahfuda ( Qs. Al anfal: 42)

4
6) Kebinasaan, seperti dalam firman-nya: “ laqudiya ilaihim ajalahum” (Qs.
Yunus: 11)
7) Keputusan sudah jadi, seperti dalam firman-nya: “waqudiya amru” ( Qs. Yusuf
: 41)
8) Ketekatan dalam hati ,seperti dalam firman-nya: “fi nafsi ya’quba qadhaaha”
(Qs yusuf :68)
9) Pemberitahuan, seperti dalam firman-nya: “waqadbaina ila bani israil” (Qs.
Al - isra:4)
10) Wasiat, , seperti dalam firman-nya: “ waqadha rabbuka ta’budu illa iyyah (Qs.
Al - isra: 23).
11) Kematian, seperti dalam firman-nya: ” waqda alaihi” ( Qs. Al-Qashash : 15)
12) Datang/turun kematian, , seperti dalm firman-nya: “ falamma qadbaina alaihil
mauta” ( Qs. Saba’: 15).
13) Penciptaan, , seperti dalam firman-nya: “ faqadhahunna sab’a samawaa’ (Qs.
Al-fushilat: 12)
14) Perbuatan, , seperti dalam firman-nya: “ kalla lamma yaqdhi maa amarah”
(Qs. Abasa: 23), maknanya “pasti dia belum melakukan”
15) Janji, , seperti dalm firman-nya: “ idz qadhaina ilaa muusal amrd” ( Qs. Al-
qashash: 44)

b. Kata doa
Doa berasal dari bahasa Arab yang akar katanya ‫ ُدﻋَﺎ ًء‬- ْ‫ َدﻋَﺎ – ﯾَ ْﺪﻋُﻮ‬yang artinya:
panggilan, mengundang, permintaan, permohonan, doa, dan sebagainya. 1 Berdoa artinya
menyeru, memanggil, atau memohon pertolongan kepada Allah SWT atas segala sesuatu
yang diinginkan. Seruan kepada Allah SWT itu bisa dalam bentuk ucapan tasbih
(Subhanallah), Pujian (Alhamdulillah), istighfar (astaghfirullah) atau memohon
perlindungan (A’udzubillah), dan sebagainya.2

Berikut ini beberapa macam makna kata doa didalam al-Qur’an


1) Doa dalam makna Ibadah, Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an surat
Yunus ayat 106, yang berbunyi:

1
Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir: Kamus Arab-Indonesia. cet. 25, (Surabaya: Pustaka
Progresif, 2002) hlm. 402
2
Kaelany HD, Islam dan Aspek-Aspek Kemasyarakatan. (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), hlm. 121
5
‫ِﲔ‬
َْ ‫ﱠﻚ اِذًا ﱢﻣ َﻦ اﻟ ٰﻈّﻠِﻤ‬ َ ‫ﻀﺮَﱡك ۚ◌ ﻓَﺎِ ْن ﻓَـ َﻌﻠ‬
َ ‫ْﺖ ﻓَﺎِ ﻧ‬ ُ َ‫ُﻚ َو َﻻ ﻳ‬
َ ‫وََﻻ ﺗَ ْﺪعُ ِﻣ ْﻦ د ُْو ِن اﻟ ٰﻠّ ِﻪ ﻣَﺎ َﻻ ﻳـَْﻨـ َﻔﻌ‬

"Dan jangan engkau menyembah sesuatu yang tidak memberi manfaat dan tidak
(pula) memberi bencana kepadamu selain Allah sebab jika engkau lakukan (yang
demikian) maka sesungguhnya engkau termasuk orang-orang zalim." (QS. Yunus 10:106)
Lafaz doa diatas, menunjukan makna penyembahan atau ibadah.Secara esensial ia
menunjukan suatu pengetahuan tentang Tuhan (ma’rifatullah). Yakni, ibadah yang
menebus setiap aspek eksistensi manusia dengan berbagai ritus dan ritual, ia merupakan
amalan lahiriyah yang mengandung makna batiniah dan memungkinkan sang hamba untuk
menjadi seorang yang arif.3

2) Doa dalam makna al-Isti’adzah (perlindungan), Allah SWT berfirman dalam


al-Qur`an surat al-Jin ayat 6, yang berbunyi:

‫ﺲ ﯾَﻌُﻮْ ذُوْ نَ ﺑِ ِﺮ َﺟﺎ ٍل ﻣﱢﻦَ ا ْﻟﺠِﻦﱢ ﻓَ َﺰا دُوْ ھُ ْﻢ َرھَﻘًﺎ‬


ِ ‫اﻻ ْﻧ‬
ِ ْ َ‫ۙ◌ ﱠواَﻧﱠﮫٗ ﻛَﺎ نَ ِر َﺟﺎ ٌل ﻣﱢﻦ‬

"Dan sesungguhnya ada beberapa orang laki-laki dari kalangan manusia yang
meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki dari jin, tetapi mereka (jin) menjadikan
mereka (manusia) bertambah sesat." (QS. Al-Jinn 72: 6)

3) Doa dalam makna al-Istianah, (memohon bantuan dan pertolongan) Allah SWT
berfirman dalam al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 45, yang berbunyi:

‫ِﲔ‬ ِ ‫ﺼﻠٰﻮةِ ۗ◌ َواِ ﻧـﱠﻬَﺎ ﻟَ َﻜﺒِْﻴـَﺮةٌ اﱠِﻻ ﻋَﻠَﻰ اﳋ‬


َْ ‫ْٰﺸﻌ‬ ‫ﱠﱪ وَا ﻟ ﱠ‬
ِْ ‫وَا ْﺳﺘَﻌِْﻴـﻨـُﻮْا ﺑِﺎ ﻟﺼ‬

"Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan sholat. Dan (sholat)
itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk," (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 45)

4) Doa dalam pengertian Istighfar, Allah SWT berfirman dalam al-Qur'an surat
Al-Muzzammil ayat 20, yang berbunyi:

‫ َوا ْﺳﺘَ ْﻐﻔِﺮُوا ّٰﷲَ ۗ◌ اِنﱠ ّٰﷲَ َﻏﻔُﻮْ ٌر ﱠر ِﺣ ْﯿ ٌﻢ‬...

3
Amatullah Armstrong, Khazanah Istilah Sufi Kunci Memasuki Dunia Tasawuf. (Bandung: Mizan
Media Utama, cet. 4, 2001), hlm. 105
6
“ ... Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sungguh, Allah Maha Pengampun,
Maha Penyayang." (QS. Al-Muzzammil 73: 20)
Istighfar adalah memohon ampun kepada Allah dari perbuatan dosa dan
sebagainya. Ia merupakan bagian penting dari amalan zikir, serta memiliki visi spiritual,
kezuhudan seorang hamba. Memohon ampunan adalah bagian dari menjadi hamba-hamba
yang taat.4

5) Doa dalam makna al-Sual (permintaan) Allah SWT berfirman dalam al-Qur'an
surat Ghafir ayat 60, yang berbunyi:

َ‫َوﻗَﺎ َل َرﺑﱡ ُﻜ ُﻢ ا ْدﻋُﻮْ ﻧِﻲْۤ اَ ْﺳﺘَﺠِﺐْ ﻟَـ ُﻜ ْﻢ ۗ◌ اِنﱠ اﻟﱠ ِﺬﯾْﻦَ ﯾَ ْﺴﺘَ ْﻜﺒِﺮُوْ نَ ﻋَﻦْ ِﻋﺒَﺎ َدﺗِﻲْ َﺳﯿَ ْﺪ ُﺧﻠُﻮْ نَ َﺟﮭَﻨﱠ َﻢ دَا ِﺧ ِﺮﯾْﻦ‬

"Dan Tuhanmu berfirman, Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan


bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau menyembah-Ku akan masuk
ke Neraka Jahanam dalam keadaan hina dina." (QS. Ghafir 40: 60)

6) Doa dalam makna percakapan, Allah SWT berfirman dalam al-Qur'an surat
Yunus ayat 10, yang berbunyi:

‫ِﲔ‬ ‫َﻚ اﻟ ٰﻠّ ُﻬ ﱠﻢ َو َِﲢﻴﱠـﺘُـ ُﻬ ْﻢ ﻓِْﻴـﻬَﺎ َﺳ ٰﻠ ٌﻢ ۚ◌ َواٰ ِﺧُﺮ َدﻋ ْٰﻮٮ ُﻫ ْﻢ اَ ِن اﳊَْ ْﻤ ُﺪ ﻟِٰﻠّ ِﻪ ر ﱢ‬
َْ ‫َب اﻟْ ٰﻌﻠَﻤ‬ ٰ ‫َدﻋ ْٰﻮٮ ُﻫ ْﻢ ﻓِْﻴـﻬَﺎ ُﺳﺒ‬
َ ‫ْﺤﻨ‬

"Doa mereka di dalamnya, ialah Subhanakallahumma (Maha Suci Engkau, ya


Tuhan kami), dan salam penghormatan mereka ialah, Salam (salam sejahtera). Dan
penutup doa mereka ialah, Alhamdulillahi Rabbilalamin. (segala puji bagi Allah Tuhan
seluruh alam)." (QS. Yunus 10: 10)

7) Doa dalam makna al-Nida’ (memanggil, seruan), Allah SWT berfirman dalam
al-Qur`an surat al-Isra' ayat 52, yang berbunyi:

‫َﺠْﻴﺒـ ُْﻮ َن ﲝَِ ْﻤﺪِﻩ ٖ◌ َوﺗَﻈُﻨـ ْﱡﻮ َن اِ ْن ﻟﱠﺒِﺜْﺘُ ْﻢ اﱠِﻻ ﻗَﻠِﻴ ًْﻼ‬
ِ ‫ﻳـ َْﻮَم ﻳَ ْﺪﻋ ُْﻮُﻛ ْﻢ ﻓَـﺘَ ْﺴﺘ‬

"Yaitu pada hari (ketika) Dia memanggil kamu, dan kamu mematuhi-Nya sambil
memuji-Nya dan kamu mengira, (rasanya) hanya sebentar saja kamu berdiam (di dalam
kubur)." (QS. Al-Isra' 17: Ayat 52)

4
Amatullah Armstrong…, hlm.124
7
Al-Nida’, seruan. Allah SWT “menyeru” manusia kepada kebahagiaan. Manusia
menyeru Tuhannya ketika sedang berdoa dan membutuhkan.5 Doa dalam arti memanggil
Allah SWT dalam rangka mengajukan permohonan kepada-Nya. Begitu penting bagi
seorang Muslim, karena doa merupakan tanda bahwa manusia sebagai hamba yang sangat
membutuhkan terhadap Tuhannya.
8) Doa dalam makna al-Tahmid (memuji), Allah SWT berfiman dalam al-Qur'an
surat Al-Isra ayat 110 yang berbunyi:

‫ِﻚ‬
َ ‫َﲔ ٰذﻟ‬
َْ ‫وَا ﺑْـﺘَ ِﻎ ﺑـ‬ ‫ِﺖ‬ َ ‫ﱠﲪ َﻦ ۗ◌ اَ ﻣﱠﺎ ﺗَ ْﺪﻋُﻮْا ﻓَـﻠَﻪُ ْاﻻَ ﲰَْﺎ◌ٓ ءُ اﳊُْﺴ ْٰﲎ ۚ◌ وََﻻ َْﲡﻬ َْﺮ ﺑِﺼ ََﻼ ﺗ‬
ْ ‫ِﻚ وََﻻ ﲣَُﺎ ﻓ‬ ْٰ ‫ﻗ ُِﻞ ا ْدﻋُﻮا اﻟ ٰﻠّﻪَ اَ ِو ا ْدﻋُﻮا اﻟﺮ‬

‫َﺳﺒِﻴ ًْﻼ‬

"Katakanlah (Muhammad), Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama


yang mana saja kamu dapat menyeru, karena Dia mempunyai nama-nama yang terbaik
(Asma'ul Husna) dan janganlah engkau mengeraskan suaramu dalam sholat dan
janganlah (pula) merendahkannya dan usahakan jalan tengah di antara kedua itu." (QS.
Al-Isra' 17: Ayat 110)

9) Doa dalam makna Tasymit ( ‫ِﻴﺖ‬


ْ ‫ ) اﻟﺘﱠ ْﺸﻤ‬atau (‫ِﻴﺖ‬
ْ ‫ ) اﻟﺘﱠ ْﺴﻤ‬artinya mendoakan semoga

baik dan diberkati. Yaitu, doa yang disampaikan kepada orang yang bersin (
‫َُﻚ اﷲ‬
َ ‫ “ ) ﻳَﺮﲪ‬semoga Allah mengasihi kamu” .6

Demikianlah kata doa yang ditemukan dalam al-Qur'an dan kitab-kitab para pakar
doa yang memberi penjelasan. terhadap kata doa.

c. Kata Zikir
Zikir adalah satu unsur penting menuju takwa yang mempunyai wujud keinginan
kembali kepada Allah. Perintah Zikir yang ditujukan kepada manusia agar mereka
menginsafi Allah dalam setiap kehidupannya. Sesuai dengan firman- Nya: QS. al-Ahzab:
41
Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama)
Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya”
Dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Zikir diartikan dengan ingat, maksudnya
5
Amatullah Armstrong…, hlm.214
6
Moh. Zuhri, dkk., Fiqih Empat Muzhab. Jilid III, (Semarang: CV Asy-Syifa, 1994), hlm.96
8
mengingat Allah swt dengan maksud mendekatkan diri kepada-Nya. Zikir merupakan
suatu upaya yang dilakukan manusia guna mengingat kebesaran dan keagungan Allah swt,
agar manusia tidak lupa terhadap penciptanya serta terhindar dari penyakit sombong dan
takabur.7
Sementara itu menurut M. Quraish Shihab, Zikir dalam pengertian yang luas adalah
kesadaran tentang kehadiran Allah di mana dan kapan saja, serta kesadaran akan
kebersamaan-Nya dengan makhluk hidup; kebersamaan dalam arti pengetahuan-Nya
terhadap segala yang berada di semesta alam ini serta bantuan dan pembelaan-Nya
terhadap hamba-hamba-Nya yang taat.8
Menurut kaum sufi, zikir merupakan perhatian total dam sepenuhnya kepada Allah,
dengan mengabaikan segala sesuatu selain-Nya. Kata Syaikh Ni’matullah Vali, “ Engkau
ingat Kami di dalam hati dan jiwamu, hanya ketika engkau melupakan dua alam” .9
Dalam pandangan kaum sufi, maksud sebenarnya dari zikir adalah melupakan
segala sesuatu selain yang diingat. Zikir merupakan aktifitas duduk dan menanti saat-saat
diterima oleh Tuhan setelah memisahkan diri dari manusia. Dengan kata lain, tanda
seorang pencinta adalah selalu mengingat Sang Kekasih. 10 Inilah beberapa makna dan
maksud zikir menurut pendangan kaum sufi.
Zikir pada mulanya digunakan oleh pengguna bahasa Arab dalam arti sinonim lupa.
Ada juga sebagian ulama yang berpendapat bahwa kata tersebut pada awalnya berarti
mengucapkan dengan lidah/menyebut sesuatu.11 Term-term zikir dalam al-Qur’an tidak
mesti selalu bermakna mengingat atau menyebut nama Allah, namun zikir terkadang
mempunyai makna yang bervariasi dan berbeda dengan berbagai konteksnya.
Zikir merupakan hal yang sangat efektif dalam menghilangkan penyakit-penyakit
hati. zikir merupakan jiwa dari setiap tindakan peribadatan seperti Shalat, Puasa dan
amalan lainnya.
Tidak dapat dibantah lagi bahwa zikir benar-benar dapat menenteramkan hati.
Penyebabnya adalah ketika kita ingat kepada Allah, maka pada saat itu terselip sikap
menyandarkan diri kepada Allah yang disebut tawakkal atau tawwakkul. Kita mengenal

7
Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002),
Jilid 5, hlm. 61
8
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’ân tentang Zikir dan Doa, (Ciputat: Lentera Hati, 2006),
hlm. 14
9
Javad Nurbakhsh, Tenteram Bersama Sufi: Zikir, Tafakur, Muraqabah, Muhasabah, dan Wirid
(Jakarta: Serambi, 2004), hlm. 45.
10
Nurbakhsh, Tenteram Bersama Sufi..., hlm. 46
11
Shihab, Wawasan al-Qur’an..., hlm. 9
9
bahwa salah satu sifat dari Allah adalah al-Wakil (tempat bersandar). Hasbunallah wa
ni’mal wakil, artinya cukuplah Allah bagi kita dan Dia adalah sebaik-baik tempat
bersandar.
Zikir (mengingat) kepada Allah dalam al-Qur’an, dalam arti sifat-sifat, perbuatan,
dan kebesaran Allah,12 hal tersebut dinyatakan secara tidak langsung dengan menggunakan
tiga bentuk zikir, yaitu mengingat dengan hati, mengingat dengan pengucapan, dengan
mengingat dengan seluruh anggota tubuh. Berikut ini beberapa penjelasan mengenai kata
zikir yang ada didalam al-Qur’an.

1) Zikir dengan hati (bi al-qalb), yaitu keterjagaan hati dengan selalu mengingat
Allah. Zikir ini tidak terbatas ruang dan waktu, dan dapat dilakukan dimana saja
dan kapan saja. hal ini, terungkap dalam al-Qur’an sebanyak 19 kali yang
terdapat di 15 surah (7 Surat Makkiyah dan 8 surah Madaniyah).

2) Kata zikir yang disandarkan kepada Allah yang dihubungkan dengan hati
sebagai perbandingan hati orang mukmin dan kafir, terulang sebanyak 10 kali.
Di antaranya QS. al-Zumar: 22, 23; QS al-Mâidah: 91; QS. al-Ra’d: 28; QS. al-
Nur: 37; QS. al-Ankabut: 45; QS. al-Hadid: 16; QS. al-Mujadilah: 19; dan QS.
al-Munafiqun: 9.

3) Kata zikir yang disandarkan kepada kata al- rahman terdapat dalam QS. al-
Anbiya: 36.

4) Kata zikir yang diarangkaikan dengan kata rabb, sebanyak 3 kali, dalam QS.
Yusuf 42; QS. al-Anbiya: 42; dan QS. Shad: 32.

5) Kata zikir yang dirangkaikan kepada dhamir mutakalim (kata ganti untuk orang
pertama) yang dinisbahkan kepada Allah, dalam hal ini terulang sebanyak 3 kali
dalam QS. Thaha: 14, 42 dan QS al- Mu’minun: 110.

6) Kata zikir yang dirangkaikan kepada dhamir na yang dinisbahkan kepada Allah,
sebanyak satu kali dalam QS. al-Kahfi: 28.

7) Kata zikir yang dihubungkan dengan kata subhana, dalam QS. al- Furqan: 18.

8) Kata zikir dengan lidah (bi al-lisan), yang dimaknakan menyebut nama Allah,
mengucapkan sejumlah lafal yang dapat menggerakkan hati untuk mengingat
Allah. Menurut Said Agil Siroj, zikir pola ini dapat dilakukan pada saat tertentu

12
Shihab, Wawasan al-Quran..., hlm. 20
10
dan tempat tertentu pula. Misalnya, berzikir di masjid setelah shalat.13 Zikir pola
ini disebutkan 3 kali yang semuanya terdapat dalam dua surah Madaniyah, yaitu:
QS. al-Baqarah: 200, dan QS. al-Ahzab: 41.

9) Kemudian zikir yang dilakukan dengan seluruh anggota tubuh (bi al-
jawârih). Zikir yang bermakna mengingat Allah dengan anggota tubuh, terdapat
dalam Surah al-Jumu’ah: 9 yang termasuk ke dalam Madâniyah.

d. Kata al-Ihshan
Kata al ihshan memiliki beberapa nama,diantaranya:
1) Al iffah (menjaga kehormatan diri), seperti dalam firman-Nya (QS. an -Nur : 4)
Di dalam ayat ini diterangkan hukum dera bagi orang yang menuduh wanita
yang baik-baik berbuat zina. Yang dimaksud dengan istilah muhsanah dalam
ayat ini ialah wanita merdeka yang sudah balig lagi memelihara kehormatan
dirinya. Jika yang dituduh melakukan zina itu adalah seorang lelaki yang
terpelihara kehormatan dirinya, maka begitu pula ketentuan hukumnya, yakni si
penuduh dikenai hukuman dera. Tiada seorang pun dari kalangan ulama yang
memperselisihkan masalah hukum ini. Jika si penuduh dapat membuktikan
kebenaran dari persaksiannya, maka terhindarlah dirinya dari hukuman had (dan
yang dikenai hukuman had adalah si tertuduhnya).

2) Bersuami/beristri seperti dalam firman NYA : “‫ ”ﻓﺎذااﺣﺼﻦ‬QS. an - Nisa: 25

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:


‫َﺬاب‬
ِ ‫َﻨﺎت ِﻣ َﻦ اﻟْﻌ‬
ِ ‫ْﻒ ﻣَﺎ َﻋﻠَﻰ اﻟْ ُﻤ ْﺤﺼ‬
ُ ‫ِﻔﺎﺣ َﺸ ٍﺔ ﻓَـﻌَﻠَﻴْ ِﻬ ﱠﻦ ﻧِﺼ‬
ِ ‫َﲔ ﺑ‬
َْ ‫ﺼ ﱠﻦ ﻓَِﺈ ْن أَﺗـ‬
ِ ‫ﻓَﺈِذا أُ ْﺣ‬

“ Dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka
mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman
dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami.” (An-Nisa: 25)
Para ulama berbeda pendapat sehubungan dengan bacaan ahsanna; sebagian dari
mereka membacanya uhsinna dalam bentuk mabni majhul, dan sebagian yang
lain membacanya ahsanna sebagai fi'il yang lazim. Kemudian disimpulkan
bahwa makna kedua qiraah tersebut sama saja, tetapi mereka berbeda pendapat

13
Agil Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik..., hlm. 86
11
sehubungan dengan makna; pendapat mereka terangkum ke dalam dua pendapat,
yaitu:
Pertama, yang dimaksud dengan ihsan dalam ayat ini ialah Islam. Hal
tersebut diriwayatkan dari Abdullah ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, Anas, Al-Aswad
ibnu Yazid, Zurr ibnu Hubaisy, Sa'id ibnu Jubair, Ata, Ibrahim An-Nakha'i, Asy-
Sya’bi, dan As-Saddi. Az-Zuhri meriwayatkan pendapat yang sama dari Umar
ibnul Khattab, predikatnya munqati’. Pendapat inilah yang dinaskan oleh Imam
Syafii dalam riwayat Ar-Rabi'. Ia mengatakan, “Sesungguhnya kami mengatakan
pendapat ini semata-mata berlandaskan kepada sunnah dan ijma' kebanyakan
ahlul ‘ilmi” .
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan sehubungan dengan masalah ini sebuah
hadis marfu’. Untuk itu ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali
ibnul Husain ibnul Junaid, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdur
Rahman ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari ayahnya,
dari Abu Hamzah, dari Jabir, dari seorang lelaki, dari Abu Abdur Rahman, dari
Ali ibnu Abu Talib, bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam sehubungan
dengan firman-Nya: dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin. (An-
Nisa: 25) pernah bersabda menafsirkannya: «‫ْﻼ ُﻣﻬَﺎ َو َﻋﻔَﺎﻓُﻪَا‬
َ ‫ “ »إِ ْﺣﺼَﺎﻧـُ َﻬﺎ إِﺳ‬Ihsan

seorang wanita ialah bila ia masuk Islam dan memelihara kehormatannya” .


Ibnu Abu Hatim mengatakan, yang dimaksud dengan ihsan dalam ayat ini ialah
kawin. Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa Ali mengatakan, "Deralah mereka
(budak-budak wanita yang berzina)." Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan
bahwa hadis ini munkar. Menurut kami, dalam sanad hadis ini terkandung
kelemahan, di dalamnya terdapat seorang perawi yang tidak disebutkan
namanya; hadis seperti ini tidak layak dijadikan sebagai hujah (pegangan). Al-
Qasim dan Salim mengatakan, yang dimaksud dengan ihsan ialah bila ia masuk
Islam dan memelihara kehormatannya.
Kedua, menurut pendapat lain makna yang dimaksud dengan ihsan dalam
ayat ini ialah kawin. Pendapat ini dikatakan oleh Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah,
Tawus, Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan, Qatadah, dan lain-lainnya. Pendapat ini
dinukil oleh Abu Ali At-Tabari di dalam kitabnya yang berjudul Al-Idah, dari
Imam Syafii, menurut apa yang diriwayatkan oleh Abul Hakam ibnu Abdul

12
Hakam dari Imam Syafii. Lais ibnu Abu Sulaim meriwayatkan dari Mujahid,
bahwa ihsan seorang budak wanita ialah bila dikawini oleh lelaki merdeka; dan
sebaliknya ihsan seorang budak laki-laki ialah bila dikawini oleh wanita
merdeka. Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas.
Kedua-duanya diriwayatkan oleh Ibnu Jarir di dalam kitab tafsirnya. Ibnu Abu
Hatim meriwayatkannya dari Asy-Sya’bi dan An-Nakha’i. Menurut pendapat
lain, makna kedua bacaan tersebut berbeda. Orang yang membaca uhsinna,
makna yang dimaksud ialah kawin. Dan orang yang membaca ahsanna, makna
yang dimaksud ialah Islam. Pendapat kedua ini dipilih dan didukung oleh Abu
Ja'far ibnu Jarir di dalam kitab tafsirnya. Pendapat yang kuat hanya Allah yang
mengetahui bahwa makna yang dimaksud dengan ihsan dalam ayat ini ialah
nikah, karena konteks ayat menunjukkan kepada pengertian tersebut, mengingat
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman:
{‫َﺖ أَﳝَْﺎﻧُ ُﻜ ْﻢ ِﻣ ْﻦ ﻓَـﺘَـﻴَﺎﺗِ ُﻜ ْﻢ‬
ْ ‫َﺎت ﻓَ ِﻤ ْﻦ ﻣَﺎ َﻣﻠَﻜ‬
ِ ‫َﺎت اﻟْﻤ ُْﺆِﻣﻨ‬
ِ ‫ﺼﻨ‬َ ‫} َوَﻣ ْﻦ َﱂْ ﻳَ ْﺴﺘَ ِﻄ ْﻊ ِﻣْﻨ ُﻜ ْﻢ ﻃَﻮْﻻ أَ ْن ﻳـَﻨْ ِﻜ َﺢ اﻟْ ُﻤ ْﺤ‬

“ Dan barang siapa di antara kalian (orang merdeka) yang tidak cukup
perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh
mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kalian miliki” . (An-
Nisa: 25)
Konteks ayat ini menunjukkan pembicaraan tentang wanita-wanita yang
beriman. Dengan demikian, makna ihsan dalam ayat ini hanya menunjukkan
pengertian kawin, seperti tafsir yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas dan lain-
Lainnya. Pada garis besarnya masing-masing dari kedua pendapat di atas masih
mengandung kemusykilan (kesulitan) menurut pendapat jumhur ulama.
Dikatakan demikian karena mereka mengatakan bahwa sesungguhnya budak
wanita itu apabila berbuat zina dikenai hukuman dera sebanyak lima puluh kali,
baik ia muslimah ataupun kafirah, dan baik sudah kawin ataupun masih gadis.
Padahal pengertian ayat menunjukkan bahwa tiada hukuman had kecuali
terhadap wanita yang sudah kawin berbuat zina, sedangkan dia bukan budak.

3) Kemerdekaan,seperti dalam firman NYA : “‫َﺬاب‬


ِ ‫َﻨﺎت ِﻣ َﻦ اﻟْﻌ‬
ِ ‫ْﻒ ﻣَﺎ َﻋﻠَﻰ اﻟْ ُﻤ ْﺤﺼ‬
ُ ‫”ﻓَـ َﻌﻠَﻴْ ِﻬ ﱠﻦ ﻧِﺼ‬

“ Maka atas mereka separuh hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka


yang bersuami” . (An-Nisa: 25) Demikian itu karena ayat ini menunjukkan

13
bahwa dikenakan atas mereka hukuman separo yang dikenakan terhadap wanita-
wanita merdeka. Huruf alif dan lam pada lafaz al-muhsanat menunjukkan makna
'ahd (telah dimaklumi), mereka adalah wanita-wanita yang telah kawin yang
disebutkan di permulaan ayat, melalui firman-Nya: “ Dan barang siapa di antara
kalian (orang merdeka) tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita
merdeka lagi beriman.” (An-Nisa: 25) Yang dimaksud adalah wanita-wanita
saja, yakni janganlah ia mencoba kawin dengan wanita yang merdeka. Firman
Allah Subhanahu wa Ta'ala yang mengatakan separuh hukuman dari hukuman
wanita-wanita merdeka yang bersuami. (An-Nisa: 25) menunjukkan bahwa
makna yang dimaksud dari hukuman tersebut ialah hukuman yang dapat diparo
(dibagi), yaitu hukuman dera, bukan hukuman rajam.
Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadis untuk menjawab pendapat Abu
Saur melalui riwayat Al-Hasan ibnu Sa'id, dari ayahnya, bahwa Safiyyah pernah
berbuat zina dengan seorang lelaki dari Al-Hims. dan dari perbuatan zinanya itu
lahirlah seorang bayi, lalu si bayi diakui oleh lelaki tersebut. Keduanya
bersengketa di hadapan Khalifah Usman, dan Khalifah Usman mengajukan
perkara ini kepada Ali ibnu Abu Talib. Maka Ali ibnu Abu Talib mengatakan,
“ Aku akan memutuskan terhadap keduanya dengan keputusan yang pernah
dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam, yaitu anak bagi firasy,
sedangkan bagi pezina adalah batu” . Lalu Ali mendera mereka masing-masing
sebanyak lima puluh kali deraan. Menurut pendapat yang lain, makna yang
dimaksud dari mafhum (makna yang tidak tersirat) ayat ini ialah menjatuhkan
hukuman yang ringan dengan mengingatkan hukuman yang paling berat.
Dengan kata lain, hukuman yang diterima oleh budak wanita yang berbuat zina
ialah separo hukuman yang diterima oleh wanita merdeka, sekalipun budak yang
bersangkutan telah kawin. Pada asalnya tidak ada hukuman had dengan rajam
atasnya, baik sebelum ataupun sesudah nikah; dan sesungguhnya hukuman had
yang mereka terima (budak-budak uanita yang berzina) hanyalah hukuman dera
dalam dua keadaan berdasarkan sunnah. Pendapat ini dikatakan oleh penulis
kitab Al-Ifsah. Dia menuturkan pendapat ini dari Imam Syafii melalui riwayat
yang diketengahkan oleh Ibnu Abdul Hakam. Imam Baihaqi meriwayatkannya
pula di dalam kitab sunnah dan asarnya dari Imam Syafii. Tetapi pendapat ini
sangat jauh dari pengertian lafaz ayat, karena sesungguhnya kami mengambil

14
kesimpulan hukuman setengah wanita merdeka ini hanya dari ayat, bukan dari
dalil lainnya. Bagaimana mungkin dapat disimpulkan setengah hukuman bila
bukan dari ayat
Imam Baihaqi mengatakan, bahkan makna yang dimaksud ialah bila si
budak dalam keadaan telah kawin, tiada seorang pun yang berhak menegakkan
hukuman had terhadap dirinya selain Imam. Dalam keadaan seperti ini tuan si
budak tidak boleh menjatuhkan hukuman had terhadapnya. Pendapat ini
merupakan salah satu pendapat di kalangan mazhab Imam Ahmad. Sebelum
kawin si tuan boleh menegakkan hukuman had terhadapnya. Hukuman had
dalam dua keadaan tersebut (belum kawin dan sudah kawin) adalah separuh
hukuman had orang merdeka. Pendapat ini pun jauh dari kebenaran, karena di
dalam ayat ini tidak terkandung pengertian yang menunjukkan ke arah itu.
Seandainya tidak ada ayat, niscaya kita tidak akan mengetahui bagaimanakah
hukuman tansif terhadap budak-budak belian yang berbuat zina. Jika tidak ada
ayat ini, sudah dipastikan hukuman mereka dimasukkan ke dalam keumuman
makna ayat yang menyatakan hukuman had secara sempurna, yaitu seratus kali
dera atau dirajam, seperti yang tampak jelas pada makna lahiriahnya.
Dalam pembahasan di atas disebutkan bahwa sahabat Ali Radhiyallahu
Anhu pernah mengatakan, “Hai manusia sekalian, tegakkanlah hukuman had
atas budak-budak kalian, baik yang telah kawin maupun yang belum kawin” .
Sedangkan hadis-hadis yang disebutkan di atas tidak mengandung rincian antara
budak yang telah kawin dan lainnya, seperti hadis Abu Hurairah yang dijadikan
hujah oleh jumhur ulama, yaitu:
“‫ﱢب ﻋَﻠَﻴْﻬﺎ‬
ْ ‫َﲔ ِزﻧﺎﻫَﺎ ﻓَﻠﻴ ْﺠﻠِﺪﻫﺎ اﳊ ﱠﺪ وََﻻ ﻳـُﺜَـﺮ‬
َ‫َﺖ أﻣﺔُ أﺣﺪِﻛﻢ ﻓَـﺘَﺒـ ﱠ‬
ْ ‫”إِذَا َزﻧ‬

Apabila budak perempuan seseorang di antara kalian berbuat zina dan


perbuatan zinanya itu terbuktikan, hendaklah ia menderanya sebagai hukuman
had, dan tidak boleh dimaki-maki. Kesimpulan makna ayat menyatakan bahwa
apabila seorang budak berbuat zina, maka ada beberapa pendapat, seperti
penjelasan berikut:
Pertama, dikenai hukuman had lima puluh kali dera, baik telah kawin
ataupun belum. Akan tetapi, apakah dibuang; ada tiga pendapat mengenainya.
Pendapat pertama mengatakan dibuang, pendapat kedua mengatakan tidak

15
dibuang sama sekali, dan pendapat yang ketiga mengatakan dibuang selama
setengah tahun, yaitu separo hukuman orang merdeka. Perbedaan pendapat ini
terjadi di kalangan mazhab Imam Syafii. Menurut Imam Abu Hanifah,
pembuangan merupakan hukuman ta’zir dan bukan termasuk bagian dari
hukuman had. Sebenarnya hukum pembuangan ini semata-mata pendapat Imam
belaka; jika ia melihat perlu dijatuhkan, maka ia melaksanakannya; dan jika ia
melihat tidak perlu, maka ia boleh meniadakannya, baik terhadap pihak laki-laki
ataupun pihak wanita yang bersangkutan. Menurut Imam Malik, sesungguhnya
hukuman pembuangan ini hanya diberlakukan terhadap pihak laki-laki (yang
berzina), tidak untuk pihak wanita, karena pembuangan bertentangan dengan
citra memelihara kehormatannya; dan tidak ada suatu dalil pun yang menyatakan
hukuman pembuangan terhadap pihak laki-laki, tidak pula terhadap pihak
wanita.
Kedua, seorang budak wanita bila melakukan zina didera lima puluh kali
bila telah kawin, dan hanya dikenai hukuman pukulan sepantasnya sebagai
hukuman ta’zir bila ia belum kawin. Dalam pembahasan di atas disebutkan
sebuah asar yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Sa’id ibnu Jubair, bahwa
budak wanita yang belum kawin (bila berbuat zina) tidak dikenai hukuman
pukulan. Jika yang dimaksudkan ialah meniadakan hukuman tersebut, berarti
bertentangan dengan takwil. Jika tidak demikian pengertiannya, berarti sama
dengan pendapat yang kedua. Pendapat yang lain mengatakan bahwa budak
wanita bila berbuat zina sebelum kawin dikenai hukuman dera seratus kali, dan
bila sudah kawin hanya dikenai lima puluh kali dera, seperti pendapat yang
terkenal dari Daud. Pendapat ini sangat lemah. Pendapat yang lainnya lagi
mengatakan bahwa ia dikenai hukuman dera sebelum kawin, yaitu sebanyak
lima puluh kali dera. Jika ia telah kawin dikenai hukuman rajam. Pendapat ini
dikatakan oleh Abu Saur, dan pendapat ini dinilai lemah pula. Hanya Allah yang
mengetahui pendapat yang benar.14

14
Tafsir Ibnu Katsir
16
PENUTUP
Kesimpulan
Dari penjelasan diatas, kita mengetahui bahwa Al-Wujuh Wa Al-Nazhair adalah
suatu nama dari pembahasan tertentu dalam ilmu al-Qur’an yang membahas lafal-lafal al-
Qur’an yang memiliki beragama makna dan kesepadanan makna lafal dalam al-Qur’an
kendati menggunakan lafal yang berbeda. Ilmu seperti ini tentu sangat penting untuk kita
peelajari, mengingat al-Qur’an memiliki banyak sekali kata-kata yang sulit untuk dipahami
dengan ilmu yang terbatas. Sehingga ilmu khusus yang membahas tentang lafal dalam al-
Qur’an ini sangat penting bagi kita agar tidak keliru dalam memahami lafal-lafal yang ada
didalam al-Qur’an.
Oleh karena itu, pada pembahasan diatas penulis telah menjelaskan beberapa
makna kata yang terdapat didalam al-Qur’an. Yaitu qadha, doa, zikir, dan al-ihshan.
Keempat kata ini memiliki banyak makna yang terdapat dalam al-Qur’an. Inilah bukti
nyata yang Allah tunjukkan kepada kita bahwa al-Qur’an adalah mukjizat. Sehingga akal
manusia pun terbatas dalam memahaminya.

17
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir: Kamus Arab-Indonesia. cet. 25, Surabaya: Pustaka
Progresif, 2002

Kaelany HD, Islam dan Aspek-Aspek Kemasyarakatan. Jakarta: Bumi Aksara, 20001
Amatullah Armstrong, Khazanah Istilah Sufi Kunci Memasuki Dunia Tasawuf.
Bandung: Mizan Media Utama, cet. 4, 2001

Moh. Zuhri, dkk., Fiqih Empat Muzhab. Jilid III, Semarang: CV Asy-Syifa, 1994

Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002,
Jilid 5

M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’ân tentang Zikir dan Doa, Ciputat: Lentera Hati,
2006

Javad Nurbakhsh, Tenteram Bersama Sufi: Zikir, Tafakur, Muraqabah, Muhasabah, dan
Wirid Jakarta: Serambi, 2004

18

Anda mungkin juga menyukai