Anda di halaman 1dari 9

HAQIQI DAN MAJAZI

Diajukan sebagai bahan tugas mata kuliah Ushul Fiqih

Dosen pengampu: Dr.Wakhrodi, MSI

DI SUSUN OLEH :

Muhammad Nizamuddin Ali (20.21.00297)

Kelas : PS II A

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM

(IPMAFA)
INSTITUT PESANTREN ISLAM MATHALI’UL FALAH
JL. Raya Tayu Pati KM, 20 Purworejo ,margoyoso pati

Tahun 2020 / 2021


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Merupakan suatu kenikmatan tersendiri, bagi sesorang ketika bisa
belajar tentang ilmu-ilmu ushul (dasar) dari agama ini. Banyak sekali manfaat
yang bisa didapat dari pelajaran-pelajaran tersebut. Hendaklah seorang
pencari ilmu untuk bersemangat dalam belajar ilmu ini.
Salah satu pembahasan dalam pelajaran ushul fiqh adalah pembahasan
makna majaz dan haqiqi.
Dalam ilmu bahasa, kita mengenal adanya makna kata haqiqi dan
makna majaz dalam suatu kata tertentu. Semisal kita katakan sebuah kata
tertentu dan kita ambil contoh kata “singa”. Dari kata singa ini kita bisa
pahami dua makna. Secara haqiqi singa berarti salah satu jenis hewan buas,
sebagaimana yang sudah dipahami oleh kita. Namun secara majaz, kata
“singa” bisa kita artikan sebagai orang laki-laki yang pemberani .
BAB II
PEMBAHASAN

B. Pengertian hakiki dan majazi


a) Makna Hakiki
Kata Hakiki dari asal kata hakikat yang ditambah ya’ nisbat berarti
lafad yang digunakan dalam makna yang sebenarnya sesuai dengan yang
ditunjukkan harfiahnya.
Sedangkan apabila disambung dengan kata ‘makna’ menjadi satu
kesatuan, makna hakiki berarti makna (arti) yang dimaksud adalah makna
yang sebenarnya sesuai dengan harfiahnya.
b)  Makna Majazi
Kata majaz berarti lafad yang digunakan dalam makna yang bukan
seharusnya karena adanya hubungan (‘alaqah) disertai karinah (hal yang
menunjukkan dan menyebabkan bahwa lafad tertentu menghendaki
pemaknaan yang tidak sebenarnya) yang menghalangi pemakaian makna
hakiki.
Majaz terbagi menjadi empat. Atara lain, majaz Mufrad Mursal,
Mufrad Isti’arah, Murakkab Mursal dan Murakkab Isti’arah.
Majaz mursal adalah kata yang digunakan bukan dalam maknanya
yang asli karena ada hubungan (makna asli dan makna majazi) selain
keserupaan serta ada karinah yang menghalangi pemahaman dengan makna
asli.
Hubungan dalam majaz mursal ini ada kalanya al-sababiyah, al-
musabbabiyah, al-kulliyah, al-juz’iyah, i’tibaru ma kana, i’tibaru ma yakunu, al-
mahally, al-haliyah dan seterusnya.
Hubungan al-sababiyah dapat terlihat dalam perkataan al-Mutanabbi berikut,
ّ
‫والأعددها‬ ّ    ‫علي سابغة‬
‫أعد منها‬ ّ ‫له ّأياد‬

“ia mempunyai tangan-tangan yang berlimpah padaku, dan diriku ini


merupakan bagian darinya, aku tidak kuasa menghitungnya.”
Kata ayyad dalam ungkapan ini bermakna majaz yaitu kenikmatan-
kenikmatan yang banyak, bukan makna tangan secara hakiki. Hubungan
yang seperti ini adalah hubungan ‘sebab’. Ketahuilah bahwa tangan (makna
hakiki) adalah alat untuk menyampaikan beberapa kenikmatan. Jadi, tangan
itu merupakan sebab  bagi kenikmatan tersebut.
Hubungan al-musabbab ada pada pada contoh ayat,
ّ
ّ ‫وينزل لكم من‬
)13:‫األية (املؤمن‬.……‫السماء رزقا‬
“dan menurunkan untukmu rezeki dari langit…..(QS. Al-Mu’min: 13)”

Jika dimaknai secara hakiki, maka sesuai dengan lafadnya, yang


diturunkan dari langit oleh Allah adalah rezeki, padahal pada kenyataannya
bukanlah rezeki melainkan air hujan yang kemudian karenanya tumbuh-
tumbuhan menjadi hidup dan menjadi sumber rezeki bagi segenap makhluk.
Maka rezeki adalah musabbab atau akibat dari turunnya hujan. Dengan
demikian, hubungannya adalah al-musabbabiyah.

Hubungan al-kulliyah terdapat pada firman Allah


َ َ ‫ِّني ُك َّل َما َد َع ْو ُت ُه ْم ل َت ْغف َر َل ُه ْم َج َع ُلوا َأ‬G ‫َوإ‬
)7 :‫(نوح‬.… ‫ص ِاب َع ُه ْم ِفي آذ ِان ِه ْم‬ ِ ِ ِّ ِ
“Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar
Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam
telinganya…..” (Q.S.Nuh: 7)

Pada contoh ini, diyakini bahwa seseorang tidak mungkin dapat


meletakkan seluruh jarinya di telinganya. Jadi, sekalipun yang disebutkan
dalam ayat tersebut adalah seluruh jari, namun yang dimaksudkan adalah
ujung salah satu jarinya. Penggunaan kata-kata tersebut adalah majaz, dan
hubungannya adalah kulliyah.
Hubungan al-juz’iyah seperti contoh syair,
ّ ‫كم بعثنا الجيش‬
‫ راوأرسلنا العيونا‬      ‫جرا‬
“Berkali-kali kami mengutus tentara dalam jumlah besar dan kami melepaskan
banyak mata-mata”

Kata al-‘uyun dalam contoh ini maksudnya adalah mata-mata (makna


majaz). Hubungannya adalah bahwa mata-mata adalah hanya suatu bagian,
namun yang dimaksud adalah keseluruhan dari orang yang ditugaskan
untuk memata-matai itu. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa
hubungannya adalah juz’iyah.
Adapun contoh hubungan i’tibaru ma kana antara makna hakiki dan
majazi suatu lafad yaitu firman Allah yang berbunyi,
ّ ْ ُ َ َ َْ َ ََْ ُ َ
)2 :‫(النساء‬.… ‫وآتوا اليتامى أموالهم‬
“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka….(QS.
Al-Nisa’: 2)”

Sebagaimana dipahami bersama bahwa anak yatim menurut bahasa


adalah anak kecil yang ayahnya meninggal. Dengan begitu, apakah harta
peninggalan ayahnya akan dipasrahkan kepada anak yatim yang masih kecil
(sesuai dengan lafad ayat)? Tentu tidak, akan tetapi, yang benar adalah Allah
memerintahkan untuk memberikan harta itu kepada anak yatim yang telah
mencapai usia dewasa. Jadi, penggunaan kata yatama pada ayat di atas adalah
majaz karena maksud yang sebenarnya adalah orang-orang yang justru telah
meninggalkan usia yatimnya. Hubungan antara kedua makna ini
adalah i’tibar ma kana (mempertimbangkan apa yang telah berlalu).
Untuk hubungan i’tibaru ma yakunu bisa dilihat pada contoh ayat,
َّ َ َ ُ َ َ َ َ َ ُّ ُ ْ ُ ْ َ َ ْ َ َّ
)27 :‫اج ًرا كف ًارا (نوح‬
ِ ‫ِإنك ِإن تذرهم ي ِضلوا ِعبادك وال ي ِلدوا ِإال ف‬
“sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan
menyesatkan hamba-hambaMu dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang
berbuat maksiat lagi sangat kafir. (QS. Nuh: 27).”

Kata Fajiran Kaffaran dalam ayat ini adalah majaz karena anak yang


baru dilahirkan itu tidak bisa melakukan maksiat dan tidak dapat berbuat
kekufuran, tetapi mungkin akan melakukan yang demikian setelah masa
kanak-kanak. Jadi yang diucapkan adalah anak yang maksiat, namun yang
dimaksud adalah orang dewasa yang maksiat. Hubungannya adalah i’tibar
ma yakunu (mempertimbangkan sesuatu yang akan terjadi).

hubungan al-mahally  yaitu,
َ َّ ُ ْ َ َ ُ َ َ ُ ْ َ ْ َ
)18-17 :‫ (العلق‬ ‫الز َبا ِن َية‬ ‫ سندع‬،‫فليدع ن ِاديه‬
“maka biarkan dia memanggil golongannya (untuk menolongnya), kelak Kami akan
memanggil malaikat Zabaniyah.  (QS. Al-Alaq; 17-18)”
Makna kata nadi yang lumrah dipakai adalah tempat berkumpul. Akan
tetapi yang dimaksud dengannya adalah orang-orang yang ada di tempat
yang sama, siapapun dia, keluarga, pembantunya, teman dan  yang lain. Jadi,
kata nadi dalam ayat ini adalah majaz, yaitu menyebutkan tempat, namun
yang dimaksud adalah orang yang menempatinya. Hubungannya adalah al-
mahally.
Untuk hubungan al-haliyah seperti contoh berikut,
ّ َ َ ْ َّ
)22 :‫ (املطففين‬  ‫األب َر َار ل ِفي ن ِعيم‬ ‫ِإن‬
“Sesungguhnya orang-orang yang berbakti itu benar-benar berada dalam kenikmatan
yang besar (surga). (QS. Al-Muthaffifin: 22)”

Kenikmatan itu tidak dapat ditempati oleh manusia karena kenikmatan itu
sesuatu yang bersifat abstrak, yang bisa ditempati adalah tempat kenikmatan
itu. Maka penggunaan kata kenikmatan untuk menyatakan suatu tempat
adalah majaz, yaitu menyebutkan suatu hal yang menempati suatu tempat,
namun yang dimaksudkan adalah tempatnya itu. Jadi, hubungannya
adalah al-haliyah.

Berbeda dengan majaz mursal, majaz isti’arah adalah jenis majaz


yang ‘alaqahnya (hubungan antara makna hakiki dan majazi) karena danya
kesrupaan. Isti’arah juga diistilahkan dengan tasybih yang salah
satu tharafnya (musyabah {musta’ar lah} atau musyabah bih {musta’ar minhu})
dibuang.

Isti’arah ini banyak macamnya. Diantaranya:


1)      Berdasarkan penyebutan musta’ar lah dan musta’ar minhu-nya dibagi
menjadi dua, Tasrihiyah (isti’arah yang musta’ar minhu-nya disebutkan)
dan makniyah (isti’arah yang musta’ar minhu-nya dibuang dan sebagai isyarat
disebutkan salah satu sifat khasnya.
2)      Berdasarkan lafad yang dijadikan isti’arah, maka majaz ini dibagi
menjadi dua, isti’arah ashliyah apabila musta’ar (lafad yang dijadikan isti’arah)
berupa isim jamid (bukan kata kerja atau yang musytaq darinya) dan isti’arah
taba’iyah apabila musta’ar berupa fi’il atau isim yang musytaq.
3)      Berdasarkan persambungan dan hubungan dengan kata-kata
sesudahnya, majaz isti’arah ada tiga, isti’arah murasysyahah yaitu isti’arah
yang disertai penyebutan kata-kata yang relevan dengan musta’ar minhu.
Kedua, isti’arah mujarradah yaitu isti’arah yang disertai penyebutan kata-kata
yang relevan dengan musta’ar lah. Ketiga adalah isti’arah muthalaqah yaitu
isti’arah yang tidak disertai penyebutan kata-kata yang relevan
dengan musta’ar minhu maupun musta’ar lah-nya.
Sedangkan untuk majaz murakkab, baik itu murakkab mursal maupun murakkab
isti’arah itu pengertiannya sama dengan masing-masing majaz mufrad-nya
hanya saja dalam majaz murakkab bentuk majaznya tidak cuma satu
melainkan banyak (terdapat dalam satu kalimat).
BAB III
PENUTUP
C. Kesimpulan
Makna hakiki adalah makna yang sebenarnya, asli sesuai dengan petnjuk
harfiah suatu lafad sedangkan makna majazi adalah makna yang tidak
sebenarnya  disebabkan adanya hubungan-hubungan tertentu dan
disertai karinah  yang mengharuskan untuk tidak dimaknai secara hakiki.
Daftar Pustaka
1. Baqi, Fuad Abdul. Tt. al-Lu’lu’ wa al-Marjan. juz III. Beirut: Darul Fikr.
2. Al-Bukhari, “Shahih al-Bukhary” dalam al-Maktabah al-Syamilah
3. al-Hasyimi, Ahmad. Tt. Jawahir al-Balaghah. Beirut: Darul Kutubil Ilmiyah.
4. al-Jarim, Ali. dan Amin, Mustafa. Tt. al-Balaghat al-Wadihah. Surabaya:
Maktabatul Hidayah.
5. Terjemahan  al-Balaghat al-Wadhihah. Terj. Mujiyo Nurkholis dkk. 2010. Cet.
VIII. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
6. al-Jurjany, “al-Ta’rifat” dalam al-Maktabah al-Syamilah
7. al-Naisabury, Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy. “Shahih Muslim” dalam al-
Maktabah al-Syamilah
8. Qardhawi,  Yusuf. 1995. Studi Kritis As Sunah. Terj. Bahrun Abubakar.
Bandung: Trigenda Karya.
9. al-Qardhawi, Yusuf. 1995. Bagaimana Mamahami Hadis Nabi SAW. Terj.
Muhammad al-Baqir. Bandung: Karisma
10. al-Tahawi. 1995. Musykil al-Atsar. juz III. Beirut: Darul Kutibil Ilmiyah.

Anda mungkin juga menyukai