Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

MUQADDAM DAN MUAKHAR


Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Ulumul Qur’an
Dosen Pengampu:
Dr.Samsul Ariyadi, M.A.

Disusun Oleh:
Siti Luthfiatul Arifah (21211850)
Wilandari (212 118 28)
Siti Nur Azizah (21211806)

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
INSTITUT ILMU AL-QUR’AN (IIQ) JAKARTA
2022-2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat serta karunia Nya kepada kami, Sehingga kami dapat menyelesaikan
tugas makalah yang berjudul “Muqaddam dan Muakhar”. Shalawat beserta salam semoga
selalu tercurahkan kepada Nabi SAW. Beserta keluarga dan para Sahabatnya.
Selanjutnya, kami ucapkan terima kasih kepada bapak Dr. Samsul Ariyadi M.A.
Selaku Dosen Pengampu mata kuliah Ulumul Qur‟an yang telah membimbing dan
memberikan banyak Ilmu kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah ini
dengan baik dan tepat waktu.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna karena
keterbatasan pengetahuan. Maka dari itu, dengan rendah hati kami mengharapkan Saran dan
Kritik yang bersifat membangun dari para pembaca, tak lain semata untuk membantu kami
agar dapat menyusun makalah dengan lebih baik kedepannya. Terakhir, semoga makalah ini
bermanfaat untuk kita semua, Aamiin Yaa Rabbal „Aalamin.

Jakarta, 7 November 2022

Pemateri
DAFTAR ISI

BAB 1......................................................................................................................................... 4

PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 4

BAB 11....................................................................................................................................... 7

PEMBAHASAN ....................................................................................................................... 7

A. Pengertian Taqdim dan Ta’khir .................................................................................. 7

B. Macam-macam bentuk taqdîm dan ta’khîr dalam Al-Qur’an dan tafsiran ayat-
ayatnya................................................................................................................................... 8

C. Sebab Dan Rahasia Taqdîm Dan Ta’khîr Dalam Al-Qur’an Dan Contoh
Ayatnya. ................................................................................... Error! Bookmark not defined.

D. Urgensi Taqdîm Dan Ta’Khîr Serta Macam-Macam Dan Bentuknya.................. 19

BAB 111................................................................................................................................... 20

PENUTUP ............................................................................................................................... 20

Kesimpulan ......................................................................................................................... 20

Daftar Pustaka .................................................................................................................... 20


BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Alquran sebagai kitab suci merupakan sumber pertama dari ajaran Islam yang
berfungsi sebagai petunjuk atau pedoman hidup bagi umat Islam dalam mencapai
kebahagiaan di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, umat Islam harus mempelajarinya dengan
baik. mengkajinya dengan baik, diperlukan kemampuan untuk memahami qawaid al-lugah
al- Arabiyah, agar pesan-pesan ilahiyah yang terdapat didalamnya dapat menjadi pegangan
untuk diamalkan dalam berbagai aspek kehidupan, baik yang menyangkut hubungan dengan
Allah maupun hubungan dengan sesama nanusia dan lingkungan.
Pemahaman dan pengkajian terhadap ayat-ayat Alquran telah banyak dilakukan oleh
umat Islam, sejak diturunkan sampai sekarang. Hal ini dapat dilihat dengan dilakukannya
berbagai upaya untuk memahami ayat-ayat Alquran dan lahirnya kitab-kitab tafsir yang telah
ditulis oleh para ulama, tidak hanya oleh ulama-ulama yang hidup pada masa awal Islam,
tetapi juga pada masa-masa berikutnya. Hingga saat ini dapat disaksikan sejumlah kitab tafsir
yang ditulis dengan berbagai metode, pendekatan dan aspek penafsirannya, baik aspek
akidah, aspek hukum, aspek sosiologi, maupun aspek kebahasaan.
Diskursus penafsiran Alquran secara kebahasaan telah banyak dilakukan oleh para
ulama terdahulu dan sekarang lewat karya-karya mereka. Hal ini sangat membantu dan
memudahkan bagi para peminat yang ingin memahami Alquran terutama bagi orang 'ajam
(bukan orang-orang Arab). Selain itu pengetahuan yang baik dan benar tentang kebahasaan
Alquran akan menjaga seorang mufassir dalam ketergantungan penafsiran yang tidak sesuai
dengan pesan Alquran.
Kajian Tafsir dari aspek kebahasaan telah melahirkan berbagai macam kitab tafsir,
seperti Tafsir Al-Kasysyaf karya Al-Zamakhsyari, berbagai buku tentang kaidah-kaidah
memahami ayat-ayat Al-Quran, seperti Al-Burhan fi 'Ulum Al-Qur'an karya Al-Zarkasyiy dan
berbagai buku mengenai rahasia-rahasia yang terkandung dalam balagah Alquran, seperti Min
Balagat Al-Qur'an karya Ahmad Badawiy. Munculnya kajian tentang bahasa Alquran
mengindikasikan bahwa gaya bahasanya merupakan salah satu aspek kemukjizatan diantara
kemukjizatan yang lain yang mesti diperhatikan ketika mengkaji ayat-ayat Alquran.
Daya tarik untuk mengkaji ayat-ayat Alquran dari aspek kebahasaan telah
menimbulkan kesadaran untuk mengungkap rahasia-rahasia yang terkandung dalam balagah
Alquran, karena didalamnya terdapat begitu banyak aspek kebahasaan yang mungkin dapat
diungkap, di antaranya adalah aspek balagah. Menurut Imam As-Suyuti ilmu balagah
merupakan salah satu persyaratan penting bagi seseorang yang hendak menjadi mufassir,
karena terkadang satu ayat baru dapat dimengerti maksudnya hanya dengan memahami ilmu
balagah. Sementara itu, ilmu balagah yang terkandung dalam ayat-ayat Alquran memiliki
ruang lingkup pembahasan yang cukup luas, salah satunya adalah tentang takdim dan ta'khir.
Takdim dan ta'khir dalam Alquran dapat diartikan sebagai adanya suatu kata yang
didahulukan atau diakhirkan dari tempat yang sebenarnya dengan tujuan tertentu. Misalnya,
kata ‫( اموال‬harta benda) didahulukan dari kata ‫( اولد‬anak-anak) pada ayat-ayat sebagai berikut:
‫)وا ْعلَ ُم ْْٓوا اَنَّ َما ْٓ ا َ ْم َوالُ ُك ْم َوا َ ْو ََل ُد ُك ْم فِتْنَةٌ َّۙوا َنَّ ه‬.
QS. Al-Anfal 8/28 (‫ّٰللاَ ِع ْندَه اَجْ ٌر ع َِظ ْي ٌم‬ َ
Didahulukannya kata ‫( اموال‬sebagai takdim) dari kata ‫( أوالد‬seabagai takhir) secara
sepintas tidak banyak berbeda dengan penggunaannya dalam buku-buku berbahasa Arab yang
ditulis oleh ulama Nahwu dan Balagah, baik buku-buku klasik maupun modern. Dalam
perspektif bahasa Arab, kedua kata tersebut sama kedudukannya karena diantarai oleh huruf
ataf yakni (‫)الواو‬, sehingga mana saja boleh didahulukan penyebutannya. Akan tetapi, setelah
dilakukan pengkajian yang mendalam, ternyata pada sejumlah besar konteks ayat mempunyai
karakteristik tersendiri. Karakteristik tersebut sangat terkait dengan kenyataan yang ada
bahwa seluruh lafal dalam Alquran sudah dipilih dan disesuaikan dengan konteksnya,
sehingga kata tersebut membawa makna yang sangat dalam bagi konteks suatu ayat. Oleh
karena itu, jika suatu ayat berada pada posisi takdim, kemudian pada ayat lain ia diposisikan
sebagai takhir, maka dapat dipastikan bahwa perbedaan penempatan kata ini memiliki tujuan
tersendiri.
Secara historis, keistimewaan Alquran dari segi bahasa merupakan kemukjizatan
utama dan pertama yang ditujukan kepada masyarakat Arab Mereka dapat merasakan
keindahan bahasa Alquran. Hal ini dimungkinkan karena sebelum Islam menyinari kehidupan
orang-orang Arab Jahiliyah, mereka telah memiliki kehidupan kesusasteraan yang tinggi dan
terpelihara secara turun-temurun. Akan tetapi Alquran bukan seperti syair yang mereka kenal
selama ini dan bukan pula sihir, karena Nabi Muhammad saw. sebagai orang yang
menyampaikannya dikenal sebagai sosok yang terpercaya atau . Itulah sebabnya ketika orang-
orang kafir menuduh bahwa Alquran itu adalah buatan Muhammad saw., maka Allah
menantang mereka. Ternyata tidak satupun dari mereka yang sanggup membuat seperti
halnya Alquran. Hal inilah yang menggugah rasa ingin tahu tentang kemu'jizatan Alquran
dari segi kebahasaan (qawaid al-lugah al- Arabiyah). Dalam hal ini penulis sangat tertarik
untuk mengkaji rahasia takdim dan taʼkhir dalam Alquran.
Dari penjelasan di atas, maka yang menjadi permasalahan pokok dalam makalah ini
adalah penulis ingin menelaah secara kebahasaan (qawa'id al-lugah al-Arabiyah) terhadap
ayat-ayat Al-Quran yang mengandung takdim dan ta'khir. Dengan permasalahan sebagai
berikut:" Sejauhmana implikasi takdim dan takhir dalam memahamai ayat-ayat Alquran?

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari Muqaddam dan Muakhar
2. Apa Fugsi dari Muaqaddam dan Muakhar
3. Bagaimana bentuk contoh Muaqaddam dan Muakhar

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui definisi Muqaddam dan Muakhar
2. Mengetahui fungsi dari Muaqaddam dan Muakhar
3. Memahami contoh-contoh ayat dari Muqaddam dan Muakhar
BAB 11

PEMBAHASAN
A. Pengertian Taqdim dan Ta’khir

Taqdîm dan ta‟khîr adalah salah satu keistimewaan gaya bahasa ( ushlûb ) balâghah
yang memiliki keindahan makna serta pengaruh yang mendalam bagi pendengar maupun si
pembicara. Dan setiap kalimat yang terucap melalui kata-kata serta susunan kalimat yang
teratur merupakan ketinggian serta keindahan gaya bahasa ini. Ushlûb menurut pandangan
para-sastrawan ( al-Balîgh ) adalah salah satu seni ilmu balâghah yang dapat mengungkap
dan menyingkap rahasia serta sebab-sebab kalimat dalam menempatkan kata-kata yang dapat
menggugah dan menyentuh perasaan. Dan taqdîm dan ta‟khîr dalam Al-Qur‟an terdapat
bermacam-macam yang memiliki sebab-sebab dan rahasia yang jelas, kemudian diungkap
oleh para ulama tafsir dengan berbagai penafsiran terhadap ayat-ayatnya.

Gaya bahasa Muqaddam dan Muakhar dalam Al-Qur‟an, sedikitnya mempunyai dua
kajian pokok yang perlu diperhatikan: pertama, kajian yang terkait dengan teks Al-Qur‟an
yang secara lahir sulit dipahami maknanya (Musykil), namun setelah diketahui bahwa teks
tersebut termasuk gaya bahasa yang didahulukan (al-Taqdim) dan yang diakhirkan (al-
Ta‟khir), maka jelas daan hilanglah kesulitan itu. Kedua, kategori kajian kedua adalah
Muqaddam-Muakhar yang tidak terjadi makna ambigu (Musykil). Dalam kategori kedua ini,
sesuatu yang didahulukan mempunyai segi yang lebih special, serta mempunyai beberapa
fungsi.

B. Macam-macam bentuk taqdîm dan ta’khîr dalam Al-Qur’an dan tafsiran ayat-
ayatnya.

Bentuk taqdim dan ta‟khîr dalam Al-Qur‟an, menurut As-Zarkasyi ( w. 794 H )ada

tiga macam, Pertama : Didahulukan dengan maknanya tetap sebagai taqdîm )‫)ما قدم واملعين عليو‬.

Kedua Didahulukan tetapi maksudnya diakhirkan )‫(مماقدم والنية بو التاخري‬. Ketiga : Didahulukan

dalam suatu ayat dan diakhirkan pada ayat yang lain )‫خر يف أخري‬
ّ ‫ )ماقدم يف أية وا‬.
1

1
AZ-Zarkasyî ( 794 H ), Al-Burhân Fî Ulûmil Qur‟an, ( Beirut : Dar-Al-Fikr, 1408 H / 1988 M ), Cet. I, Jilid
ke-3, h. 279, 319, 329
Ketiga bentuk taqdîm dan ta‟khîr di atas, berkembang dari pemahaman yang dikembangkan
oleh para pakar ilmu bahasa ( Nahwu-sharf, Balâghah serta sastra ), dan pada awalnya
dikembangkan oleh para ulama Balâghah, di antaranya : Pertama : Oleh Abdul Qâhir Al-
Jurjâni ( w. 471 H ) yang kemudian dilanjutkan oleh Khatîb Al-Qazwainî ( w. 379 H ). Kedua
: Oleh Syamsuddin Ibn Shâ‟ig al-Khifnî ( w. 876 H ). Ketiga : Oleh Dhiyâuddin Ibn Atsîr ( w.
1239 H ). Dan yang Keempat : Oleh ulama tafsir, yaitu Abu Su‟ûd ( w. 982 H ) dan Imam
Zamakhsyari ( 583 H ).2

1. Metode ( manhaj ) yang dikembangkan para ulama Balâghah, berpegang kepada unsur-
unsur berikut ini :
a) Haqîkat ( kedudukan ) taqdîm.
b) Tujuan ( aghrâd ) taqdm.
c) Macam-macam taqdîm dan tema-temanya.
Unsur kedua dan ketiga lebih terfokus kepada metode. Sedangkan unsur yang pertama
lebih cenderung kepada pembahasan sebab-sebab terjadinya taqdîm dan ta‟khîr. Tujuan
taqdîm menurut mereka ada dua macam, pertama : tujuan secara umum, seperti ; ambil
perhatian (ihtimâm), dan kedua : tujuan secara khusus yaitu untuk mengkhususkan (takhsîsh).
Sedangkan macam-macam taqdîm menurut ulama Balâghah, adalah :

a. Taqdîm dengan niat ta‟khîr )‫)تقدمي علي نية التاخري‬, yaitu mendahulukan suatu kata tetapi

niatnya adalah ta‟khîr (diakhirkan ). Contoh: )‫ )يف بيتو احلكم‬dalam hal ini, mendahulukan

khabar sebelum mubtada‟, maksudnya meskipun didahulukan khabarnya )‫)يف بيتو‬,

namun tetap kedudukannya sebagai Ta‟khir. Juga )‫ )متيمي اان‬yaitu mendahulukan khabar

(‫)متيمي‬terhadap Mubtada‟nya yaitu: (‫)انا‬. Mendahulukan Maf‟ul sebelum Fa‟il atau

Fi‟ilnya, Meskipun Maf‟ul didahulukan tetapi maksudnya tetap sebagai Maf‟ul yang

kedudukannya diakhir (Ta‟khir), Contoh: )‫(ضرب غالمو زيد‬.

b. Taqdim tidak bertujuan Ta‟khir )‫)تقدمي ال على نية التاخري‬, yaitu mendahulukan sesuai

dengan kedudukannya, seperti: mendahulukan Mubtada‟ terhadap Khabar,


mendahulukan Fi‟il terhadap Fa‟il. Cara-cara ini adalah menurut Abdul Qadir Al
Jurjani dalam Kitabnya (Dala‟il I‟jaz) dan kemudian diikuti oleh yang lainnya dari
2
Abdul Adhîm Ibrâhim Muhamad Muth‟inî, Khashâ‟is At-Ta‟bîr Al-Qur‟ani Wa Simâtuhu Al-Balâghiyah, (
Kairo : Maktabah Wahbab, 1413 H / 1993 ), cet. I, Jilid ke-2, h. 79-80
Ulama‟ Balaghah seperti Khatib Al Qazwaini (w. 379 H.), meskipun dalam hal ini
Zamakhsyari (w. 538 H.) tidak sependapat)3

Sedangkan tema-tema ( maudhu’ât ) taqdîm, menurut ulama Balâghah, tentu tidak keluar
dari situasi berikut ini :

1) Mendahulukan Musnad Ilaih. Dalam hal ini, hanya khusus untuk mubtada‟, seperti

mendahulukn musnad ilaih, yaitu lafazh )‫ ) زيد‬dalam contoh )‫( )زيد منطلق‬Si Zaid

Berangkat), sedangkan dalam bentuk fâ‟il tidak ada tempat dalam situasi ini, karena
jika fâ‟il didahulukan terhadap fi‟ilnya maka ia harus menjadi mubtada‟ dan akan

hilang kedudukan fi‟il dan fâ‟ilnya, contoh ( ‫)ينطلق زيد‬, bila didahulukan fâ‟il-nya, maka

menjadi (‫)زيد ينطلق‬. Dengan demikian kalimat tersebut bukan taqdîm dan tâ‟khîr.

2) Mendahulukan musnad. Hal ini khusus untuk khabar yang bukan dari fi‟il. Karena
bila khabarnya didahulukan, maka mubtada‟-nya berubah menjadi fâ‟il. Seperti

contoh : )‫ ) الصدق ينفع‬maka menjadi (‫) ينفع الصدق‬. Dan kalimat ini, menjadi bab

taqdîm dan ta‟khîr.


3) Mendahulukan muta‟alliqât terhadap „âmil ( faktor )-nya. Seperti ; mendahulukan
maf‟ûl terhadap fâ‟il, dan sebagainya.
2. Metode Ibn Sha‟ig ( w. 876 H ) dalam persoalan taqdîm.

As-Suyûtî ( 911 H ) dalam kitabnya Al-Itqân, membagi taqdîm menjadi dua bagian,
yaitu:
Pertama : Sesuatu yang tidak jelas maknanya secara zhâhir ( nyata ), dan setelah
diketahui bahwa pokok bahasan ini merupakan bab taqdîm dan ta‟khîr, maka jelas
maksudnya. Contohnya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abû Hâtim ( w. 248
H ) , bahwa Al-Qur‟an surat Thâha / 20 : 129, berbunyi :

‫َج ٌل ُّم َس ِّمى‬ ِ َ ِّ‫ت ِمن َّرب‬


َ ‫ك لَ َكا َن ل َز ًاما َوأ‬ ْ ‫َولَ ْوَال َكلِ َمةٌ َسبَ َق‬
Artinya: Dan sekiranya tidak ada suatu ketetapan dari Allah yang telah terdahulu atau
tidak ada ajal yang telah ditentukan, pasti (azab itu) menimpa mereka.4

3
Abdul Adhîm Ibrâhim Muhamad Muth‟inî, Khashâ‟is At-Ta‟bîr Al-Qur‟ani Wa Simâtuhu Al-Balâghiyah,
(Kairo:Maktabah Wahbab, 1413 H / 1993 ), cet. I, Jilid ke-2, h. 81
4
https://tafsirweb.com/5371-surat-thaha-ayat-129.html
Menurut As-Suyûtî, bahwa ayat di atas masuk dalam bab taqdîm dan ta‟khîr,

dengan taqdîr (‫اما‬ ِ ِ ِ


ً ‫س ِّمى لَ َكا َن ل َز‬
َ ‫َج ٌل ُّم‬
َ ‫) َول َْوَال َكل َمةٌ َوأ‬, dimajukan lafazh ( ‫ ) لَ َكا َن ل َز ًاما‬dan

diakhirkan lafazh (‫س ِّمى‬


َ ‫َج ٌل ُّم‬
َ ‫ ) َوأ‬sehingga maksudnya, “ Dan sekiranya tidak ada
ketetapan dari Allah serta ajal yang telah ditentukan, pasti akan menimpa mereka.
Ketetapan serta ajal yang ditentukan Allah SWT menyebabkan tertundanya azab.
Demikian taqdîm ayat di atas tanpa mengubah maksudnya.5

Kedua: As-Suyuthi memberikan definisi dengan ungkapan ) ‫) ما ليس كذلك‬

(sesuatu yang tidak sama dengan maksud yang pertama). Yaitu bahwa taqdim
dimaksudkan adalah mendahulukan lafadz-lafadz yang keterangannya lebih penting dan
penjelasannya lebih diperlukan. Keterangan diatas merupakan penjelasan Al-Imam
Syamsudin ibn Shaigh Al-Khifni (w. 876 H), yang tertulis dalam kitabnya yang berjudul

) ‫) )املقدمة يف أسرار األ لفاظ املقدمة‬pembukaan tentang rahasia lafazh-lafazh yang didahulukan),

dan Imam berkata: “ bahwa hikmah yang terpenting dalam mendahulukan lafazh-lafazh
tersebut sama dengan yang dimaksud oleh as-Sibawaih ( w. 181 H ) dalam kitabnya,

dengan ungkapan, yaitu ) ‫ ) ) الذي بيانو أىم وىم ببيانو أعين‬bahwa mereka mendahulukan lafazh-

lafazh yang dirasa keterangannya lebih penting dan penjelasannya lebih diperlukan ).
Contoh, didahulukannya lafazh Jalâlah ( Allah) dalam persoalan yang sangat penting,
dengan tujuan tabaruk ( mencari berkah ). Sebagaimana dalam surat Ali-Imrân / 3 : 18

ِۗ ۢ ٰۤ ٰۤ َۙ
‫اّللُ اَنَّوُ َالٓ اِ هل َو اَِّال ُى َو َوال َْم هل ِٕى َكةُ َواُولُوا ال ِْعل ِْم قَا ِٕى ًما ِِبل ِْق ْس ِط‬
ّ‫َش ِه َد ه‬

)Allah menyatakan bahwa tidak ada tuhan selain Dia; (demikian pula) para malaikat dan
orang-orang berilmu yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang
menegakkan keadilan ).

Tujuan dari taqdîm di atas, bahwa syahadat kepada Allah lebih besar kedudukannya
dari pada syahadat kepada Malaikat. Dan syahadat kepada Malaikat lebih besar dari

5
As Suyuthi, Al-Itqan Fii Ulumul Qur‟an (Beirut: Darul Fikr Li at-Thaba‟ah Wa Nasyr Wa Al Tawzi‟, 1416 H/
1996 M), Jilid ke-2, Cet. Ke-3, h. 33
pada syahadat kepada para ulama, karena mereka lebih dekat kepada Allah dan lebih
ta‟at.6

3. Metode Ibn Atsîr ( w. 1239 H ) dalam taqdîm.


Ibn Atsîr membagi taqdîm menjadi dua bagian, yaitu : pertama : sesuatu yang khusus

untuk penunjukan lafazh terhadap makna ) ‫ ( ما يتخص بدال لة األ لفاظ على املعين‬Meskipun itu

telah diakhirkan, namun tidak mengubah maknanya sebagai taqdîm. Yang kedua :

sesuatu yang khusus untuk tingkatan taqdîm dalam penyebutan ) ‫ما خيتص بدرجة التقدمي‬

‫ ) يف الذكري‬Dan menurut beliau, dalam bagian pertama bab taqdim ini, terdapat dua

macam aspek, yaitu :

1) Sesuatu yang didahulukan itu lebih mengena ( ablag ). Seperti ; mendahulukan maf‟ûl
terhadap fâ‟ilnya, mendahulukan khabar terhadap mubtada‟, mendahulukan hâl
terhadap „âmilnya. Dan taqdîm semacam ini bertujuan untuk pengkhususan
(ikhtishâsh) dan juga untuk menjaga keserasian kalimat ( murâ‟atu nazhm kalâm ).
Pendapat ini tidak diterima oleh Al-Zamakhsyari ( w. 538 H ) kemudian dijadikannya
sebagai satu maksud, yaitu ikhtishâsh ( pengkhususan ). Contohnya, sebagaimana
ِ‫ش‬
terdapat dalam surat Az-Zumar / 39 : 66 ( ‫ك ِريْ َن‬ ّ‫اّللَ فَا ْعبُ ْد َوُك ْن ِّم َن ال ه‬
ّ‫ ( ) بَ ِل ه‬Karena itu,
maka hendaklah Allah saja kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang

ّ‫ ) بَ ِل ه‬dan tidak disebutkan ) ‫بَل أعبد‬


yang bersyukur ). Disebutkan dalam ayat ( ‫اّللَ فَا ْعبُ ْد‬

ّ‫) ه‬. Didahulukan maf‟ûl bih dengan tujuan memberikan makna secara khusus
‫اّلل‬

terhadap perintah ibadah yang hanya kepada Allah SWT semata dan tidak kepada
selain-Nya. Meskipun kalimat ( ‫ ( بل أعبد هللا‬dibenarkan, namun mendahulukan maf‟ûl-
bih dari fi‟ilnya adalah lebih utama. Ibn Atsir ( w. 1239 H ) memberikan contoh
lain, untuk menjaga keserasian kalimat ( Murâ‟atu Nazhm al-Kalâm ), dan surat Al-

Fâtihah / 1 : 5 ‫ستَ ِع ْي‬ ِ ِ


ْ َ‫( ا ََّّي َك نَ ْعبُ ُد َوا ََّّي َك ن‬Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan
hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan). Namun Al-Zamakhsyari dalam
hal ini menyebutnya sebagai ikhtishâsh. Disamping tujuan keserasian kalimat, juga

6
Abdul Adhîm Ibrâhim Muhammad Muth‟inî, op.cit., h. 104-105
dimaksudkan untuk menjaga keindahan susunan sajak yang diakhiri dengan huruf

nûn, karena bila disebutkan (‫ستَ ِع ْينك‬


ْ َ‫) ن ََ ْعبُ ُد و ن‬, maka akan hilanglah keindahan
(thalâwah ) kalimatnya.7

Ibn Atsîr ( w. 1239 H ) berkata, bahwa dalam ayat ( ‫) و اقمر قدرانه منازل‬,

mendahulukan maf‟ûl fih terhadap fi‟il tidak termasuk dalam kajian bab ikhtishâsh,

akan tetapi bagian dari bab murâ‟atu nazm kalâm. Juga dalam kalimat ( ‫النهار الليل‬

‫)نسلخ منو‬. Semuanya untuk tujuan keindahan susunan kalimat. Demikian juga

mendahulukan maf‟ul yang terdapat dalam surah Ad-Dhuha / 93: 9-11, yaitu untuk
keserasian kalimat.8
Suatu kalimat bila diakhirkan, lebih mengena ( ablag ). Maksudnya adalah bila suatu
kalimat didahulukan itu baik, tetapi akan lebih baik bila diakhirkan. Seperti
didahulukan sifat terhadap maushûf, didahulukan shilah terhadap maushûl.
4. Metode Mufassirin dalam taqdîm.
Bila diperhatikan ternyata bahwa metode yang dikembangkan oleh ulama tafsir jelas
perbedaannya dengan beberapa metode sebelumnya, baik metode Ibn Shâ‟ig, metode
ulama Balâghah maupun metode Ibn Atsîr. Metode Mufassirin dikembangkan dengan
menjelaskan makna dan lebih mengutamakan I'jâz ( keindahan ) bahasanya.
Dengan demikian, metode yang dikembangkan ulama tafsir ini, tidak terlepas dari ketiga
metode sebelumnya, dengan menggabungkan metode- metode sebelumnya. Maka metode
ini memiliki kekayaan yang sangat tinggi dalam persoalan taqdîm dan rahasia yang
terkandung di dalamnya, seperti menjaga keserasian ( ri‟âyatul fasl ) sebagaimana yang

dilakukan ulama Balâghah, dan keindahan susunan sajak (husnu nazhm saj‟î) sebagaimana
yang dilakukan Ibn Atsîr. Metode yang dikembangkan ulama tafsir ini, landasannya adalah
dua imam, yaitu :
1. Al-Allamah Abu Su‟ud ( w. 982 H ) dalam kitabnya, Irsadul Aql al-Salim
ila Mazaya Al-Kitab Al-Karim.
2. Al-Imam Mahmûd Ibn Umar Al-Zamaksyari ( w.538 H ), dalam kitabnya,

7
Abdul Adhîm Ibrâhim Muhammad Muth‟inî, op.cit., h. 124 -521
8
Abdul Adhîm Ibrâhim Muhammad Muth‟inî, op.cit., h. 26
Al-Kasysyâf „An Haqâ‟iqi Gawâmidhi al-Tanzîl.

Beberapa contoh penafsiran dari metode Abu Su‟ûd sebagaimana dalam surat
Al-Hajj / 22 : 23 ; yaitu :

‫اس ُه ْم فِ ْي َها َح ِريْر‬ ‫ب‬ِ‫ب َّولُْؤلًُؤ ِۗا ول‬


ٍ ‫ُُيَلَّ ْو َن فِ ْي َها ِم ْن اَ َسا ِوَر ِم ْن ذَ َى‬
ُ ََ
“Di surga sana mereka diberi perhiasan gelang-gelang emas dan mutiara, dan
pakaian mereka dari sutera.”

Abu Su‟ûd (w. 982 H) mengatakan bahwa mendahulukan perhiasan (tahliyah )

sebelum pakaian ( libâs ), dengan kata-kata ( ‫ ) ذىب‬dan ( ‫) لؤلؤا‬, karena libâs itu adalah

pakaian yang biasa dan lazim dipakai oleh manusia, sedangkan tahliyah suatu yang
berbeda dan istimewa, sehingga menurut Abu Su‟ûd pantas untuk didahulukan, karena
memiliki makna khusus.9
Dalam menafsirkan surat Al-Mu‟minûn / 23 : 23, Abu Su‟ud menjelaskan
tentang mendahulukan suatu cerita ( qishah ), terhadap kisah yang lainnya. Yaitu
dimulai dengan kisah Nabi Nûh As sebagai berikut :

Artinya :
“ Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu ia
berkata: "Hai kaumku, sembahlah oleh kamu Allah, ( karena ) sekali-kali
tidak ada Tuhan bagimu selain Dia. Maka mengapa kamu tidak bertakwa
( kepada-Nya ) ?" ( Al-Mu‟minûn / 23 : 23 ).

Mendahulukan qishah Nabi Nuh As. terhadap qishah nabi-nabi yang lain, beralasan
karena kedudukan Nabi Nûh As itu lebih dahulu adanya sehingga sesuai dengan
urutan zamannya. Dan tidak terdapat perbedaan yang signifikan di antara taqdîm yang
dikembangkan Al-Zamakhsyari dan Abu Su‟ûd, namun metode taqdîm yang
dikembangkan kedua ulama tersebut sangatlah bebas dan memiliki penghayatan
yang mendalam serta tidak terfokus kepada kaidah bahasa ( nahwu-sharf ) dan

9
Abdul Adhîm Ibrâhim Muhammad Muth‟inî, op.cit., h. 531
sebagai landasannya adalah surat An-Nahl / 16 : 6, dengan maksud tidak terikat
kepada kaidah bahasa dan memiliki keindahan.

Az-Zarkasyi mengatakan, mengapa beberapa qishah dalam Al-Qur‟an tidak disebutkan


secara berurutan. Yaitu yang seharusnya didahulukan adalah tentang pembunuhan ( al-qatl
), kemudian qishah penyembelihan sapi, sebagaimana yang dimaksudkan ( taqdîr )
lain : “ Dan ( ingatlah ), ketika kamu membunuh seorang manusia lalu kamu
saling tuduh menuduh tentang itu, lalu Kami berfirman:) Sembelihlah seekor sapi
dan kemudian pukullah mayat itu dengan sebagian anggota sapi itu (".

Az-Zarkasyi menjawab atas petanyaan di atas, bahwa setiap qishah ( cerita ) tentang
Bani Israil tidak diceritakan sesuai dengan urutannya, karena setiap qishah sangat
ditentukan sesuai dengan batasan dan beratnya suatu kejahatan ( jinâyat ). Karena itu
qishah di atas dibagi menjadi kepada dua kelompok berdasarkan taqrî‟ ( celaan ).
Pertama : dikelompokkan berdasarkan kekejihan perbuatannya, dan diperintahkan
untuk meninggalkannya. Kedua ; dikelompokkan berdasarkan atas pembunuhan yang
diharamkan. Sedangkan mendahulukan qishah penyembelihan sapi ( dzabhul
baqarah ) terhadap pembunuhan yang diharamkan dalam ayat di atas, karena jika
disesuaikan dengan urutannya ( pembunuhan yang diharamkan, kemudian
penyembelihan sapi ) maka qishah-nya masih tetap sama tentang pembunuhan dan
tidak ada perbedaan, oleh karena itu tidak perlu pengelompokkan. Dan dibedakan
sesuai dengan kejahatan dan dikelompokkan dengan dua celaan ( taqrî‟ ) untuk
membedakan kedua perbuatan dan dua bentuk kejahatannya. Demikian menurut
imam Zamakhsyari.

C. Sebab Dan Rahasia Taqdîm Dan Ta’khîr Dalam Al-Qur’an Dan Contoh Ayatnya.

Secara global As-Suyûti ( 911 H ) dalam kitabnya menyebutkan, dengan


tujuannya sebagai berikut, yaitu :

Pertama : Dengan tujuan tabarruk ( ‫ ) التربك‬yaitu mencari berkah. Terdapat

beberapa ayat ayat yang mendahulukan „asmâ Allah, yaitu dengan tujuan untuk
memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan mencari berkah. Contohnya dalam surat
Ali-„Imran 3:18 :
Artinya : “ Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang
menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan
yang demikian ) tiada Tuhan melainkan Dia Yang Maha perkasa dan Maha
Bijaksana”. ( Ali-Imrân / 3 : 18 ). Didahulukan Lafazh Jalâlah pada ayat di atas,
dengan alasan karena lafazh Jalâlah memiliki kedudukan yang lebih tinggi dan mulia.
Dan tidak diragukan lagi bahwa persyaksian terhadap Allah lebih tinggi kedudukannya
dibanding persyaksian kepada Malaikat, dan persyaksian kepada Malaikat lebih tinggi
dari para ulama, maka didahulukan.

Kedua : Untuk Ta‟dzîm yaitu untuk mengagungkan. Sebagaimana surat An-Nisâ‟ / 5 : 69


Artinya : “ Dan barangsiapa yang menta`ati Allah dan Rasul ( Nya ), mereka itu
akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni`mat oleh Allah, yaitu:
Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang- orang saleh “. (
Al-Nisâ‟ / 5 : 69 ).

Dalam ayat di atas perintah ta‟at kepada Allah didahulukan terlebih utama sebelum
perintah ta‟at kepada rasul, karena Allah itu lebih Agung kedudukan-Nya dan lebih besar
dari semua makluk-Nya. Dan lafazh Jalâlah didahulukan menurut al- Baidhawi, karena
perintah ta‟at kepada Allah adalah sebagai sugesti ( targhîb ) bagi umat Islam untuk
menta‟ati Allah kemudian menta‟ati mereka-mereka yang disebutkan dalam ayat, sesuai
dengan janji-Nya, karena mereka memiliki ketinggian akhlaq yang mulia. Yaitu para nabi
(nabiyyûn ) yang sukses dalam perjuangannya sesuai dengan ilmu dan amal mereka dalam
menegakkan kalimat tauhid. Juga orang- orang yang jujur dan benar ( shiddîqun ) yang
sangat tinggi derajat ketaqwaannya, serta para ahli jihad yang mati syahid dalam
menegakan agama Allah ( syuhadâ‟ ) dengan semangat yang kuat dalam berdakwah
menegakan kalimat lâ ilâha-ilallah, dan juga para orang-orang shaleh ( shâlihîn ) yang
diberi umur panjang serta harta benda yang cukup yang digunakan untuk tujuan beribadah
dan mencari keridha‟an Allah SWT semata. Mereka tergolong orang-orang yang diberi
nikmat ( oleh Allah ) kerena mereka betul-betul lebih mengenal Allah dibanding
makhluk-makhluk lain, sehingga orang-orang yang beriman diperintahkan untuk
menta‟ati mereka.10

10
Al-Baidlawi, Tafsir Baidlawi (Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta‟wil), (Beirut: Dar-Al-Fikr, 1416 H/ 1996 M),
Jilid ke-2, h.214
11
Ketiga : Untuk tujuan tasyrîf ( ‫) اتشريف‬ yaitu untuk memulyakan. Ibn Shâ‟ig

mengatakan, bahwa mendahulukan muzakkar ( laki-laki ) sebelum mu‟annats


(Perempuan) seperti yang terdapat dalam surah Al-Ahzab ayat 35.

Keempat : Untuk munasabah ( ‫ ) املناسبة‬yaitu penyesuaian. Dalam hal ini, As-

Suyutti membagi munasabah tersebut kepada dua sebab. Pertama : penyesuaian


lafazh yang didahulukan ( al-mutaqaddim ) sebab siyaqul kalam ( konteks ).
Contohnya dalam surat Al-Nahl / 16 : 6, yaitu :

Artinya :“ Dan kamu memperoleh pandangan yang indah padanya, ketika


kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya ke tempat
penggembalaan. “ ( An -Nahl / 16 : 6 ).

Kelima : Untuk mendorong ( ‫ ) احلث عليو‬dan menjaga agar tidak

menyepelekan. Contoh dari rahasia taqdîm ini sebagaimana dalam surat An-
Nisâ‟/4:11 tentang mendahulukan wasiat ( washaya ).
Alasan didahulukan washiyah ( wasiat ) terhadap dain ( hutang-piutang ) bagi
ibu / bapak yang meninggal dunia, untuk mendorong berwasiat dan menjaga agar
tidak menyepelekan hak mereka, karena kebiasaan yang terjadi bahwa wasiat itu
disepelehkan sedang hutang-piutang didahulukan12. Az-Zarkasyi ( w. 794 H )
mengatakan, bahwa wasiat didahulukan terhadap dain, karena menurut hukum
syari‟ah, bahwa wasiat itu berkenaan dengan warisan ( warasah ), dan cara
pengambilannya serupa dengan mirats ( harta warisan ) yang memerlukan
penyelesaian yang baik. Berbeda dengan hutang-piutang yang mudah dilaksanakan,
karena merupakan suatu kewajiban yang harus disegerakan bersamaan dengan
wasiat. Sehingga digunakan kata auw dengan pengertian mempunyai kedudukan
13
yang sama dalam syari‟at, keduanya wajib.

Keenam : Karena lebih dahulu ( ‫) السبق‬, yaitu mendahulukan karena

kejadiannya lebih dahulu, seperti mendahulukan malam terhadap siang. Karena itu

11
Abdul „Azim Ibrahim Muhammad Muth‟in, Op.Cit. , h 5-6
12
Abdul „Azhim Muth‟ini Op.Cit. , h118
13
Az-Zamakhsyari, Al-Kasyaf‟an Haqaiq Ghawamidh at-Tanzil wa Uyun al-Aqawil Fi wujuh at-ta‟wil (Beirut :
Dar Al-Kutub Ilmiyah, 1425 H/1995 M), cwt. Ke-1 h. 508.
para ulama ilmu falak mengawali dalam penetuan tanggal ( târikh ) pada malam hari.
Sebagaimana Allah berfirman dalam surat Ali-Imrân / 3 : 190,

Artinya : “ Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih


bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,
“ (Ali-Imrân / 3 : 190 )

Ketujuh : Karena menjadi sebab ) ‫ ( السببية‬. contoh mendahulukan ( ‫) العزيز‬

terhadap ( ‫ ) احلكيم‬dalam Surat Ali-„Imran/3: 62. Karena dialah „Aziz (maha mulia),

maka dia menjadi hakim (maha bijaksana).

Kedelapan : Karena banyak ( ‫) اٌىضشح‬, yaitu mendahulukan yang lebih banyak

terhadap yang sedikit, sebagaimana Allah SWT mendahulukan orang kafir terhadap
orang mu‟min, dalam surah At-Taghabun/64: 2, yaitu;
Artinya“Dia-lah yang menciptakan kamu, maka di antara kamu ada yang kafir
dan di antaramu ada yang beriman. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
“ ( At-Taghâbun / 64 : 2 )
Kesembilan : Dimulai dari yang lebih rendah kepada yang lebih tinggi

(‫ )الرتقى من األدين اىل األعلى‬seperti mendahulukan Kaki (‫ )رجل‬terhadap Tangan ( ‫) يد‬

sebagaimana firman Allah dalam surat Al-„Arâf / 7 : 195


Kesepuluh : Dimulai dari predikat yang tinggi kepada yang rendah
39
( ‫) التديل من األعلى اىل األدين‬. Contoh : didahulukan lafazh ( ‫ ) صغرية‬terhadap ( ‫) كبرية‬

dalam surat Al-Kahfi / 18 : 49,

Artinya : “ Yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak ( pula ) yang
besar,melainkan ia mencatat semuanya ". ( Al-Kahfi / 18 ; 49 )

Allah menerangkan setiap perbuatan buruk sekecil apapun apalagi yang besar, atau
perbuatan baik, maka Allah SWT akan membalasnya sesuai dengan catatannya.

Artinya : “ Yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak ( pula ) yang
besar,melainkan ia mencatat semuanya ". ( Al-Kahfi / 18 ; 49 )
Allah menerangkan setiap perbuatan buruk sekecil apapun apalagi yang besar, atau
perbuatan baik, maka Allah SWT akan membalasnya sesuai dengan catatannya.

Didahulukan lafazh ( kesalahan kecil ) terhadap ( kesalahan besar ), karena


kesalahan yang kecil itu lebih ringan dan lebih sedikit ( dosa )nya dari pada kesalahan
yang besar. Yang kecil itu tentu lebih tinggi ( tingkatan ) kebaikannya.

Kesebelas : Untuk tujuan dâ‟iyah ( ‫ ) الداعية‬yaitu ajakan, seperti perintah

menahan pandangan ( gaddul basyar ), karena pandangan dapat mengajak kepada


perbuatan syahwat ( farj ), sebagaimana dalam surat Al-Nûr / 24 : 30
Artinya : “ Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah
mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu
adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
mereka perbuat". “ ( An-Nûr / 24 : 30 ).

Keduabelas : Untuk tujuan tartîb ( ‫ ) قصدالرتتيب‬yaitu berurutan, sebagaimana

dalam ayat wudlu‟ surat Al-Mâidah / 5 : 6 ;


Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan
shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah
kepalamu dan ( basuh ) kakimu sampai dengan kedua mata kaki “ ( Al-
Mâidah / 5 : 6 )
Mengusap ( mashû ) sebagian kepala setelah dua basuhan ( gaslain ) yaitu
membasuh muka dan kedua tangan hingga kedua siku, juga larangan melihat ke kiri
atau ke kanan untuk menjaga / menghidari percakapan, dengan demikian bukti
diperintahkan tartîb ( berurutan ) dalam pelaksanaan wudhu‟. Karena itu Imam Asy-
Syafi‟i mewajibkan tartib.

Krtigabelas: untuk perhatian Mukhattab ( ‫ ) االىتمام عند املخاطب‬seperti

mendahulukan para kerabat ( ‫ ) القريب‬dari Anak-anak yatim ( ‫ ) اليتامي‬dan orang-orang

miskin ( ‫ ) املساكي‬serta Ibnu Sabil ) ‫( ابن السبيل‬, dalam hal pemberian shodaqoh.

Sebagaimana dalam surah Al-Anfal 8/ : 41.


Artinya : “ Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh
sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat
Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil “ ( Al-Anfâl / 8 : 41 )
D. Urgensi Taqdîm Dan Ta’Khîr Serta Macam-Macam Dan Bentuknya.

Dari urgensi ( tujuan ) taqdim menurut ulama balaghah di atas terdapat tujuan
secara khusus dan juga secara umum. Tujuan secara khusus, seperti untuk tujuan takhsis,
dan sebagainya dan tujuan secara umum seperti untuk ihtimâm terhadap yang didahulukan
( bil muqadam ) dan sebagainya. Macam-macam taqdîm juga terdapat pembagian dan
bentuknya, seperti; mendahulukan dengan niat untuk mengakhirkan, seperti;
mendahulukan khabar terhadap mubtada‟, mendahulukan maf‟ûl terhadap fâ‟ilnya.
Macam taqdim yang lain, seperti mendahulukan tidak bertujuan ta‟khîr, seperti
mendahulukan mubtada‟ terhadap khabar, mendahulukan fâ‟il terhadap fa‟ilnya dan
sebagainya.

Menurut pandangan ulama bahasa, dalam taqdîm dan ta‟khir terdapat banyak
perbedaan pendapat, seperti pendapat ulama Bashrah dan Kufah dalam ilmu nahwu dan
sharf, mereka masing-masing mempunyai argumentasi yang kuat sebagaimana diungkap
dalam pembahasan bab III. Dengan demikian taqdîm dan ta‟khîr bukan saja ilmu yang
tersusun dengan kaidah-kaidah ilmu nahwu dan sharf, akan tetapi juga seni bahasa dalam
rangka menyusun bentuk kalimat yang indah yang tidak terikat dengan kaidah-kaidah
tertentu yang telah dikembangkan oleh ulama balaghah dan ulama-ulama lainnya.
Sehingga dengan berkembangnya pemahaman luas tentang taqdîm dan ta‟khîr terdapat
juga bentuk taqdîm dan ta‟khîr secara istilah dan juga secara bukan istilah. Taqdîm dan
ta‟khîr semacam ini, dikenal dengan istilah ulama balaghah, ulama sastra dan juga ulama
tafsir, dengan bentuk taqdîm dalam suatu ayat dan takhîr dalam ayat yang lain. Ini banyak
dicontohkan dalam Al-Qur‟an dengan taqdîm bukan istilah (taqdîm gharu istilahi ).
Demikian taqdîm dan ta‟khîr dalam al-Qur‟an.
BAB 111

PENUTUP

A. Kesimpulan
Taqdîm dan ta‟khîr adalah salah satu keistimewaan gaya bahasa ( ushlûb ) balâghah
yang memiliki keindahan makna serta pengaruh yang mendalam bagi pendengar maupun si
pembicara. Gaya bahasa Muqaddam dan Muakhar dalam Al-Qur‟an, mempunyai dua kajian
pokok yang perlu diperhatikan: pertama, kajian yang terkait dengan teks Al-Qur‟an yang
secara lahir sulit dipahami maknanya (Musykil), namun setelah diketahui bahwa teks tersebut
termasuk gaya bahasa yang didahulukan (al-Taqdim) dan yang diakhirkan (al-Ta‟khir), maka
jelas daan hilanglah kesulitan itu.
Beberapa contoh penafsiran dari metode Abu Su‟ûd sebagaimana dalam surat Al-Hajj

/ 22 : 23 ; yaitu : ‫اس ُه ْم فِ ْي َها َح ِريْر‬ ِ ِۗ ٍ ‫“ ُُيَلَّ ْو َن فِ ْي َها ِم ْن اَ َسا ِوَر ِم ْن ذَ َى‬Di surga sana mereka diberi
ُ َ‫ب َّول ُْؤل ًُؤا َولب‬
perhiasan gelang-gelang emas dan mutiara, dan pakaian mereka dari sutera.” Abu Su‟ûd (w.
982 H) mengatakan bahwa mendahulukan perhiasan (tahliyah ) sebelum pakaian ( libâs ),
dengan kata-kata ( ‫ ) ذهب‬dan ( ‫) لؤلؤا‬, karena libâs itu adalah pakaian yang biasa dan lazim
dipakai oleh manusia, sedangkan tahliyah suatu yang berbeda dan istimewa, sehingga
menurut Abu Su‟ûd pantas untuk didahulukan, karena memiliki makna khusus.
Dengan demikian taqdîm dan ta‟khîr bukan saja ilmu yang tersusun dengan kaidah-
kaidah ilmu nahwu dan sharf, akan tetapi juga seni bahasa dalam rangka menyusun bentuk
kalimat yang indah yang tidak terikat dengan kaidah-kaidah tertentu yang telah dikembangkan
oleh ulama balaghah dan ulama-ulama lainnya.
Daftar Pustaka

As Suyuthi, Al-Itqan Fii Ulumul Qur‟an (Beirut: Darul Fikr Li at-Thaba‟ah Wa Nasyr Wa Al
Tawzi‟, 1416 H/ 1996 M), Jilid ke-2, Cet. Ke-3, h. 33
Abdul Adhîm Ibrâhim Muhamad Muth‟inî, Khashâ‟is At-Ta‟bîr Al-Qur‟ani Wa Simâtuhu Al-
Balâghiyah, ( Kairo : Maktabah Wahbab, 1413 H / 1993 ), cet. I, Jilid ke-2,
Akhdhori, Imâm, Ilmu Balâghah ( al-Ma‟ni, Bayn, Badî‟ ), Jauhar Al- Maknûn, Bandung :
PT. Al-Ma‟ârif, 1982 M, Cet. Ke-6
Al-Baili, Ahmad, Al-Ikhtilaf Baina Al-Qirâ‟at, Bairut : Dârul Jail, 1408 H / 1988 M, et. Cet.
Ke-1

Al-Qur‟an

Az-Zamakhsyari, Al-Kasyaf‟an Haqaiq Ghawamidh at-Tanzil wa Uyun al-Aqawil Fi wujuh


at-ta‟wil (Beirut : Dar Al-Kutub Ilmiyah, 1425 H/1995 M), cwt. Ke-1

AZ-Zarkasyî ( 794 H ), Al-Burhân Fî Ulûmil Qur‟an, ( Beirut : Dar-Al-Fikr, 1408 H / 1988 M


), Cet. I, Jilid ke-3
https://tafsirweb.com/5371-surat-thaha-ayat-129.html
Suyuti, Imâm Jalâluddin, Al-, Al-Itqân Fî Ulûmil Qur‟an, Beirut : Dar Al-Fikr, 1416 H
1996, cet . ke-1

Anda mungkin juga menyukai