Anda di halaman 1dari 8

QIRA’ATUL QUR’AN DAN RASMUL QUR’AN

Dosen Pengampu :
Dr.H.Sahrudin, M.Pd.I

Kelompok 11 :
1. Ana Karlina
2. Yasinta Audra
3. Husen
4. Syaiful Bachri
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah Swt. atas segala rahmat-Nya sehingga makalah ini
dapat tersusun sampai selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari
pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materi.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca praktikkan dalam
kehidupan sehari-hari. Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan
dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk
itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Cirebon, November 2022

Penulis
PEMBAHASAN

1. Qiraatul Qur’an

Secara etimologis qira’at merupakan bentuk jama’ dari qiraah dan juga merupakan
masdar dari qara-a yaqra-u qiraatan, menurut ar-Raghib dalam kitabnya Mu’jam Mufradat
Alfazh al-Qur’an yang berarti dham al-huruf wa al-kalimat ba’dhihaa ila ba’dhin fi at-tartil
(mengabungkan antara huruf dan kalimat satu sama lain dalam bacaan).

Dilihat dari kedua definisi di atas bahwa pengertian qiraah disini tidak sama seperti
pengertian qiraah dalam percakapan sehari-hari yang sepadam dengan tilawah yaitu hanya
sekedar dalam pengertian membaca atau bacaan. Atau dalam artian membaca al-Qur’an dengan
irama atau lagu tertentu. Tapi yang dimaksud qiraah dalam kajian ulumul Qur’an adalah satu
cara membaca al-Qur’an dengan madzhab yang dipilih oleh ahli qira’at dengan sanad yang
bersambung kepada Rasulullah SAW.

Sejarah singkat Qira’at


Meluasnya wilayah Islam dan menyebarnya para sahabat dan tabi’in mengajarkan al-
Qur’an di berbagai kota menyebabkan timbulnya berbagai qira’at. Perbedaan pembacaan antara
satu qira’at dengan lainnya bertambah besar pula sehingga sebagian riwayatnya tidak bisa lagi
dipertanggungjawabkan.

Sehingga para ulama menulis qiraah-qiraah ini dan sebagaiannya menjadi masyhur,
sehingga lahirlah istillah qiraah tujuh, qiraah sepuluh, dan qiraah empat belas. Adapun imam
dan ahli qiraah yang di percaya dan diikuti kebanyakan orang.

As-Suyuthi dalam kitaabnya al-Itqan Fi Ulum al-Qur’an, menjelaskan bahwa imam dan ahli
qiraah itu tersebar kesemua penjuru pusat Islam, Mereka antara lain adalah

a. Di madinah : Abu ja’far yazid ibn al-Qa’qa’, Syaibah ibn Nafshah, dan Nafi’ ibn
adirrahman.
b. Di makkah : Abdulllah ibn Katsir dan Humaid ibn Qais al-A;raj
c. Di kuffah : Yahya ibn watsab, ‘Ashim ibn abi an-Nujud
d. Di bashrah : Abdullah ibn abi Ishaq, ‘Isa ibn ‘aru
e. Di syam : Abdullah ibn ‘Amir, Athiyyah ibn qais al-Kilabi

Dan jibril membaca al-Qur’an kepada Nabi tidak hanya dalam satu logat atau lahjah saja
yaitu logat Quraisy, akan tetapi juga dalam beberapa lahjah. Sebagaimana yang terlihat dalam
kisah perbedaan bacaan antara Umar ibn Khathab dan Hisyam ibn Hakim.

Diriwayatkan bahwa ‘Umar ibn Khathâb berkata: Aku mendengar Hisyâm ibn
Hâkim membaca Surat Al-Furqân di masa hidup Rasulullah SAW. Aku perhatikan
bacaannya. Tiba-tiba ia membacanya dengan banyak huruf yang belum pernah dibacakan
Rasulullah kepadaku, sehingga hampir saja aku melabraknya di saat ia shalat, tetapi aku
berusaha sabar menunggunya sampai salam.

Begitu salam aku tarik sorbannya dan bertanya: “Siapakah yang membacakan
(mengajarkan bacaan) surat itu kepadamu?” Ia menjawab: “Rasulullah yang
membacakannya kepadaku”. Lalu aku katakan kepadanya: “Dusta kau. Demi Allah, Rasulullah
telah membacakan juga kepadaku surat yang aku dengar tadi engkau membacanya (tapi
tidak seperti bacaanmu).”

Kemudian aku bawa dia menghadap Rasulullah dan aku ceritakan kepadanya bahwa aku
telah mendengar orang ini membaca Surat Al-Furqân dengan huruf-huruf yang tidak pernah
engkau bacakan kepadaku, padahal engkau sendiri telah membacakan Surat Al-Furqân
kepadaku. Maka Rasulullah berkata: “Lepaskanlah dia wahai ‘Umar. Bacalah Surat tadi,
wahai Hisyâm.” Hisyâm pun kemudian membacanya dengan bacaan seperti kudengar tadi.
Maka kata Rasulullah: “Begitulah surat itu diturunkan.” Ia berkata lagi: “Bacalah wahai
‘Umar.” Lalu aku membacanya dengan bacaan sebagaimana diajarkan Rasulullah
kepadaku. Maka kata Rasulullah SAW: “Begitulah surat itu diturunkan.” Dan katanya lagi:
“Sesungguhnya Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah dengan huruf yang
mudah bagimu di antaranya” (H.R. Bukhâri dan Muslim teksnya dari Bukhâri

Kualifikasi Standar Qira’at.


Dengan adanya penyelewengan dalam qiraah. Maka para ulama membuat sejumlah
syarat qiraat yang baku dan dapat diterima. Untuk membedakan antara qiraah yang benar dan
yang salah, apara ulama telah menetapkan tiga syarat bagi qiraah yang benar.

Pertama, sesuai dengan bahasa Arab meskipun melalui salah satu cara atau segi (Nahwu).
Kedua, sesuai dengan salah satu msuhaf-mushaf ‘Utsmani sekalipun secara potensial. Ketiga,
keshahihan sanadnya dari periwayatan imam tujuh dan sepuluh, maupun dari imam-imam
qiraah lainnya.

Setiap qira’at yang tidak sesuai dan tidak memenuhi syarat diatas di anggap qiraah yang
tidak benar dan ditolak dan biasanya disebut dengan qiraah yang lemah sekalipun qiraah itu
diriwayatkan oleh Imam tujuh. Ketika suatu qira’at yang sesuai dengan syarat diatas maka
dianggap benar dan tidak tertolak, meskipun bukan dari golongan Imam tujuh.

Macam-macam qira’atul qur’an dan Hukumnya


1. Qirâ`at Mutâwatir yaitu qira`at yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang tidak
mungkin mereka bersepakat untuk berdusta, dari sejumlah orang yang seperti itu dan sanadnya
bersambung hingga penghabisannya yakni Nabi SAW. Dan inilah yang umum dalam hal
qira`at.
2. Qirâ`at Masyhûr yaitu qira`at yang shahih sanadnya, di mana perawinya ‘adil dan dhabid.
Qira`at tersebut sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan salah satu Mushaf Usmâni serta terkenal
pula dikalangan para ahli qira`at sehingga qira`at ini tidak dikatagorikan ke dalam qira`at yang
salah atau syâz namun tidak mencapai derajat mutawatir. Qira`at seperti ini merupakan qira`at
yang dapat digunakan.

3. Qirâ`at Âhâd yaitu qira`at yang shahih sanadnya tetapi menyalahi rasm Utsmâni dan kaidah
bahasa Arab atau sesuai dengan Rasm Usmâni dan kaidah bahasa Arab, namun tidak terkenal
seperti halnya qira`at masyhur. Qira`at seperti ini tidak dapat dibaca dan tidak wajib untuk
diyakini. Misalnya qira`at yang diriwayatkan oleh al-Hâkim dari ‘Âshim al-Jahdarî dari Abû
ٍ ‫ني َعلَى َر ْف َر‬
ٍّ ‫ف ُخضْ ٍر َو َع ْبقَ ِر‬
Bakr, dalam surat al Rahman ayat 76 : ٧٦) ‫ي ِح َسا ٍن‬ َ ‫ ) ُمتَّكِِئ‬bahwa Nabi Saw.
membaca dengan ‫ حضر َ ُرفارف‬dan, ‫عباقري‬

4. Qirâ`at Syâz yaitu qira`at yang tidak shahih sanadnya. Seperti surat al-Fatihah ayat 4 yang
dibaca dalam bentuk fi’il madhi dan menasabkan َ‫ يوم‬Macam-macam Qira`at

5. Qirâ`at Maudhû’ yaitu qira`at yang tidak ada asalnya. Seperti qira`at al-Khuzâ’î yang
dinisbahkan kepada Imam Abû Hanifah dalam firman Allah surat Fâthir ayat 28: ‫اس‬ ِ َّ‫َو ِمنَ الن‬
ُ ‫هَّللا‬ ْ ‫هَّللا‬
ِ ‫ك ِإنَّ َما يَ ْخ َشى َ ِم ْن ِعبَا ِد ِه ال ُعلَ َما ُء ِإ َّن َ ع‬
٢٨) ‫َزي ٌز َغفو ٌر‬ ْ ‫َأ‬
َ ِ‫ف ل َوانُهُ َك َذل‬ ٌ ِ‫ ) َوال َّد َوابِّ ِ َواأل ْن َع ِام ُم ْختَل‬Dalam qira`at al-
Khuzâ’î pada lafad “ ‫ “ ء ُ َما ُ َل ع ْ ال‬dibaca nashab/fathah huruf hamzah tersebut “ ‫ َء َما َُل ع ْ ال‬. “
Dan dibaca rafa’/dhammah pada lafad َ‫هَّالل‬.

6. Qirâ`at Mudraj yaitu qira`at yang menambahkan kalimat penafsiran dalam ayat-ayat al-
Qur`an. Seperti qira`at Sa’ad bin Abî Waqâs yang membaca frman Allah surat alBaqarah ayat
198: dengan menambah lafadh َ‫ جْ ال َمواسم َيف‬setelah lafadh ‫ْس َعلَ ْي ُك ْم ُجنَا ٌح َأ ْن تَ ْبتَ ُغوا فَضْ ال ِم ْن‬َ ‫ لَي‬:‫ربكم َمن‬
‫هَّللا‬ ْ
َ ‫ت فَاذ ُكرُوا‬ ‫َأ‬
ٍ ‫ َربِِّ ُك ْم فَِإ َذا فَضْ تُ ْم ِم ْن ع ََرفَا‬Lafad ‫ جْ ال َمواسم َيف‬adalah penafsiran yang ditambahkan ke ayat
tersebut.

2. Rasmul Qur’an
Rasm Al-Qur’an atau adalah ilmu yang mempelajari tentang penulisan Mushaf Al-
Qur’an yang dilakukan dengan cara khusus, baik dalam penulisan lafal-lafalnya maupun bentuk-
bentuk huruf yang digunakan. Rasimul Qur’an dikenal juga dengan sebutan Rasm Al-Utsmani,
Khalifah Usman bin Affan memerintahkan untuk membuat sebuah mushaf Al-Imam, dan
membakar semua mushaf selain mushaf Al-Imam ini karena pada zaman Usman bin Affan
kekuasaaan Islam telah tersebar meliputi daerah-daerah selain Arab yang memiliki sosio-kultur
berbeda. Hal ini menyebabkan percampuran kultur antar daerah. Sehingga ditakutkan budaya
arab murni termasuk di dalamnya lahjah dan cara bacaan menjadi rusak atau bahkan hilang
tergilas budaya dari daerah lainnya. Implikasi yang paling ditakutkan adalah rusaknya budaya
oral arab akan menyebabkan banyak perbedaan dalam membaca Al-Qur’an.

Berikut penjelasan dari macam-macam Rasm

a.  Rasm Qiasi / Imla'i


Rasmul Imla’i adalah penulisan menurut kelaziman pengucapan / pertuturan.
Ada pendapat yang mengatakan  bahwa Al-Qur’an dengan rasm imla’I  dapat
dibenarkan, tetapi khusus bagi orang awam. Bagi para ulama atau yang
memahami rasm Utsmani   tetap wajib mempertahankan keaslian rasm Utsmani.
Pendapat diatas diperkuat oleh  Al-Zarqani  dengan mengatakan bahwa rasm
Imla’I diperlukan untuk menghindarkan ummat dari kesalahan membaca Al-Qur’an,
sedangkan rasm Utsmani di perlukan untuk memelihara keaslian mushaf Al-Qur’an.
Tampaknya, pendapat ini lebih moderat dan lebih sesuai dengan kondisi ummat,
disatu pihak mereka ingin melestarikan rasm Utsmani, sementara dipihak lain mereka
menghendaki dilakukannya penulisan Al-Qur’an denganrasm Imla’I untuk
memberikan kemudahan bagi kaum muslimin yang kemungkinan mendapat kesulitan
membaca  Al-Qur’an dengan rasm Utsmani.
       
  Namun demikian, kesepakatan para penulis Al-Qur’an
dengan rasm Utsmani harus diindahkan dalam pengertian menjadikannya sebagai
rujukan yang keberadaannya tidak boleh hilang dari masyarakat Islam. Sementara
jumlah ummat Islam dewasa ini cukup besar yang tidak menguasai rasm Utsmani.
Bahkan, tidak sedikit jumlah ummat Islam untuk mampu membaca aksara arab.
Mereka membutuhkan tulisan lain untuk membantu mereka agar dapat membaca
ayat-ayat Al-Qur’an, seperti tulisan latin. Namun demikian Rasm Utsmani harus
dipelihara sebagai  standar rujukan ketika dibutuhkan.

Demikian juga tulisan ayat-ayat Al-Qur’an dalam karya


ilmiah, rasm Utsmani mutlak diharuskan karena statusnya sudah masuk dalam
kategori rujukan dan penulisannya tidak mempunyai alasan untuk mengabaikannya.
Dari sini kita dapat memahami bahwa menjaga keotentikan Al-Qur’an tetap merujuk
kepada penulisan mushaf Utsmani. Akan tetapi segi pemahaman membaca Al-Qur’an
bisa mengunakan penulisan yang lain berdasarkan tulisan yang dalam proses
penulisan Al-Qur’an mulai dari Zaman Rasulullah, zaman khalifah Abu Bakar sampai
khalifah Utsman Bin Affan yang penulisnya tidak pernah lepas dari Zaid Bin
Tsabit yang merupakan sekretaris Rasulullah SAW. Secara historis ini membuktikan
bahwa Allah SWT tetap menjaga dan memelihara keotentikan Al-Qur’an.

b.      Rasm ‘Arudi 
Rasm ‘Arudi  ialah cara menuliskan kalimat-kalimat arab disesuaikan
dengan wazan sya’ir-sya’ir arab. Hal itu dilakukan untuk mengetahui “bahr” (nama
macam sya’ir).  Dari sya’ir tersebut contohnya seperti :
‫وليل كموج البحر ار خي سدو له‬   sepotong sya’ir Imri’il qais tersebut
jika ditulis akan berbentuk:
‫وليلن كموج البح ر ار خي سدو لهو‬  sesuai dengan  ‫فعو لن مفا عيلن‬
‫فعولن مفا عيلن‬ sebagai timbangan  sya’ir yang mempunyai “ bahar tawil.”

c.       Rasm Utsmani
Rasmul Utsmani adalah pola penulisan Al-Qur’an pada masa Utsman dan
disetujui oleh Utsman. Rasm utsmani menjadi salah satu cabang ilmu
pengetahuan yang bernama Ilmu Rasm Utsmani. Ilmu ini didefinisikan sebagai
ilmu untuk mengetahui segi-segi perbedaan antara Rasm utsmani dan untuk
mengetahui segi perbedaan antara rasm utsmani dan kaidah-kaidah rasm istilahi
(rasm yang biasa selalu memperhatikan kecocokan antara tulisan dan ucapan)
sebagai berikut contoh antara rasm utsmani dengan rasm istilahi.

ü    Dalam rasm utsmani lafaz (‫ )اليستوون‬ditulis (‫)اليستون‬


¨      Lafaz (‫)الصالة‬ ditulis (‫)الصلوة‬
¨      Lafaz (‫ )الزكاة‬ditulis (‫)الزكوة‬
¨      Lafaz (‫ )الحياة‬ditulis (‫)الحيوة‬

Ø  Hukum Mengikuti Rasm Utsmani

Dalam kitab Al-Muhith Al-Burhaniy, kitab fiqh Al-Hanafiyyah terdapat


pernyataan :

‫ إنه ينبغى أن ال يكتب المصحف بغير الرسم العثمانى‬.


“ sesungguhnya tidak diperkenankan menulis mushaf , kecuali dengan rasm utsmani.”

Tulisan al-qur’an bukan tauqifi (tergantung pada petunjuk nabi atau allah) .
tulisan yang sudah ditetapkan dan disepakati pada masa itu boleh saja tidak diikuti .
Ulama  yang menguatkan pendapat ini ibnu Khaldun dalam muqaddimahnya dan al-qadhi
abu bakar dala kitabnya al-intishar. Menurut beliau tidak ditemukan nash maupun
mafhum (yang dipahami dari ) nash yang menunjukkan kepada kemestian menulis al-
Qur’an dengan satu macam tulisan. Demikian juga Tidak pernah ditemukan riyawat Nabi
mengenai ketentuan pola penulisan wahyu. Bahkan sebuah riwayat dikutip oleh Rajab
Farjani : “Sesungguhnya Rasulullah saw, memerintahkan menulis Al-Qur’an, tetapi tidak
memberikan petunjuk teknis penulisannya, dan tidak pula melarang menulisnya dengan
pola-pola tertentu. Sunnah Nabi menunjukkan kepada kebilehan menulis Al-Qur’an
dengan cara yang mudah

Ø  Perbaikan Rasmul Utsmani

Mushaf Utsmani tidak memakai tanda baca titik dan syakal, karena semata-mata
didasarkan pada watak pembawaan orang-orang Arab yang masih murni, sehingga
mereka tidak memerlukan syakal dengan harakat dan pemberian titik.

Ketika bahasa arab mulai mengalami kerusakan karena banyaknya percampuran


(dengan bahasa non arab), maka para penguasa merasa pentingnya ada perbaikan Mushaf
syakal, titik dan lain-lain yang dapat membantu pembacaan yang benar. Banyak ulama
yang berpendapat bahwa orang pertama yang melakukan hal itu adalah Abu Aswad ad-
Du’ali, peletak pertama dasar-dasar kaidah bahasa arab, atas permintaan Ali bin Abi
Talib . Perbaikan rasm Mushaf itu berjalan secara bertahap. Pada awalnya syakal berupa
titik: fathah berupa satu titik diatas awal huruf, tanda kasrah berupa satu titik dibawah
awal huruf, tanda dhammah berupa satu titik diatas akhir huruf, dan tanda sukun berupa
dua titik. Kemudian terjadi perubahan penentuan harakat yang berasal dari huruf, dan
itulah yang dilakukan oleh al-Khalil. Perubahan itu ialah fathah adalah dengan tanda
sempang diatas huruf, kasrah berupa tanda sempang dibawah huruf, dhammah dengan
wawu kecil diatas huruf dan tanwin dengan tambahan tanda serupa. Perhatian untuk
menyempurnakan rasm Mushaf, kini telah mencapai puncaknya dalam bentuk tulisan
Arab (al-khattul ‘arabiy).

Anda mungkin juga menyukai