Dosen Pengampu :
Dr.H.Sahrudin, M.Pd.I
Kelompok 11 :
1. Ana Karlina
2. Yasinta Audra
3. Husen
4. Syaiful Bachri
KATA PENGANTAR
Puji syukur diucapkan kehadirat Allah Swt. atas segala rahmat-Nya sehingga makalah ini
dapat tersusun sampai selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari
pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materi.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca praktikkan dalam
kehidupan sehari-hari. Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan
dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk
itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.
Penulis
PEMBAHASAN
1. Qiraatul Qur’an
Secara etimologis qira’at merupakan bentuk jama’ dari qiraah dan juga merupakan
masdar dari qara-a yaqra-u qiraatan, menurut ar-Raghib dalam kitabnya Mu’jam Mufradat
Alfazh al-Qur’an yang berarti dham al-huruf wa al-kalimat ba’dhihaa ila ba’dhin fi at-tartil
(mengabungkan antara huruf dan kalimat satu sama lain dalam bacaan).
Dilihat dari kedua definisi di atas bahwa pengertian qiraah disini tidak sama seperti
pengertian qiraah dalam percakapan sehari-hari yang sepadam dengan tilawah yaitu hanya
sekedar dalam pengertian membaca atau bacaan. Atau dalam artian membaca al-Qur’an dengan
irama atau lagu tertentu. Tapi yang dimaksud qiraah dalam kajian ulumul Qur’an adalah satu
cara membaca al-Qur’an dengan madzhab yang dipilih oleh ahli qira’at dengan sanad yang
bersambung kepada Rasulullah SAW.
Sehingga para ulama menulis qiraah-qiraah ini dan sebagaiannya menjadi masyhur,
sehingga lahirlah istillah qiraah tujuh, qiraah sepuluh, dan qiraah empat belas. Adapun imam
dan ahli qiraah yang di percaya dan diikuti kebanyakan orang.
As-Suyuthi dalam kitaabnya al-Itqan Fi Ulum al-Qur’an, menjelaskan bahwa imam dan ahli
qiraah itu tersebar kesemua penjuru pusat Islam, Mereka antara lain adalah
a. Di madinah : Abu ja’far yazid ibn al-Qa’qa’, Syaibah ibn Nafshah, dan Nafi’ ibn
adirrahman.
b. Di makkah : Abdulllah ibn Katsir dan Humaid ibn Qais al-A;raj
c. Di kuffah : Yahya ibn watsab, ‘Ashim ibn abi an-Nujud
d. Di bashrah : Abdullah ibn abi Ishaq, ‘Isa ibn ‘aru
e. Di syam : Abdullah ibn ‘Amir, Athiyyah ibn qais al-Kilabi
Dan jibril membaca al-Qur’an kepada Nabi tidak hanya dalam satu logat atau lahjah saja
yaitu logat Quraisy, akan tetapi juga dalam beberapa lahjah. Sebagaimana yang terlihat dalam
kisah perbedaan bacaan antara Umar ibn Khathab dan Hisyam ibn Hakim.
Diriwayatkan bahwa ‘Umar ibn Khathâb berkata: Aku mendengar Hisyâm ibn
Hâkim membaca Surat Al-Furqân di masa hidup Rasulullah SAW. Aku perhatikan
bacaannya. Tiba-tiba ia membacanya dengan banyak huruf yang belum pernah dibacakan
Rasulullah kepadaku, sehingga hampir saja aku melabraknya di saat ia shalat, tetapi aku
berusaha sabar menunggunya sampai salam.
Begitu salam aku tarik sorbannya dan bertanya: “Siapakah yang membacakan
(mengajarkan bacaan) surat itu kepadamu?” Ia menjawab: “Rasulullah yang
membacakannya kepadaku”. Lalu aku katakan kepadanya: “Dusta kau. Demi Allah, Rasulullah
telah membacakan juga kepadaku surat yang aku dengar tadi engkau membacanya (tapi
tidak seperti bacaanmu).”
Kemudian aku bawa dia menghadap Rasulullah dan aku ceritakan kepadanya bahwa aku
telah mendengar orang ini membaca Surat Al-Furqân dengan huruf-huruf yang tidak pernah
engkau bacakan kepadaku, padahal engkau sendiri telah membacakan Surat Al-Furqân
kepadaku. Maka Rasulullah berkata: “Lepaskanlah dia wahai ‘Umar. Bacalah Surat tadi,
wahai Hisyâm.” Hisyâm pun kemudian membacanya dengan bacaan seperti kudengar tadi.
Maka kata Rasulullah: “Begitulah surat itu diturunkan.” Ia berkata lagi: “Bacalah wahai
‘Umar.” Lalu aku membacanya dengan bacaan sebagaimana diajarkan Rasulullah
kepadaku. Maka kata Rasulullah SAW: “Begitulah surat itu diturunkan.” Dan katanya lagi:
“Sesungguhnya Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah dengan huruf yang
mudah bagimu di antaranya” (H.R. Bukhâri dan Muslim teksnya dari Bukhâri
Pertama, sesuai dengan bahasa Arab meskipun melalui salah satu cara atau segi (Nahwu).
Kedua, sesuai dengan salah satu msuhaf-mushaf ‘Utsmani sekalipun secara potensial. Ketiga,
keshahihan sanadnya dari periwayatan imam tujuh dan sepuluh, maupun dari imam-imam
qiraah lainnya.
Setiap qira’at yang tidak sesuai dan tidak memenuhi syarat diatas di anggap qiraah yang
tidak benar dan ditolak dan biasanya disebut dengan qiraah yang lemah sekalipun qiraah itu
diriwayatkan oleh Imam tujuh. Ketika suatu qira’at yang sesuai dengan syarat diatas maka
dianggap benar dan tidak tertolak, meskipun bukan dari golongan Imam tujuh.
3. Qirâ`at Âhâd yaitu qira`at yang shahih sanadnya tetapi menyalahi rasm Utsmâni dan kaidah
bahasa Arab atau sesuai dengan Rasm Usmâni dan kaidah bahasa Arab, namun tidak terkenal
seperti halnya qira`at masyhur. Qira`at seperti ini tidak dapat dibaca dan tidak wajib untuk
diyakini. Misalnya qira`at yang diriwayatkan oleh al-Hâkim dari ‘Âshim al-Jahdarî dari Abû
ٍ ني َعلَى َر ْف َر
ٍّ ف ُخضْ ٍر َو َع ْبقَ ِر
Bakr, dalam surat al Rahman ayat 76 : ٧٦) ي ِح َسا ٍن َ ) ُمتَّكِِئbahwa Nabi Saw.
membaca dengan حضر َ ُرفارفdan, عباقري
4. Qirâ`at Syâz yaitu qira`at yang tidak shahih sanadnya. Seperti surat al-Fatihah ayat 4 yang
dibaca dalam bentuk fi’il madhi dan menasabkan َ يومMacam-macam Qira`at
5. Qirâ`at Maudhû’ yaitu qira`at yang tidak ada asalnya. Seperti qira`at al-Khuzâ’î yang
dinisbahkan kepada Imam Abû Hanifah dalam firman Allah surat Fâthir ayat 28: اس ِ ََّو ِمنَ الن
ُ هَّللا ْ هَّللا
ِ ك ِإنَّ َما يَ ْخ َشى َ ِم ْن ِعبَا ِد ِه ال ُعلَ َما ُء ِإ َّن َ ع
٢٨) َزي ٌز َغفو ٌر ْ َأ
َ ِف ل َوانُهُ َك َذل ٌ ِ ) َوال َّد َوابِّ ِ َواأل ْن َع ِام ُم ْختَلDalam qira`at al-
Khuzâ’î pada lafad “ “ ء ُ َما ُ َل ع ْ الdibaca nashab/fathah huruf hamzah tersebut “ َء َما َُل ع ْ ال. “
Dan dibaca rafa’/dhammah pada lafad َهَّالل.
6. Qirâ`at Mudraj yaitu qira`at yang menambahkan kalimat penafsiran dalam ayat-ayat al-
Qur`an. Seperti qira`at Sa’ad bin Abî Waqâs yang membaca frman Allah surat alBaqarah ayat
198: dengan menambah lafadh َ جْ ال َمواسم َيفsetelah lafadh ْس َعلَ ْي ُك ْم ُجنَا ٌح َأ ْن تَ ْبتَ ُغوا فَضْ ال ِم ْنَ لَي:ربكم َمن
هَّللا ْ
َ ت فَاذ ُكرُوا َأ
ٍ َربِِّ ُك ْم فَِإ َذا فَضْ تُ ْم ِم ْن ع ََرفَاLafad جْ ال َمواسم َيفadalah penafsiran yang ditambahkan ke ayat
tersebut.
2. Rasmul Qur’an
Rasm Al-Qur’an atau adalah ilmu yang mempelajari tentang penulisan Mushaf Al-
Qur’an yang dilakukan dengan cara khusus, baik dalam penulisan lafal-lafalnya maupun bentuk-
bentuk huruf yang digunakan. Rasimul Qur’an dikenal juga dengan sebutan Rasm Al-Utsmani,
Khalifah Usman bin Affan memerintahkan untuk membuat sebuah mushaf Al-Imam, dan
membakar semua mushaf selain mushaf Al-Imam ini karena pada zaman Usman bin Affan
kekuasaaan Islam telah tersebar meliputi daerah-daerah selain Arab yang memiliki sosio-kultur
berbeda. Hal ini menyebabkan percampuran kultur antar daerah. Sehingga ditakutkan budaya
arab murni termasuk di dalamnya lahjah dan cara bacaan menjadi rusak atau bahkan hilang
tergilas budaya dari daerah lainnya. Implikasi yang paling ditakutkan adalah rusaknya budaya
oral arab akan menyebabkan banyak perbedaan dalam membaca Al-Qur’an.
b. Rasm ‘Arudi
Rasm ‘Arudi ialah cara menuliskan kalimat-kalimat arab disesuaikan
dengan wazan sya’ir-sya’ir arab. Hal itu dilakukan untuk mengetahui “bahr” (nama
macam sya’ir). Dari sya’ir tersebut contohnya seperti :
وليل كموج البحر ار خي سدو له sepotong sya’ir Imri’il qais tersebut
jika ditulis akan berbentuk:
وليلن كموج البح ر ار خي سدو لهو sesuai dengan فعو لن مفا عيلن
فعولن مفا عيلن sebagai timbangan sya’ir yang mempunyai “ bahar tawil.”
c. Rasm Utsmani
Rasmul Utsmani adalah pola penulisan Al-Qur’an pada masa Utsman dan
disetujui oleh Utsman. Rasm utsmani menjadi salah satu cabang ilmu
pengetahuan yang bernama Ilmu Rasm Utsmani. Ilmu ini didefinisikan sebagai
ilmu untuk mengetahui segi-segi perbedaan antara Rasm utsmani dan untuk
mengetahui segi perbedaan antara rasm utsmani dan kaidah-kaidah rasm istilahi
(rasm yang biasa selalu memperhatikan kecocokan antara tulisan dan ucapan)
sebagai berikut contoh antara rasm utsmani dengan rasm istilahi.
Tulisan al-qur’an bukan tauqifi (tergantung pada petunjuk nabi atau allah) .
tulisan yang sudah ditetapkan dan disepakati pada masa itu boleh saja tidak diikuti .
Ulama yang menguatkan pendapat ini ibnu Khaldun dalam muqaddimahnya dan al-qadhi
abu bakar dala kitabnya al-intishar. Menurut beliau tidak ditemukan nash maupun
mafhum (yang dipahami dari ) nash yang menunjukkan kepada kemestian menulis al-
Qur’an dengan satu macam tulisan. Demikian juga Tidak pernah ditemukan riyawat Nabi
mengenai ketentuan pola penulisan wahyu. Bahkan sebuah riwayat dikutip oleh Rajab
Farjani : “Sesungguhnya Rasulullah saw, memerintahkan menulis Al-Qur’an, tetapi tidak
memberikan petunjuk teknis penulisannya, dan tidak pula melarang menulisnya dengan
pola-pola tertentu. Sunnah Nabi menunjukkan kepada kebilehan menulis Al-Qur’an
dengan cara yang mudah
Mushaf Utsmani tidak memakai tanda baca titik dan syakal, karena semata-mata
didasarkan pada watak pembawaan orang-orang Arab yang masih murni, sehingga
mereka tidak memerlukan syakal dengan harakat dan pemberian titik.