Anda di halaman 1dari 16

QIRA’AT

MAKALAH
Disusun untuk memuhi tugas mata kuliah Ulumul Qur’an yang
dibina oleh
Bapak Dr. Taufikurrahman, M. Ag.

Oleh:
NURFADILAH
NIM. 19380022015

PROGRAN MAGISTER HUKUM KELUARGA ISLAM


PSCASARJANA IAIN MADURA
SEPTEMBER 2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur‟an merupakan kitab Allah yang menjadi pegangan dan rujukan
seluruh kaum muslimin. Pada masa awal islam, mushaf Al-Qur‟an tidak bertitik
dan berharkat. Ini memungkinkan Al-Qur‟an dibaca dengan bacaan berbeda-beda.
Pada satu mushaf suatu kalimat dibaca dengan bacaan tertentu dan pada mushaf
lain kalimat tersebut dibaca dengan bacaan lain. Agar dapat menjadi pegangan
(menghindari perbedaan), hanyalah orang-orang yang benar-benar tsiqat (kuat
hafalannya) dan meriwayatkan sampai pada Nabi SAW yang dipercayai atau
menjadi pegangan menyampaikan Al Qur‟an.1
Pada masa hidup Nabi Muhammad SAW, perhatian umat terhadap kitab
Al-Qur‟an ialah memperoleh ayat-ayat Al-Qur‟an itu, dengan mendengarkan,
membaca, dan menghafalkannya secara lisan dari mulut kemulut. Dari Nabi
kepada para sahabat, dari sahabat yang satu kepada sahabat yang lain, dan dari
seorang imam ahli bacaan yang satu kepada imam yang lain. 2
Qira‟at atau macam-macam bacaan itu sudah ada sejak zaman Rosulullah
SAW, dan beliau mengajarkan kepada para sahabat sebagaimana beliau menerima
bacaan itu dari malaikat jibril. Dan begitu turun ayat-ayat Al-Qur‟an, maka
dengan segera Nabi membacakan kepada para sahabat, dan mereka menulisnya,
menyimpan dan membacanya ketika sholat atau ibadah-ibadah yang lainnya
sevara berulang-ulang siang dan malam.3
Qira‟at merupakan salah satu cabang ilmu Al-Qur‟an, tetapi tidak banyak
orang yang tertarik kepadanya, kecuali orang orang tertentu saja, biasanya
kalangan akademik. Banyak factor yang menyebabkan hal itu, di antarnya adalah
ilmu ini tidak berhubungan langsung dengan kehidupan dan muamalah manusia
sehari-hari, tidak seperti ilmu fiqih, hadist dan tafsir misalnya yang dapat
dikatakan berhubungan langsung dengan kehiduopan manusia. Hal ini karena

1
Sayyid Muhammad Alwi Al-Maliki, Keistimewaan-Keistimewaan AlQur‟an,( Yogyakarta: Mitra
Pustaka, 2011), 119.
2
Prof. Dr. H. Abdul Djalal H.A, Ulumul Qur‟an,( Surabaya: CV Dunia Ilmu, 2013), 342.
3
Mawardi Abdullah,Ulumul Qur‟an,(Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2011), 107.
ilmu qira‟at tidak mempelajari masalah-masalah yang berkaitan secara langsung
dengan halal atau haram atau hukum-hukum tertentu dalam kehidupan manusia.
Selain itu, ilmu ini juga cukup rumit untuk untuk dipelajari karena
banyak hal yang harus dikuasai, antara lain penguasaan bahasa arab secara
mendalam, penguasaan ilmu ini sangat berjasa dalam menggali, menjaga dan
mengajarkan berbagai “cara membaca” Al-Qur‟an yang benar benar sesuai
dengan yang telah diajarkan Rosulullah SAW.
Para ahli qira‟at telah mencurahkan segala kemampuannya demi
mengembangkan ilmu ini. Ketelitian dan kehati-hatian mereka telah menjadikan
Al-Qur‟an terjaga dari adanya kemungkinan penyelewengan dan masuknya unsur-
unsur asing yang dapat merusak kemurnian Al-Qur‟an.4
Dalam hal ini pemakalah akan memaparkan tentang pengetian qira‟at,
macam-macam qira‟at, dan latar belakang timbulnya perbedaan serta manfa‟at
keragaman qira‟at.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Qira‟at?
2. Apa saja macam-macam Qira‟at?
3. Bagaimana latar belakang timbulnya perbedaan?
4. Bagaimana manfa‟at keragaman Qira‟at?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahuai apa itu pengertian Qira‟at.
2. Untuk mengetahuai macam-macam Qira‟at.
3. Untuk mengetahuai latar belakang timbulnya perbedaan.
4. Untuk mengetahuai manfa‟at keragaman Qira‟at.

4
Acep Hermawan, „Ulumul Qur‟an,(Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2013), 133.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Qira’at
Qira‟at menurut bahasa adalah bentuk Jama‟ dari yang berarti

“bacaan”, bentuk mashdar dari yang memiliki arti “menghimpun atau

mengumpulkan”.
Sedangkan qira‟at menurut istilah „ulama berbeda beda pendapat dalam
mendefinisikannya akan tetapi intinya sama:
Menurut Syekh Muhammad Ali As Shabuni dalam kitabnya Attibyan Fii
Ulumil Qur‟an, qira‟at yaitu:” suatu madzahab yang bermadzahab pada salah
seorang imam qurra‟ yang berbeda dengan yang lainnya dalam pengucapan Al-
Quranul karim dan qira‟at tersebut bersanad langsung kepada Rasulullah SAW.” 5
Menurut Manna‟ Al-Qattaan “qira‟at ialah suatu aliran yang
bermadzahab kepada salah satu imam qurra‟ yang berbeda dengan yang lainnya
mengenai cara pengucapan Al-Qur‟anul Karim”6
Menurut Prof.Dr. H. Abdul Djalal H.A “ Qira‟at yaitu salah satu cara
membaca Al-Qur‟an yang selaras dengan kaidah bahasa arab, dan sanadnya
mutawatir serta cocok dengan salah satu dari beberapa mushaf „Ustmani”7
Menurut „Abdul „Adzim Az Zarqaani “Qira‟at adalah suatu madzhab
(aliran) yang mengikuti beberapa imam qurra‟ yang berbeda dengan yang lainnya
dalam pengucapan Al-Qur‟anul karim, disertai beberapa riwayat dan jalur yang
telah disepakati”8
Menurut Dr. Nuruddin „Atir didalam kitabnya :“Qira‟at adalah suatu
ilmu yang mempelajari tentang cara pengucapan kalimat-kalimat di dalam Al-
Qur‟an dan perbedaan perbedaan dalam pengucapannya”9

5
Syekh Muhammad Ali As Shabuni, At Tibyan Fii Ulumil Qur‟an (Jakarta:Daarul Kitab Al
Islamiyah, 2003), 229.
6
Manna‟ AL Qattan, Mabahist Fii „Ulumil Qur‟an (Surbaya:Al Hidayah, 1973), 170.
7
Djalal H.A, Ulumul Qur‟an, 339.
„Abdul „Adzim Az Zarqaani, Manaahilul „Irfaan (Beirut:Daarul Kitab Al Amaliyah,2010),229
8
9
Dr. Nuruddin „Atir, „Ulumul Qur‟anil Karim,t.t, 146
B. Macam-Macam Qira’at
Macam-macam Qira‟at itu bisa ditinjau dari segi Bilangan Qira‟at
(„I‟dadul Qira‟at) dan dari segi sanadnya.
1. Bilangan Qira‟at („I‟dadul Qira‟at)
Qira‟ah yang masyhur di tinjau dari segi bilangan ada tiga yaitu,
Qira‟ah Sab‟ah, Qira‟ah „Asyra, Qira‟ah Arba‟a Asyra.10
a. Qira‟at Sab‟ah, adalah Qira‟at atau bacaan yang mengikuti tujuh Imam
qira‟at, tujuh imam tersebut yaitu:11
1) Ibnu „Amir
2) Ibnu Katsir
3) Ashim Al Kuti
4) Abu Amr
5) Hamzah Al-Kufi
6) Imam Nafi‟
7) Al Kasai
b. Qira‟at „Asyra adalah qira‟at yang didasarkan kepada sepuluh imam
qira‟at,yaitu tujuh imam yang sudah tersebut diatas ditambah tiga imam
lagi, adapun tiga imam itu:
1) Abu Ja‟far yazid bin Qo‟qo‟ Al Qari
2) Abu Muhammad Ya‟qub bin Ishaq Al Hadramy
3) Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam bin Tsu‟lab
c. Qira‟at Arba‟a Asyra adalah qira‟at yang bacaannya disandarkan pada
empat belas imam qira‟at, empat belas imam qira‟at tersebut yaitu dari
sepuluh imam qira‟at „asyra dan ditambah empat imam lagi, adapun
empat imam tersebut yaitu:12
1) Hasan Al Bashry
2) Ibnu Muhaisi
3) Yahya Ibnul Bubarak Al Yazidi
4) Abul Faraj Ibnul Ahmad Asy-Syambudzy.
10
Az Zarqaani, Manaahilul „Irfaan, 229.
11
As Shabuni, At Tibyan Fii Ulumil Qur‟an, 234.
12
Djalal H.A, Ulumul Qur‟an, 348.
2. Segi Sanad
Imam Asshuyuti menukil dari ibnu Al Jazari bahwa qira‟at itu dibagi
menjadi enam bagian:13
a. Mutawatir
Qira‟at Mutawatir adalah qira‟at yang diriwayatkan satu golongan
dari golongan yang lain yang tidak dimungkinkan adanya kesepakatan
untuk berdusta dan semislanya, qira‟at ini merupakan qira‟at yang sering
dipakai pada umumnya.
b. Masyhur
Qira‟at masyhur adalah qira‟at yang memiliki sanad yang shohih,
dengan perawi yang adil, dhabit (kuat hafalannya) dan yang dengan
demikian Qira‟at masyhur ini juga sesuai dengan kaiddah arab, dan
Mushaf Ustmani. Seperti qira‟at yang disampaikan oleh imam tujuh atau
sepuluh atau juga oleh imam lainnya dari beberapa imam yang maqbul.
Qira‟ah ini masyhur dikalangan para qurra‟ dan tidak ditemukan
didalanya suatu qira‟ah yang keliru dan menyimpang, namun qira‟ah
masyhur ini tidak sampai pada derajat mutawatir.
Seperti qira‟ah dari tujuh imam yang disampaikan dengan cara
yang berbeda beda, sebagai perawi meriwayatkan dari imam yang tujuh,
sedangkan sebagian yang lainnya tidak.
c. Ahad
Qira‟at Ahad adalah qira‟at yang memiliki sanad yang shohih,
namun qira‟at ini menyalahi rasm ustmani dan kaidah arab. Qira‟at ini
tidak memiliki ke masyhuran dan tidak di baca sebagiamana ketentuan
yang telah ditetapkan. seperti qira'‟t yang dikeluarkan oleh Al Hakim
melalui Imam „ashim Al Jahdani dari Abi Bakrah, bahwa sanya Nabi
membaca ayat: sebagian qira‟at yang

lain dengan dibaca fathah huruf fa‟nya.

d. Syadz (menyimpang)

13
Az Zarqaani, Manaahilul „Irfaan, 236.
Qira‟at Syadz adalah qira‟at yang tidak sah sanadnya, seperti
qira‟at Ibnu Samaifa‟ dengan membaca fathah huruf

lam nya dari kalimat .

e. Qira‟at Maudhu‟ (palsu)


Qira‟at maudhu‟ adalah qira‟at yang tidak ditemukan asal usulnya.
Seperti qira‟at yang dikumpulkan oleh Imam Muhammad ibn Ja‟far Al-
Khuza‟i. contohnya:

f. Qira‟at Mudraj
Qira‟at mudraj adalah qira‟at yang menyerupai hadist. Qira‟at ini
ditambahkan dalam beberapa qira‟at sebagai penafsiran, seperti qira‟at
nya Sa‟ad ibn Abi Waqqas dengan ketambahan lafadz

dan qira‟at dengan

ketambahan lafadz begitu juga qira‟at Zubair

dengan ketambahan lafadz .

Mushannif dalam kitabnya Al Itqaan menuturkan bahwa qira‟at itu


dibagai menjadi, qira‟at mutawatir, masyhur, ahad, syad, maudhu‟, mudraj.
Seangkan menurut Imam Al Qodi Jalaluddin Al Balqoini qira‟ah itu dibagi
menjadi tiga:mutawatir, ahad, syadz. 14 Adapun yang mutawatir itu adalah qira‟at
sab‟ah, sedangkan qira‟ah ahad dibagi menjadi tiga:
1) Qira‟ah yang menyempurnakan qira‟ah „asyra
2) Qiraa;ah yang menyerupai qira‟ah „asyra
3) Qira‟ahnya para sahabat
Adapun qira‟ah syadz itu adalah qira‟ahnya beberapa tabi‟in seperti
imam A‟masy, Imam Yahya bin Wasath, Ibnu Jubair, dll.

14
As Shabuni, At Tibyan Fii Ulumil Qur‟an, 232.
Ulama‟ qira‟at bersepakat bahwa qira‟ah yang bisa diterima ialah yang
sesuai dengan ketentuan: bahwa “setiap qira‟at yang sesuai dengan kaidah arab
walupun hanya dari satu sisi saja, dan sesuai dengan penulisan salah satu mushaf
walaupun masih ihtimal (tidak pasti), serta memilik sanad yang shoheh”. Qira‟at
tersebut bisa diterima jika memenuhi tiga syarat berikut yaitu: 15
1. Sesuai dengan kaidah arab walau hanya dari satu sisi
Yang dimaksud dengan syarat ini adalah qira‟ah tersebut harus sesuai
dengan salah satu kaidah dari beberapa kaidah bahasa arab, jika terdapat
perbedaan didalamnya maka, tidak sah memperlihatkan qira‟at tersebut.
2. Sesuai dengan penulisan salah satu mushaf walaupun masih ihtimal.
Dalam syarat ini pengucapan kalimat harus sesuai dengan rasm
mushaf secara hakiki, apabila ucapan tersebut sesuai dengan yang ditulis
3. Memiliki sanad yang shohih.
Yaitu qira‟at yang diriwayatkann oleh imam yang adil, dabith (kuat
hafalannya), dan semisalnya hingga sampai pada Rosulullah tanpa adanya
keraguan.16

C. Latar Belakang Timbulnya Perbedaan


Di dalam buku yang ditulis oleh Prof. Dr. Rosihon Anwar , terdapat
beberapa hal yang menjadi latar belakang timbulnya perbedaan qira‟at, ada yang
secara historis dan ada pula secara penyampain yang akan di perinci sebagaimana
berikut:17
1. Secara historis
Qira‟at sebenarnya telah muncul semenjak Nabi masih ada walaupun
tentu saja pada saat itu Qira‟at bukan merupakan sebuah disiplin ilmu. Ada
beberapa riwayat yang mendukung asumsi diatas:
a. Suatu ketika Umar bin Khoththab berbeda pendapat dengan Hisyam bin
Hakim Ketika membaca Al-Qur‟an. „umar tidak puas terhadap bacaan
Hisyam sewaktu membacakan Surat Al Furqan. Menurut „Umar bacaan
15
Ibid,. 232.
16
„Atir, „Ulumul Qur‟anil Karim, 148.
17
Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, Ulum Al Qur‟an,(Bandung:CV Pustaka Setia,2010),142-149
Hisyam Tidak benar dan bertentangan dengan apa yang di ajarkan Nabi
kepadanya. Namun, Hisyam menegaskan pula bahwa bacaannyapun
berasal dari Nabi. Seusai Sholat, Hisyam diajak menghadap Nabi seraya
melaporkan peristiwa diatas. Nabi menyruh Hisyam mengulangi
bacaannya sewaktu sholat tadi. Setelah Hisyam melakukannya, Nabi
bersabda:

Artinya”memang begitulah Al-Qur‟an diturunkan. Sesungguhnya Al


Qur‟an ini diturunkan dalam tujuh Huruf, maka bacalah oleh kalian yang
kalian anggap mudah dari tujuh huruf itu”
b. Didalam Riwayatnya, Ubai pernah bercerita:
“saya masuk ke masjid untuk mengerjakan sholat, kemudian datanglah
seorang dan membaca surat An Nahl, tetapi bacaannya berbeda dengan
bacaan saya. Setelah selesai, saya bertanya, “siapakah yang mebacajkan
ayat itu kepadamu?” ia menjawab, “Rasulullah SAW”. Kemudian,
datangalh seorang mengerjakan sholat dengan membaca permula‟an
surat An-Nahl(16), tetapi bacaannya berbeda dengan bacaan saya dan
bacaan teman tadi. Setelah sholatnya selesai, saya bertanya, “siapakah
yang membacakan ayat itu kepadamu?” ia menjawab “Rosulullah SAW”.
Kedua orang itu lalu saya ajak menghadap Nabi, Beliau meminta salah
satu dari kedua orang itu membacakan lagi surat itu. Setelah bacaannya
selesai, nabi bersabda “baik”. Kemudian, Nabi meminta kepada yang lian
agar melakukan hal yang sama. Dan Nabi pun menjawabnya baik.”
Menurut catatan sejarah, timbulnya penyebaran Qira‟at dimulai pada
masa Tabi‟in , yaitu pada Awal II H. takkala para Qari‟ suda tersebar di
berbagai pelosok. Mereka lebih suka mengemukakan qira‟at gurunya dari
pada mengikuti qira‟at imam-imam lainya. Qira‟at-qira‟at tersebut diajarkan
secara turun temurun dari guru ke guru, sehingga sampai kepada imam
qira‟at, nbaik yang tujuh, sepuluh, atau yang empat belas.
Kebijakan Abu bakar As Siddiq yang tidak mau memusnahkan
mushaf-mushaf lain selain yang telah di susun zaid bin tsabit, seperti mushaf
yang dimilik ibn Mas‟ud, Abu Musa Al Asy‟ari, Miqdad Bin Amr, Ubay bin
Ka‟ab, dan Ali bin Abi Thalib, mempunyai andail besar dalam kemunculan
qira‟at yang kian beragam. Perlu dicatat bahwa mushaf-mushaf itu tidak
berbeda dengan yang disusun zaid bin Tsabit dan kawan-kawannya, kecuali
pada dua hal saja,yaitu kronologi surat dan bagian bacaan yang merupakan
penafsiran yang ditulis dengan lahjah tersendiri karena mushaf-mushaf itu
merupakan catatan pribadi merka masing-masing.
Adanya mushaf-mushaf itu disertai dengan penyebaran para qari‟
keberbagai penjuru, pada gilirannya melahirkan sesuatu yang diinginkan,
yakni timbulnya qira‟at yang semakin baeragam. Lebih-lebih setelah
terjadinya transformasi bahasa dan akulturasi akibat bersentuhan dengan
bangsa bangsa bukan arabin sehingga pada akhirnya perbedaan qira‟at itu
sudah pada kondisi sebagaimana yang di saksikan Hudzaifah Al Yamamah
dan yang kemudian dilaporkan terhadap „Ustman.
2. Secara penyampaian
Menurut analisis yang disampaikan Sayyid Ahmad Khalil, pebedaaan
qir‟at itu bermula dari car seorang guru membacakan qira‟at itu kepada
murid-muridnya. Kalu diruntut, cara membaca Al-Qur‟an yang berbeda beda
itu, sebagiamana dalam kasusu „umar dan Hisyam, diperbolehkan oleh Nabi.
lalu, beberapa ulama mencoba merangkum bentuk-bentuk perbedaan cara
melafalkan Al-Qur‟an itu sebagai berikut:
1. Perbedaan dalam I‟rab atau Harkat kalimat tanpa perunbahan makna dan
bentuk kalimat.
73 ……… ….……

Artinya:“…yaitu orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain


berbuat kikir…” (Q.S. An-Nisa‟ [4]:37)
Kata Al-bakhl yang berarti kikir disini dapat dibaca fathah pada huruf ba‟-
nya sehingga dibaca “bi Al-bakhli”, dapat juga dibaca dhamah pada ba‟-
nya sehingga dibaca “bi Al-bukhli”.
2. Perbedaan pada I‟rab dan harkat (baris) kalimat sehingga mengubah
maknanya, misalnya pada firman Allah:
91

Artinya:“Ya Tuhan kami, jadikanlah jarak perjalanan kami” (Q.S. Saba‟


[34]:19)
Kata yang diterjemahkan menjadi jauhkanlah diatas adalah ba‟id
karena statusnya sebagai fi‟il amr, boleh juga dibaca ba‟ada yang berarti
kedudukannya menjadi fi‟il madhi, sehingga artinya telah jauh.
3. Perbedaan pada perubahan huruf antara perubahan I‟rab dan bentuk
tulisannya, sementara maknaya berubah. Misalnya pada firman Allah:
951

Artinya:“…dan lihatlah kepada tulang-belulang keledai itu, kemudian


Kami menyusunnya kembali.” (Q.S. Al-Baqarah [2]:259)
Kata nunsyizuha (Kami menyusun kembali) yang ditulis dengan
menggunakan huruf zay )‫ (ز‬diganti dengan huruf ra )‫ (ر‬sehingga menjadi
berbunyi nunsyiruha yang berarti “Kami hidupkan kembali”.
4. Perubahan pada kalimat dengan perubahan pada bentuk tulisannya, tetapi
maknyan tidak berubah, misalnya pada firman Allah:
951

Artinya:“…dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan.”


(Q.S. Al-Qari‟ah [101]:5)
Beberapa qira‟at mengganti kata ka “al-„ihin” dengan ka”ash-
shufi” sehingga yang mulanya bermakna “bulu-bulu” berubah menjadi
“bulu-bulu domba”. Perubahan seperti ini, berdasarkan ijma‟ ulama tidak
dibenarkan, karena bertentangan dengan mushaf „Utsmani.
5. Perbedan pada kalimat dimana bentuk dan maknanya berubah pula.
Misalnya pada ungkapan thl‟in mandhud menjadi thalhin mandhud.
6. Perdaan pada mendahulukan dan mengakhirkannya. Misalnya pada firman
Allah:
91

Artinya:“Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya”


Konon, menurut suatu riwayat, Abu bakar pernah membacanya
menjadi Wa ja‟at sakrat Al-haqq bi Al-maut. Abu bakar menggeser kata
“al-maut” ke belakang, sementara kata “al-haqq” dimajukan ke tempat
yang ia geser ke belakang. Setelah mengalami pergeseran ini,bila
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kalimat itu menjadi: “dan
datanglah sekarat yang benar-benar dengan kematian.”
Qira‟at semacam ini juga tidak dipakai, karena jelas menyalahi
aturan yang berlaku.
7. Perbedaan dengan menambah dan mengurangi huruf, seperti pada firman
Allah:
95

Artinya:“…Surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. (Q.S.


Al-Baqarah [2]: 25)”
Kata min pada ayat ini dibuang. Dan pada ayat serupa yang tanpa
min justru ditambah.
Di dalam buku yang ditulis oleh Prof. Dr. Rosihon Anwar ini, beliau
menuturkan beberapa sebab terjadinya perbedaan qira‟at, dan diantara sebab-
sebab munculnya beberapa qira‟at yang berbeda adalah sebagai berikut.
1. Perbedaan qira‟at Nabi. Artinya dalam mengajarkan Al-Qur‟an kepada para
sahabatnya, Nabi memakai beberapa versi qira‟at. Misalnya Nabi pernah
membaca surat As-Sajdah (32) ayat 17 sebagai berikut:

Qira‟ah versi mushaf „Utsmani adalah:


2. Pengakuan dari Nabi terhadap berbagai qira‟at yang berlaku dikalangan kaum
muslimin waktu itu. Hal ini menyangkut dialek diantara mereka dalam
mengucapkan kata-kata didalam Al-Qur‟an. Contohnya:
a. Ketika seorang Hudzail membaca dihadapan Rasul atta hin ( ),

padahal ia menghendaki hatta hin ( ),Rasulpun membolehkannya

sebab
b. memang begitulah orang Hudzail mengucapkan dan menggunakannya.
c. Ketika orang Asadi membaca dihadapan Rasul tiswaddu wujuh (

), huruf “ta‟” pada lafadz “tiswaddu” dikasrahkan. Dan alam i‟had

ilaikum ( ), huruf “hamzah” pada kata “I‟had” (dikasrahkan),

Rasulpun membolehkannya, sebab memang begitulah orang Asadi


mengucapkan dan menggunakannya.
d. Ketika seorang Tamim mengucapkan hamzah pada suatu kata yang tidak
diucapkan oleh orang Quraisy, Rasulpun membolehkannya sebab
memang demikianlah orang Tamim menggunakan dan mengucapkannya.
e. Ketika seorang Qari‟ membaca wa idza qila lahum ( ) dan ghidha

Al-ma‟u ( ) dengan menggabungkan dhamah kepada kasrah,

Rasulpun membolehkannya sebab memang demikianlah ia menggunakan


dan mengucapkannya.
3. Adanya riwayat dari para sahabat Nabi menyangkut berbagai versi qira‟at
yang ada.
4. Adanya lahjah atau dialek kebahasaan dikalangan bangsa Arab pada masa
turunnya Al-Qur‟an.18

18
Ibid., 148.
D. Manfa’at Keragaman Qira’at
Dan diantara keragaman Qira‟at itu memiliki beberapa manfa‟at
sebagaimana berikut:19
1. Menunjukkan terjaga dan terpelihara kitabullah dari perubahan dan
penyimpangan ,walaupun mempunyai aneka ragam bacaan yang berbeda-beda.
2. Meringankan umat islam dan memudahkan mereka untuk membaca al-Qur‟an
3. Bukti kemu‟jizatan al-Qur‟an dari segi kepadatan maknanya, karena setiap
Qir‟at menunjukkan sesuatu hukum syara‟ tertentu tanpa perlu pengulangan
lafadz, seperti bacaan:

Pada lafadz ‫ ارجلكم‬ada dua bacaan, yaitu ada yang membaca dengan „jar‟
dan ada yang membaca „nashab‟, tentu saja dengan perbedaan I‟rab maka
berbeda pula hukumnya. Sehingga dengan demikian kita dapat menyimpulkan
dua hukum dengan lafadz yang sama. Inilah sebagian makna kemukjizatan Al
Qur‟an dari segi kepadatan makna.
4. Penjelasan terhadap sesuatu yang masih global dalam Qira‟at lain, misalnya :
qir‟at Ibnu Mas‟ud (Q.S Al Maidah:38)

Lafadz sebagai ganti yang menjelaskan tangan mana yang harus

dipotong.

19
AL Qattan, Mabahist Fii „Ulumil Qur‟an,176.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Qira‟ah adalah suatu madzhab yang dianut oleh seorang imam yang
berbeda dengan imam yang lainnya dalam segi pelaflan Al-Qur‟an dan sanadnya
bersambung langsung kepada Rasulullah SAW
Macam macam qira‟at itu bisa ditinjau dari dua segi, segi hitungan dan
segi sanad. Adapun qira‟at dari segi bilangan ada tiga, yaitu:qira‟at sab‟ah,
qira‟at „asyra, qira‟at arba‟a asyra. Sedangkan qira‟at ditinjau dari segi sanad
ada enam macam, yaitu: mutawatir, masyhur, ahad, syadz, maudhu‟, mudraj.
Latar belakang timbulnya perbedaan itu ada secara historis dan ada
secara pengucapan. Adapun secara penyampaian:a). Perbedaan dalam I‟rab atau
Harkat kalimat tanpa perunbahan makna dan bentuk kalimat. b) Perbedaan pada
I‟rab dan harkat (baris) kalimat sehingga mengubah maknanya. c) Perbedaan pada
perubahan huruf antara perubahan I‟rab dan bentuk tulisannya, sementara
maknaya berubah. d) Perubahan pada kalimat dengan perubahan pada bentuk
tulisannya, tetapi maknyan tidak berubah. e) Perbedan pada kalimat dimana
bentuk dan maknanya berubah pula. Misalnya pada ungkapan thl‟in mandhud
menjadi thalhin mandhud. f) Perdaan pada mendahulukan dan mengakhirkannya.
g) Perbedaan dengan menambah dan mengurangi huruf.
Dan diantara keragaman Qira‟at itu memiliki beberapa manfa‟at
diantaranya, yaitu:
1. Menunjukkan terjaga dan terpelihara kitabullah dari perubahan dan
penyimpangan
2. Meringankan umat islam dan memudahkan mereka untuk membaca al-Qur‟an
3. Bukti kemu‟jizatan al-Qur‟an dari segi kepadatan maknanya
4. Penjelasan terhadap sesuatu yang masih global dalam Qira‟at lain.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Mawardi. Ulumul Qur‟an. 2011.Yogyakarta:Pustaka Pelajar

AL Qattan, Manna‟. Mabahist Fii „Ulumil Qur‟an. 1973. Surbaya:Al Hidayah

Al-Maliki, Sayyid Muhammad Alwi Keistimewaan-Keistimewaan AlQur‟an.


2011. Yogyakarta: Mitra Pustaka,

Anwar, Rosihon. Ulum Al Qur‟an. 2010. Bandung:CV Pustaka Setia

As Shabuni, Muhammad Ali. 2003. At Tibyan Fii Ulumil Qur‟an. Jakarta: Daarul
Kitab Al Islamiyah

Atir, Nuruddin.„Ulumul Qur‟anil Kari. t.t.

Az Zarqaani, „Abdul „Adzim. Manaahilul „Irfaan. 2010. Beirut:Daarul Kitab Al


Amaliyah.

Djalal H.A, Abdul. Ulumul Qur‟an. 2013. Surabaya: CV Dunia Ilmu

Hermawan, Acep.„Ulumul Qur‟an. 2013. Bandung:PT Remaja Rosdakarya

Anda mungkin juga menyukai