Anda di halaman 1dari 14

Pengertian Rasmul Qur’an dari Berbagai Sumber Rasmul Al-Qur’an atau yang

lebih dikenal dengan Ar-Rasm Al-‘Utsmani lil Mushaf (penulisan mushaf


Utsmani) adalah : Suatu metode khusus dalam penulisan Al-Qur’an yang di
tempuh oleh Zaid bin Tsabit bersama tiga orang Quraisy yang di setujui oleh
Utsman.
Rasmul al-Qur’an yaitu : Penulisan Al-Qur’an yang dilakukan oleh 4 sahabat
yang dikepalai oleh Zaid bin Tsabit, dibantu tiga sahabat yaitu Ubay bin Ka’ab,
Ali bin Abi Thalib, dan Utsman bin Affan yang dilatar belakangi oleh saran dari
Umar bin Khattab kepada Abu Bakar, kemudian keduanya meminta kepada Zaid
bin Tsabit selaku penulis wahyu pada zaman Rasulullah Shalallahu Alaihi
Wasallam untuk mengumpulkan (menulis) Al-Qur’an karena banyaknya para
sahabat dan khususnya 700 penghafal Al-Qur’an syahid pada perang Yamamah.
Metode khusus dalam Al-Qur’an yang digunakan oleh 4 sahabat yaitu: Zaid
bin Tsabit, Ubay ibn Ka’ab, Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin Affan
bersama disetujui oleh khalifah Utsman. Istilah rasmul Qur’an diartikan sebagai
pola penulisan al-Qur’an yang digunakan Ustman bin Affan dan sahabat-
sahabatnya ketika menulis dan membukukan Al-Qur’an. Yaitu mushaf yang
ditulis oleh panitia empat yang terdiri dari, Mus bin zubair, Said bin Al-Ash, dan
Abdurrahman bin Al-harits. Mushaf Utsman ditulis dengan kaidah tertentu. Para
ulama meringkas kaidah itu menjadi enam istilah, yaitu :
1. Al–Hadzf (membuang,menghilangkan,atau meniadakan huruf).
Contohnya, menghilangkan huruf alif pada ya’ nida’ (َ ‫يََ ََ آ‬
َ ‫) س النا يها‬.
2. Al – Jiyadah (penambahan), seperti menambahkan huruf alif setelah wawu
atau yang mempunyai hokum jama’ (‫ ) ئيل اسرا بنوا‬dan menambah alif
setelah hamzah marsumah (hamzah yang terletak di atas lukisan wawu (
‫)تفتؤا تاهلل‬.
3. Al – Hamzah, Salah satu kaidahnya bahwa apabila hamzah ber-harakat
sukun, ditulis dengan huruf ber-harakat yang sebelunya, contoh (‫) ائذن‬.
4. Badal (penggantian), seperti alif ditulis dengan wawu sebagai
penghormatan pada kata (‫)الصلوة‬.
5. Washal dan fashl(penyambungan dan pemisahan),seperti kata kul yang
diiringi dengan kata ma ditulis dengan disambung ( ‫) كلما‬.
6. Kata yang dapat di baca dua bunyi. Suatu kata yang dapat dibaca dua
bunyi,penulisanya disesuaikan dengan salah salah satu bunyinya. Di dalam
mushaf ustmani,penulisan kata semacam itu ditulis dengan menghilangkan
alif, contohnya,(‫) الدين يوم ملك‬. Ayt ini boleh dibaca dengan menetapkan
alif(yakni dibaca dua alif), boleh juga dengan hanya menurut bunyi
harakat(yakni dibaca satu alif).
Pendapat Para Ulama Tentang Rasmul Qur’an.

Para ulama telah berbeda pendapat mengenai status rasmul Al-Qur’an ini.
Sebagian dari mereka berpendapat bahwa rasmul qur’an bersifat tauqifi.yang mana
mereka merujuk pada sebuah riwayat yang menginformasikan bahwa nabi pernah
berpesan kepada mu’awiyah,salah seorang seketarisnya, “Ambillah tinta, tulislah
huruf” dengan qalam (pena), rentangkan huruf “baa”, bedakan huruf “siin”, jangan
merapatkan lubang huruf “miim”, tulis lafadz “Allah” yang baik, panjangkan lafadz
“Ar-Rahman”, dan tulislah lafadz “Ar-Rahim” yang indah kemudian letakkan qalam-
mu pada telinga kiri, ia akan selalu mengingat Engkau. Merekapun mengutip
pernyataan Ibnu Mubarak :“Tidak seujung rambutpun dari huruf Qur’ani yang ditulis
oleh seorang sahabat Nabi atau lainnya. Rasm Qur’ani adalah tauqif dari Nabi (yakni
atas dasar petunjuk dan tuntunan langsung dari Rasulullah SAW). Beliaulah yang
menyuruh mereka (para sahabat) menulis rasm qur’ani itu dalam bentuk yang kita
kenal, termasuk tambahan huruf alif dan pengurangannya, untuk kepentingan rahasia
yang tidak dapat dijangkau akal fikiran, yaitu rahasia yang dikhususkan Allah bagi
kitab-kitab suci lainnya”. Sebagian besar para ulama berpendapat bahwa rasmul
qur’an bukan tauqifi,tetapi merupakan kesepakatan cara penulisan yang disetujui oleh
ustman dan diterima umat,sehingga wajib diikuti dan di taati siapapun yang menulis
alqur’an. Tidak yang boleh menyalahinnya, banyak ulama terkemuka yang
menyatakan perlunya konsistensi menggunakan rasmul ustmani. Dengan demikian,
kewajiban mengikuti pola penulisan Al Qur’an versi Mushaf ‘Utsmani diperselisihkan
para ulama. Ada yang mengatakan wajib, dengan alasan bahwa pola tersebut
merupakan petunjuk Nabi (tauqifi). Pola itu harus dipertahankan walaupun beberapa
di antaranya menyalahi kaidah penulisan yang telah dibakukan. Bahkan Imam Ahmad
ibn Hanbal dan Imam Malik berpendapat haram hukumnya menulis Al Qur’an
menyalahi rasm ‘Utsmani. Bagaimanpun, pola tersebut sudah merupakan kesepakatan
ulama mayoritas (jumhur ulama). Ulama yang tidak mengakui rasm ‘Utsmani sebagai
rasm tauqifi, berpendapat bahwa tidak ada masalah jika Al Qur’an ditulis dengan pola
penulisan standar (rasm imla’i). Soal pola penulisan diserahkan kepada pembaca.
Kalau pembaca lebih mudah dengan rasm imla’i, ia dapat menulisnya dengan pola
tersebut, karena pola penulisan itu hanya simbol pembacaan, dan tidak mempengaruhi
makna Al Qur’an.

Kaitan Rusmul Qur’an Dengan Qira’at Secara etimologi

Qiraat adalah jamak dari Qira’ah, yang berarti ‘bacaan’, dan ia adalah masdar
(verbal noun) dari Qara’a. Secara terminologi atau istilah ilmiyah Qiraat adalah salah
satu Mazhab (aliran) pengucapan Qur’an yang dipilih oleh seorang imam qurra’
sebagai suatu mazhab yang berbeda dengan mazhab yang lainya. Qiraat ini ditetapkan
berdasarkan sabad-sanadnya sampai kepada Rasulullah. Periode qurra’ (ahli / imam
qiraat) yang mengajarkan bacaan Qur’an kepada orang-orang menurut cara mereka
masing-masing adlah dengan berpedoman kepada masa para sahabat.diantara para
sahabat yang terkenal yang mengajarkan qiraat ialah Ubai, Ali, Zaid bin Sabit, Ibn
Mas’ud, Abu Musa Al-Asy’ari dan lain-lain. Dari mereka itulah sebagian besar
sahabat dan Tabi’in di berbagai negri belajar qira’at yang semuanya bersandar kepada
Rasulullah.

Sahabat-sahabat nabi terdiri dari beberapa golongan. Tiap-tiap golongan itu


mempunya lahjah (bunyi suara / sebutan) yang berlainan satu sama lain. Memaksa
mereka menyebut pembacaan atau membunyikan al-Qur’an dengan lahjah yang tidak
mereka biasakan, suatu hal menyukarkan. Maka untuk mewujudkan kemudahan,
Allah Yang Maha Bijaksana menurunkan al-Qur’an dengan lahjah-lahjah yang biasa
dipakai oleh golongan Quraisy dan oleh golongan-golongan yang lain di tanah Arab.
Oleh karna itu menghasilkan bacaan al-Qur’an dalam berbagai rupa atau macam
bunyi lahjah. Dan bunyi lahjah yang biasa ditanah Arab ada tujuh macam. Di samping
itu ada beberapa lahjah lagi. Sahabt-sahabat nabi menerima al-Qur’an dari nabi
menurut lahjah bahasa golonganya. Dan masing-masing mereka meriwayatkan al-
Qur’an menurut lahjah mereka sendiri. Sesudah itu munculah segolongan ulama yang
serius mendalami ilmu qira’at sehingga mereka menjadi pemuka qira’at yang
dipegangi dan dipercayai. Oleh karena mereka semata-mata mendalami qira’at untuk
mendakwahkan al-Qur’an pada umatnya sesuai dengan lahjah tadi. Kemudian
muncullah qurra-qurra yang kian hari kian banyak. Maka ada diantara mereka yang
mempunyai keteguhan tilawahnya, lagi masyhu, mempunyai riwayah dan dirayah dan
ada diantara mereka yang hanya mempunyai sesuatu sifat saja dari sifat-sifat tersebut
yang menimbulkan perselisihan yang banyak. Untuk menghindarkan umat dari
kekeliruan para ulama berusaha menerangkan mana yang hak mana yang batil. Maka
segala qira’at yang dapat disesuaikan dengan bahasa arab dan dapat disesuaikan
dengan salah satu mushaf Usmani serta sah pula sanadnya dipandang qira’at yang
bebas masuk kedalam qira’at tujuh, maupun diterimanya dari imam yang sepuluh
ataupun dari yang lain. Meskipun mushaf Utsmani tetap dianggap sebagai satu-
satunya mushaf yang dijadikan pegangan bagi umat Islam diseluruh dunia dalam
pembacaan Al-Qur’an, namun demikian masih terdapat juga perbedaan dalam
pembacaan. Hal ini disebabkan penulisan Al-Qur’an itu sendiri pada waktu itu belum
mengenal adanya tanda-tanda titik pada huruf-huruf yang hampir sama dan belum ada
baris harakat. Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa keberadaan mushaf ‘ustmani
yang tidak berharakat dan bertitik ternyata masih membuka peluang untuk
membacanya dengan berbagai qira’at. Hal itu di buktikan dengan masih terdapatnya
keragaman cara membaca Al-Qur’an. Dengan demikian hubungan rasmul Qur’an
dengan Qira’at sangat erat. Karena semakin lengkap petunjuk yang dapat ditangkap
semakin sedikit pula kesulitan untuk mengungkap pengertian-pengertian yang
terkandung didalam Al-Qur’an.Untuk mengatasi permasalahan tersebut Abu Aswad
Ad-Duali berusaha menghilangkan kesulitan-kesulitan yang sering dialami oleh
orang-orang Islam non Arab dalam membaca Al-Qur’an dengan memberikan tanda-
tanda yang diperlukan untuk menolong mereka membaca ayat-ayat al-Qur’an dan
memahami kandungan ayat-ayat al-Qur’an tersebu

Sumber: https://makalahnih.blogspot.co.id/2014/09/rasmul-quran-rasm-al-quran.html
Silahkan mengcopy paste dan menyebarkan artikel ini selama masih menjaga amanah
ilmiah dengan menyertakan sumbernya
A. Pengertian Makkiyah dan Madaniyah
Para sarjana muslim mengemukakan empat perspektif dalam mendefinisikan terminologi
makkiyah dan madaniyah. Keempat perspektif itu adalah :
1. Masa turun (zaman an-nuzul)
2. Tempat turun (makan an-nuzul)
3. Objek pembicaraan (mukhathab)
4. Tema pemmbicaraan (maudu’)

1. Dari perspektif masa turun, mereka mendefinisikan kedua terminologi di atas sebagai
berikut :
.َ‫لهجْ َر ِة َوا ِْن كَانَ ِبغَي ِْر َمكَة‬ ِ ْ‫ َما نَ َز َل قَ ْب َل ا‬: ‫ا َ ْل َم ِك ُي‬
َ.‫ َما نَ َز َل بَ ْع َد الِهجْ َر ِة َوا ِْن كَانَ بِغَي ِْر َم ِد ْينَة‬: ‫َو الم َدنِ ُي‬
.‫الهجْ َر ِة َولَ ْو ِب َمكَةَ أ َ ْو ع ََرفَةَ َم َدنِ ُي‬ِ ‫فَ َما نَ َز َل بَ ْع َد‬
Artinya :
“Makkiyyah ialah ayat-ayat yang turun sebelum rasulullah hijrah ke madinah, kendatipun
bukan turun di mekah, sedangkan madaniyyah adalah ayat-ayat yang turun sesudah rasulullah
hijrah ke madinah, kendatipun bukan turun di madinah. Ayat-ayat yang turun setelah
peristiwa hijrah disebut madaniyyah walaupun turun di mekah atau di arafah.”
Dengan demikian, surat an-nisa’ [4]: 58 termasuk kategori madaniyyah kendatipun
diturunkan di mekah, yaitu pada peristiwa terbukanya kota mekah (fath makkah). Begitu
pula, surat al-maidah [5]: 3 termasuk kategori madaniyyah kendatipun tidak diturunkan di
madinah karena ayat itu diturunkan pada peristiwa haji wada’.

2. Dari perspektif tempat turun, mereka mendefinisikan kedua terminologi di atas sebagai
berikut :
.َ‫ ِب َمكَةَ َو َما جَا َو َر َها ك َِمنَى َو ع ََرفَةَ َو ُح َد ْي ِبيَة‬: ‫َما نَ َز َل‬
ُ ‫ َما نَ َز َل بِالم ِد ْينَ ِة َو َما جَا َو َر َها َكأ ُ ُح ٍد َوقُبَا َء َو‬: ‫َوالم َدنِ ُي‬
.‫س ْل َع‬
Artinya :
“Makkiyah adalah ayat-ayat yang turun di mekah dan sekitarnya seperti mina, arafah, dan
hudaibiyyah, sedangkan madaniyyah adalah ayat-ayat yang turun di madinah dan sekitarnya,
seperti Uhud, Quba’ dan Sul’a”
Terdapat celah kelemahan dari pendefnisian di atas sebab terdapat ayat-ayat tertentu,
yang tidak di turunkan di Makkah dan di Madinah dan sekitarnya.
Misalnya surat At-Taubah [9]: 42 diturunkan di Tabuk, surat Az-Zukhruf [43]: 45
diturunkan di tengah perjalanan antara Makkah dan Madinah. Kedua ayat tersebut, jika
melihat definisi kedua, tidak dapat dikategorikan ke dalam Makkiyyah dan Madaniyyah.

3. Dari objek pembicaraan, mereka mendefinisikan kedua terminologi di atas sebagai berikut :
.‫ َماكَانَ ِخ َطابًا ِِل َ ْه ِل الم ِد ْينَ ِة‬: ‫ َوالم َدنِ ُي‬. َ‫ َماكَانَ ِخ َطابًا ِِلَ ْه ِل َمكَة‬: ‫ا َ ْل َم ِك ُي‬
Artinya :
“Makkiyah adalah ayat-ayat yang menjadi khitab bagi orang-orang Makkah.
Sedangkan Madaniyyah adalah ayat-ayat yang menjadi khitab bagi orang-orangMadinah”
Pendefinisian diatas dirumuskan para sarjana muslim berdasarkan asumsi bahwa
kebanyakan ayat al-qur’an dimulai dengan ungkapan “ya ayyuhan naas” yang menjadi
kriteria Makkiyah, dan ungkapan “ya ayyuha al-ladziina” yang menjadi kriteria Madaniyyah.
Namun, tidak selamanya asumsi ini benar. Surat Al-Baqarah [2], misalnya, termasuk kategori
Madaniyyah, padahal di dalamnya terdapat salah satu ayat, yaitu ayat 21 dan ayat 168, yang
dimulai dengan ungkapan “ya ayyuhan naas”. Lagi pula, banyak ayat al-quran yang tidak
dimulai dengan 2 ungkapan di atas.
4. Dari tema pembicaraan, mereka akan mendefinisikan kedua terminologi lebih terinci.

Kendatipun mengunggulkan pendefinisian Makkiyyah dan Madaniyyah dari perspektif


masa turun, subhi shahih melihat komponen-komponen serupa dalam tiga pendefinisian. Pada
ketiga versi itu terkandung komponen masa tempat dan orang. Bukti lebih lanjut dari tesis
shahih di atas bisa dilihat dalam kasus surat Al-Mumtahanah [60]. Bila dilihat dari perspektif
tempat turun, surat ini termasuk Madaniyyah karena diturunkan sesudah peristiwa hijrah.
Akan tetapi, dalam perspektif objek pembicaraan, surat itu termasuk Makkiyah karena
menjadi khitab bagi orang-orang mekah. Oleh karena itu, para sarjana muslim memasukkan
surat itu kedalam “ma nuzila bi al Madinah wa hukmuhu Makki ” (ayat-ayat yang di turunkan
di Madinah, sedangkan hukumnya termasuk ayat-ayat yang diturunkan di Mekah). [1]
Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa Makkiyyah adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang
diturunkan kepada Rasulullah SWT sebelum hijrah ke Madinah, walaupun ayat tersebut turun
di sekitar / bukan di kota Makkah, yang pembicaraannya lebih ditujukan untuk penduduk
Makkah.
Sedangkan Madaniyyah adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan di Madinah dan
sekitarnya walaupun turunnya di Makkah, dan pembicaraannya lebih ditujukan untuk
penduduk Madinah.

B. Sejarah Perkembangan Maakkiyah dan Madaniyyah


Dikalangan ulama terdapat beberapa pendapat tentang dasar atau kriteria yang dipakai
untuk menentukan Makkiyyah dan Madaniyyah suatu surat atau ayat.
Sebagian ulama menetapkan lokasi turunnya ayat-ayat atau surat sebagai dasar
penentuan Makkiyyah dan Madaniyyah, sehingga mereka membuat definisi Makkiyyah dan
Madaniyyah sebagai berikut:
Yang diartikan sebagi berikut: “Makiyah ialah yang diturunkan dimakkah sekalipun
turunnya sesudah hijrah, madaniyah ialah yang diturunkan di madinah”
Agak sulit memang melacak dan mengidentifikasi secara pasti ayat-ayat Makkiyyah
dan Madaniyyah karena urutan tata tertib ayat tidak mengikuti kronologi waktu turunnya ayat
tetapi berdasarkan petunjuk nabi. Lagi pula pada mushaf usmani yang menjadi acuan sejak
semula disusun mengikuti petunjuk nabi.
Koleksi mushaf para sahabat yang diantaranya ada yang ditulis berdasarkan turunnya
ayat, semuanya sudah dibakar setelah tim penyusun al-Quran yang dibentuk Usman bin
Affan menyelesaikan tugasnya. Jadi pembakaran mushaf tersebut bisa juga berarti sebagai
kerugian intelektual, karena dengan demikian menjadi sulit melacak kronologi ayat
berdasarkan waktu turunnya. [2]
C. Perbedaan Makkiyah dan Madaniyyah

1. Ciri-ciri khusus surat makkiyah


a. Mengandung ayat sajdah (Al-A’raf : 206, A-Nahl : 149, An-Nahl : 50, Al-Isra’ : 107, Al-
Isra’ : 108, Al-isra’ : 109, Maryam : 85, Al-Furqan : 60.)
b. Terdapat lafal kalla sebagian besar ayatnya (Al-Humazah : 4)
‫كال لينبذن فى الحطمة‬
c. Terdapat seruan dengan ya ayyuhannasu contonhya dalam surat Yunus : 57,
‫يايهاالناس قدجاءتكم موعظة من ربكم وشفاءلما فى الصدور وهدى ورحمة للمؤمنين‬
d. Mengandung kisah nabi-nabi dan umat-umat yang telah lalu, kecuali surat Al-Baqarah
(surat Al-A’raaf : kisah Nabi Adam dengan iblis, kisah Nabi Nuh dan kaumnya, kisah Nabi
Shalih dan kaumnya, kisah Nabi Syu’aib dan kaumnya, kisah Nabi Musa dan Firaun).
e. Terdapat kisah adam dan iblis.[3]
Contohnya dalam surat Al-A’raf : 11 yang artinya : “sesungguhnya kami telah menciptakan
kamu (adam), lalu kami bentuk tubuhmu, kemudian kami katakana kepada malaikat :
bersujudlah kamu kepada adam. Maka merekapun bersujud kecuali iblis. Dia tidak termasuk
mereka yang bersujud.”
f. Setiap suratnya terdapat Sujud Tilawah, sebagian ayat-ayatnya.
g. Semua atau sebagian suratnya diawali huruf tahajji seperti Qaf (‫( ق‬, Nun ( ‫) ن‬, Kha Mim
( ‫ ) حم‬contonya (‫ )ص‬dalam surat Shaad : 1
h. Ayat-ayatnya dimulai dengan huruf terpotong-potong (al-ahraf al-
muqatha’ah ataufawaatihussuwar), seperti “‫( الم‬surat Ar-Rum :1), ‫( الر‬surat Hud
:1), ‫“هم‬, kecuali Q.S Al-Baqoroh dan Ali ‘Imron.[4]

2. Ciri-ciri surat makkiyah yang aghlaniyah (umum)


a. Ayat-ayatnya pendek, surat-suratnya pendek (An-Nass 6 ayat, Al-Ikhlas 4 ayat, Al-Falaq 5
ayat, Al-Lahab 5 ayat), nada perkataannya keras dan agak bersajak (surat Al-Ashr).
.‫والعصر‬
.‫ان االنسن لفى خسر‬
.‫اال الذين ءامنوا وعملواالصلحت وتواصوا بالحق وتواصوا بالصبر‬
b. Mengandung seruan pokok-pokok iman kepada Allah, hari akhir dan menggambarkan
keadaan surga dan neraka.
c. Menyeru manusia berperagai mulia dan berjalan lempang di atas jalan kebajikan(An-Nahl,
= akhlak-akhlak baik)
d. Mendebat orang-orang musyrik dan menerangkan kesalahan-kesalahan pendirian
mereka (surat Al-Kahfi ayat 102-108)
e. Banyak terdapat lafadz sumpah.[5] (surat Al-Anbiyaa’ : 57)
‫وتا هللا الكيدن اصتمكم بعد ان تولوا مدبرين‬

3. Ciri-ciri khusus surat madaniyyah


a. Di dalamnya ada izin berperang atau ada penerangan tentang hal perang dan penjelasan
tentang hukum-hukumnya. (QS. Al-Ahzab = tentang perang ahzab / khandaq).
b. Di dalamnya terdapat penjelasan bagi hukuman-hukuman tindak pidana, fara’id, hak-hak
perdata, peraturan-peraturan yang bersangkut paut dengan bidang keperdataan,
kemasyarakatan dan kenegaraan. (QS. An-Nur = tentang hukum-hukum sekitar masalah zina,
li’an, adab-adab pergaulan di luar dan di dalam rumah tangga. QS. Al-Ahzab = tentang
hukum zihar, faraid)
c. Di dalamnya tersebut tentang orang-orang munafik (surat An-Nur ayat 47-53 tentang
perbedaan sikap orang-orang munafik dengan sikap orang-orang muslim dalam bertakhim
kepada Rasul)
d. Di dalamnya didebat para ahli kitab dan mereka diajak tidak berlebih-lebihan dalam
beragama, seperti terdapat dalam surat Al-Baqarah, An-Nisa’, Ali Imran, At-Taubah dan lain-
lain.[6]

4. Ciri-ciri surat madaniyyah yang aghlaniyah (umum)


a. Suratnya panjang-panjang, sebagian ayatnya pun panjang serta jelas menerangkan
hukum (QS. Al-Baqarah surat dan ayatnya panjang, dan didalamnya terdapat hukum haji dan
umrah, hukum qishas, hukum merubah kitab-kitab Allah, hukum haid, iddah, hukum
bersumpah, hukum arak dan judi)
b. Menjelaskan keterangan-keterangan dan dalil-dalil yang menunjukkan kepada hakikat-
hakikat keagamaan.

D. Beberapa Contoh Ayat Makkiyah dan Madaniyah


1. Makkiyah[7]
Diantaranya :

1 Al-‘Alaq 47 An-Naml
2 Al-Qolam 48 Al-Qoshash
3 Al-Muzzammil 49 Al-Isro’
4 Al-Muddatstsir 50 Yunus
5 Al-Fatihah 51 Hud
6 Al-Lahab 52 Yusuf
7 At-Takwir 53 Al-Hir
8 Al-A’la 54 Al-An’am
9 Al-Lail 55 Ash-Shaffat
10 Al-Fajr 56 Luqman
11 Ad-Dhuha 57 Saba’
12 Al-Insyiroh 58 Az-Zumar
13 Al-Ashr 59 Ghofir
14 Al-Adiyat 60 Fushshilat
15 Al-Kautsar 61 Asy-Syura
16 At-takatsur 62 Az-Zukhruf
17 Al-Ma’un 63 Ad-Dukhan
18 Al-Kafirun 64 Al-Jatsiah
19 Al-Fiil 65 Al-Ahqof
20 Al-Falaq 66 Al-Adzariyat
21 An-Nas 67 Al-Ghosiyah
22 Al-Ikhlas 68 Al-Kahfi
23 An-Najm 69 An-Nahl
24 ‘Abasa 70 Nuh
25 Al-Qodar 71 Ibrahim
26 Asy-Syams 72 Al-Anbiya’
27 Al-Buruj 73 Al-Mu’minun
28 At-Tiin 74 As-Sajadah
29 Al-Quroisy 75 At-Thur
30 Al-Qori’ah 76 Al-Mulk
31 Al-Qiyamah 77 Al-Haqqoh
32 Al-Humazah 78 Al-Ma’arij
33 Al-Mursalat 79 An-Naba’
34 Qaf 80 An-Nazi’at
35 At-Thoriq 81 Al-Balad
36 Al-Qomar 82 Al-Infithor
37 Shad 83 Al-Insyiqoq
38 Al-A’rof 84 Ar-Rum
39 Jinn 85 Al-Ankabut
40 Yasin 86 Al-Muthoffifin
41 Al-Furqon 87 Al-Zalzalah
42 Fathir 88 Ar-Rod
43 Maryam 89 Ar-Rohman
44 Thoha 90 Al-Insan
45 Al-Waqiah 91 Al-Bayyinah
46 Asy-Syu’ara
2. Madaniyah[8]
Diantaranya :

1 Al-Baqoroh 13 Ali-Imron
2 Al-Anfal 14 Al-Ahzab
3 Al-Mumtahanah 15 Al-Hujurat
4 An-Nisa’ 16 At-Tahrim
5 Al-Hadid 17 At-Taghabun
6 Al-Qital 18 As-Shaf
7 At-Tholaq 19 Al-Jumuah
8 Al-Hasr 20 Al-Fath
9 An-Nur 21 Al-Maidah
10 Al-Hajj 22 At-Taubah
11 Al-Munafiqun 23 An-Nashr
12 Al-Mujadilah

E. Fungsi Memahami Ilmu Makkiyah dan Madaniyah


An-Naisaburi dalam kitabnya At-Tanbih ‘ala Fadhl Ulum Al-Quran, memandang subjek
makkiyah dan madaniyyah sebagai ilmu Al-Quran yang paling utama. Sementara itu ,
Manna’ Al-Qaththan mencoba lebih jauh lagi dalam mendeskripsikan urgensi mengetahui
makkiyah dan madaniyyah sebagai berikut.

1. Membantu dalam menafsirkan Al-qur’an


Pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa di seputar turunnya Al-Qur’an tentu sangat
membantu dalam memahami dan menafsirkan ayat-ayat Al-Quran, kendatipun ada teori yang
mengatakan bahwa yang harus menjadi patokan adalah keumuman redaksi ayat dan bukan
kehususan sebabin. Dengan mengetahui kronologis Al-Quran pula, seorang mufassir dapat
memecahkan makna kontradiktif dalam dua ayat yang berbeda, yaitu dengan pemecahan
konsep nasikh-mansukh yang hanya bisa diketahui melalui kronologi Al-Quran.

2. Pedoman bagi langkah-langkah dakwah


Setiap kondisi tentu saja memerlukan ungkapan-ungkapan yang relevan. Ungkapan-
ungkapan dan intonasi berbeda yang digunakan ayat-ayat makkiyah dan ayat-ayat
madaniyyah memberikan informasi metodologi bagi cara-cara menyampaikan dakwah agar
relevan dengan orang yang diserunya. Oleh karena itu, dakwah Islam berhasil mengetuk hati
dan menyembuhkan segala penyakit rohani orang-orang yang diserunya. Di samping itu,
setiap langkah-langkah dakwah memiliki objek kajian dan metode-metode tertentu, seiring
dengan perbedaan kondisi sosio-kultural manusia. Periodisasi makkiyah dan madaniyyah
telah memberikan contoh untuk itu.

3. Memberi informasi tentang sirah kenabian


Penahapan turunnya wahyu seiring dengan perjalanan dakwah nabi, baik di mekah atau di
madinah, dimulai sejak diturunkannya wahyu pertama sampai diturunkannya wahyu terakhir.
Al-Quran adalah rujukan otentik bagi perjalanan dakwah nabi itu. Informasinya tidak bisa
diragukan lagi.
Mengetahui sejarah hidup nabi melalui ayat-ayat Al-Quran, sebab turunnya wahyu
kepada Rasulullah sejalan dengan sejarah dakwah dan segala peristiwa yang menyertainya,
baik pada periode makkah maupun periode madinah, sejak turun iqra’ sampai ayat yang
terakhir diturunkan. Al-Quran adalah sumber pokok bagi hidup Rasulullah. Pola hidup beliau
harus sesuai dengan Al-Quran dan Al-Quran pun memberikan kata putus terhadap perbedaan
riwayat yang mereka riwayatkan. [9]
Selain itu juga pengetahuan tentang makkiyah dan madaniyah banyak membawa hikmah
dan faedah serta kagunaan yang bermacam-macam, antara lain sebagai berikut:
1. Mudah diketahui mana ayat-ayat yang turun lebih dahulu dan mana ayat yang turun
belakangan dari kitab suci Al-Quran
2. Mudah diketahui mana ayat-ayat Al-Quran yang hukum bacaannya telah dinaskh (dihapus
dan diganti) dan mana ayat-ayat yang menasakhkannya, khususnya bila ada dua ayat yang
menerangkan hukum sesuatu masalah, tetapi ketetapan hukumnya bertentangan yang satu
dari yang lain.
3. Mengetahui dan mengerti sejarah pensyariatan hukum-hukum Islam (Taarikhut Tasyri’)
yang amat bijaksana dalam menetapkan peraturan-peraturan.
4. Mengetahui hikmah disyariatkannya suatu hukum.
5. Mengetahui perbedaan dan tahap-tahap dakwah Islamiah.
6. Mengetahui perbedaan ushlub-ushlub (bentuk-bentuk bahasa) Al-Quran yang dalam surat-
surat makkiyah berbeda dengan yang ada dalam surat madaniyah.[10]

F. Ayat-ayat Al-qur’an Diturunkan Di Luar Kota Makkah dan Madinah


1. Ayat yang di bawa dari makkah ke madinah
Contohnya ialah surat Al-A’la. HR. Al-Bukhari dari Al-Bara’ bin Azib yang mengatakan,
“orang yang pertama kali datang kepada kami di kalangan sahabat Nabi adalah Mush’ab bin
Umair dan Ibnu Ummi Maktum keduanya membacakan Al-Quran kepada kami. Sesudah itu
datanglah Ammar, Bilal dan Sa’ad. Kemudian datang pula Umar Bin Khattab sebagai orang
yang kedua puluh. Baru setelah itu datanglah Nabi. Aku melihat penduduk Madinah
bergembira setelah aku membaca sabbihismarabbikal a’la dari antara surat yang semisal
dengannya.”
Pengertian ini cocok dengan Al-quran yang dibawa oleh golongan muhajirin, lalu mereka
ajarkan kepada kaum anshar.

2. Ayat yang di bawa dari madinah ke makkah


Contohnya dari awal surat Baqarah, yaitu ketika Rasulullah SAW memerintahkan kepada
Abu Bakar untuk pergi haji pada tahun ke Sembilan. Ketika awal surat Baqarah turun,
Rasulullah memerintahkan kepada Ali bin Abi Thalib untuk membawa surat tersebut kepada
Abu Bakar, agar ia sampaikan kepada kaum musyrikin, maka Abu Bakar pun
membacakannya kepada mereka dan mengumumkan bahwa tahun ini tidak ada oseorang
musyrik pun yang boleh berhaji.

3. Ayat yang turun di waktu dalam perjalanan


Mayoritas ayat-ayat dan surat-surat Al-Quran turun pada saat Nabi dalam keadaan
menetap. Akan tetapi, karena kehidupan Rasulullah tidak pernah lepas dari jihad dan
peperangan di jalan Allah, maka wahyu pun turun juga dalam perjalanan tersebut. Imam As-
Suyuthi menyebutkan awal surat Al-Anfal yang turun di Badar setelah selesai perang,
sebagaimana yang diriwayatkan Imam Ahmad dari Sa’ad bin Abi Waqqash.
Sedangkan ayatnya adalah sebagai berikut

‫والذين يكنزون الذهب والفضة وال ينفقونها فى سبيل هللا‬

Diriwayatkan Ahmad dari Tsauban, bahwa ayat tersebut turun ketika Rasulullah dalam salah

satu perjalanan.

Juga awal surat Al-Hajj. At-Tirmidzi dan Al-Haakim meriwayatkan dari Imran bin Hushain

yang menyatakan “ketika turun kepada Nabi ayat ‘wahai manusia, bertakwalah kepada
tuhanmu, sesungguhnya goncangan Hari Kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat

besar … sampai dengan .. tetapi adzab Allah sangat kerasnya’ beliau sedang berada dalam

perjalanan.”

Begitu juga surat Al-Fath. Al-Hakim dan yang lain meriwayatkan, dari Al-Miswar bin

Makhramah dan Marwan bin Al-Hakam, keduanya berkata “surat Al-Fath dari awal sampai

akhir turun di antara kota makkah dan madinah berkaitan dengan masalah perdamaian

Hudaibiyah.”

Sebagian dari ayat Al-Quran tidak hanya turun di kota makkah dan sekitarnya dan tidak

pula di madinah dan sekitarnya, seperti firman Allah dalam surat At-Taubah ayat 42 dan pada

surat Az-Zukhruf ayat 45. Yang kedua ayat tersebut tidak turun di kota makkah dan

sekitarnya dan tidak pula di kota madinah dan sekitarnya.

Menurut Ibnu Katsir bahwa surat At-Taubah ayat 42 turun di tabuk, dan surat Az-Zukhruf

ayat 45 diturunkan di abitul maqdis pada malam Isra’.[11]

4. Ayat yang turun di Kota Arofah pada haji wada’[12]


Surat Al-Baqarah ayat : 281
َ‫سبَتْ َو ُه ْم َال يُ ْظلَ ُم ْون‬
َ ‫َواتَقُوا يَ ْو ًما ت ُْر َجعُ ْونَ فِ ْي ِه اِلَى هللاِ ثُم ت َُوفى َ ُك ُل نَ ْف ٍس َما َك‬
“Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu
semua dikembalikan kepada Allah. kemudian masing-masing diri diberi Balasan yang
sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya
(dirugikan).”[13]

5. Ayat yang turun di Kota Mina pada haji wada’


Surat Al-Maidah ayat : 3[14]
‫حرمت عليكم الميتة والدم و لحم الخنزير وما أهل لغير هللا به والمنخنقة والموقوذة والمتردية والنطيحة وما أ كل السبع‬
‫إالماذكيتم وماذبح على النصب وأن تستقسموا باِلزلم ذالكم فسق اليوم يئس الذين كفروا من دينكم فال تخشوهم واشون‬
‫اليم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتى ورضيت لكم اإلسلم دينا فمن اضطر فى مخمصة غير متجانف إلثم فإن هللا‬
‫غفوررحيم‬
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang
disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk,
dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan
bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan
anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. pada hari ini orang-
orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut
kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi
agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa,
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[15]

Anda mungkin juga menyukai