Para ulama telah berbeda pendapat mengenai status rasmul Al-Qur’an ini.
Sebagian dari mereka berpendapat bahwa rasmul qur’an bersifat tauqifi.yang mana
mereka merujuk pada sebuah riwayat yang menginformasikan bahwa nabi pernah
berpesan kepada mu’awiyah,salah seorang seketarisnya, “Ambillah tinta, tulislah
huruf” dengan qalam (pena), rentangkan huruf “baa”, bedakan huruf “siin”, jangan
merapatkan lubang huruf “miim”, tulis lafadz “Allah” yang baik, panjangkan lafadz
“Ar-Rahman”, dan tulislah lafadz “Ar-Rahim” yang indah kemudian letakkan qalam-
mu pada telinga kiri, ia akan selalu mengingat Engkau. Merekapun mengutip
pernyataan Ibnu Mubarak :“Tidak seujung rambutpun dari huruf Qur’ani yang ditulis
oleh seorang sahabat Nabi atau lainnya. Rasm Qur’ani adalah tauqif dari Nabi (yakni
atas dasar petunjuk dan tuntunan langsung dari Rasulullah SAW). Beliaulah yang
menyuruh mereka (para sahabat) menulis rasm qur’ani itu dalam bentuk yang kita
kenal, termasuk tambahan huruf alif dan pengurangannya, untuk kepentingan rahasia
yang tidak dapat dijangkau akal fikiran, yaitu rahasia yang dikhususkan Allah bagi
kitab-kitab suci lainnya”. Sebagian besar para ulama berpendapat bahwa rasmul
qur’an bukan tauqifi,tetapi merupakan kesepakatan cara penulisan yang disetujui oleh
ustman dan diterima umat,sehingga wajib diikuti dan di taati siapapun yang menulis
alqur’an. Tidak yang boleh menyalahinnya, banyak ulama terkemuka yang
menyatakan perlunya konsistensi menggunakan rasmul ustmani. Dengan demikian,
kewajiban mengikuti pola penulisan Al Qur’an versi Mushaf ‘Utsmani diperselisihkan
para ulama. Ada yang mengatakan wajib, dengan alasan bahwa pola tersebut
merupakan petunjuk Nabi (tauqifi). Pola itu harus dipertahankan walaupun beberapa
di antaranya menyalahi kaidah penulisan yang telah dibakukan. Bahkan Imam Ahmad
ibn Hanbal dan Imam Malik berpendapat haram hukumnya menulis Al Qur’an
menyalahi rasm ‘Utsmani. Bagaimanpun, pola tersebut sudah merupakan kesepakatan
ulama mayoritas (jumhur ulama). Ulama yang tidak mengakui rasm ‘Utsmani sebagai
rasm tauqifi, berpendapat bahwa tidak ada masalah jika Al Qur’an ditulis dengan pola
penulisan standar (rasm imla’i). Soal pola penulisan diserahkan kepada pembaca.
Kalau pembaca lebih mudah dengan rasm imla’i, ia dapat menulisnya dengan pola
tersebut, karena pola penulisan itu hanya simbol pembacaan, dan tidak mempengaruhi
makna Al Qur’an.
Qiraat adalah jamak dari Qira’ah, yang berarti ‘bacaan’, dan ia adalah masdar
(verbal noun) dari Qara’a. Secara terminologi atau istilah ilmiyah Qiraat adalah salah
satu Mazhab (aliran) pengucapan Qur’an yang dipilih oleh seorang imam qurra’
sebagai suatu mazhab yang berbeda dengan mazhab yang lainya. Qiraat ini ditetapkan
berdasarkan sabad-sanadnya sampai kepada Rasulullah. Periode qurra’ (ahli / imam
qiraat) yang mengajarkan bacaan Qur’an kepada orang-orang menurut cara mereka
masing-masing adlah dengan berpedoman kepada masa para sahabat.diantara para
sahabat yang terkenal yang mengajarkan qiraat ialah Ubai, Ali, Zaid bin Sabit, Ibn
Mas’ud, Abu Musa Al-Asy’ari dan lain-lain. Dari mereka itulah sebagian besar
sahabat dan Tabi’in di berbagai negri belajar qira’at yang semuanya bersandar kepada
Rasulullah.
Sumber: https://makalahnih.blogspot.co.id/2014/09/rasmul-quran-rasm-al-quran.html
Silahkan mengcopy paste dan menyebarkan artikel ini selama masih menjaga amanah
ilmiah dengan menyertakan sumbernya
A. Pengertian Makkiyah dan Madaniyah
Para sarjana muslim mengemukakan empat perspektif dalam mendefinisikan terminologi
makkiyah dan madaniyah. Keempat perspektif itu adalah :
1. Masa turun (zaman an-nuzul)
2. Tempat turun (makan an-nuzul)
3. Objek pembicaraan (mukhathab)
4. Tema pemmbicaraan (maudu’)
1. Dari perspektif masa turun, mereka mendefinisikan kedua terminologi di atas sebagai
berikut :
.َلهجْ َر ِة َوا ِْن كَانَ ِبغَي ِْر َمكَة ِ ْ َما نَ َز َل قَ ْب َل ا: ا َ ْل َم ِك ُي
َ. َما نَ َز َل بَ ْع َد الِهجْ َر ِة َوا ِْن كَانَ بِغَي ِْر َم ِد ْينَة: َو الم َدنِ ُي
.الهجْ َر ِة َولَ ْو ِب َمكَةَ أ َ ْو ع ََرفَةَ َم َدنِ ُيِ فَ َما نَ َز َل بَ ْع َد
Artinya :
“Makkiyyah ialah ayat-ayat yang turun sebelum rasulullah hijrah ke madinah, kendatipun
bukan turun di mekah, sedangkan madaniyyah adalah ayat-ayat yang turun sesudah rasulullah
hijrah ke madinah, kendatipun bukan turun di madinah. Ayat-ayat yang turun setelah
peristiwa hijrah disebut madaniyyah walaupun turun di mekah atau di arafah.”
Dengan demikian, surat an-nisa’ [4]: 58 termasuk kategori madaniyyah kendatipun
diturunkan di mekah, yaitu pada peristiwa terbukanya kota mekah (fath makkah). Begitu
pula, surat al-maidah [5]: 3 termasuk kategori madaniyyah kendatipun tidak diturunkan di
madinah karena ayat itu diturunkan pada peristiwa haji wada’.
2. Dari perspektif tempat turun, mereka mendefinisikan kedua terminologi di atas sebagai
berikut :
.َ ِب َمكَةَ َو َما جَا َو َر َها ك َِمنَى َو ع ََرفَةَ َو ُح َد ْي ِبيَة: َما نَ َز َل
ُ َما نَ َز َل بِالم ِد ْينَ ِة َو َما جَا َو َر َها َكأ ُ ُح ٍد َوقُبَا َء َو: َوالم َدنِ ُي
.س ْل َع
Artinya :
“Makkiyah adalah ayat-ayat yang turun di mekah dan sekitarnya seperti mina, arafah, dan
hudaibiyyah, sedangkan madaniyyah adalah ayat-ayat yang turun di madinah dan sekitarnya,
seperti Uhud, Quba’ dan Sul’a”
Terdapat celah kelemahan dari pendefnisian di atas sebab terdapat ayat-ayat tertentu,
yang tidak di turunkan di Makkah dan di Madinah dan sekitarnya.
Misalnya surat At-Taubah [9]: 42 diturunkan di Tabuk, surat Az-Zukhruf [43]: 45
diturunkan di tengah perjalanan antara Makkah dan Madinah. Kedua ayat tersebut, jika
melihat definisi kedua, tidak dapat dikategorikan ke dalam Makkiyyah dan Madaniyyah.
3. Dari objek pembicaraan, mereka mendefinisikan kedua terminologi di atas sebagai berikut :
. َماكَانَ ِخ َطابًا ِِل َ ْه ِل الم ِد ْينَ ِة: َوالم َدنِ ُي. َ َماكَانَ ِخ َطابًا ِِلَ ْه ِل َمكَة: ا َ ْل َم ِك ُي
Artinya :
“Makkiyah adalah ayat-ayat yang menjadi khitab bagi orang-orang Makkah.
Sedangkan Madaniyyah adalah ayat-ayat yang menjadi khitab bagi orang-orangMadinah”
Pendefinisian diatas dirumuskan para sarjana muslim berdasarkan asumsi bahwa
kebanyakan ayat al-qur’an dimulai dengan ungkapan “ya ayyuhan naas” yang menjadi
kriteria Makkiyah, dan ungkapan “ya ayyuha al-ladziina” yang menjadi kriteria Madaniyyah.
Namun, tidak selamanya asumsi ini benar. Surat Al-Baqarah [2], misalnya, termasuk kategori
Madaniyyah, padahal di dalamnya terdapat salah satu ayat, yaitu ayat 21 dan ayat 168, yang
dimulai dengan ungkapan “ya ayyuhan naas”. Lagi pula, banyak ayat al-quran yang tidak
dimulai dengan 2 ungkapan di atas.
4. Dari tema pembicaraan, mereka akan mendefinisikan kedua terminologi lebih terinci.
1 Al-‘Alaq 47 An-Naml
2 Al-Qolam 48 Al-Qoshash
3 Al-Muzzammil 49 Al-Isro’
4 Al-Muddatstsir 50 Yunus
5 Al-Fatihah 51 Hud
6 Al-Lahab 52 Yusuf
7 At-Takwir 53 Al-Hir
8 Al-A’la 54 Al-An’am
9 Al-Lail 55 Ash-Shaffat
10 Al-Fajr 56 Luqman
11 Ad-Dhuha 57 Saba’
12 Al-Insyiroh 58 Az-Zumar
13 Al-Ashr 59 Ghofir
14 Al-Adiyat 60 Fushshilat
15 Al-Kautsar 61 Asy-Syura
16 At-takatsur 62 Az-Zukhruf
17 Al-Ma’un 63 Ad-Dukhan
18 Al-Kafirun 64 Al-Jatsiah
19 Al-Fiil 65 Al-Ahqof
20 Al-Falaq 66 Al-Adzariyat
21 An-Nas 67 Al-Ghosiyah
22 Al-Ikhlas 68 Al-Kahfi
23 An-Najm 69 An-Nahl
24 ‘Abasa 70 Nuh
25 Al-Qodar 71 Ibrahim
26 Asy-Syams 72 Al-Anbiya’
27 Al-Buruj 73 Al-Mu’minun
28 At-Tiin 74 As-Sajadah
29 Al-Quroisy 75 At-Thur
30 Al-Qori’ah 76 Al-Mulk
31 Al-Qiyamah 77 Al-Haqqoh
32 Al-Humazah 78 Al-Ma’arij
33 Al-Mursalat 79 An-Naba’
34 Qaf 80 An-Nazi’at
35 At-Thoriq 81 Al-Balad
36 Al-Qomar 82 Al-Infithor
37 Shad 83 Al-Insyiqoq
38 Al-A’rof 84 Ar-Rum
39 Jinn 85 Al-Ankabut
40 Yasin 86 Al-Muthoffifin
41 Al-Furqon 87 Al-Zalzalah
42 Fathir 88 Ar-Rod
43 Maryam 89 Ar-Rohman
44 Thoha 90 Al-Insan
45 Al-Waqiah 91 Al-Bayyinah
46 Asy-Syu’ara
2. Madaniyah[8]
Diantaranya :
1 Al-Baqoroh 13 Ali-Imron
2 Al-Anfal 14 Al-Ahzab
3 Al-Mumtahanah 15 Al-Hujurat
4 An-Nisa’ 16 At-Tahrim
5 Al-Hadid 17 At-Taghabun
6 Al-Qital 18 As-Shaf
7 At-Tholaq 19 Al-Jumuah
8 Al-Hasr 20 Al-Fath
9 An-Nur 21 Al-Maidah
10 Al-Hajj 22 At-Taubah
11 Al-Munafiqun 23 An-Nashr
12 Al-Mujadilah
Diriwayatkan Ahmad dari Tsauban, bahwa ayat tersebut turun ketika Rasulullah dalam salah
satu perjalanan.
Juga awal surat Al-Hajj. At-Tirmidzi dan Al-Haakim meriwayatkan dari Imran bin Hushain
yang menyatakan “ketika turun kepada Nabi ayat ‘wahai manusia, bertakwalah kepada
tuhanmu, sesungguhnya goncangan Hari Kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat
besar … sampai dengan .. tetapi adzab Allah sangat kerasnya’ beliau sedang berada dalam
perjalanan.”
Begitu juga surat Al-Fath. Al-Hakim dan yang lain meriwayatkan, dari Al-Miswar bin
Makhramah dan Marwan bin Al-Hakam, keduanya berkata “surat Al-Fath dari awal sampai
akhir turun di antara kota makkah dan madinah berkaitan dengan masalah perdamaian
Hudaibiyah.”
Sebagian dari ayat Al-Quran tidak hanya turun di kota makkah dan sekitarnya dan tidak
pula di madinah dan sekitarnya, seperti firman Allah dalam surat At-Taubah ayat 42 dan pada
surat Az-Zukhruf ayat 45. Yang kedua ayat tersebut tidak turun di kota makkah dan
Menurut Ibnu Katsir bahwa surat At-Taubah ayat 42 turun di tabuk, dan surat Az-Zukhruf