yang dilakukan dengan cara khusus, baik dalam penulisan lafal-lafalnya maupun bentuk-
bentuk huruf yang digunakan. Rasimul Qur’an dikenal juga dengan sebutan Rasm Al-
Utsmani, Khalifah Usman bin Affan memerintahkan untuk membuat sebuah mushaf Al-
Imam, dan membakar semua mushaf selain mushaf Al-Imam ini karena pada zaman Usman
bin Affan kekuasaaan Islam telah tersebar meliputi daerah-daerah selain Arab yang memiliki
sosio-kultur berbeda. Hal ini menyebabkan percampuran kultur antar daerah. Sehingga
ditakutkan budaya arab murni termasuk di dalamnya lahjah dan cara bacaan menjadi rusak
atau bahkan hilang tergilas budaya dari daerah lainnya. Implikasi yang paling ditakutkan
adalah rusaknya budaya oral arab akan menyebabkan banyak perbedaan dalam membaca Al-
Qur’an.
Hukum dan Kedudukan Rasm Al-Qur’anSunting
Jumhur ulama berpendapat bahwa pola rams Utsmani bersifat dengan alasan bahwa para
penulis wahyu adalah sahabat-sahabat yang ditunjuk dan dipercayai Nabi saw. Pola penulisan
tersebut bukan merupakan ijtihad para sahabat Nabi, dan para sahabat tidak mungkin
melakukan kesepakatan (ijma) dalam hal-hal yang bertentangan dengan kehendak dan restu
Nabi [1] Terdapat sekelompok ulama berpendapat lain, bahwa pola penulisan di dalam rams
Ustmani tidak bersifat tauqifi, tetapi hanya ijtihad para sahabat. Tidak pernah ditemukan
riyawat Nabi mengenai ketentuan pola penulisan wahyu. Bahkan sebuah riwayat Nabi
mengenai ketentuan pola penulisan wahyu. Bahkan sebuah riwayat dikutip oleh Rajab
Farjani: “Sesungguhnya Rasulullah saw, memerintahkan menulis Al-Qur’an, tetapi tidak
memberikan petunjuk teknis penulisannya, dan tidak pula melarang menulisnya dengan pola-
pola tertentu.
Mengenai mushaf Utsmani, walaupun sejak awal telah dilakukan evaluasi ulang, ketika
dilakukan tauhid al-Mashahif, ternyata tidak luput dari kekeliruan dan inkosistensi. Hal
demikian terjadi karena pada masa dilakukannya tauhid al-Mashahif, kaum muslimin belum
begitu mengenal dengan baik seni khath dan cara penulisan (usluh al-Kitabah). Bahkan
mereka belum mengenal tulisan, kecuali beberapa orang saja. Adanya kekeliruan (lahn) ini,
diakui oleh Ustman sendiri. Ibnu Abi Daud meriwayatkan bahwa setelah mereka
menyelesaikan naskh Al-Mahsahif, mereka membawa sebuah mushaf kepada Utsman,
kemudian dia melihatnya dan mengatakan: “Sungguh kalian telah melakukan hal yang baik.
Didalamnya aku melihat ada kekeliruan (lahn) yang lanjutnya Utsman mengatakan:
“Seandainya yang mengimlakan dan Hudzail dan yang menulis dari tsaqif, tentu ini tidak
akan terjadi di atasnya.
Waktu akan diluruskan oleh (kemampuan) bahasa “mereka sepanjang sejarah tidak
dilakukan. Disini terdapat hikmah. Karena bila dilakukan, justru oleh tangan-tangan ahli
kebatilan yang mengatasnamakan istilah atas kekeliruan, atau dijadikan mainan para
pengekor hawa nafsu. Oleh karena itu pula, seperti di atas, Ali bin Abi Thalib A.S
mengatakan. “Sejak ini Al-Qur’an tidak dapat diubah apapun. [2]
Rasm Utsmani dan Sejaran Mushaf Utsmani
Al-Qur’an merupakan kitab suci umat islam yang disampaikan oleh malaikat Jibril kepada
Nabi Muhammad saw. untuk menjadi pedoman hidup bagi umat manusia, cara membaca dan
penulisan lafadz-lafadz al-Qur’an mempunyai ilmu tersendiri, ilmu tentang cara membaca al-
Qur’an disebut ilmu qira’at.
Dari sebagian orang islam daerah Syam dan Irak ada perbedaan dalam bacaan al-Qur’an. Hal
ini yang melatar belakangi terbentuknya mushaf utsmani, di kota Madinah pun ada perbedaan
sampai diantara mereka saling menyalahkan satu sama lainnya dan membenarkan bacaan
mereka masing-masing.
Hal itu terjadi karena memang pada mulanya Nabi saw. Membolehkan orang-orang islam
membaca al-Qur’an dengan dialek mereka masing-masing, yang mana dialek itu yang kita
kenal dengan tujuh huruf.
Dari peristiwa itu maka shahabat Utsman bin Affan sebagai khalifah perlu membuat suatu
kebijakan dan memutuskan untuk membuat satu dialek saja agar diantara orang-orang islam
tidak ada perdebatan dalan bacaan al-Qur’an lalu kemudian shahabat Utsman menyuruh
beberapa shahabat untuk mengumpulkan mushaf-mushaf al-Qur’an dan menyusunnya
berdasarkan kesepakatan bersama.
Kata Rasm artinya bekas atau peninggalan, kata lain sama yang sama artinya adalah al-khottu,
al-kitabatu, az-zabaru, asy–syaqoru, ar-roqmu, dan ar-rosymu. Semua berarti tulisan, kaitanya
dengan arti dasar tersebut bahwa seorang penulis yang telah menggoreskan penanya, maka ia
akan meninggalkan bekas pada tulisannya itu.
Dalam kitab Manahil al-‘Irfan Fi ‘Ulum al-Qur’an disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan Rasm al-Qur’anatau al-Mushaf adalah:
الوضْع به ي َراد المصحف َرسْم َ َ وحر ْوف القران كَل َمات كت َا َبة فى َع ْنه هللا رضى عث َمان ارت
َ ضاه الذى
“Rasm Mushaf yang dimaksud disini adalah kaidah yang disepakati oleh Utsman RA dalam
penulisan kalimat-kalimat al-Qur’an dan hurufnya”
1. Huruf alif yang terdapat padaya’ nida’ (ya’ seruan) sebagaimana yang tercantum dalam bunyi
ayat يااْيها الناس, huruf alif yang terdapat padaha at-tanbih (peringatan) sebagaimana tercantum
dalam bunyi ayat هانتم هؤالء, huruf alifyang terdapat ناapabila diikuti oleh suatu dhamir, seperti
انجينكمdan واتينه, huruf alifterdapat setiap bentuk jama’ shahih, baik untuk jama’
mudzakkar atau jama’ muannatsseperti المسلماتserta huruf alifyang terdapat pada setiap
bentuk jama’ yang menyerupaiwazan mafaa’ilu dan yang serupa dengannya, seperti مساجد.
2. Huruf ya yang terdapat pada setiap lafazh al-manqush yang bertanwin, baik dalam
keadaanrafa’ maupun jarr, seperti ungkapan غيرباغ والعادdan huruf ya dalam ungkapan seruan,
seperti ungkapan: يعباد فاتّقونkecuali dalam ungkapanقل ياعبادي الذين اسرفوا.
3. Huruf wawu apabila terjadi bersamaan dengan huruf wawuyang lain, seperti lafazh اليستون.
1. Penambahan huruf alif di akhirisim yang dijama’kan atau dalam hukum yang serupa
dengannya, seperti dalam lafadz الظنوناdan huruf alif yang terletak antara huruf jim dan
huruf ya dalam lafadz وجئdalam surah az-Zumar, sedangkan di dalam suratnya tertulis وجايء
Penambahan huruf ya, sebagaimana lafadz با يبكم لمفثون.
2. Penambahan huruf wawu, sebagaimana lafadz اولئك.
Aturan hamzah yang terdiri atas beberapa macam, yaitu berikut ini:
1. Al-Hamzah al-Sakinah yang aslinya ditulis di atas huruf yang sesuai dengan harakat
sebelumnya, baik di awal, tengah, maupun akhir, اقرأkecuali dalam kata-kata tertentu, seperti
فادارءثمmaka kedua kata tersebut hurufnya dihilangkan dan hamzah ditulis menyendiri.
2. Al-Hamzah al-Mutaharrikahapabila berada di awal kata atau digabungkan dengan huruf
tambahan, hamzahtersebut ditulis dengan alifsecara pasti (mutlak, baik dalam keadaan fatah,
dammah maupun kasrah, seperti kata أيوب, اذا. اولواkecuali di tempat-tempat tertentu seperti قل
أئنكم لثكفرونdi dalam surah Fushshilat.
1. Setiap alif yang merupakan refleksi (munqalabah) huruf al-ya’u ditulis dengan huruf al-ya’,
seperti kata يثوفيكمdalam isimatau fi’il yang bersambung dengan dhamir atau tidak, yang tetap
sukun atau tidak, seperti ياأسفي علي يوسف, ياحسرثيkecuali seperti kata ,هداني.
2. Nun taukid khafif ditulis dengan huruf alif, begitupula nundalam kata ( )اذاsedangkan ungkapa
وكأين من نبي, maka ditulis dengan nun.
3. Ha’ at-Ta’nis ditulis dengan huruf ta yang berbeda dengan huruf aslinya di beberapa tempat di
dalam al-Qur’an, seperti kata رحمةdalam surahal-Baqarah, al-Maidah, dan lain-lain.
Aturan pemisahan (al-fashl) dan penyambungan (al-washl). Di dalam tulisan, Aturan al-Badal
(penggantian) yang terdiri atas beberapa macam aturan, yaitu:
Lafadz-lafadz yang memiliki dua bacaan maka ditulis menurut salah satunya, seperti lafaz
وماهم بسكريdan yang sejenisnya. Semuanya dibaca dengan menetapkan alif, atau dengan
menghilangkannya. Demikian pula, kata-kata yang ditulis dengan ta’ maftuhah, yaitu ثمرة من
أكمامهاdalam surah Fushshilat.
Pada mushaf utsmani tidak menggunakan tanda baca titik atau pun harakat. Hal ini karena latar
belakang dan karakter bacaan orang-orang arab yang murni, sehingga mereka tidak
memerlukan harakat atau pemberian titik.
Ketika Bahasa arab mulai mengalami kerusakan akibat bercampurnya Bahasa arab dengan non
Arab maka pada penguasa pada saat itu memandang akan penting adanya format penulisan
mushaf dengan memberi syakal harakat titik dan yang lainnya agar dapat membantu
pembacaan yang benar. Para ulama’ berbeda pendapat tentang usaha pertama yang dicurahkan
untuk hal itu, banyak ulama’ yang berpendapat bahwaorang ang pertama melkukan hal itu
adalah Abul Aswad ad-Du’ali, peletak utama dasar-dasar kaidah Bahasa Arab. As Suyuthi
menyebutkan dalam kitab Al-Itqanbahwa Abul Aswad Ad-Du’ali adalah orang pertama yang
melakukan usaha perbaikan rasm Utsmani atas perintah Abdul Malik bin Marwan, bukan atas
perintah Ziyad. Ketika orang iru telah membaca mushaf Utsman selama lebih dari empat puluh
tahun hingga masa kekhalifahan Abdul Malik. Tetapi masih juga banyak orang yang membuat
kesalahan dan kesalahn itu merajalela di irak, maka pemnguasa memikirkan pembuatan tentang
pembuatan tanda baca, titik dan syakal.
Sebagian dari ulama’ berpendapat bahwa rasm utsmani di dalam al-qur’an ini bersifat tauqify
yang wajib dipakai dalam penulisan al-Qur’an dan harus sungguh-sungguh disucikan. Mereka
menisbatkan tauqify dalam penulisan al-Qur`an kepada Nabi. Mereka menyebutkan, Nabi
pernah mengatakan kepada Muawiyah, salah seorang penulis wahyu, “ Goreskan tinta,
tegakkan huruf ya, bedakan sin, jangan kamu miringkan mim, baguskan tuliskan lafal Allah,
panjangkan Ar Rahman, baguskan Ar Rahim, dan letakkanlah penamu pada telinga kirimu,
karena yang demikian akan lebih dapat mengingatkan kamu “. Ibnu Mubarok dari Syaikh
Abdul Aziz ad Dabbagh, bahwa dia berkata kepadanya, “ Para sahabat dan orang lain tidak
campur tangan seujung rambut pun dalam penulisan al Qur`an karena penulisan al Qur`an
adalah tauqifi, ketentuan dari Nabi. Dialah yang memerintahkan kepada mereka untuk
menuliskannya dalam bentuk seperti yang dikenal sekarang, dengan menambahkan alif atau
menguranginya karena ada rahasia-rahasia yang tidak terjangkau oleh akal. Ituah sebab satu
rahasia Allah yang diberikan kepada kitab-Nya yang mulia, yang tidak Dia berikan kepada
kitab-kitab samawi lainnya. Sebagaimana susunan al Qur`an adalah mukjizat, maka
penulisannya pun mukjizat. Bagi mereka rasm Utsmani menjadi petunjuk terhadap beberapa
makna yang tersembunyi dan halus, sepereti penambahan “ya” dalam penulisan kata “aydin”
yang terdapat dalam firmanNya, “Dan langit itu Kami bangun dengan tangan Kami “. (Adz-
Dzariyat: 47).
Banyak ulama’ berpendapat bahwa rasm utsamni buknalah tauqify dari Nabi, tetpai hanya
meprupakan satu cara penulisan yang disetujui utsman dan diterima umat dengan baik.
Sehingga menjadi suatu keharusan dan tidak boleh dilanggar.
Segolongan orang berpendapat bahwarasm utsmani itu hanyalah sebuah istilah, tatacara dan
tidak ada slahnya jika menyalahi bila orang mepergunakan satu rasmtertentu untuk imla’ dan
rasm itu tersiar luas di antara mereka. Abu Bakar al-baqilani mengatakan dalam kitannya al-
intishar “tak ada yang diwajibkan oleh Allah mengenai (cara atau bentuk) Penulisan mushaf.
oleh karena itu para penulis al-qur’an dan mushaf tidak diwajibkan menggunakan rasm tertentu
yang diwajibkan kepada mereka sehingga tidak boleh menggukan cara yang lain.
Ayat-ayat al-Qur’an yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw. kepada para sahabat sangat
sistematis. Ada banyak sahabat yang menghafal al-Qur’an diantaranya Abdulaah bin Mas’ud,
Mu’adz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab dan Zaid bin Tsabit. Kemudian ada juga yang menulisnya
pada beberapa kulit kayu, batu, kulit binatang dan pecahan tulang-tulang binatang. Tulisan itu
masih terpisah satu dengan yang lainnya masih belum terkumpul menjadi satu mushaf. Hanya
penertiban ayat-ayatnya saja. Periode ini dinamakan pengumpulan pertama, maksud
pengumpulan disini adalah sistem hafalan dan penulisan.
Pada saat setelah Nabi Muhammad saw. wafat kepemimpinan dipindah alihkan kepada sahabat
Abu Bakar al-Shiddiq sebagai pemimpin kaum muslimin sampai pada tahun 634 M.ketika itu
kaum muslimin sedang berat-beratnya menghadapi perang besar yang menggugurkan banyak
penghafal al-Qur’an. Melihat kejadian itu sahabat Umar bin Khattab merasa khawatir akan
kemusnahan al-Qur’an, untuk itu beliau langsung menghadap Abu Bakar dan menceritakan
kekhawatirannya itu dan mengusulkan agar al-Qur’an segera dibukukan. Mendengar usulan itu
Abu Bakar menolak karena hal itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw. tetapi sahabat Umar
terus menjelaskan bahwa hal itu baik. Akhirnya Abu Bakar meminta petunjuk dengan
beristikharah dan disitu Alloh swt. membukakan hati untuk menerima usulan dari sahabat
Umar tadi.
Kemudian Abu Bakar menyuruh Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan al-Qur’an. Sebelumnya
sempat menolak perintah Abu Bakar akan tetapi setelah diyakinkan akhirnya Zaid bin Tsabit
menerima perintah itu. Kemudian Zaid mengumpulkan mushaf-mushaf ayat-ayat al-Qur’an
dari para penghafal al-Qur’an. Setelah terkumpul lalu diberikan kepada Abu Bakar sampai
akhir hayatnya. Selanjutnya mushaf-mushaf itu pada Umar bin Khattab sampai beliau
meninggal dan diteruskan pada khalifah Utsman bin Affan.
Seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa pada masa khalifah Utsman banyak perbedaan
bacaan al-Qur’an sehingga menimbulkan konflik antar orang mukmin. Berawal dari Hudhaifah
ibn al-Yaman mendengar orang membaca al-Qur’an yang satu dengan yang lainnya berbeda.
Melihat hal itu ia langsung menghadap Utsman dan menceritakan apa yang ia dengar.
Kemudian Utsman istikharah dan mengutus utusan ke Khafsah untuk meminjamkan mushaf
yang ia baca unutk menyalinnya dan kemudian akan dikembalikan lagi.
Pekerjaan membukukan al-Qur’an merupakan pekerjaan yang besar. Untuk itu Utsman
menyiapkan orang-orang yang ahli dalam bidang al-Qur’an untuk pembukuan al-Qur’an.
Beliau memerintahkan sahabat Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Saad bin al-Ash dan
sahabat Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam. Dalam pembukuan al-Qur’an khalifah Utsman
menyatukan bacaan yang berbeda yang sebelumnya menggunakan tujuh bacaan menjadi satu
bacaan yaitu dialek Qiraisy. Ada yang berpendapat juga tidak hanya dialek Quraisy saja tetapi
ada dialek-dialek dari suku-suku lain.
Kesimpulan
Dari rumusan masalah diatas dapat diambil kesimpulan bahwa rasmartinya bekas atau
peninggalan, kata lain sama yang sama artinya adalah al-khottu, al-kitabatu, az-zabaru, asy–
syaqoru, ar-roqmu, dan ar-rosymu. Semua berarti tulisan, kaitanya dengan arti dasar tersebut
bahwa seorang penulis yang telah menggoreskan penanya, maka ia akan meninggalkan bekas
pada tulisannya itu.
Mengenai cakupan rasm yaitu dengan adanya pembuangan alif, ya’, waw, salah satu dari
dua lam, nun. Kemudian dengan penambahan alif, ya’, waw serta penambahan hamzah.
Pada mushaf utsmani tidak menggunakan tanda baca titik atau pun harakat. Hal ini karena latar
belakang dan karakter bacaan orang-orang arab yang murni, sehingga mereka tidak
memerlukan harakat atau pemberian titik.
Ayat-ayat al-Qur’an yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw. kepada para sahabat sangat
sistematis. Ada banyak sahabat yang menghafal al-Qur’an diantaranya Abdulaah bin Mas’ud,
Mu’adz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab dan Zaid bin Tsabit. Kemudian ada juga yang menulisnya
pada beberapa kulit kayu, batu, kulit binatang dan pecahan tulang-tulang binatang. Tulisan itu
masih terpisah satu dengan yang lainnya masih belum terkumpul menjadi satu mushaf. Hanya
penertiban ayat-ayatnya saja. Periode ini dinamakan pengumpulan pertama, maksud
pengumpulan disini adalah sistem hafalan dan penulisan.