الغاريب والمشكالت
PENJELASAN BACAAN
GHORIB /MUSYKILAT
DITERBITKAN:
MUSKILAT dalam buku ini adalah bacaaan yang perlu hati-hati pada
saat membacanya karena lisan sering terkecoh dan keliru meski
bacaan dan tulisan sudah sesuai.
MENGAPA BACAAN GHORIB TIDAK DI TULIS SESUAI
BACAANNYA AGAR TIDAK BANYAK ORANG SALAH
DALAM MEMBACA?
a.penambahan huruf
b.Pengurangan huruf
c.Penggertian huruf
a.PENAMBAHAN HURUF
1. ALIF contoh
الاذبحنهdi baca الذبحنه
Dan lain-lain.
2. YA contoh
نباءيdi baca نباء
Dan lain-lain.
3. wawu contoh
ساوريكمdi baca ساريكم
C.PENGURANGAN HURUF
) الف- ياء- واو- نون- الم-( فواتح السور
ان ال di kurangi nun di tulis اال
باسم هللاdi kurangi alif di tulis بسم هللا
dan lain-lain. )(حق التالوة
.ابن الجزري- اذا قرء قطع اية اية. م، ص. كان رسوالهلل- ا
. كان النبي صلۑ هللا عليه وسلم يقطع قراته اية اية – البيهقۑ- ٢
Namun oleh karena kebanyakan dari kita para pembaca alqur’an
masih dalam taraf membaca saja belum faham,maka bacaan kita
cendrung salah menempatkan waqof dan ibtidaknya, terutama ayat
yang kita baca sangat panjang pasti perlu berhenti untuk sekedar
bernafas.
Memahami keadaan yang seperti ini para ulama alqur’an telah
memberi rambu-rambu waqof dan washol. Seperti
.) م- ( وقف الزمartinya harus berhenti.
) ( معا نقهartinya berhenti salah satu.
( وقف مطلق ) طArtinya sebaiknya berhenti.
( وقف اولى ) قفArtinya sebaiknya berhenti
( وقف جائز ) جBoleh waqof.
وسىلهم عن القرية التى كانت حاضرةالبحر م اذيعدون فۑ السبت اذتاءتيهم حيتانهم يوم
. سبتهم شرعاويوم اليسبتون التاءتيهم ج كذالك ج نبلوهم بما كانوا يفسقون
Artinya sebaikya terus Artinya sebaiknya
terus,sedikit yang pendapat yang membolehkan berhenti.
» Masalah Qur'aniyyah
Imam Ashim mengajarkan Al-Qur’an yang sanadnya berasal dari jalur sahabat Ali
bin Abi Thalib kepada muridnya yaitu Hafs bin Sulaiman (Hafs). Sedangkan sanad
yang berasal dari sahabat Abdullah bin Mas’ud, beliau mengajarkan kepada Abu
Bakar bin Iyasy Syu’bah (Syu’bah). Para Ulama yang masyhur pada
masa tabi’in banyak yang pernah berguru kepada Imam Ashim, diantaranya Hafs bin
Sulaiman, Abu Bakar bin Iyasy Syu’bah, al-A’masy, Nua’im bin Maisarah, dan Atha’
bin Abi Rabah. Diantara murid-murid Imam Ashim tersebut hanya Hafs dan Syu’bah
yang paling masyhur dan menjadi perawi utama.
Qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs mulai berkembang
dan menyebar luas pada masa pemerintahan Turki Utsmani yang didukung oleh
banyaknya cetakan Al-Qur’an dari Arab Saudi sampai menyebar ke seluruh dunia,
waktu penyebarannya terutama pada musim-musim haji.
Gharib menurut bahasa artinya tersembunyi atau samar, sedangkan menurut istilah
Ulamaqurra’, gharib artinya sesuatu yang perlu penjelasan khusus dikarenakan
samarnya pembahasan atau karena peliknya permasalahan baik dari segi huruf,
lafadz, arti maupun pemahaman yang terdapat dalam Al-Qur’an. Adapun bacaan-
bacaan yang dianggap gharib (tersembunyi/samar) dalamqira’ah Imam Ashim
riwayat Hafs diantaranya adalah : Imalah, Isymam, Saktah, Tashil, Naql, Badal dan
Shilah.
1. Imalah
Imalah menurut bahasa berasal dari wazan lafadz أ َ َما َلyaitu أ َ َما َل – يَ ِميْل – ِإ َما َلةyang
artinya memiringkan atau membengkokan, sedangkan menurut istilah yaitu
memiringkan fathah kepada kasrah atau memiringkan alif kepada ya’.
Bacaanimalah banyak dijumpai pada qira’ah Imam Hamzah dan Al-Kisa’i,
diantaranya pada lafadz-lafadz yang diakhiri oleh alif layyinah, contoh: ضحٰ ى ُّ ال،سجٰ ى َ ،قَ ٰلى
, ه َدى. Sedangkan pada riwayat Imam Hafs hanya ada satu lafadz yang harus
dibacaimalah yaitu pada lafadz َمجْ ٰرى َهاdalam QS. Hud: 41 :
رى َها َوم ْرسٰ َها ۚ ِإ َن َر ِبى لَغَفور َر ِحيم ِ َ اركَبواْ فِ ْي َها ِبس ِْم
ٰ ّْللا َمج ْ َوقَا َل
Dalam ilmu qira’ah, ada satu bacaan yang hampir mirip dengan bacaan imalah, yaitu
bacaan taqlil yang termasuk dalam qira’ah imam Warsy. Khususnya pada lafadz
yang berwazan فعلى، ِفعلى،فَعلى, namun bacaan taqlil lebih mendekati fathah seperti
halnya bunyi suara “re” pada kata “mereka”.
2. Isymam
Dalam qira’ah imam Ibnu Amir riwayat As-Susy, bacaan isymam dikenal dengan
sebutan idgham kabir, yaitu bertemunya dua huruf yang sama dan sama-sama hidup
lalu melebur menjadi satu huruf bertasydid. Dalam qira’ahImam Ashim riwayat Hafs,
hanya dikenal satu idgham saja, yaitu idgham shaghiryakni mengidghamkan dua
huruf yang sama yang salah satunya mati. Menurut bahasa, bahwa lafadz “”ل ت َأ ْ َمنَا
َ
ْ َ
dapat difahami berasal dari lafadz “ ”ل تَأ َمننَاyang terdapat dua nun yang
diidharkan, nun yang pertama di rafa’kan dan yang kedua dinashabkan. Nun yang
pertama dirafa’kan karena termasuk fi’il mudlari yang tidak kemasukan “amil
nawashib” maupun jawazhim.
3. Saktah
Saktah menurut bahasa berasal dari wazan lafadz سك ْوتا- س َكتَ – َيسْكت
َ yang artinya
diam, tidak bergerak. Sedangkan menurut istilah ilmu qira’ah, saktahialah berhenti
sejenak sekedar satu alif tanpa bernafas. Dalam qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs
bacaan saktah terdapat di empat tempat yaitu : QS. Al-Kahfi: 1, QS. Yaasiin: 52, QS.
Al-Qiyamah: 27 dan QS. Al-Muthafifin: 14.
Pada saktah QS. Yaasiin: 52 di dalam kalimat: الرحْ َمن َ م ْن َم ْرقَ ِدنَا سكتة َه َذا َما َو َع َد.
ِ Menurut
Ad-Darwisy lafadz ٰهذَاitu mubtada’ dan khabarnya adalah lafadz الرحْ َمن َ َما َو َع َد. Berbeda
halnya dengan pendapat Az-Zamakhsyari yang menjadikan
lafadz ٰهذَاitu na’at dari َم ْرقَ ِد, sedangkan َماsebagai mubtada’ yang khabarnya
tersimpan, yaitu lafadz حقatau هذَا. ٰ Dari segi makna, kedua alasan
penempatansaktah tersebut sama-sama tepat. Pertama, orang yang dibangkitkan
dari kuburnya itu mengatakan: “Siapakah yang membangkitkan dari tempat tidur
kami (yang) ini. Apa yang dijanjikan Allah dan dibenarkan oleh para rasul ini pasti
benar”. Kedua, orang yang dibangkitkan dari kuburnya itu mengatakan: “Siapakah
yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami. Inilah yang dijanjikan Allah dan
dibenarkan oleh para rasul ini pasti benar”. Dengan membaca saktah, kedua makna
yang sama-sama benar tersebut bisa diserasikan, sekaligus juga untuk memisahkan
antara ucapan malaikat dan orang kafir.
Di samping itu, Imam Ashim juga menganjurkan membaca saktah, pertama, pada
akhir QS. Al-Anfaal:75 dan permulaan QS. At-Taubah. Alasannya secara bahasa
dipakai untuk memilah dua surat yang berbeda yang mana permulaan surat At-
Taubah tidak terdapat atau diawali dengan basmalah. Kedua, pada QS. Al-Haqqah:
28-29 dimaksudkan untuk membedakan dua ha’ yakni ha’ saktah َما ِليَ ْهdan ha’ fi’il َ َهلَك.
4. Tashil
Tashil menurut bahasa artinya memberi kemudahan, keringanan atau
menyederhanakan hamzah qatha’ yang kedua, adapun menurut istilah qira’ahartinya
membaca antara hamzah dan alif . Dalam qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs hanya
ada satu bacaan tashil yaitu pada QS. Fusshilat: 44
... ت ٰا ٰيتهۥ ۖ َءا َ ْعج َِمىٌّ َو َع َربِى ِ َولَ ْو َجعَ ْل ٰنه ق ْر َءانا أ َ ْع َج ِميًّا لَقَالوا لَ ْو َل ف
ْ َصل
Alasan lafadz َءاَ ْع َج ِمىdibaca tashil, karena apabila ada dua hamzah qatha’ bertemu
dan berurutan pada satu lafadz, bagi lisan orang Arab merasa berat
melafadzkannya, sehingga lafadz tersebut bisa ditashilkan (diringankan).
5. Naql
Naql menurut bahasa berasal dari lafadz نَ َق َل – َي ْن ِقل – نَ ْقالyang artinya memindah,
sedangkan menurut istilah ilmu qira’ah artinya memindahkan harakat ke huruf
sebelumnya. Dalam qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs ada satu bacaannaql yaitu
ِْ س
lafadz السْم َ ْ بِئpada QS. Al-Hujurat: 11. Alasan dibaca naql pada lafadz السْم ِ ْ adalah
karena adanya dua hamzah washal, yakni hamzah al ta’rif dan hamzah ismu yang
mengapit lam, sehingga kedua hamzah tersebut tidak terbaca apabila disambung
dengan kata sebelumnya. Faidahnya bacaan naqlialah untuk memudahkan dalam
mengucapkannya atau membacanya.
6. Badal (Mengganti)
Yaitu mengganti hamzah mati dengan ya’, sebagian besar imam qira’ahsepakat
mengganti hamzah qatha’ yang tidak menempel dengan lafadz sebelumnya dan
jatuh sesudah hamzah washal dengan alif layyinah ()ى. Contoh pada QS. Al-Ahqaf :
4,
Cara membacanya, yaitu apabila seorang qari’ membaca waqaf pada lafadz ( فِى
ِ س ٰ َم ٰ َو
ۖت ْ ) فِى ٱلسَمٰ ٰوsedangkan
َ )ٱلmaka huruf ta’ mati dan hamzah mati diganti ya’ (ت ۖ اِيْتونِى
apabila dibaca washal tidak ada perubahan.
ْ َ) ب
َ ص
2. Badal صdengan َويَبْصط( سdan طة
Yaitu mengganti shad dengan siin, sebagian imam qira’ah termasuk Imam Ashim
mengganti صdengan سpada lafadz َويَبْصطdalam QS. Al-Baqarah : 245 dan
lafadz طة ْ َ بdalam
َ ص QS. Al-A’raf : 69. Sebab-sebab digantinya
hurufshad dengan siin pada kedua lafadz tersebut karena mengembalikan pada asal
َ س
lafadznya, yaitu ط – يَبْسط َ َب.
Sedangkan pada lafadz صي ِْطر َ بِمdalam QS. Al-Ghasyiyah : 22, huruf صtetap
dibaca shad karena sesuai dengan tulisan dalam mushaf (rasm utsmani) dan
menyesuaikan sifat ithbaq dengan huruf sesudahnya (tha’)yang mempunyai
sifat isti’la’. Adapun pada lafadz َصي ِْطرون َ ْٱلمdalam QS. At-Thur : 37, huruf صboleh
tetap dibaca shad dan boleh dibaca siin karena, pertama, mengembalikan pada asal
lafadznya, yaitu سي ِْطر َ س ْي
َ ط َر – ي َ , kedua, menyesuaikan sifat ithbaq dengan huruf
sesudahnya (tha’) yang mempunyai sifat isti’la’.
7. Shilah
Menurut ijma’ para ulama qurra’, bahwa apabila ada ha’ dlamir yang tidak diawali
dengan huruf mati, maka ha’ dlamir tersebut harus dibaca panjang dan perlu
ditambahkan huruf mad setelahnya, alasannya untuk menguatkan huruf ha’
dlamir tersebut karena tidak alasan yang mengharuskan membuang huruf
setelah ha’ dlamir ketika huruf sebelumnya hidup (berharakat). Namun para
ulama qurra’ kecuali Ibnu Katsir kurang senang menggabungkan dua huruf mati
yang dipisah oleh huruf lemah (ha’), sehingga mereka membuang huruf mad dan
memanjangkan ha’ dlamirnya, contoh بِ ِه،لَه, ini adalah madzhab imam Sibawaih.
Sedangkan apabila ha’ dlamir tersebut diawali dengan huruf yang mati (sukun) maka
harus dibaca pendek, contoh إِلَ ْي ِه،م ْنه.
ِ
Dalam qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs ada satu ha’ dlamir yang tetap dibaca
panjang walaupun diawali dengan huruf mati, yaitu pada kalimat ويَ ْخل ْد فِيْه م َهاناdalam
َ
QS. Al-Furqan : 69. Pada masalah ini, Imam Ashim riwayat Hafs sama bacaannya
dengan Ibnu Katsir, yakni membaca shilah ha’ () فِيْه. Karena diketahui
bahwa ha’ termasuk huruf lemah seperti halnya hamzah, sehingga
apabila ha’berharakat kasrah, maka sebagai ganti dari wawu mati
adalah ya’ dimaksudkan untuk menguatkan huruf ha’, sehingga menjadi فِ ْي ِهي. Dalam
literatur orang Arab sendiri jarang sekali ditemui wawu mati yang diawali kasrah.
Alasan ha’ dibaca panjang pada lafadz فِيْهdalam QS. Al-Furqan : 69 adalah untuk
mengembalikan pada asal lafadznya, yaitu ـهberasal dari lafadz ه َوdan ketika
disambung dengan lafadz فِ ْيakan menjadi فِيْه َو, namun karena ha’ dlamirtersebut
diawali dengan ya’ mati yang sebenarnya identik dengan kasrah, sehingga
harakat ha’ perlu disesuaikan dengan harakat sebelumnya dan merubah
huruf mad berupa wawu menjadi ya’ untuk menyesuaikan dengan kasrah maka
menjadi ِف ْي ِهيdan huruf mad berupa ya’ dirubah dengan kasrah berdiri, jadilah
lafadz فِيْه. Ada juga yang menyebutkan bahwa ha’ yang terdapat pada
lafadz فِيْهdalam QS. Al-Furqan : 69 adalah ha’ khafdli artinya ha’ panjang yang
berfungsi merendahkan, hal ini sesuai dengan konteks ayat yang menghendaki
dipanjangkannya huruf ha’ dlamir tersebut.
Ada juga ha’ dlamir yang dibaca pendek walaupun diawali dengan huruf mati yaitu
dengan membaca ha’ dlamir berharakat dammah tanpa shilah. Lafadz-lafadz
tersebut diantaranya terdapat pada lafadz ضه لَك ْم
َ َي ْرdalam QS. Az-Zumar : 7. Alasan
dibaca pendek ha’ dlamir berharakat dammah pada lafadz ضه لَك ْم َ يَ ْرdan lafadz-lafadz
sejenisnya adalah untuk mengembalikan pada rasm mushaf yang tidak ada wawu
madnya sesudah ha’ dlamir.
Lain halnya dengan lafadz َع َليْهdalam QS. Al-Fath : 10, disini terdapat ha’
dlamir yang dibaca dammah walaupun jatuh setelah ya’ mati. Hal ini terkait
dengan asbabunnuzul ayat tersebut yang intinya tentang sifat memenuhi janji setia
kepada Nabi dan berjihad di jalan Allah. Sifat memenuhi janji tersebut merupakan
sifat yang luhur mulia dan luhur (rif’ah). Dan penempatan harakat dammah pada
lafadz َعلَيْهmemberikan nuansa kemuliaan dan keagungan sifat (akhlak). Karena
suasana sosiologis dan keberadaan lafadz tersebut berada pada ayat yang
menunjukkan kemuliaan dan keluhuran. Sehingga ada ulama yang menyebutkan
bahwa ha’ dlamir tersebut disebut sebagai ha’ rif’ah (ha’keluhuran).
Penjelasan Bacaan Gharib dalam Al-Qur'an| Dalam qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs
juga terdapat bacaan-bacaan lain yang dianggap gharib, akan tetapi lebih pada
tulisan atau rasmnya (rasm utsmani) dan cara membacanya. Bacaan-bacaan tersebut
diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Lafadz ( ) اَنَا
Sebab-sebab lafadz اَنَاdibaca pendek ketika washal ( َ )اَنkecuali lafadz , اَنَاب ْوا,َاب
َ اَن
ِ ْالَن,ي
َام َل َ اَنَا ِس, adalah karena fungsi alif tersebut hanya sebagai penjelas harakat
seperti halnya menambahkan ha’ ketika waqaf (ha’ sakt). Disamping itu juga,
apabila ada isim yang hurufnya sedikit lalu di baca waqaf dengan sukun, maka
suaranya akan terlihat janggal, sehingga ditambahkanlah alifsupaya suara nun tetap
sebagaimana asal lafadznya.
Sedangkan tidak ditambahkannya alif pada waktu membaca washal pada lafadz
tersebut adalah karena nun sudah berharakat. Ada juga lafadz yang cara
membacanya hampir sama dengan lafadz اَنَاyaitu lafadz ٰل ِكنَاpada QS. Al-Kahfi : 38,
yakni apabila lafadz ٰل ِكنَاdibaca washal maka nun harus dibaca
ٰ ٰ
pendek( ) ل ِك َن,sedangkan apabila dibaca waqaf maka nun tetap dibaca panjang ()ل ِكنَا.
Hal ini karena lafadz ٰل ِكنَاberasal dari lafadz أناdan lafadz لكن.
Qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs membaca mim dengan alif (panjang) pada
lafadz مالكdalam QS. Al-Fatihah: 4, sedangkan beberapa Imam qira’ah yang lain
membaca tanpa alif (pendek). Alasan Imam Ashim riwayat Hafs membaca
dengan alif (panjang) adalah karena ada kaitannya dengan lafadz مالك الملكpada QS.
Ali Imran: 26 yaitu قل اللهم مالك الملكdan bukan tanpa alif yaitu ملك الملكjuga karena
lafadz مالكberarti dzat yang memiliki, sedangkan lafadz ملكberarti tuan atau
penguasa, tidak seperti halnya dalam lafadz ( ملك الناسtanpa alif) yang artinya Tuhan
manusia dan hal itu tidak sesuai dengan makna untuk kata hari pembalasan يوم
الدين.
Jadi, lafadz مالكpada QS. Al-Fatihah: 4 dengan lafadz ملكpada QS. An-Nas: 2
tidaklah sama dalam membaca mimnya, terutama karena perbedaan segi maknanya
sehingga dibedakan cara membacanya, walaupun beberapa Imam qira’ah selain
Imam Ashim dan Al-Kisa’i membaca kedua lafadz tersebut sama-sama pendek
( ) ملك.
Lafadz ض ْعفpada QS. Ar-Rum: 54 yang lafadznya dibaca tiga kali pada ayat
tersebut adalah merupakan masdar dari lafadz ضعف – يضعَفsehingga beberapa
Imam qira’ah berbeda cara membacanya. Imam Hamzah dan Syu’bah (salah satu
murid Imam Ashim) membaca dlad pada lafadz ض ْعفdengan fathah, sedangkan
sebagian Imam qira’ah yang lainnya dengan dammah.
Adapun Imam Hafs, membaca dlad pada lafadz ض ْعفdengan fathah dan
dammah. Hal ini disebabkan karena dalam ilmu sharaf, lafadz – ضعف
يض َعفmempunyai dua masdar yaitu lafadz ض ْعف
َ dan lafadz ض ْعف, seperti halnya
lafadz فقرyang juga mempunyai dua masdar yaitu lafadz فَ ْقرdan lafadz ف ْقر. Sehingga
menurut qira’ah Imam Hafs huruf dlad pada lafadz ض ْعفboleh dibaca fathah dan
boleh dibaca dammah.
Gharib al-Qur’an _
Posted on November 25, 2013 by alkautsarkalebbi
BAB I
PENDAHULUAN
Berbicara tentang Alqur’an memang bagai lautan yang tak bertepi, semakin jauh ia dikejar
semakin luas pula jangkauannya. Dari aspek manapun Alqur’an dikaji dan diteliti, ia tidak
pernah habis atau basi, bahkan semakin kaya dan selalu aktual.Mungkin itulah salah satu
mukjizat yang terpancar dari kitabullah sebagai bukti kebenaran risalah Allah yang dititipkan
pada Rasul-Nya, yaitu al-Islam.
Aspek bacaan al-Qur’an atau qiraah dalam pengertian yang luas, bukan hanya sekedar
melafalkan huruf Arab dengan lancer, akan tetapi juga merupakan salah satu aspek kajian
yang paling jarang diperbincangkan, baik oleh kalangan santri maupun kaum terpelajar
umumnya, padahal membaca al-Qur’an tergolong ibadah mahdlah yang paling utama. Hal
ini barang kali bisa dimengerti, mengingat kurangnya buku rujukan yang mengupas tuntas
ilmu qiraah dan minimnya guru al-Qur’an yang memiliki kemampuan memadai. Antusiasme
para “santri” dalam mempelajari dan mencari dalil-dalil fiqh, baik dari al-Qur’an, hadis
ataupun dari pendapat-pendapat ulama, ternyata tidak diikuti oleh semangat mentashihkan
bacaan atau mencari jawaban tentang apa dan mengapa ada bacaan saktah, madd, ghunnah
yang sama-sama wajib (kifayah) dipelajari bagi kaum muslimin. Dari fenomena di atas perlu
ditumbuhkan kembali semangat untuk mengkaji aspek bacaan al-Qur’an yang masih
“misteri” bagi kebanyakan orang sebagaimana semangatnya anak-anak kecil di tempat-
tempat pendidikan al-Qur’an untuk bisa “membaca” dengan lancar.
Sebagai akibat dari kurangnya informasi yang memadai tentang bacaan al-Qur’an, bagi
kebanyakan orang, ilmu qiraah (yang dipersempit dengan ilmu tajwid) dianggap hanya
mempelajari makhraj dan sifat huruf, hukum nun atau mim mati dan tanwin, dan mad saja,
lalu mereka membaca al-Qur’an apa adanya sebagaimana yang terdapat dalam tulisan mushaf
atau rasm , padahal banyak kalimat yang cara bacanya tidak sama persis dengan tulisannya,
seperti bacaan imalah, tash-hil, isymam dan lain sebagainya.
BAB II
PEMBAHASAN
Lafal gharaib berasal dari bahasa Arab, yakni jamak dari gharibah yang berarti asing
atau sulit pengertiannya. Apabila dihubungkan dengan Alqur’an maka yang dimaksudkan
adalah ayat-ayat Alqur’an yang yang sukar pemahamannya sehingga hampir-hampir tidak
dimengerti.[1]
Menurut Muchotob Hamzah Gharib al qur’an adalah Ilmu al Qur’an yang membahas
mengenai arti kata dari kata-kata yang ganjil dalam al Qur’an yang tidak biasa digunakan
dalam percakapan sehari-hari.
Banyak lafal dalam ayat-ayat Alqur’an yang aneh bacaannya. Maksud aneh adalah ada
beberapa bacaan tulisan Alqur’an yang tidak sesuai dengan kaidah aturan membaca yang
umum atau yang biasa berlaku dalam kaidah bacaan bahasa arab. Hal ini menunjukkan
adanya keistimewaan Alqur’an yang mengandung kemukjizatan yang sangat tinggi, disinilah
letak kehebatannya sehingga kaum sastrawan tidak mampu menandinginya. Dari segi tulisan,
mushaf yang kita terima ini tidak ada masalah karena telah dipersatukan tulisannya oleh
khalifah Usman.[2]
1. Saktah
Menutut Hafs , saktah yaitu, berhenti sebentar, tanpa bernafas dengan niat melanjutkan
bacaan. Di dalam Al-Qur’an ada 4, yaitu: (1) Surah Kahfi: 1-2, (2) Surah Yasin: 52, (3) Surah
Al-Qiyamah: 27, dan (4) Surah Al-Muthaffifin: 14. Berikut ini contoh-contoh saktah dalam
sebuah ayat yang lengkap:
َ } قَ ِي ًما ْال َح ْمد ُ َ هّلِلَ الهذَي أَنزَ َل َعلَى َع ْب َد َه ْال َكت1/18{ شدَيدًا َمن لهدُ ْنهُ َويُ َبش ََر ْال ُمؤْ َمنَينَ الهذَينَ ِع َوجَا
َُاب َو َل ْم َيجْ َعل لهه ً ْ َليُنذ ََر َبأ
َ سا
2/18{ سنًا َ َ
َ ت أ هن ل ُه ْم أ ْج ًرا َحَ َ صا َل َحا ُ
}يَ ْع َملونَ ال ه
َ صدَقَ ا ْل ُم ْر
ِمن َّم ْرقَ ِد َنا َهذَا قَالُوا يَا َو ْيلَنَا َمن بَ َعثَنَا52/36{ َسلُون َ الرحْ َمنُ َو
} َما َو َعدَ ه
2. Imalah
Yaitu, bacaannya condong miring dari harakat fathah ke kasrah, dan dari huruf alif ke ya’
(Kecenderungan fathah kepada kasrah sehingga seolah-olah dibaca re). Imalah hanya
terdapat 1 kata dalam Al-Qur’an, Surah Huud ayat 41, Juz 12.
َار َكبُواْ فَي َها َبس َْم للا ٌ ُساهَا َإ هن َر َبي لَغَف
ْ َمجْ َرا َها َوقَا َل41/11{ ور هر َحي ٌم َ } َو ُم ْر
3. Isymam
Yaitu, setelah mendengungkan (menggunahkan) nun kemudian bibirnya maju (monyong) dan
ditahan satu harakat. Isymam di dalam Al-Qur’an hanya ada 1, yaitu di Surah Yusuf ayat 11,
Juz 12.
Yaitu, huruf Shad dalam sebuah kata dibaca Sin biasa. Oleh karena itu sebagian Mushaf
menulis sin kecil diatasnya, dibaca ط ُ َويَ ْبdan س َطة
ُ س ْ َب
Bacaan ini di dalam Al-Qur’an terdapat di Surah Al-Baqarah ayat 245, Juz 2 dan di Surah Al-
A’raf ayat 69 Juz 8
ُ ص
.}245/2{ َط َوإَلَ ْي َه ت ُ ْر َجعُون ُ َيرة ً َوللاُ يَ ْقب
ُ ض َويَ ْب ْ َ ضا َعفَهُ لَهُ أ
َ َضعَافًا َكث ُ همن ذَا الهذَي يُ ْق َر
َ ض للاَ قَ ْرضًا َح
َ ُسنًا فَي
أَ َو َع َج ْبت ُ ْم أَن َجاء ُك ْم َذ ْك ٌر َمن هر َب ُك ْم َعلَى َر ُج ٍل َمن ُك ْم َليُنذ ََر ُك ْم َواذ ُك ُرواْ َإ ْذ َج َع َل ُك ْم ُخلَفَاء َمن َب ْع َد قَ ْو َم نُوحٍ َوزَ ادَ ُك ْم َفي
}69/7{ َص َطةً فَاذْ ُك ُرواْ آالء للاَ لَعَله ُك ْم ت ُ ْف َلحُون
ْ َق بَ ْالخ َْل
Yaitu, Huruf Ba’-Mati (disukun) ketika bertemu Mim diidghamkan ke huruf Mim tersebut. Di
dalam Al-Qur’an hanya terdapat 1 kali, yaitu di Surah Huud ayat 42 Juz 12
َي تَجْ َري َب َه ْم فَي َم ْوجٍ ك َْال َجبَا َل َونَادَى نُو ٌح ا ْبنَهُ َو َكانَ فَي َم ْع َز ٍل يَا ْ بُنَ َّي42/11{ َ} َوالَ تَ ُكن هم َع ْالكَافَ َرين
َ اركَب َّمعَنَا َوه
Yaitu, lam alif ( )الdibaca kasroh lam-nya , sedangkan kata ismun ( ) َا ْس ٌمhamzah-nya tidak
dibaca. Di dalam Al-Qur’an hanya terdapat di Surah Al-Hujuraat ayat 11 Juz 26.
سى أَن يَ ُك هن َخي ًْرا َم ْن ُه هن َو َال ت َْل َم ُزوا َ ساء َع َ َسى أَن يَ ُكونُوا َخي ًْرا َم ْن ُه ْم َو َال ن
َ َساء َمن ن َ يَا أَيُّ َها الهذَينَ آ َمنُوا َال يَ ْسخ َْر قَو ٌم َمن قَ ْو ٍم َع
ْ َ ْ
َ س ُك ْم َو َال تَنَابَ ُزوا بَاْللقَا
ب َ
َ ُس ُم أنف
ْ ْس ا ِال ه ُ ه
َ ِبئ11/49{ َان َو َمن ل ْم يَتُبْ فَأ ْولَئَكَ ُه ُم الظا َل ُمون َ ْ َوق بَ ْعد
َ اْلي َم ُ س ُ ُ} ْالف
Yaitu, 3 (tiga) macam bacaan yang terjadi karena washal dan waqaf. Ketiga hukum bacaan
tersebut adalah :
b) Bila waqaf pada kalimat pertama, Ra’ dibaca panjang 1 alif / 2 harakat.
c) Bila Waqaf pada kalimat kedua, Ra’ kalimat pertama dibaca qasr (pendek) dan Ra’
kalimat kedua dibaca sukun (mati).
3 (tiga) buah model bacaan asing ini hanya terdapat di Surah Al-Insaan ayat 15-16.
ٍ ض ٍة َوأَ ْك َوا
ْ ب كَان
َت اف َعلَ ْي َهم بَآ َنيَ ٍة َمن فَ ه
ُ طَ ُ} قَ َو ِاري َر َوي15/76{ يرا
َ قَ َو ِار16/76{ َيرا
ً ض ٍة قَد ُهروهَا ت َ ْقد
} َمن فَ ه
8. Tashiil
Yaitu, Hamzah pertama dibaca tahqiq (jelas) dan pendek, sedangkan hamzah kedua dibaca
tashiil, yaitu meringankan bacaan antara Hamzah dan Alif. Di dalam Al-Qur’an hanya
terdapat 1 kali, yaitu di Surah Fussilaat, ayat 44:
ُت آ َياتُه َ ُي قُ ْل ه َُو َللهذَينَ آ َمنُوا ُهدًى َو َشفَاء َوالهذَينَ َال يُؤْ َمنُونَ فَي أَأَ ْعج َِمي َولَ ْو َج َع ْلنَاهُ قُ ْرآنًا أَ ْع َج َميًّا هل َقالُوا َل ْو َال ف
ْ َصل ٌّ َو َع َر َب
44/41{ َان َب َعي ٍد َ ُ َ ْ
ٍ [}آذانَ َه ْم َوق ٌر َوه َُو َعل ْي َه ْم َع ًمى أ ْولئَكَ يُنَادَ ْونَ َمن همك3]َ
Permasalahan ini menjadi persoalan yang sangat rumit, khususnya setelah Nabi SAW. wafat,
sebab saat beliau masih hidup semua permasalahan yang timbul langsung ditanyakan
kepadanya. Tentu tidak semua persoalan sosial dan kemasyarakatan serta keagamaan muncul
saat beliau masih hidup karena umur beliau relatif singkat, sementara pesoalan
kemasyarakatan tersebut berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat itu sendiri.
Namun Rasulullah sebelum wafat telah meninggalkan dua pusaka yang sangat ampuh dan
mujarab serta berharga, yaitu Kitab Allah dan Sunnah Rasul. Nabi menjamin barang siapa
yang berpedoman kepada keduanya niscaya dia tidak akan sesat selama-lamanya.
“Aku meninggalkan dua perkara pada diri kalian yang kalian tidak akan tersesat setelahnya
yaitu Kitab Allah dan Sunnahku”.
Hadits ini dikuatkan oleh firman Allah yang tertera pada surat al Nisa’ ayat 59:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri
(pemimpin) di antara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah persoalan tersebut kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Secara teoritis kembali kepada al qur’an dan hadits boleh dikatakan tidak ada masalah, tetapi
problema muncul lagi dan terasa memberatkan pikiran ketika teori itu diterapkan untuk
memecahkan berbagai kasus yang terjadi di masyarakat. Oleh karena hal itu cara yang
digunakan oleh ulama’ dalam memahami gharib al qur’an, dan ini disebut juga “Ahsana al
Thuruq” oleh sebagai ulama – adalah sebagi berikut:
Oleh karena itu sahabat bertanya kepada Rasulullah, lalu Rasul menafsirkan
kata dzulm dengan syirk berdasarkan pada surat Luqman ayat 13:
“Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran
kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”.
Dari penjelasan Nabi diatas dapat diketahui bahwa kata dzulm dalam surat al An’am
berarti syirk bukan ke-dzaliman biasa, dengan penjelasan itu selesailah persoalannya. Dan
berdasarkan penjelasan Nabi itulah maka surat al An’am ayat 82 diterjemahkan sebagai
berikut “orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan
kedzaliman (syirik) mereka itulah yang mendapatkan keamanan dan mereka adalah orang-
orang yang mendapat petunjuk”.[4]
As Sunnah adalah penjelas dari al qur’an, dimana al qur’an telah menjelaskan bahwa semua
hukum (ketetapan) Rasulullah berasal dari Allah. Oleh karena itu Rasulullah
bersabda:
“Ketahuilah bahwa telah diberikan kepadaku Qur’an dan bersamanya pula sesuatu yang
serupa dengannya” yaitu sunnah.
3. Jika tidak ditemukan di dalam hadits maka dicari dalam atsar (pendapat) sahabat.
Pendapat para sahabat lebih akurat dari pada lainnya dikarenakan mereka telah berkumpul
dengan Rasulullah dan mereka telah meminum air pertolongan beliau yang bersih. Mereka
menyaksikan wahyu dan turunnya, mereka tahu asbabun nuzul dari sebuah ayat maupun surat
dari al qur’an, mereka mempunyai kesucian jiwa, keselamatan fitrah dan keunggulan dalam
hal memahami secara benar dan selamat terhadap kalam Allah SWT. Bahkan menjadikan
mereka mampu menemukan rahasia-rahasia alqur’an lebih banyak dibanding siapapun
orangnya.
4. Jika masih belum didapati pemecahannya maka sebagian ulama memeriksa pendapat
tabi’in.
Diantara tabi’in ada yang menerima seluruh penafsiran dari sahabat, namun tidak jarang
mereka juga berbicara tentang tafsir ini dengan istinbat (penyimpulan) dan Istidlal (penalaran
dalil) sendiri. Tetapi yang harus menjadi pegangan dalam hal ini adalah penukilan yang
shohih.
5. Melalui sya’ir
Walaupun sebagian besar ulama nahwu mengingkari cara yang kelima ini dalam menafsirkan
ayat yang gharib namun cobalah kita melepaskan diri dari perbedaan itu dan melihat
penjelasan dari Abu Bakar Ibnu Anbari yang berkata “telah banyak riwayat yang
menyebutkan bahwa sahabat dan tabi’in berhujjah dengan sya’ir-syair dengan kata-kata yang
asing bagi al qur’an dan yang musykil (yang sulit)”.
Syai-syair itu bukanlah dijadikan sebagi dasar al qur’an untuk berhujjah melainkan dijadikan
sebagai penjelas dari huruf-huruf asing yang ada di al qur’an, karena Allah berfirman dalam
surat az Zukhruf ayat 3 “Sesungguhnya Kami menjadikan al qur’an dalam bahasa arab”.
Ibnu Abbas berkata “jika kalian bertanya kepadaku tentang sebuah kata asing di dalam
alqur’an maka carilah maknanya pada syair-syair. Sesungguhnya syair-syair itu adalah
perbendaharaan bangsa Arab”.
Contoh ketika Ibnu Abbas sedang duduk-duduk di halaman ka’bah, dia dikelilingi oleh
sekelompok kaum dan bertanya kepadanya tentang penafsiran beberapa ayat, diantaranya
mereka bertanya tentang tafsir ayat وابتغو اليه الوسيلةyang ada pada surat al Maidah ayat 35.
Kata الوسيلةdiartikan oleh Ibnu Abbas dengan “kebutuhan”, kemudian dia mengambil dasar
dari syair yang dikatakan oleh Antarah yang berbunyi
Banyak faedah yang dapat dipetik dengan mengetahui dan mempelajari ayat-ayat yang
gharibat antara lain sebagai berikut:
BAB III
KESIMPULAN
Gharib al-Qur’an adalah ayat-ayat Alqur’an yang yang sukar pemahamannya sehingga
hampir-hampir tidak dimengerti. Banyak lafal dalam ayat-ayat Alqur’an yang aneh
bacaannya. Maksud aneh adalah ada beberapa bacaan tulisan Alqur’an yang tidak sesuai
dengan kaidah aturan membaca yang umum atau yang biasa berlaku dalam kaidah bacaan
bahasa arab.
1. Saktah
2. Imalah
3. Isymam
8. Tashiil
3. Jika tidak ditemukan di dalam hadits maka dicari dalam atsar (pendapat) sahabat.
4. Jika masih belum didapati pemecahannya maka sebagian ulama memeriksa pendapat
tabi’in.
5. Melalui sya’ir.
Salah satu faedah yang dapat dipetik dengan mengetahui dan mempelajari ayat-ayat yang
gharibat yaitu Memperoleh keyakinan eksistensi Alqur’an sebagai kalam ilahi. Dengan
diketahui maksud yang terkandung dalam ayat-ayat gharibat, maka akan diperoleh suatu
pemahaman yang mendalam dari ayat tersebut.
[1] Nasruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), cet.
1, hal. 267
[2] Abdul Majid Khan, Praktikum Qira’at, (Jakarta: Amzah, 2008), cet. 1, hal. 100
[3] www.scribd.com/doc/46455301/Gharib-Al-Qur-An
[4] Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005),
Cet. 1, h. 270
[5] hijausegarsaja.blogspot.com/2011/01/ghoribul-quran.html
[6] Nasruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), cet.
1, hal. 270-271
Advertisements