Anda di halaman 1dari 8

Penjelasan Bacaan Gharib dalam Al-Qur'an| Imam-imam qurra yang

berjumlah tujuh atau biasa disebut dengan imam qiraah sabah adalah para
Imam qurra yang paling masyhur diantara para Imam qurra yang lain.
Diantara ketujuh imam itu ada salah satu imam qiraah yang paling banyak
diikuti bacaannya. Beliau adalah Abu Bakar Ashim bin Abi An-Najud atau
yang lebih dikenal dengan nama Imam Ashim. Imam Ashim berasal dari
Kufah dan pernah berguru pada Imam Abu Abdurrahman As-Sulami yang
merupakan murid dari Sahabat Ali bin Abi Thalib. Imam Abu Abdurrahman
juga belajar Al-Quran dari Zurr bin Hubaisy yang merupakan murid dari
Abdullah bin Masud.
Imam Ashim mengajarkan Al-Quran yang sanadnya berasal dari jalur
sahabat Ali bin Abi Thalib kepada muridnya yaitu Hafs bin Sulaiman (Hafs).
Sedangkan sanad yang berasal dari sahabat Abdullah bin Masud, beliau
mengajarkan kepada Abu Bakar bin Iyasy Syubah (Syubah). Para Ulama
yang masyhur pada masa tabiin banyak yang pernah berguru kepada Imam
Ashim, diantaranya Hafs bin Sulaiman, Abu Bakar bin Iyasy Syubah, al-
Amasy, Nuaim bin Maisarah, dan Atha bin Abi Rabah. Diantara murid-murid
Imam Ashim tersebut hanya Hafs dan Syubah yang paling masyhur dan
menjadi perawi utama.
Penjelasan Bacaan Gharib dalam Al-Qur'an| Qiraah Imam Ashim
riwayat Hafs mulai berkembang dan menyebar luas pada masa
pemerintahan Turki Utsmani yang didukung oleh banyaknya cetakan Al-
Quran dari Arab Saudi sampai menyebar ke seluruh dunia, waktu
penyebarannya terutama pada musim-musim haji.
Penjelasan Bacaan Gharib dalam Al-Qur'an| Gharib menurut bahasa
artinya tersembunyi atau samar, sedangkan menurut istilah Ulama qurra,
gharib artinya sesuatu yang perlu penjelasan khusus dikarenakan samarnya
pembahasan atau karena peliknya permasalahan baik dari segi huruf, lafadz,
arti maupun pemahaman yang terdapat dalam Al-Quran. Adapun bacaan-
bacaan yang dianggap gharib (tersembunyi/samar) dalam qiraah Imam
Ashim riwayat Hafs diantaranya adalah : Imalah, Isymam, Saktah, Tashil,
Naql, Badal dan Shilah
Perbedaan bacaan-bacaan dalam qiraah Imam Ashim riwayat Hafs dengan
Imam qiraah yang lain adalah lebih pada letak bacaan-bacaan tersebut.
Berikut penjelasan tentang bacaan gharib menurut Imam Ashim riwayat Hafs
:
1. Imalah
Imalah menurut bahasa berasal dari wazan lafadz yaitu
yang artinya memiringkan atau membengkokan, sedangkan menurut istilah
yaitu memiringkan fathah kepada kasrah atau memiringkan alif kepada ya.
Bacaan imalah banyak dijumpai pada qiraah Imam Hamzah dan Al-Kisai,
diantaranya pada lafadz-lafadz yang diakhiri oleh alif layyinah, contoh:

, . Sedangkan pada riwayat Imam Hafs hanya ada satu lafadz

yang harus dibaca imalah yaitu pada lafadz dalam QS. Hud: 41 :


Dalam ilmu qiraah, ada satu bacaan yang hampir mirip dengan bacaan
imalah, yaitu bacaan taqlil yang termasuk dalam qiraah imam Warsy.
Khususnya pada lafadz yang berwazan , namun bacaan taqlil
lebih mendekati fathah seperti halnya bunyi suara re pada kata mereka.
Sebab-sebab di-Imalahkannya lafadz diantaranya adalah untuk
membedakan antara lafadz yang artinya berjalan di darat dengan
lafadz yang artinya berjalan di laut. Dalam salah satu kamus bahasa
arab dijelaskan bahwa lafadz berasal dari lafadz yang artinya
berjalan atau mengalir dan lafadz tersebut dapat dipakai dalam arti berjalan
di atas daratan maupun berjalan di atas lautan (air), namun kecenderungan
perjalanan di permukaan laut (air) tidak stabil seperti halnya di daratan.
Terkadang diterjang ombak kecil dan besar atau terhempas angin, sehingga
sangat tepat apabila lafadz tersebut di-Imalahkan.
2. Isymam
Isymam artinya mencampurkan dammah pada sukun dengan
memoncongkan bibir atau mengangkat dua bibir. Dalam qiraah riwayat
Hafs, Isymam terdapat pada lafadz yaitu pada waktu membaca lafadz
tersebut, gerakan lidah seperti halnya mengucapkan lafadz sehingga
hampir tidak ada perubahan bunyi antara mengucapkan lafadz
dengan mengucapkan . Dengan kata lain, asal dari lafadz
adalah lafadz . Kalau diteliti lebih dalam, ternyata rasm utsmani hanya
menulis satu nun yang bertasydid. Ada pertanyaan muncul, dimana letak
dammahnya?sehingga untuk mempertemukan kedua lafadz tersebut
dipilihlah jalan tengah yaitu bunyi bacaan mengikuti rasm, sedangkan
gerakan bibir mengikuti lafadz asal.
Dalam qiraah imam Ibnu Amir riwayat As-Susy, bacaan isymam dikenal
dengan sebutan idgham kabir, yaitu bertemunya dua huruf yang sama dan
sama-sama hidup lalu melebur menjadi satu huruf bertasydid. Dalam qiraah
Imam Ashim riwayat Hafs, hanya dikenal satu idgham saja, yaitu idgham
shaghir yakni mengidghamkan dua huruf yang sama yang salah satunya
mati. Menurut bahasa, bahwa lafadz dapat difahami berasal dari
lafadz yang terdapat dua nun yang diidharkan, nun yang pertama di
rafakan dan yang kedua dinashabkan. Nun yang pertama dirafakan karena
termasuk fiil mudlari yang tidak kemasukan amil nawashib maupun
jawazhim.
3. Saktah
Saktah menurut bahasa berasal dari wazan lafadz - yang
artinya diam, tidak bergerak. Sedangkan menurut istilah ilmu qiraah, saktah
ialah berhenti sejenak sekedar satu alif tanpa bernafas. Dalam qiraah Imam
Ashim riwayat Hafs bacaan saktah terdapat di empat tempat yaitu : QS. Al-
Kahfi: 1, QS. Yaasiin: 52, QS. Al-Qiyamah: 27 dan QS. Al-Muthafifin: 14.
Saktah pada QS. Al-Kahfi: 1, menurut segi kebahasaan susunan kalimatnya
sudah sempurna. Dengan kata lain, jika seorang qari membaca waqaf pada
lafadz , sebenarnya sudah tepat karena sudah termasuk waqaf tamm.
Namun apabila dilihat dari kalimat sesudahnya, ternyata ada lafadz
sehingga arti kalimatnya menjadi rancu atau kurang sempurna.
Lafadz bukanlah menjadi sifat/naat dari lafadz , melainkan menjadi
hal atau maful bihnya lafadz lafadz . Apabila lafadz menjadi naatnya
lafadz akan mempunyai arti : Allah tidak menjadikan al-Quran sebagai
ajaran yang bengkok serta lurus. Sedangkan apabila menjadi hal atau
maful bih akan menjadi : Allah tidak menjadikan al-Quran sebagai ajaran
yang bengkok, melainkan menjadikannya sebagai ajaran yang lurus .
Menurut Ad-Darwisy, kata dinashabkan sebagai hal (penjelas) dari kalimat
, sedang Az-Zamakhsyari berpendapat bahwa kata tersebut
dinashabkan lantaran menyimpan fiil berupa . Berbeda juga dengan
pendapat Abu Hayyan, menurutnya kata itu badal mufrad dari badal
jumlah . Tidak mungkin seorang qari memulai bacaan
(ibtida) dari , sebagaimana juga tidak dibenarkan meneruskan bacaan
(washal) dari ayat sebelumnya. Dengan pertimbangan alasan-alasan diatas,
baik diwaqafkan maupun diwashalkan sama-sama kurang tepat, maka
diberikanlah tanda saktah.
Pada saktah QS. Yaasiin: 52 di dalam kalimat: .
Menurut Ad-Darwisy lafadz itu mubtada dan khabarnya adalah lafadz
. Berbeda halnya dengan pendapat Az-Zamakhsyari yang
menjadikan lafadz itu naat dari , sedangkan sebagai mubtada yang
khabarnya tersimpan, yaitu lafadz atau . Dari segi makna, kedua alasan
penempatan saktah tersebut sama-sama tepat. Pertama, orang yang
dibangkitkan dari kuburnya itu mengatakan: Siapakah yang membangkitkan
dari tempat tidur kami (yang) ini. Apa yang dijanjikan Allah dan dibenarkan
oleh para rasul ini pasti benar. Kedua, orang yang dibangkitkan dari
kuburnya itu mengatakan: Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat
tidur kami. Inilah yang dijanjikan Allah dan dibenarkan oleh para rasul ini
pasti benar. Dengan membaca saktah, kedua makna yang sama-sama
benar tersebut bisa diserasikan, sekaligus juga untuk memisahkan antara
ucapan malaikat dan orang kafir.
Adapun lafadz dalam QS. Al-Qiyamah: 27 pada kalimat dan
lafadz dalam QS. Al-Muthafifin: 14 pada kalimat adalah untuk
menjelaskan fungsi sebagai kata tanya dan fungsi sebagai penegas dan
juga untuk memperjelas idharnya lam dan nun, sebab apabila lam dan nun
bertemu dengan ra seharusnya dibaca idgham, namun karena lafadz dan
dalam kalimat dan mempunyai makna yang berbeda, maka
perlu dipisahkan (diidharkan) dengan waqaf saktah.
Di samping itu, Imam Ashim juga menganjurkan membaca saktah,
pertama, pada akhir QS. Al-Anfaal:75 dan permulaan QS. At-Taubah.
Alasannya secara bahasa dipakai untuk memilah dua surat yang berbeda
yang mana permulaan surat At-Taubah tidak terdapat atau diawali dengan
basmalah. Kedua, pada QS. Al-Haqqah: 28-29 dimaksudkan untuk
membedakan dua ha yakni ha saktah dan ha fiil .
4. Tashil
Tashil menurut bahasa artinya memberi kemudahan, keringanan atau
menyederhanakan hamzah qatha yang kedua, adapun menurut istilah
qiraah artinya membaca antara hamzah dan alif . Dalam qiraah Imam
Ashim riwayat Hafs hanya ada satu bacaan tashil yaitu pada QS. Fusshilat:
44

...
Alasan lafadz dibaca tashil, karena apabila ada dua hamzah qatha
bertemu dan berurutan pada satu lafadz, bagi lisan orang Arab merasa berat
melafadzkannya, sehingga lafadz tersebut bisa ditashilkan (diringankan).
5. Naql
Naql menurut bahasa berasal dari lafadz yang artinya
memindah, sedangkan menurut istilah ilmu qiraah artinya memindahkan
harakat ke huruf sebelumnya. Dalam qiraah Imam Ashim riwayat Hafs ada
satu bacaan naql yaitu lafadz pada QS. Al-Hujurat: 11. Alasan dibaca
naql pada lafadz adalah karena adanya dua hamzah washal, yakni
hamzah al tarif dan hamzah ismu yang mengapit lam, sehingga kedua
hamzah tersebut tidak terbaca apabila disambung dengan kata sebelumnya.
Faidahnya bacaan naql ialah untuk memudahkan dalam mengucapkannya
atau membacanya.
6. Badal (Mengganti)
Badal menurut bahasa artinya mengganti, mengubah, sedangkan maksud
badal disini adalah mengganti huruf hijaiyah satu dengan huruf hijaiyah
lainnya. Diantara lafadz-lafadz yang di badal dalam Al-Quran menurut Imam
Ashim riwayat Hafs yaitu :
1. Badal dengan ( )
Yaitu mengganti hamzah mati dengan ya, sebagian besar imam qiraah
sepakat mengganti hamzah qatha yang tidak menempel dengan lafadz
sebelumnya dan jatuh sesudah hamzah washal dengan alif layyinah ().
Contoh pada QS. Al-Ahqaf : 4,




Cara membacanya, yaitu apabila seorang qari membaca waqaf pada
lafadz ( ) maka huruf ta mati dan hamzah mati diganti ya (

) sedangkan apabila dibaca washal tidak ada perubahan.

2. Badal dengan (
dan )
Yaitu mengganti shad dengan siin, sebagian imam qiraah termasuk Imam
Ashim mengganti dengan pada lafadz
dalam QS. Al-Baqarah : 245
dan lafadz
dalam QS. Al-Araf : 69. Sebab-sebab digantinya huruf shad
dengan siin pada kedua lafadz tersebut karena mengembalikan pada asal
lafadznya, yaitu .
Sedangkan pada lafadz dalam QS. Al-Ghasyiyah : 22, huruf tetap
dibaca shad karena sesuai dengan tulisan dalam mushaf (rasm utsmani) dan
menyesuaikan sifat ithbaq dengan huruf sesudahnya (tha) yang mempunyai
sifat istila. Adapun pada lafadz dalam QS. At-Thur : 37, huruf

boleh tetap dibaca shad dan boleh dibaca siin karena, pertama,
mengembalikan pada asal lafadznya, yaitu , kedua, menyesuaikan
sifat ithbaq dengan huruf sesudahnya (tha) yang mempunyai sifat istila.
7. Shilah
Menurut ijma para ulama qurra, bahwa apabila ada ha dlamir yang tidak
diawali dengan huruf mati, maka ha dlamir tersebut harus dibaca panjang
dan perlu ditambahkan huruf mad setelahnya, alasannya untuk menguatkan
huruf ha dlamir tersebut karena tidak alasan yang mengharuskan
membuang huruf setelah ha dlamir ketika huruf sebelumnya hidup
(berharakat). Namun para ulama qurra kecuali Ibnu Katsir kurang senang
menggabungkan dua huruf mati yang dipisah oleh huruf lemah (ha),
sehingga mereka membuang huruf mad dan memanjangkan ha dlamirnya,
contoh , ini adalah madzhab imam Sibawaih. Sedangkan apabila ha
dlamir tersebut diawali dengan huruf yang mati (sukun) maka harus dibaca
pendek, contoh .
Dalam qiraah Imam Ashim riwayat Hafs ada satu ha dlamir yang tetap
dibaca panjang walaupun diawali dengan huruf mati, yaitu pada kalimat
dalam QS. Al-Furqan : 69. Pada masalah ini, Imam Ashim riwayat Hafs
sama bacaannya dengan Ibnu Katsir, yakni membaca shilah ha () .
Karena diketahui bahwa ha termasuk huruf lemah seperti halnya hamzah,
sehingga apabila ha berharakat kasrah, maka sebagai ganti dari wawu mati
adalah ya dimaksudkan untuk menguatkan huruf ha, sehingga menjadi
. Dalam literatur orang Arab sendiri jarang sekali ditemui wawu mati yang
diawali kasrah.
Alasan ha dibaca panjang pada lafadz dalam QS. Al-Furqan : 69 adalah
untuk mengembalikan pada asal lafadznya, yaitu berasal dari lafadz dan
ketika disambung dengan lafadz akan menjadi , namun karena ha
dlamir tersebut diawali dengan ya mati yang sebenarnya identik dengan
kasrah, sehingga harakat ha perlu disesuaikan dengan harakat sebelumnya
dan merubah huruf mad berupa wawu menjadi ya untuk menyesuaikan
dengan kasrah maka menjadi dan huruf mad berupa ya dirubah dengan
kasrah berdiri, jadilah lafadz . Ada juga yang menyebutkan bahwa ha
yang terdapat pada lafadz dalam QS. Al-Furqan : 69 adalah ha khafdli
artinya ha panjang yang berfungsi merendahkan, hal ini sesuai dengan
konteks ayat yang menghendaki dipanjangkannya huruf ha dlamir tersebut.
Ada juga ha dlamir yang dibaca pendek walaupun diawali dengan huruf
mati yaitu dengan membaca ha dlamir berharakat dammah tanpa shilah.
Lafadz-lafadz tersebut diantaranya terdapat pada lafadz dalam QS.
Az-Zumar : 7. Alasan dibaca pendek ha dlamir berharakat dammah pada
lafadz dan lafadz-lafadz sejenisnya adalah untuk mengembalikan
pada rasm mushaf yang tidak ada wawu madnya sesudah ha dlamir.
Lain halnya dengan lafadz dalam QS. Al-Fath : 10, disini terdapat ha
dlamir yang dibaca dammah walaupun jatuh setelah ya mati. Hal ini terkait
dengan asbabunnuzul ayat tersebut yang intinya tentang sifat memenuhi
janji setia kepada Nabi dan berjihad di jalan Allah. Sifat memenuhi janji
tersebut merupakan sifat yang luhur mulia dan luhur (rifah). Dan
penempatan harakat dammah pada lafadz memberikan nuansa
kemuliaan dan keagungan sifat (akhlak). Karena suasana sosiologis dan
keberadaan lafadz tersebut berada pada ayat yang menunjukkan kemuliaan
dan keluhuran. Sehingga ada ulama yang menyebutkan bahwa ha dlamir
tersebut disebut sebagai ha rifah (ha keluhuran).
Penjelasan Bacaan Gharib dalam Al-Qur'an| Dalam qiraah Imam Ashim
riwayat Hafs juga terdapat bacaan-bacaan lain yang dianggap gharib, akan
tetapi lebih pada tulisan atau rasmnya (rasm utsmani) dan cara
membacanya. Bacaan-bacaan tersebut diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Lafadz-lafadz yang dibaca pendek ketika washal dan panjang
ketika waqaf ( dan )
a. Lafadz ( )
Sebab-sebab lafadz dibaca pendek ketika washal ( )kecuali lafadz ,
, , , adalah karena fungsi alif tersebut hanya sebagai penjelas
harakat seperti halnya menambahkan ha ketika waqaf (ha sakt).
Disamping itu juga, apabila ada isim yang hurufnya sedikit lalu di baca
waqaf dengan sukun, maka suaranya akan terlihat janggal, sehingga
ditambahkanlah alif supaya suara nun tetap sebagaimana asal lafadznya.
Sedangkan tidak ditambahkannya alif pada waktu membaca washal pada
lafadz tersebut adalah karena nun sudah berharakat. Ada juga lafadz yang
cara membacanya hampir sama dengan lafadz yaitu lafadz pada QS. Al-
Kahfi : 38, yakni apabila lafadz dibaca washal maka nun harus dibaca
pendek( ) ,sedangkan apabila dibaca waqaf maka nun tetap dibaca
panjang () . Hal ini karena lafadz berasal dari lafadz dan lafadz .
b. Lafadz
Sebagian ulama qurra membaca lafadz-lafadz diatas dengan harakat
tanwin, sedangkan qiraah Imam Ashim riwayat Hafs tidak memakai harakat
tanwin pada lafadz-lafadz tersebut. Dan apabila membaca waqaf pada
lafadz-lafadz tersebut, qiraah Imam Ashim riwayat Hafs tetap menyertakan
alif atau dibaca panjang, sedangkan tidak menyertakan (membaca) alif atau
dibaca pendek apabila huruf terakhir lafadz-lafadz tersebut diwashalkan. Hal
ini disebabkan karena mencantumkan alif pada lafadz-lafadz tersebut adalah
mengikuti rasm utsmani dan juga lafadz-lafadz tersebut masuk dalam sighat
muntahal jumu yang termasuk isim ghairu munsharif sehingga tetap
mencantumkan alif tidak ditanwin. Sedangkan lafadz
walaupun bukan termasuk jama, namun lafadz-lafadz tersebut disesuaikan
dengan syair yang pada akhir baitnya terdapat fathah yang dipanjangkan
dengan alif. Sehingga lafadz-lafadz tersebut tetap dibaca panjang ketika
waqaf dan dibaca pendek ketika washal.
c. Lafadz pada QS. Al-Fatihah: 4 dan pada QS. An-Nas: 2
Qiraah Imam Ashim riwayat Hafs membaca mim dengan alif (panjang)
pada lafadz dalam QS. Al-Fatihah: 4, sedangkan beberapa Imam qiraah
yang lain membaca tanpa alif (pendek). Alasan Imam Ashim riwayat Hafs
membaca dengan alif (panjang) adalah karena ada kaitannya dengan lafadz
pada QS. Ali Imran: 26 yaitu dan bukan tanpa alif yaitu
juga karena lafadz berarti dzat yang memiliki, sedangkan lafadz
berarti tuan atau penguasa, tidak seperti halnya dalam lafadz
(tanpa alif) yang artinya Tuhan manusia dan hal itu tidak sesuai dengan
makna untuk kata hari pembalasan .
Jadi, lafadz pada QS. Al-Fatihah: 4 dengan lafadz pada QS. An-Nas:
2 tidaklah sama dalam membaca mimnya, terutama karena perbedaan segi
maknanya sehingga dibedakan cara membacanya, walaupun beberapa
Imam qiraah selain Imam Ashim dan Al-Kisai membaca kedua lafadz
tersebut sama-sama pendek ( ) .
2. Dibolehkannya membaca fathah atau dammah pada dalam
lafadz
Lafadz pada QS. Ar-Rum: 54 yang lafadznya dibaca tiga kali pada
ayat tersebut adalah merupakan masdar dari lafadz sehingga
beberapa Imam qiraah berbeda cara membacanya. Imam Hamzah dan
Syubah (salah satu murid Imam Ashim) membaca dlad pada lafadz
dengan fathah, sedangkan sebagian Imam qiraah yang lainnya dengan
dammah.
Adapun Imam Hafs, membaca dlad pada lafadz dengan fathah dan
dammah. Hal ini disebabkan karena dalam ilmu sharaf, lafadz
mempunyai dua masdar yaitu lafadz , seperti halnya
dan lafadz
lafadz yang juga mempunyai dua masdar yaitu lafadz dan lafadz .
Sehingga menurut qiraah Imam Hafs huruf dlad pada lafadz boleh
dibaca fathah dan boleh dibaca dammah.
3. Rahasia permulaan Surat At-Taubah
Penjelasan Bacaan Gharib dalam Al-Qur'an| Dalam Mushaf Al-
Quran rasm usmani, semua permulaan surat diawali dengan basmalah
kecuali surat At-Taubah. Hal ini karena ada beberapa pendapat yang terkait
dengan tidak ditulisnya basmalah pada permulaan surat At-Taubah. Pendapat
pertama, bahwa Sahabat Ubay bin Kaab berkata : Rasulullah saw. pernah
menyuruh kami menulis basmalah di awal setiap surat dalam Al-Quran, dan
beliau tidak memerintahkan kami menulisnya di awal surat At-Taubah. Maka
sebab itu, surat tersebut digabungkan dengan surat Al-Anfal dan hal itu lebih
utama karena adanya keserupaan diantara keduanya. Sedangkan pendapat
yang kedua, bahwa Imam Ashim berkata: Basmalah tidak ditulis di awal
surat At-Taubah, disebabkan karena bacaan basmalah itu berisi tentang
rahmat atau kasih sayang, sedangkan surat At-Taubah merupakan surat
tentang azab atau siksaan kepada orang-orang musyrik.
Penjelasan Bacaan Gharib dalam Al-Qur'an| Adapun hukum
tentang membaca basmalah pada permulaan surat At-Taubah diantaranya
adalah, Imam Ibnu Hajar dan al-Khatib mengharamkan membaca basmalah
di awal surat At-Taubah dan memakruhkan membacanya di tengah surat.
Sedangkan Imam Ramli dan para pengikutnya memakruhkan membaca
basmalah di awal surat At-Taubah dan mensunnahkan membacanya di
tengah surat sebagaimana surat-surat dalam Al-Quran yang lain.

Anda mungkin juga menyukai