Anda di halaman 1dari 9

1.

Imalah

Imalah menurut bahasa berasal dari wazan lafadz yaitu yang


artinya memiringkan atau membengkokan, sedangkan menurut istilah yaitu
memiringkan fathah kepada kasrah atau memiringkan alif kepada ya. Bacaan
imalah banyak dijumpai pada qiraah Imam Hamzah dan Al-Kisai, diantaranya pada
, . Sedangkan
lafadz-lafadz yang diakhiri oleh alif layyinah, contoh: ,


pada riwayat Imam Hafs hanya ada satu lafadz yang harus dibaca imalah yaitu
pada lafadz , dalam QS. Hud: 41 :

Dalam ilmu qiraah, ada satu bacaan yang hampir mirip dengan bacaan imalah,
yaitu bacaan taqlil yang termasuk dalam qiraah imam Warsy. Khususnya pada
lafadz yang berwazan , namun bacaan taqlil lebih mendekati fathah
seperti halnya bunyi suara re pada kata mereka.

Sebab-sebab di-Imalahkannya lafadz , diantaranya adalah untuk


membedakan antara lafadz , yang artinya berjalan di darat dengan lafadz
, yang artinya berjalan di laut. Dalam salah satu kamus bahasa arab
dijelaskan bahwa lafadz , berasal dari lafadz , yang artinya berjalan atau
mengalir dan lafadz tersebut dapat dipakai dalam arti berjalan di atas daratan
maupun berjalan di atas lautan (air), namun kecenderungan perjalanan di
permukaan laut (air) tidak stabil seperti halnya di daratan. Terkadang diterjang
ombak kecil dan besar atau terhempas angin, sehingga sangat tepat apabila lafadz
, tersebut di-Imalahkan.

2. Isymam

Isymam artinya mencampurkan dammah pada sukun dengan memoncongkan bibir


atau mengangkat dua bibir. Dalam qiraah riwayat Hafs, Isymam terdapat pada
lafadz yaitu pada waktu membaca lafadz tersebut, gerakan lidah seperti
halnya mengucapkan lafadz sehingga hampir tidak ada perubahan bunyi
antara mengucapkan lafadz dengan mengucapkan . Dengan kata lain,

asal dari lafadz adalah lafadz . Kalau diteliti lebih dalam, ternyata
rasm utsmani hanya menulis satu nun yang bertasydid. Ada pertanyaan muncul,
dimana letak dammahnya?sehingga untuk mempertemukan kedua lafadz tersebut
dipilihlah jalan tengah yaitu bunyi bacaan mengikuti rasm, sedangkan gerakan bibir
mengikuti lafadz asal.

Dalam qiraah imam Ibnu Amir riwayat As-Susy, bacaan isymam dikenal dengan
sebutan idgham kabir, yaitu bertemunya dua huruf yang sama dan sama-sama
hidup lalu melebur menjadi satu huruf bertasydid. Dalam qiraah Imam Ashim
riwayat Hafs, hanya dikenal satu idgham saja, yaitu idgham shaghir yakni
mengidghamkan dua huruf yang sama yang salah satunya mati. Menurut bahasa,
bahwa lafadz dapat difahami berasal dari lafadz yang terdapat dua
nun yang diidharkan, nun yang pertama di rafakan dan yang kedua dinashabkan.
Nun yang pertama dirafakan karena termasuk fiil mudlari yang tidak kemasukan
amil nawashib maupun jawazhim.

3. Saktah

Saktah menurut bahasa berasal dari wazan lafadz - yang artinya


diam, tidak bergerak. Sedangkan menurut istilah ilmu qiraah, saktah ialah berhenti
sejenak sekedar satu alif tanpa bernafas. Dalam qiraah Imam Ashim riwayat Hafs
bacaan saktah terdapat di empat tempat yaitu : QS. Al-Kahfi: 1, QS. Yaasiin: 52, QS.
Al-Qiyamah: 27 dan QS. Al-Muthafifin: 14.

Saktah pada QS. Al-Kahfi: 1, menurut segi kebahasaan susunan kalimatnya sudah
sempurna. Dengan kata lain, jika seorang qari membaca waqaf pada lafadz ,
sebenarnya sudah tepat karena sudah termasuk waqaf tamm. Namun apabila
dilihat dari kalimat sesudahnya, ternyata ada lafadz sehingga arti kalimatnya
menjadi rancu atau kurang sempurna.

Lafadz bukanlah menjadi sifat/naat dari lafadz , melainkan menjadi hal atau
maful bihnya lafadz lafadz . Apabila lafadz menjadi naatnya lafadz akan
mempunyai arti : Allah tidak menjadikan al-Quran sebagai ajaran yang bengkok
serta lurus. Sedangkan apabila menjadi hal atau maful bih akan menjadi : Allah
tidak menjadikan al-Quran sebagai ajaran yang bengkok, melainkan menjadikannya
sebagai ajaran yang lurus . Menurut Ad-Darwisy, kata dinashabkan sebagai hal
(penjelas) dari kalimat , sedang Az-Zamakhsyari berpendapat bahwa

kata tersebut dinashabkan lantaran menyimpan fiil berupa . Berbeda juga


dengan pendapat Abu Hayyan, menurutnya kata itu badal mufrad dari badal
jumlah . Tidak mungkin seorang qari memulai bacaan (ibtida) dari
, sebagaimana juga tidak dibenarkan meneruskan bacaan (washal) dari ayat
sebelumnya. Dengan pertimbangan alasan-alasan diatas, baik diwaqafkan maupun
diwashalkan sama-sama kurang tepat, maka diberikanlah tanda saktah.

Pada saktah QS. Yaasiin: 52 di dalam kalimat: . Menurut AdDarwisy lafadz itu mubtada dan khabarnya adalah lafadz . Berbeda
halnya dengan pendapat Az-Zamakhsyari yang menjadikan lafadz itu naat dari
, sedangkan sebagai mubtada yang khabarnya tersimpan, yaitu lafadz atau
. Dari segi makna, kedua alasan penempatan saktah tersebut sama-sama tepat.
Pertama, orang yang dibangkitkan dari kuburnya itu mengatakan: Siapakah yang
membangkitkan dari tempat tidur kami (yang) ini. Apa yang dijanjikan Allah dan
dibenarkan oleh para rasul ini pasti benar. Kedua, orang yang dibangkitkan dari
kuburnya itu mengatakan: Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur
kami. Inilah yang dijanjikan Allah dan dibenarkan oleh para rasul ini pasti benar.
Dengan membaca saktah, kedua makna yang sama-sama benar tersebut bisa
diserasikan, sekaligus juga untuk memisahkan antara ucapan malaikat dan orang
kafir.

Adapun lafadz dalam QS. Al-Qiyamah: 27 pada kalimat dan lafadz


dalam QS. Al-Muthafifin: 14 pada kalimat adalah untuk menjelaskan fungsi
sebagai kata tanya dan fungsi sebagai penegas dan juga untuk memperjelas
idharnya lam dan nun, sebab apabila lam dan nun bertemu dengan ra seharusnya
dibaca idgham, namun karena lafadz dan dalam kalimat dan
mempunyai makna yang berbeda, maka perlu dipisahkan (diidharkan) dengan
waqaf saktah.

Di samping itu, Imam Ashim juga menganjurkan membaca saktah, pertama, pada
akhir QS. Al-Anfaal:75 dan permulaan QS. At-Taubah. Alasannya secara bahasa
dipakai untuk memilah dua surat yang berbeda yang mana permulaan surat AtTaubah tidak terdapat atau diawali dengan basmalah. Kedua, pada QS. Al-Haqqah:
28-29 dimaksudkan untuk membedakan dua ha yakni ha saktah dan ha fiil .

4. Tashil

Tashil menurut bahasa artinya memberi kemudahan, keringanan atau


menyederhanakan hamzah qatha yang kedua, adapun menurut istilah qiraah
artinya membaca antara hamzah dan alif . Dalam qiraah Imam Ashim riwayat Hafs
hanya ada satu bacaan tashil yaitu pada QS. Fusshilat: 44





...

Alasan lafadz dibaca tashil, karena apabila ada dua hamzah qatha bertemu
dan berurutan pada satu lafadz, bagi lisan orang Arab merasa berat
melafadzkannya, sehingga lafadz tersebut bisa ditashilkan (diringankan).

5. Naql

Naql menurut bahasa berasal dari lafadz yang artinya memindah,


sedangkan menurut istilah ilmu qiraah artinya memindahkan harakat ke huruf
sebelumnya. Dalam qiraah Imam Ashim riwayat Hafs ada satu bacaan naql yaitu
lafadz
pada QS. Al-Hujurat: 11. Alasan dibaca naql pada lafadz
adalah
karena adanya dua hamzah washal, yakni hamzah al tarif dan hamzah ismu yang
mengapit lam, sehingga kedua hamzah tersebut tidak terbaca apabila disambung
dengan kata sebelumnya. Faidahnya bacaan naql ialah untuk memudahkan dalam
mengucapkannya atau membacanya.

6. Badal (Mengganti)

Badal menurut bahasa artinya mengganti, mengubah, sedangkan maksud badal


disini adalah mengganti huruf hijaiyah satu dengan huruf hijaiyah lainnya. Diantara
lafadz-lafadz yang di badal dalam Al-Quran menurut Imam Ashim riwayat Hafs
yaitu :

1.

Badal dengan (
)

Yaitu mengganti hamzah mati dengan ya, sebagian besar imam qiraah sepakat
mengganti hamzah qatha yang tidak menempel dengan lafadz sebelumnya dan
jatuh sesudah hamzah washal dengan alif layyinah (,). Contoh pada QS. Al-Ahqaf :
4,

Cara membacanya, yaitu apabila seorang qari membaca waqaf pada lafadz (

) maka huruf ta mati dan hamzah mati diganti ya (


)
sedangkan apabila dibaca washal tidak ada perubahan.

2.

Badal dengan (


dan
)

Yaitu mengganti shad dengan siin, sebagian imam qiraah termasuk Imam Ashim


mengganti dengan pada lafadz

dalam QS. Al-Baqarah : 245 dan lafadz


dalam QS. Al-Araf : 69. Sebab-sebab digantinya huruf shad dengan siin pada
kedua lafadz tersebut karena mengembalikan pada asal lafadznya, yaitu .

Sedangkan pada lafadz


dalam QS. Al-Ghasyiyah : 22, huruf tetap dibaca
shad karena sesuai dengan tulisan dalam mushaf (rasm utsmani) dan
menyesuaikan sifat ithbaq dengan huruf sesudahnya (tha) yang mempunyai sifat
istila. Adapun pada lafadz

dalam QS. At-Thur : 37, huruf boleh tetap




dibaca shad dan boleh dibaca siin karena, pertama, mengembalikan pada asal
lafadznya, yaitu , kedua, menyesuaikan sifat ithbaq dengan huruf
sesudahnya (tha) yang mempunyai sifat istila.

7. Shilah

Menurut ijma para ulama qurra, bahwa apabila ada ha dlamir yang tidak diawali
dengan huruf mati, maka ha dlamir tersebut harus dibaca panjang dan perlu
ditambahkan huruf mad setelahnya, alasannya untuk menguatkan huruf ha dlamir
tersebut karena tidak alasan yang mengharuskan membuang huruf setelah ha

dlamir ketika huruf sebelumnya hidup (berharakat). Namun para ulama qurra
kecuali Ibnu Katsir kurang senang menggabungkan dua huruf mati yang dipisah
oleh huruf lemah (ha), sehingga mereka membuang huruf mad dan memanjangkan
ha dlamirnya, contoh , ini adalah madzhab imam Sibawaih. Sedangkan apabila
ha dlamir tersebut diawali dengan huruf yang mati (sukun) maka harus dibaca
pendek, contoh .

Dalam qiraah Imam Ashim riwayat Hafs ada satu ha dlamir yang tetap dibaca
panjang walaupun diawali dengan huruf mati, yaitu pada kalimat dalam

QS. Al-Furqan : 69. Pada masalah ini, Imam Ashim riwayat Hafs sama bacaannya
dengan Ibnu Katsir, yakni membaca shilah ha ( ) . Karena diketahui bahwa ha

termasuk huruf lemah seperti halnya hamzah, sehingga apabila ha berharakat


kasrah, maka sebagai ganti dari wawu mati adalah ya dimaksudkan untuk
menguatkan huruf ha, sehingga menjadi . Dalam literatur orang Arab sendiri
jarang sekali ditemui wawu mati yang diawali kasrah.

Alasan ha dibaca panjang pada lafadz dalam QS. Al-Furqan : 69 adalah untuk

mengembalikan pada asal lafadznya, yaitu berasal dari lafadz dan ketika
disambung dengan lafadz akan menjadi , namun karena ha dlamir tersebut
diawali dengan ya mati yang sebenarnya identik dengan kasrah, sehingga harakat
ha perlu disesuaikan dengan harakat sebelumnya dan merubah huruf mad berupa
wawu menjadi ya untuk menyesuaikan dengan kasrah maka menjadi dan huruf
mad berupa ya dirubah dengan kasrah berdiri, jadilah lafadz . Ada juga yang

menyebutkan bahwa ha yang terdapat pada lafadz dalam QS. Al-Furqan : 69

adalah ha khafdli artinya ha panjang yang berfungsi merendahkan, hal ini sesuai
dengan konteks ayat yang menghendaki dipanjangkannya huruf ha dlamir
tersebut.

Ada juga ha dlamir yang dibaca pendek walaupun diawali dengan huruf mati yaitu
dengan membaca ha dlamir berharakat dammah tanpa shilah. Lafadz-lafadz
tersebut diantaranya terdapat pada lafadz
dalam QS. Az-Zumar : 7. Alasan
dibaca pendek ha dlamir berharakat dammah pada lafadz
dan lafadz-lafadz
sejenisnya adalah untuk mengembalikan pada rasm mushaf yang tidak ada wawu
madnya sesudah ha dlamir.

Lain halnya dengan lafadz dalam QS. Al-Fath : 10, disini terdapat ha dlamir yang
dibaca dammah walaupun jatuh setelah ya mati. Hal ini terkait dengan
asbabunnuzul ayat tersebut yang intinya tentang sifat memenuhi janji setia kepada

Nabi dan berjihad di jalan Allah. Sifat memenuhi janji tersebut merupakan sifat yang
luhur mulia dan luhur (rifah). Dan penempatan harakat dammah pada lafadz
memberikan nuansa kemuliaan dan keagungan sifat (akhlak). Karena suasana
sosiologis dan keberadaan lafadz tersebut berada pada ayat yang menunjukkan
kemuliaan dan keluhuran. Sehingga ada ulama yang menyebutkan bahwa ha
dlamir tersebut disebut sebagai ha rifah (ha keluhuran).

Penjelasan Bacaan Gharib dalam Al-Qur'an| Dalam qiraah Imam Ashim riwayat Hafs
juga terdapat bacaan-bacaan lain yang dianggap gharib, akan tetapi lebih pada
tulisan atau rasmnya (rasm utsmani) dan cara membacanya. Bacaan-bacaan
tersebut diantaranya adalah sebagai berikut :

1.
Lafadz-lafadz yang dibaca pendek ketika washal dan panjang ketika waqaf
( dan )

a.

Lafadz ( )

Sebab-sebab lafadz dibaca pendek ketika washal ( )kecuali lafadz , , ,


, adalah karena fungsi alif tersebut hanya sebagai penjelas harakat seperti

halnya menambahkan ha ketika waqaf (ha sakt). Disamping itu juga, apabila ada
isim yang hurufnya sedikit lalu di baca waqaf dengan sukun, maka suaranya akan
terlihat janggal, sehingga ditambahkanlah alif supaya suara nun tetap sebagaimana
asal lafadznya.

Sedangkan tidak ditambahkannya alif pada waktu membaca washal pada lafadz
tersebut adalah karena nun sudah berharakat. Ada juga lafadz yang cara
membacanya hampir sama dengan lafadz yaitu lafadz pada QS. Al-Kahfi : 38,
yakni apabila lafadz dibaca washal maka nun harus dibaca pendek(
),sedangkan apabila dibaca waqaf maka nun tetap dibaca panjang () . Hal ini
karena lafadz berasal dari lafadz dan lafadz .

b.

Lafadz

Sebagian ulama qurra membaca lafadz-lafadz diatas dengan harakat tanwin,


sedangkan qiraah Imam Ashim riwayat Hafs tidak memakai harakat tanwin pada
lafadz-lafadz tersebut. Dan apabila membaca waqaf pada lafadz-lafadz tersebut,
qiraah Imam Ashim riwayat Hafs tetap menyertakan alif atau dibaca panjang,
sedangkan tidak menyertakan (membaca) alif atau dibaca pendek apabila huruf
terakhir lafadz-lafadz tersebut diwashalkan. Hal ini disebabkan karena
mencantumkan alif pada lafadz-lafadz tersebut adalah mengikuti rasm utsmani dan
juga lafadz-lafadz tersebut masuk dalam sighat muntahal jumu yang termasuk isim
ghairu munsharif sehingga tetap mencantumkan alif tidak ditanwin. Sedangkan
lafadz walaupun bukan termasuk jama, namun lafadz-lafadz
tersebut disesuaikan dengan syair yang pada akhir baitnya terdapat fathah yang
dipanjangkan dengan alif. Sehingga lafadz-lafadz tersebut tetap dibaca panjang
ketika waqaf dan dibaca pendek ketika washal.

c.

Lafadz pada QS. Al-Fatihah: 4 dan pada QS. An-Nas: 2

Qiraah Imam Ashim riwayat Hafs membaca mim dengan alif (panjang) pada lafadz
dalam QS. Al-Fatihah: 4, sedangkan beberapa Imam qiraah yang lain membaca
tanpa alif (pendek). Alasan Imam Ashim riwayat Hafs membaca dengan alif
(panjang) adalah karena ada kaitannya dengan lafadz pada QS. Ali Imran:
26 yaitu dan bukan tanpa alif yaitu juga karena lafadz
berarti dzat yang memiliki, sedangkan lafadz berarti tuan atau penguasa, tidak
seperti halnya dalam lafadz ( tanpa alif) yang artinya Tuhan manusia dan hal
itu tidak sesuai dengan makna untuk kata hari pembalasan .

Jadi, lafadz pada QS. Al-Fatihah: 4 dengan lafadz pada QS. An-Nas: 2 tidaklah
sama dalam membaca mimnya, terutama karena perbedaan segi maknanya
sehingga dibedakan cara membacanya, walaupun beberapa Imam qiraah selain
Imam Ashim dan Al-Kisai membaca kedua lafadz tersebut sama-sama pendek (
).

2.

Dibolehkannya membaca fathah atau dammah pada dalam lafadz

Lafadz pada QS. Ar-Rum: 54 yang lafadznya dibaca tiga kali pada ayat tersebut
adalah merupakan masdar dari lafadz sehingga beberapa Imam qiraah
berbeda cara membacanya. Imam Hamzah dan Syubah (salah satu murid Imam
Ashim) membaca dlad pada lafadz dengan fathah, sedangkan sebagian Imam
qiraah yang lainnya dengan dammah.

Adapun Imam Hafs, membaca dlad pada lafadz dengan fathah dan dammah.
Hal ini disebabkan karena dalam ilmu sharaf, lafadz mempunyai dua
, seperti halnya lafadz yang juga
masdar yaitu lafadz
dan lafadz
mempunyai dua masdar yaitu lafadz dan lafadz . Sehingga menurut qiraah
Imam Hafs huruf dlad pada lafadz boleh dibaca fathah dan boleh dibaca
dammah.

3.

Rahasia permulaan Surat At-Taubah

Penjelasan Bacaan Gharib dalam Al-Qur'an| Dalam Mushaf Al-Quran rasm usmani,
semua permulaan surat diawali dengan basmalah kecuali surat At-Taubah. Hal ini
karena ada beberapa pendapat yang terkait dengan tidak ditulisnya basmalah pada
permulaan surat At-Taubah. Pendapat pertama, bahwa Sahabat Ubay bin Kaab
berkata : Rasulullah saw. pernah menyuruh kami menulis basmalah di awal setiap
surat dalam Al-Quran, dan beliau tidak memerintahkan kami menulisnya di awal
surat At-Taubah. Maka sebab itu, surat tersebut digabungkan dengan surat Al-Anfal
dan hal itu lebih utama karena adanya keserupaan diantara keduanya. Sedangkan
pendapat yang kedua, bahwa Imam Ashim berkata: Basmalah tidak ditulis di awal
surat At-Taubah, disebabkan karena bacaan basmalah itu berisi tentang rahmat atau
kasih sayang, sedangkan surat At-Taubah merupakan surat tentang azab atau
siksaan kepada orang-orang musyrik.

Penjelasan Bacaan Gharib dalam Al-Qur'an| Adapun hukum tentang membaca


basmalah pada permulaan surat At-Taubah diantaranya adalah, Imam Ibnu Hajar
dan al-Khatib mengharamkan membaca basmalah di awal surat At-Taubah dan
memakruhkan membacanya di tengah surat. Sedangkan Imam Ramli dan para
pengikutnya memakruhkan membaca basmalah di awal surat At-Taubah dan
mensunnahkan membacanya di tengah surat sebagaimana surat-surat dalam AlQuran yang lain.

Anda mungkin juga menyukai