Anda di halaman 1dari 20

KAJIAN ASBA>B AN-NUZ>U<L

SURAT AL-BAQARAH AYAT 267 DAN 278

MAKALAH

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Asba>b an-Nuzu>l

Oleh:

Muhammad Maghfur Amin

NIM. F12518226

Dosen Pengampu:

Dr. H. Masruhan, M.Ag

ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2019
2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Mengetahui asba>b an-nuzu>l menjadi suatu yang harus dilakukan oleh seorang
mufassir. Dengan mengetahui konteks historis ayat yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad, maka kedudukan wahyu yang turun saat itu menjadi lebih jelas. Hal ini
tidak terlepas dari salah satu fungsi Al-Qur’an dalam menjawab persoalan yang hadir
di tengah masyarakat Islam pada masa ia turun.

Mengacu pada asal kata, ‚asbab an-nuzul‛, merupakan frasa dari dua kata
yakni asba>b dan nuzu>l. Asba>b sendiri merupakan bentuk plural dari sabab yang sudah
diserap ke dalam kata bahasa Indonesia ‚sebab‛. Meskipun begitu dirasa kurang
sesuai ketika kata sabab tersebut dimaknai sebagai sebab atau penyebab, dalam
konteks frasa asba>b an-nuzu>l. Demikian ini melihat berbagai pertimbangan bahwa
jika kata asba>b dimaknai dengan sebab, maka; (1)menimbulkan kesan bahwa suatu
ayat diturukan karena ada sebab, sedangkan Allah tidak bergantung pada apapun
termasuk sebab; (2)benarlah apa yang dituduhkan bahwa Al-Qur’an itu produk
budaya, karena ia merupakan bentuk respon atas budaya atau kejadian dalam
masyarakat (sebab); (3)ayat yang turun (yang memiliki sebab turun) dikatakan
sebagai akibat, yakni dalam hubungan sebab-akibat. Dengan demikian penggunaan
istilah ‚asbab an-nuzu>l ‛ terdapat sedikitkerancuan, meskipun bukan kesalahan yang
fatal.

Jika demikian, agar istilah asba>b an-nuzu>l ini tidak tertukar dengan dimaknai
dengan ‚sebab turunnya ayat‛, akan lebih tepat jika menggunakan istilah ‚kronologi
turunnya ayat‛ atau ‚konteks historis turunnya ayat‛. Selain itu akan menjadikan
kajiannnya lebih luas, tidak pada ayat-ayat yang memiliki asba>b an-nuzu>l dari
riwayat an-sich. Pasalnya setiap ayat tidak dapat terlepas dari apapun konteks
historis saat ayat itu turun.

Dalam makalah ini ayat yang akan dikaji adalah konteks historis turunnya
ayat 267 dan 278 surat Al-Baqarah. Langkah-langkah yang digunakan dalam
3

pemaparan ayat-ayat tersebut adalah; (1) penjelasan mufradat; (2) terjemahan ayat;
(3)konteks historis ayat; (4)penafsiran atas ayat; (5)kandungan ayat.

B. Rumusan Masalah

Makalah ini secara khusus akan menjawab permasalahan-permasalahan


sebagai berikut:

1. Bagaimana konteks historis QS. Al-Baqarah ayat 267 dan 278?


2. Bagaimana penafsiran atas QS. Al-Baqarah ayat 267 dan 278?
3. Apa sajakah kandungan QS. Al-Baqarah ayat 267 dan 278?

C. Tujuan Pembahasan

Tujuan dari pembahasan permasalahan-permasalah yang diangkat dalam


rumusan masalah di atas sebagai berikut:

1. Untuk memahami konteks historis QS. Al-Baqarah ayat 267 dan 278?
2. Untuk mengetahui penafsiran atas QS. Al-Baqarah ayat 267 dan 278?
3. Untuk memahami kandungan QS. Al-Baqarah ayat 267 dan 278?
4

BAB II

PEMBAHASAN

A. Al-Baqarah Ayat 267


1. Teks Ayat

           

             

1
     

2. Terjemah Ayat

‚Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi
untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu
menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya
melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah
Maha Kaya lagi Maha Terpuji.‛ 2

3. Mufrada>t

 : Nafkahkanlah

 : Sebagian

 : Yang baik-baik

 : kalian usahakan

1
Muhammad Taufiq, Quran in Word versi 1.2.0, Add-Ins, Microsoft Word: Office 2007
2
Ibid.
5

 : kami keluarkan

  : Dan janganlah kalian memilih-milih

 : Yang buruk

 : Dan kalian tidak

 : Mengambilnya

 : Kalian menutup sebelah mata

4. Konteks Historis Turunnya Ayat

Terdapat sebuah tradisi kaum Anshar yang memiliki kebun kurma untuk
memberikan sebagian hasil kebunnya kepada ahlus suffah. Kurma-kurma tersebut
diberikan secara sukarela, banyak dan sedikitnya tidak tertentu, dan para ahlus
suffah segan untuk mengharapkan kurma yang bagus dan keadannya baik.
Dengan kondisi tersebut, terdapat salah seorang Anshar yang menyerahkan satu
tandan kurma yang kondisinya buruk, tidak keras bijinya dan basah lembab
karena telah rusak. Dalam konteks tersebut ayat ini diturunkan kepada Nabi
Muhammad.

Sesuai dengan riwayat dari Al-Hakim dan Turmudzi dan Ibnu Majah dan
lainnya dari Barra’, dia berkata: ‚ayat ini turun kepada kami, orang Anshar. Kami
adalah pemilik kebun kurma. Dulu seseorang menyedekahkan sebagian hasil
kebunnya sesuai dengan jumlah yang dimiliki. Dan ahlus suffah tidak
mengharapkan yang baik-baik. Maka ada yang memberikan kurma yang terdiri
dari kurma jelek, yang tidak keras bijinya dan kurma basah yang sudah rusak,
serta tandannya telah patah. Maka Allah menurunkan ayat ini‛.3

3
Jala>l ad-Di>n As-Suyu>thi, Luba>b an-Nuqu>l fi> Asba>b an-Nuzu>l, (Beirut: Muassasah al-Kutub ast-
Tsaqafiyah, 2002), 50
6

Terdapat pula riwayat lain dari Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas. Dulu
para sahabat membeli bahan makanan yang murah, lalu mereka
4
menyedekahkannya. Maka turunlah ayat ini.

Jika melihat konteks yang terdapat dalam riwayat tersebut, maka ayat ini
merupakan ayat yang turun di Madinah. Secara historis ayat ini bukan lah yang
pertama kali turun mengenai perintah wajibnya zakat. Adapun kewajiban zakat
telah disyariatkan sejak tahun 2 Hijriyah. Sebelum ayat ini telah turun ayat-ayat
yang menganjurkan untuk bersedekah seperti QS. Ar-Ru>m ayat 39, dan juga ayat
yang berbentuk perintah seperti QS. Al-Baqarah 110. Artinya ayat ini turun
dalam masa setelah mulai berlakunya kewajiban zakat. Berdasarkan riwayat Al-
Hakim dari Jabir, dia berkata: ‚Nabi Muhammad telah memerintahkan untuk
menunaikan zakat fitrah dengan satu sha’ kurma. Lalu seseorang datang dengan
membawa kurma yang jelek. Maka turunlah ayat ini.5

Adapun dengan asba>b an-nuzu>l sebagai sebab, jika melihat riwayat-


riwayat yang disebutkan di atas, maka sepintas seakan terdapat tiga kejadian
berbeda yakni (1) bersedekah dengan kurma jelek, (2) bersedekah dengan bahan
makanan yang murah, dan (3) menunaikan zakat dengan kurma jelek . Dari tiga
kejadian itu jika kita ingin memastikan yang mana diantaranya yang langsung
dan tepat sebagai sebab turunnya ayat, maka kita akan diburu untuk menelusuri
sejarah secara detail dan tentu saja itu menguras tanaga dan pikiran.

Akan tetapi dari tiga peristiwa itu, tema umum yang menjadi konteks
historis turunnya ayat tersebut adalah mengenai hal yang secara umum seringkali
dilakukan oleh manusia, yakni ‚jika untuk diri sendiri maka mengambil yang
baik, sedangkan jika untuk orang lain maka memberikan yang buruk‛. Dengan
tema umum konteks historis yang terdapat pada masa saat turunnya ayat
tersebut, dapat kita tarik kedalam konteks saat ini. Penarikan konteks historis
tersebut diharapkan dapat menjadi world view (weltanschauung) yang relevan
dalam segala konteks zaman, sebagai hasil dari sebuah proses kontekstualisasi.
Maka ayat itu, akan sesuai dengan dan kontekstual pada kapanpun zaman
bergerak dan berkembang, seolah ayat tersebut turun berkali-kali untuk

4
Ibid.
5
Ibid., 51
7

menyikapi perilaku manusia yang digambarkan dalam riwayat-riwayat di atas,


yakni sikap memberikan yang jelek jika untuk orang lain.

5. Penafsiran Ayat6

Allah Swt memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk


berinfak. Yang dimaksud dengan infak dalam ayat ini ialah bersedekah. Menurut
Ibnu Abbas, sedekah harus diberikan dari harta yang baik (yang halal) yang
dihasilkan oleh orang yang bersangkutan.

Menurut Mujahid, yang dimaksud dengan hasil usaha ialah berdagang;


Allah telah memudahkan cara berdagang bagi mereka. Menurut Ali dan As-
Saddi, makna firman-Nya: dari hasil usaha kalian yang baik., yakni emas dan
perak, juga buah-buahan serta hasil panen yang telah ditumbuhkan oleh Allah di
bumi untuk mereka.

Ibnu Abbas mengatakan bahwa Allah memerintahkan kepada mereka


untuk berinfak dari sebagian harta mereka yang baik, yang paling disukai dan
paling disayang. Allah melarang mereka mengeluarkan sedekah dari harta mereka
yang buruk dan jelek serta berkualitas rendah; karena sesungguhnya Allah itu
Mahabaik, Dia tidak mau menerima kecuali yang baik.

Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan: wa la> tayammamu> al-


khabi>ta minhu tunfiqu>na wa lastum bi a>khidzi>h (‚Dan janganlah kalian memilih
yang buruk-buruk, lalu kalian nafkahkan darinya, padahal kalian sendiri tidak
mau mengambilnya.‛) Yakni janganlah kalian sengaja memilih yang buruk-
buruk. Seandainya kalian diberi yang buruk-buruk itu, niscaya kalian sendiri
tidak mau menerimanya kecuali dengan memicingkan mata terhadapnya. Allah
Mahakaya terhadap hal seperti itu dari kalian, maka janganlah kalian menjadikan
untuk Allah apa-apa yang tidak kalian sukai.

Menurut pendapat yang lain, makna firman-Nya: Dan janganlah kalian


memilih yang buruk-buruk, lalu kalian nafkahkan darinya. Yakni janganlah
kalian menyimpang dari barang yang halal, lalu dengan sengaja mengambil

6
Muhammad Ali Ash Shabuni, Mukhtashar Tafsi>r Ibn Katsir, (Beirut: Dar al-Qur’an, tt.), 248.
8

barang yang haram, kemudian barang yang haram itu kalian jadikan sebagai
nafkah kalian.

Sehubungan dengan ayat ini ada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad. Disebutkan bahwa: "telah menceritakan kepada kami Muhammad
ibnu Ubaid, telah menceritakan kepada kami Ishaq, dari As-Sabbah ibnu
Muhammad, dari Murrah Al-Hamdani, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang
menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya Allah
telah membagikan di antara kalian akhlak-akhlak kalian, sebagaimana Dia telah
membagi-bagi di antara kalian rezeki-rezeki kalian. Dan sesungguhnya Allah
memberikan dunia ini kepada semua orang, baik yang disukai-Nya ataupun yang
tidak disukai-Nya. Tetapi Allah tidak memberikan agama kecuali kepada orang
yang disukai-Nya. Maka barang siapa yang dianugerahi agama oleh Allah,
berarti Allah mencintainya. Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam
genggaman kekuasaan-Nya, seorang hamba masih belum Islam sebelum kalbu
dan lisannya Islam, dan masih belum beriman sebelum tetangga-tetangganya
merasa aman dari ulahnya. Mereka (para sahabat) bertanya, "Wahai Nabi Allah,
apakah yang dimaksud dengan bawa'iqahu?" Nabi Saw. menjawab, "Tipuan dan
perbuatan aniayanya‛. Dan tidak sekali-kali seorang hamba mencari usaha dari
cara yang diharamkan, lalu ia menginfakkannya dan mendapat berkah dari
infaknya itu. Dan tidak sekali-kali ia menyedekahkannya, lalu sedekahnya
diterima darinya. Dan tidak sekali-kali ia meninggalkannya di belakang
punggungnya (yakni menyimpannya), melainkan hartanya itu kelak menjadi
bekal baginya di neraka. Sesungguhnya Allah tidak menghapus yang buruk
dengan yang buruk lagi, melainkan Dia menghapus yang buruk dengan yang
baik. Sesungguhnya hal yang buruk itu tidak dapat menghapuskan keburukan
lainnya."

Akan tetapi, pendapat yang sahih adalah pendapat yang pertama tadi.

Ibnu Jarir rahimahullah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-


Husain ibnu Umar Al-Abqari, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Asbat,
dari As-Saddi, dari Addi ibnu Sabit, dari Al-Barra ibnu Azib r.a. sehubungan
dengan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan
Allah) sebagian dari hasil usaha kalian yang baik-baik dan sebagian dari apa
9

yang Kami keluarkan dari bumi untuk kalian. Dan ja-nganlah kalian memilih
yang buruk-buruk, lalu kalian nafkahkan darinya. hingga akhir ayat. Ayat ini
diturunkan berkenaan dengan orang-orang Anshar. Dahulu orang-orang Ansar
apabila tiba masa panen buah kurma, mereka mengeluarkan buah kurma yang
belum masak benar (yang disebut busr) dari kebun kurmanya. Lalu mereka
menggantungkannya di antara kedua tiang masjid dengan tali, yaitu di masjid
Rasul. Maka orang-orang miskin dari kalangan Muhajirin makan buah kurma itu.
Lalu ada seorang lelaki dari kalangan mereka (kaum Ansar) dengan sengaja
mencampur kurma yang buruk dengan busr (agar tidak kelihatan), ia menduga
bahwa hal itu diperbolehkan. Maka turunlah firman Allah berkenaan dengan
orang yang berbuat demikian, yaitu: Dan janganlah kalian memilih yang buruk-
buruk, lalu kalian nafkahkan darinya.

Kemudian Ibnu Jarir, Ibnu Majah, dan Ibnu Murdawaih serta Imam
Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui As-Saddi, dari Addi ibnu Sabit,
dari Al-Barra meriwayatkan hal yang semisal. Imam Hakim mengatakan bahwa
hadis ini berpredikat sahih dengan syarat Bukhari dan Muslim, tetapi keduanya
tidak mengetengahkan hadis ini.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id
Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah, dari Israil, dari As-Saddi,
dari Abu Malik, dari Al-Barra sehubungan dengan firman-Nya: Dan janganlah
kalian memilih yang buruk-buruk, lalu kalian nafkahkan darinya, padahal kalian
sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata
terhadapnya. Al-Barra mengatakan, "Ayat ini diturunkan berkenaan dengan kami
(kalangan Ansar); di antara kami ada orang-orang yang memiliki kebun kurma.
Seseorang dari kami biasa mendatangkan sebagian dari hasil buah kurmanya
sesuai dengan kadar yang dimilikinya; ada yang banyak, dan ada yang sedikit.
Kemudian ada seorang lelaki (dari kalangan Ansar) datang dengan membawa
buah kurma yang buruk, lalu menggantungkannya di masjid. Sedangkan
golongan suffah (fakir miskin) tidak mempunyai makanan; seseorang di antara
mereka apabila lapar datang, lalu memukulkan tongkatnya pada gantungan buah
kurma yang ada di masjid, maka berjatuhanlah darinya buah kurma yang belum
masak dan yang berkualitas rendah, lalu memakannya. Di antara orang-orang
10

yang tidak menginginkan kebaikan memberikan sedekahnya berupa buah kurma


yang buruk dan yang telah kering dan belum masak, untuk itu ia datang dengan
membawa buah kurmanya yang buruk dan menggantungkannya di masjid. Maka
turunlah ayat berikut, yaitu firman-Nya: 'Dan janganlah kalian memilih yang
buruk-buruk, lalu kalian nafkahkan darinya, padahal kalian sendiri tidak mau
mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya'. Al-Barra
ibnu Azib mengatakan, "Seandainya seseorang di antara kalian diberi hadiah
buah kurma seperti apa yang biasa ia berikan, niscaya dia tidak mau
mengambilnya kecuali dengan memicingkan mata terhadapnya dengan perasaan
malu. Maka sesudah itu seseorang di antara kami selalu datang dengan
membawa hasil yang paling baik yang ada padanya."

Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Turmuzi, dari Abdullah ibnu
Abdur Rahman Ad-Darimi, dari Ubaidillah (yaitu Ibnu Musa Al-Absi), dari
Israil, dari As-Saddi (yaitu Ismail ibnu Abdur Rahman), dari Abu Malik Al-
Gifari yang namanya adalah Gazwan, dari Al-Barra, lalu ia mengetengahkan
hadis yang semisal. Selanjutnya Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini
hasan garib.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku,


telah menceritakan kepada kami Abul Walid, telah menceritakan kepada kami
Sulaiman ibnu Kasir, dari Az-Zuhri, dari Abu Umamah ibnu Sahl ibnu Hanif,
dari ayahnya, bahwa Rasulullah Saw. melarang menyedekahkan dua jenis kurma,
yaitu ju'rur dan habiq (kurma yang buruk dan kurma yang sudah kering).
Tersebutlah bahwa pada mulanya orang-orang menyeleksi yang buruk-buruk dari
hasil buah kurma mereka, lalu mereka menyedekahkannya sebagai zakat mereka.
Maka turunlah ayat ini, yaitu firman-Nya: Dan janganlah kalian memilih yang
buruk-buruk, lalu kalian nafkahkan darinya.

Imam Abu Daud meriwayatkannya melalui hadis Sufyan ibnu Husain,


dari Az-Zuhri. Kemudian ia mengatakan bahwa hadis ini disandarkan oleh Abul
Walid dari Sulaiman ibnu Katsir, dari Az-Zuhri yang artinya:

‚Rasulullah Saw. melarang memungut kurma ju'rur (yang buruk) dan kurma
yang telah kering sebagai sedekah (zakat)‛.
11

Imam Nasai meriwayatkan pula hadis ini melalui jalur Abdul Jalil ibnu
Humaid Al-Yahsubi, dari Az-Zuhri, dari Abu Umamah, tetapi ia tidak
menyebutkan dari ayahnya, lalu ia menuturkan hadis yang semisal. Hal yang
semisal telah diriwayatkan pula oleh Ibnu Wahb, dari Abdul Jalil.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku,


telah menceritakan kepada kami Yahya ibnul Mugirah, telah menceritakan
kepada kami Jarir, dari Ata ibnus Saib, dari Abdullah ibnu Mugaffal sehubungan
dengan ayat ini: Dan janganlah kalian memilih yang buruk-buruk, lalu kalian
nafkahkan darinya. Ia mengatakan bahwa usaha yang dihasilkan oleh seorang
muslim tidak ada yang buruk, tetapi janganlah ia menyedekahkan kurma yang
berkualitas rendah dan uang dirham palsu serta sesuatu yang tidak ada kebaikan
padanya (barang yang tak terpakai).

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id,


telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Hammad (yakni
Ibnu Sulaiman), dari Ibrahim, dari Al-Aswad, dari Siti Aisyah yang telah
menceritakan: Pernah Rasulullah Saw. mendapat kiriman daging dab (semacam
biawak), maka beliau tidak mau memakannya dan tidak pula melarangnya. Aku
(Siti Aisyah) berkata, "Wahai Rasulullah, bolehkah kami memberikannya kepada
orang-orang miskin agar dimakan oleh mereka?" Beliau Saw. menjawab,
"Janganlah kalian memberi makan mereka dengan makanan yang tidak pernah
kalian makan."

Kemudian ia meriwayatkan pula hal yang semisal dari Affan, dari


Hammad ibnu Salamah; aku (Siti Aisyah) berkata, "Wahai Rasulullah, bolehkah
aku memberikannya kepada orang-orang miskin (agar dimakan mereka)?" Beliau
menjawab, "Janganlah kalian memberi makan mereka dengan makanan yang
tidak pernah kalian makan."

As-Sauri meriwayatkan dari As-Saddi, dari Abu Malik, dari Al-Barra


sehubungan dengan firman-Nya: Padahal kalian sendiri tidak mau mengambilnya
melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Ia mengatakan, "Seandainya
seorang lelaki mempunyai suatu hak atas lelaki yang lain, lalu si lelaki yang
berutang membayar utangnya itu kepada lelaki yang memiliki piutang, lalu ia
12

tidak mau menerimanya, mengingat apa yang dibayarkan kepadanya itu


berkualitas lebih ren-dah daripada miliknya yang dipinjamkan." diriwayatkan
oleh Ibnu Jarir.

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan
firman-Nya: Padahal kalian sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan
memicingkan mata terhadapnya. Ibnu Abbas mengatakan, "Seandainya kalian
mempunyai hak atas seseorang, lalu orang itu datang dengan membawa hak
kalian yang kualitasnya lebih rendah daripada hak kalian, niscaya kalian tidak
mau menerimanya karena kurang dari kualitas yang sebenarnya." Selanjutnya
Ibnu Abbas mengatakan bahwa demikian pula makna yang terkandung di dalam
firman-Nya: melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Maka
bagaimana kalian rela memberikan kepadaku apa-apa yang kalian sendiri tidak
rela bila buat diri kalian, hakku atas kalian harus dibayar dengan harta yang
paling baik dan paling berharga pada kalian.

Astar ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir, dan
ditambahkan dalam riwayat ini firman Allah Swt lainnya, yaitu: Kalian sekali-
kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kalian
menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai. (Ali Imran: 92)

Kemudian diriwayatkan pula hal yang semisal dari jalur Al-Aufi dan lain-
lainnya dari Ibnu Abbas. Hal yang sama diriwayatkan pula bukan hanya oleh
seorang imam saja.

Firman Allah Swt.: ‚wa i’lamu> anna Allaha Ghaniyyun Hamid‛ (Dan
ketahuilah bahwa Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji.) Dengan kata lain,
sekalipun Dia memerintahkan kepada kalian untuk bersedekah dengan harta
kalian yang paling baik, pada kenyataannya Dia tidak memerlukannya. Dia
Mahakaya dari itu. Tidak sekali-kali Dia memerintahkan demikian melainkan
hanya untuk berbagi rasa antara orang yang kaya dan orang yang miskin.

Allah Mahakaya dari semua makhluk-Nya, sedangkan semua makhluk-


Nya berhajat kepada-Nya. Dia Mahaluas karunia-Nya, semua yang ada padanya
tidak akan pernah habis. Maka barang siapa yang mengeluarkan suatu sedekah
dari usaha yang baik (halal), perlu diketahui bahwa Allah Mahakaya, Mahaluas
13

pemberian-Nya, lagi Mahamulia dan Maha Pemberi; maka Dia pasti akan
membalasnya karena sedekahnya itu, dan Dia pasti akan melipatgandakan
pahalanya dengan penggandaan yang banyak. Siapakah yang mau memberikan
pinjaman kepada Tuhan Yang Mahakaya lagi tidak pernah aniaya? Dia Maha
Terpuji dalam semua perbuatan, ucapan, syariat,dan takdirnya. Tidak ada Tuhan
selain Dia, dan tidak ada Rabb selain Dia.

6. Kandungan dan Hikmah Ayat

Dari ayat tersebut dapat diambil beberapa hal dari yang terkandung di
dalamnya:

a) Hasil (yang dikeluarkan dari) bumi terbagi kedalam dua konteks; konteks
pertanian dan konteks pertambangan. Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengutip
pendapat Mujahid bahwa yang termasuk adalah juga emas dan perak (hasil
tambang). Meskipun Ibnu Katsir belum menyinggung secara detail mengenai
pertambangan sesuai dengan konteks yang ada saat ini, akan tetapi dari
redaksi ayat maka hasil pertambanganpun dapat tercakup dalam makna
kalimat ‚apa yang dikuluarkan dari bumi‛. Sedangkan dalam UUD 1945
Pasal 33 Ayat 3 menyatakan 'Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat'.
b) Dalam rangka mengentaskan kemiskinan, Al-Qur’an menganjurkan banyak
cara yang harus ditempuh, yang secara garis besar dapat dibagi pada tiga hal
pokok, yakni kewajiban setiap individu, kewajiban masyarakat dan kewajiban
pemerintah; (1) Kewajiban individu tercermin dalam kewajiban bekerja dan
berusaha; (2) Kewajiban orang lain tercermin pada jaminan satu rumpun
keluarga, dan jaminan sosial dalam bentuk zakat dan sedekah wajib, (3)
Kewajiban pemerintah melindungi dan menjamin warganya agar hidup adil
dan sejahtera.
c) Harta adalah anugerah dari Allah Swt yang harus disyukuri. Tidak semua
orang mendapatkan kepercayaan dari Allah Swt. untuk memikul tanggung
jawab amanah harta benda. Karenanya, ia harus disyukuri sebab jika mampu
memikulnya, pahala yang amat besar menanti. Beberapa orang seringkali
merasa bahwa harta yang mereka peroleh adalah hasil jerih payah mereka
14

sendiri. Ia seringkali menyangkal dan mengingkari saat diingatkan tentang


anjuran bersedekah dan kewajiban mengeluarkan zakat dengan timbulnya
perasaan tersebut.
d) Harta adalah amanah dari Allah Swt yang harus dipertanggungjawabkan.
Setiap kondisi, entah baik atau pun buruk yang kita alami sudah menjadi
ketentuan dari Allah Swt., dan mesti kita hadapi secara baik sesuai dengan
keinginan yang memberi amanah.
e) Harta adalah ujian. Ujian bukan hanya kemiskinan, tetapi kekayaan juga
merupakan ujian. Persoalannya bukan pada kaya atau miskin, tetapi
persoalannya adalah bagaimana menghadapinya. Karena Allah ingin
mengetahui siapa yang terbaik amalannya.

B. Al-Baqarah Ayat 278


1. Teks Ayat

             

2. Terjemah Ayat
‚Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa
Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.‛

3. Mufrada>t

 : Bertakwalah

 : Tinggalkan

 : Yang tersisa

 : Riba

  : Jika kalian

 : Orang-orang yang beriman

4. Konteks Historis Turunnya Ayat


15

Allah melalui Nabi Muhammad SAW memberikan perintah kepada para


sahabat Nabi Muhammad untuk meninggalkan prilaku jahiliyah, memungut sisa
transaksi riba. Oleh karena itu, Allah menggunakan diksi dalam ayat tersebut
dengan kata ‫( ما بقي من الربا‬sisa transaksi riba sebelumnya).

Ibnu Jarir mencantumkan sebuat riwayat: ‚Bercerita Abu Ja’far:


Disebutkan bahwa sesungguhnya ayat ini diturunkan berbicara soal kaum yang
masuk Islam sementara sebelumnya ia memiliki sisa transaksi riba yang belum
diambilnya. Mereka sudah menagih sebagiannya, sementara sebagian yang lain
belum sempat ditagih, lalu Allah mengampuni hal tersebut yang sudah terlanjur
dilakukan sebelumnya dan mengharamkan mengambil sisanya.‛7

Tradisi riba, menurut Imam Mujahid, sudah berkembang sejak zaman pra
Islam. Pada waktu itu, dalam tradisi masyararakat jahiliyah kalau orang yang
meminjam dan sudah jatuh tempo tetapi belum mampu melunasinya, maka pihak
pemberi hutang akan menambahkan nominal hutangnya sebagai konsekuensi atas
keterlambatan pelunasan. Jadi, pihak penghutang akan mengembalikan sejumlah
pokok hutang beserta dengan bunga sesuai lamanya masa pinjaman.

Menurut Atha’ sebuah riwayat dari Zaid bin Aslam, Ibnu Juraij, Muqatil
bin Hayan dan as-Suddi menyebutkan bahwa sebuah ayat mengnai riba
diturunkan berkenaan dengan Bani ‘Amr bin Umair dari suku Tsaqif, dan Bani
Mughirah dari Bani Makhzum. Ayat tersbut adalah surat Ali Imran 1ayat 130-
131, sedangkan ayat ini turun sebelum Al-Baqarah ayat 278.

Di antara mereka telah terjadi praktek riba pada masa jahiliyah. Setelah
Islam datang dan mereka memeluknya, suku Tsaqif meminta untuk mengambil
harta riba itu dari mereka. Kemudian mereka pun bermusyawarah, dan Bani
Mughirah pun berkata: ‚Kami tidak akan melakukan riba dalam Islam dan
menggantikannya dengan usaha yang disyariatkan. Kemudian Utab bin Usaid,
pemimpin Makkah, menulis surat membahas mengenai hal itu dan
mengirimkannya kepada Rasulullah maka turunlah ayat tersebut.8

7
Ibnu Jarir At-Thabari, Tafsīr at-Thabari, (Beirut: Dar al-Ma’arif, tt.), Juz 6, 23
8
Ash Shabuni, Mukhtashar Tafsi>r, 257
16

Dari beberapa riwayat tersebut dapat disimpulkan bahwa tradisi riba telah
mengakar dalam kaum jahiliyah. Dengan datangnya ayat ini sebagai ayat terakhir
yang turun tentang riba, maka mereka diharuskan menghapuskan semua praktek
riba yang pernah dilakukan. Pada surat Ali Imra>n ayat 130-131 yang turun
mengenai praktek riba yang pernah dilakukan Bani Tsaqif kepada Bani
Mughirah, dapat terlihat mengakarnya tradisi ini. Kemudian dengan turunnya
surat Al-Baqarah ayat 278 ini Allah telah menegaskan terakhir kalinya agar
meninggalkan praktek riba tersebut secara total.

5. Penafsiran Ayat

Allah berfirman seraya memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman


untuk bertakwa kepada-Nya sekaligus melarang mereka mengerjakan hal-hal
yang dapat mendekatkan kepada kemurkaan-Nya dan menjauhkan dari
keridhaan-Nya, di mana Dia berfirman: ya> ayyuha> ladzi>na a>manu> ittaqu Allah
(Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah). Maksudnya, takutlah
kalian kepada-Nya dan berhati-hatilah, karena Dia senantiasa mengawasi segala
sesuatu yang kalian perbuat.

Wa dzaru> ma> baqiya min ar-riba> (‚Dan tinggalkan sisa riba [yang belum
dipungut].‛) Artinya, tinggalkanlah harta kalian yang merupakan kelebihan dari-
pokok yang harus dibayar orang lain, setelah datangnya peringatan ini.

In kuntum mu’mini>n (‚Jika kalian orang-orang yang beriman.‛) Yaitu,


beriman kepada syariat Allah, yang telah ditetapkan kepada kalian, berupa
penghalalan jual beli, pengharaman riba, dan lain sebagainya.9

Ayat ini merupakan peringatan keras dan ancaman yang sangat tegas bagi orang
yang masih tetap mempraktekkan riba setelah adanya peringatan tersebut.

6. Kandungan dan Hikmah Ayat

Dari beberapa pembahasan asba>b an-nuzu>l dan penafsiran ayat yang telah
disebutkan di atas, kandungan ayat ini antara lain:

9
At-Thabari, Tafsīr at-Thabari, Juz 6, 23
17

a) Adanya pelarangan riba dalam transaksi bertujuan untuk menghindari


terjadinya ketimpangan di masyrakat. Di mana orang yang melakukan
transaksi riba secara tidak sadar telah merugikan dan mamakan harta orang
lain dengan cara yang tidak halal. Maka dari itu, Al-Quran melarang keras
umat Islam melakukan riba dan akan memberikan hukuman yang tegas
kepada pelaku riba.
b) Mengenai definisi riba dan dan macamnya (dalam perkembanganfikih saat
ini), untuk membatasi pembahasan, maka ayat ini diturunkan dalam sebab
khusus pada kasus riba dain atau riba hutang-piutang. Sedangkan riba yang
ada dalam konstelasi pasar dunia saat ini seperti bank, pegadaian, dan
koperasi simpan pinjam, maka dikecualikan dari pembahasan ini. Adapun jika
ayat riba dalam Al-Qur’an diberlakukan secara mutlak maka seluruh praktek
riba adalah terlarang.
c) Praktek-praktek riba yang ada saat ini mengalami sebuah liquidity dimana
modus dana simpan-pinjam menjadi trend untuk berlangsungnya praktek riba.
Liquidity yang dimaksud adalah bahwa riba ini telah menjadi sebuah
komoditas yang digunakan meraup keuntungan. Ia dianggap sebagai aset
untuk mengembangkan kekayaan. Melalui ayat ini seharusnya telah final
tentang haramnya riba.
d) Sebagian ulama’ yang berhati-hati (wara’) menghindari menggunakan jasa
bank dan lainnya yang berpotensi berbau riba. Hal ini tidak terlepas dari
persepsi kemutlakan makna ayat untuk mengharamkan praktek riba sekecil
apapun. Namun untuk menghindari riba pada masa kini, bisa jadi, dirasakan
sebagai hal yang sulit, atau bisa pula tidak sulit jika memurnikan diri dengan
menghindari kemajuan zaman.
18

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Al-Baqarah ayat 267


a) Ayat tersebut memiliki latar historis tentang seseorang atau tradisi
masyarakat dalam memberikan sedekah atau membayar zakat dengan barang
yang buruk.
b) Penafsiran dari ayat ini, bahwa ia berkenaan dengan anjuran agar jangan
memberikan barang yang buruk untuk sedekah ataupun zakat. Ayat ini
merupakan peringatan agar seseorang berkasih sayang terhadap orang lain
sebagaimana mengasihi diri sendiri.
c) Sebagai hikmah ayat tersebut, harta adalah ujian dimana kita sebagai
manusia seharusnya menggunkan harta itu dengan baik untuk ketakwaan
kepada Allah.

2. Al-Baqarah ayat 278


a) Dengan konteks historis saat turunnya ayat, bahwa terjadi kasus penagihan
riba yang dilakukan pada masa jahiliyah, ayat ini turun sebagai ayat terakhir
yang melarang praktek riba tersebut.
b) Secara makna, ayat ini merupakan penekanan bahwa segala praktek riba yang
pernah dilakukan pada masa jahiliyah harus ditinggalkan dan mengikhlaskan
jika ada sisa riba yang belum dibayarkan.
c) Hikmah yang dapat diambil dari ayat ini adalah seharusnya kita berusaha
menghindari praktek riba. Meskipun hal itu dirasa sulit, tentu Allah memiliki
tujuan yang baik dengan turunnya ayat ini.
Ataukah ayat ini harus kita abaikan demi kemajuan perkembangan zaman?
Mungkin ini yang akan kita diskusikan.
19

B. Saran
1. Pembahasan yang disajikan dalam makalah ini baru sebagian kajian mengenai
asba>b an-nuzu>l. Masih banyak yang perlu digali dari kajian ini seperti mengenai
kritik sanad ataupun matan dari riwayat-riwayat yang ada.
2. Ayat-ayat yang terdapat penjelasannya dalam sumber-sumber kitab yang memuat
riwayat asba>b an-nuzu>l diyakini sebagai ayat-ayat yang memiliki sebab turun,
baik yang berupa kejadian ataupun tradisi. Akan tetapi hal itu tidaklah dapat
mengecualikan ayat-ayat yang tidak tercantum asba>b an-nuzu>l-nya dlaam kitab-
kitab tersebut. Karena setiap ayat tentu memiliki masing-masing konteks historis
turunnya. Untuk menggali itu, maka kita dapat membongkar buku-buku sejarah
untuk mengungkap baik secara umum maupun secara khusus mengenai konteks
historis yang ada berkenaan dengan ayat itu.
3. Bukan hal yang tidak mungkin untuk menarik dan mendudukkan konteks historis
saat ayat turun kedalam kontekstualisasi pada masa kini. Karena setiap hal,
bahkan yang kalkulus sekalipun, memiliki hubungan dengan nilai dan norma.
Nilai dan norma inilah yang diharapkan menjadi world view, sebuah pandangan
dunia yang global yang selaras dengan akal-budi manusia, sesuai fitrah yang telah
disisipkan oleh Allah. Oleh karena itu, dalam meneliti dan mengkaji asba>b an-
nuzu>l seyogyanya tidak terpaku pada sebab dan kasus yang khusus, tetapi pada
bagaimana ia menjadi nilai yang dapat menjadi manifestasi pemikiran yang
relevan dengan dunia yang global. ITU TUGAS KITA
20

DAFTAR PUSATAKA

Shabuni (Ash), Muhammad Ali, Mukhtashar Tafsi>r Ibn Katsir, Beirut: Dar al-Qur’an, tt.
Suyu>thi (As), Jala>l ad-Di>n, Luba>b an-Nuqu>l fi> Asba>b an-Nuzu>l, Beirut: Muassasah al-Kutub
ast-Tsaqafiyah, 2002.
Taufiq, Muhammad, Quran in Word versi 1.2.0, Add-Ins, Microsoft Word: Office 2007
Thabari (At), Ibnu Jarir, Tafsīr at-Thabari, (Beirut: Dar al-Ma’arif, tt.), Juz 6, 23

Anda mungkin juga menyukai