Anda di halaman 1dari 30

PERADABAN ISLAM

PADA MASA DINASTI ABBASIYAH KEDUA

MAKALAH

(REVISI)

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Sejarah Peradaban Islam

Oleh:

Muhammad Maghfur Amin


NIM. F12518226

Dosen Pengampu:

Dr. Hj. Nur Lailatul Musyafa’ah, Lc, M.Ag

ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA
2019
2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Segala sesuatu di dunia ini tidak ada yang tetap, yang tetap hanyalah
perubahan. Begitu pula dalam hal peradaban Islam yang lahir dengan berbagai
kondisi atmosfer ke-Islam-an yang heterogen. Beberapa rekam sejarah yang
menyebutkan awal kelahiran Islam hingga saat ini menampilkan beraneka gambaran
yang harus disimak satu-persatu.

Pada awal Islam, dalam hal kepemimpinan, Rasulullah yang menjadi figur
utama. Bahkan hampir setiap hal dalam kehidupan kaum muslimin merujuk pada
tingkah laku Nabi Muhammad. Jika diantara kaum muslimin terjadi perselisihan
maka akan ditanyakan langsung kepadanya. Keadaan tersebut berlangsung hanya
dalam masa kurang lebih 23 tahun.

Sepeninggal Nabi Muhammad, figur utama yang hati mereka bertaut


kepadanya sudah tidak ada. Kegaduhan penunjukan pemimpin bagi kaum muslimin
pun mulai terjadi. Bahkan setelah Abu Bakar ditunjuk sebagai pemimpin pengganti
peran Nabi Muhammad (khalifah), beberapa orang yang memendam keinginan
berkuasa menyingkap kedoknya masing-masing. Orang-orang itu menjadi kaum
murtad, hingga ada pula yang mengaku menjadi Nabi. Abu Bakar pun tidak tinggal
diam untuk kemudian memberangus mereka menuju pertaubatan.

Ada juga pergolakan yang muncul akibat ketidakpuasan kepemimpinan pada


masa khulafa’ ar-rasyidun. Sejak masa Umar bin Khattab kudeta pertama dilakukan.
Hal itu pun menjadi luka yang berkelanjutan. Puncaknya pada masa Ali bin Abi
Thalib. Arbitrase yang terjadi antara Ali dan Mu’awiyah telah terjadi, akan tetapi
menimbulkan kesepakatan yang timpang. Melalui peristiwa itu, suara umat pun
tepecah ke dalam golongan-golongan. Lahirlah Syi’ah yang fanatik terhadap Ali.
Terdapat pula kelompok lain sebagai sebagai oposisi, yang tidak puas dengan
perundingan tersebut, yang disebut dengan Khawarij. Kelompok Khawarij ini pun
menjadi kelompok yang merongrong pemerintah.
3

Sedangkan kelompok Mu’awiyah menjadi lawan politik kekuasaan putera


Ali, Hasan. Setelah kesepakatan terjadi dengan syarat-syarat yang diajukan oleh
Hasan, lahirlah satu pemerintahan yang dikukuhkan bagi Mu’awiyah. Namun
kesepakatan itu dikhianati oleh Mu’awiyah dengan melahirkan pemerintahan dinasti,
yakni Dinasti Umayyah.

Lahirnya masa dinasti dalam khilafah Islam serta-merta merubah arah


peradaban Islam. Kepemimpinan yang demokratis telah hilang. Perlawanan-
perlawanan terhadap khalifah pun terjadi ketika kebijakan semena-mena ditetapkan.
Seperti pergolakan politik-keagamaan pada masa khalifah Al-Ma’mun yang
mengakibatkan Imam Ahmad bin Hanbal ditangkap karena tidak mengakui ke-
makhluq-an Al-Qur’an.

Setelah Dinasti Umayah berakhir, dengan takluknya khalifah Al-Watsiq,


kepemimpinan berpindah ke Dinasti Abbasiyah. Bani Abbasiyah merasa lebih berhak
memegang kekuasaan. Penaklukkan pun dilakukan dengan kekuatan pasukan.
Dengan berbagai perubahan yang terjadi, dinasti ini memberikan sumbangsih yang
besar dalam kemajuan peradaban Islam pada masanya. Meskipun begitu,
pemerintahan Islam mengalami kemunduran. Dinasti-dinasti lain turut berdiri di
berbagai wilayah dan membentuk atmosfer pemerintahan yang penuh konflik dan
intrik, khususnya pada Dinasti Abbasiyah II.

Jika dilihat dari pengaruh pihak luar yang terjadi dalam pemerintahan,
Dinasti Abbasiyah II terbagi kedalam tiga periode. Masing-maing periode memiliki
gmbaran peta politik yang saling berbeda. Dinasti Abbasiyah, yang kekuasaanya
telah mencapai kurang lebih empat abad, pun harus terguling oleh invasi
internasional yang dilakukan oleh kerajaan Mongol.

Dengan melihat latar belakang di atas, dalam makalah ini akan dibahas
mengenai peradaban Islam pada masa Dinasti Abbasiyah II dengan berbagai kondisi
beberapa aspek yang melingkupinya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah yang akan
dijawab dalam makalah ini, sebagai berikut:
4

1. Bagaimana kondisi politik pada masa Dinasti Abbasiyah II?


2. Bagaimana hubungan antara agama dan negara pada masa Dinasti Abbasiyah II?
3. Apa saja kemajuan yang dicapai pada masa Dinasti Abbasiyah II?
4. Bagaimana berakhirnya Dinasti Abbasiyah II?

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui kondisi sosial-politik pada masa Dinasti Abbasiyah II.
2. Untuk mengetahui hubungan antara agama dan negara pada masa Dinasti
Abbasiyah II.
3. Untuk mengetahui kemajuan yang dicapai pada masa Dinasti Abbasiyah II.
4. Untuk mengetahui berakhirnya Dinasti Abbasiyah II.
5

BAB II

PEMBAHASAN

A. Kondisi Politik Dinasti Abbasiyah II

Sebagaimana dijelaskan di bagian pendahuluan bahwa lahirnya Abbasiyah


merupakan hasil dari kudeta dengan kekuatan pasukan. Pasukan tersebut merupakan
pasukan gabungan dari tentara Persia yang merasa terpinggirkan. Sehingga masa
Abbasiah I merupakan masa pengaruh Persia pertama. Masa Abbasiyah pertama juga
telah dimulai pembentukan tentara dari kalangan mamluk.

Pemerintahan pada masa Dinasti Abbasiyah II tersegmentasi berdasarkan


hegemoni politik internasional. Hegemoni tersebut menurut Sami Ibn Abdillah Ibn
Ahmad al-Maghluts, dalam Atlas Tarikh Daulah Abbasiyah, terbagi kedalam tiga
periode.1

1. Masa Pengaruh Bangsa Turki (232-334 H/847-946 M)

Masa pemerintahan yang termasuk di dalam segmen ini adalah masa


khalifah-khalifah berikut:2

No. Khalifah Masa Jabatan


1 Al-Mutawakkil Ja’far ibn Al-Mu’tashim 232-247 H

2 Al-Muntashir Billah Muhammad ibn Al- 247-248 H


Mutawakkil
3 Al-Musta’in Billah Ahmad ibn Al-Mu’tashim 248-252 H

4 Al-Mu’taz Billah Muhammad Abu Abdillah ibn 252-255 H


Al-Mutawakkil
5 Al-Muhtadi Billah Muhammad bin al-Watsiq ibn 255-256 H
Al-Mu’tashim
6 Al-Mu’tamid Alallah Ahmad ibn Al-Muwaffaq 256-279 H
Thalhah ibn Ja’far Al-Mutawakkil
7 Al-Mu’tadhad Billah Ahmad ibn Al-Muwaffaq 279-289 H
Thalhah ibn Ja’far Al-Mutawakkil
8 Al-Muktafa Billah Abu Muhammad Ali ibn Al- 289-295 H
Mu’tadhad
9 Al-Muqtadir Billah Abu Al-Fadhl Ja’far ibn 295-320 H
Muhammad
1
Sami Ibn Abdillah Ibn Ahmad al-Maghluts, Atlas Tarikh Daulah Abbasiyah, (Riyadh: Maktabah al-
Ubaikan, 2012), 153.
2
Ibid., 148.
6

10 Al-Qahir Billah Abu Manshur Muhammad ibn Al- 320-322 H


Mu’tadhad
11 Ar-Radhi Billah Abu Al-Abbas Muhammad ibn Al- 322-329 H
Muqtadir ibn Al-Mu’tadhad
12 Al-Muttaqi Lillah Abu Ishaq Ibrahim ibn Al- 329-333 H
Muqtadir
13 Al-Mustakfa Billah Abu Al-Qasim Abdullah ibn 333-334 H
Ali Al-Muktafa

Unsur Turki telah masuk pada masa pemerintahan Al-Ma’mun dan Al-
Mu’tashim. Pemerintahan Abbasiyah pada masa Al-Ma’mun adalah yang
pertama kali menggunakan tentara budak yang disebut mamluk. Tentara ini
didominasi oleh bangsa Turki tetapi juga dari bangsa lain, Barbar dari Afrika
Utara dan Slav dari Eropa Timur. Pada masa Al-Mu’tashim bangsa Turki adalah
orang-orang yang tidak berpendidikan namun sangat kuat sehingga Al-
Mu’tashim menyukai mereka. Setelah dia membangun kota Samara dan istana-
istana didirikan di sana, dia memberikan ruang yang luas untuk orang-orang
Turki. Pusat pemerintahan pun berubah dengan perluasan ke Samara.3

Setelah Al-Mu’tashim meninggal, kekuasaan didapuk bagi Al-Watsiq.


Kesalahan yang dilakukan Al-Watsiq adalah mengikuti gaya politik ayahnya, Al-
Mu’tashim dan pamannya, Al-Ma’mun. Dia melibatkan Mu’tazilah dan orang-
orang Turki. Segala urusan pemerintahan dia serahkan kepada para menteri dan
komandan yang berkebangsaan Turki.4

Kesalahannya yang lain adalah dia tidak menunjuk putera mahkota


sebagaimana tradisi sejak masa Dinasti Umayyah. Hingga dia meninggal tidak
ada putera mahkota yang ditentukan. Orang-orang Turki yang memiliki pengaruh
saat itu bersama para menteri mencari orang yang tepat untuk dijadikan
khalifah.5

Mereka membuat rekayasa agar Al-Mutawakkil diangkat menjadi


khalifah. Rekayasa yang mereka lakukan dengan cara memanggil anak Al-Watsiq
lalu memakaikan pakaian khilafah kepadanya. Namun dengan alasan pakaian itu
terlalu besar mereka mencopot kembali pakaian tersebut. Lalu pakaian itu

3
Ibid., 154.
4
Yusuf Al-Isy, Dinasti Abbasiyah, (Jakarta: Al-Kautsar, 2007), 105.
5
Ibid., 105.
7

dipakaikan kepada Al-Mutawakkil, dan ternyata sesuai. Akhirnya Al-Mutawakkil


mereka angkat menjadi khalifah.6

Khalifah Al-Mutawakkil, dengan pengaruh Turki yang merupakan


warisan dari pendahulunya, menyusun rencana untuk menghentikan gerakan-
gerakan bangsa Turki. Dia mencari sekutu-sekutu dari Baghdad dengan
sebelumnya memerangi Mu’tazilah terlebih dahulu untuk merebut simpati. Selain
itu ia mendekati pedagang, pengrajin dan petani dan memberikan modal kepada
mereka.7

Dia menjadikan rakyat sebagai sekutunya. Al-Mutawakkil dekat dengan


rakyatnya. Dia juga bersekutu dengan bangsa Arab. Bahkan ia mengundang
bangsa Arab untuk menjadi bagian pasukannya. Semua itu dilakukan untuk
menjauhkan bangsa Turki, dengan memperkuat hubungan dengan bangsa lain.

Namun kesalahan besar dilakukan oleh Al-Mutawakkil. Setelah ia


menghamburkan uang negara untuk membangun istana-istana, kota Samara dan
kota Al-Mutawakkilah. Gaji untuk pekerjanya pun tidak terpenuhi. Kemudian ia
berwasiat mewariskan tahta kerajaan kepada tiga anaknya yang masih kecil, Al-
Muntashir, Al-Mu’taz, dan Al-Muayyid. Al-Muntashir mendapat bagian yang
paling besar sebagai anak tertua. Pembagian itu pun menimbulkan perselisihan
anak-anaknya.8

Kemudian Al-Mutawakkil memihak Al-Mu’taz. Al-Muntashir dijauihi


oleh ayahnya hingga ia merasa terganggu oleh hal itu. Bangsa Turki mendekati
Al-Muntashir, bersekutu dengannya sehingga ketika Washif dan Bugha,
pemimpin bangsa Turki, merasa terancam mereka mengundang Al-Muntashir
untuk membunuh ayahnya. Al-Mutawakkil yang ditemui dalam keadaan mabuk
mereka bunuh di atas meja minuman.9

Dari sini tergambar bagaimana kondisi sosial-politik pada masa awal


Abbasiyah II dengan pengaruh Turki yang kental. Hal itu semakin terlihat dengan

6
Ibid., 106.
7
Ibid., 107.
8
Muhamad Suhail Thaqqusy, Tarikh ad-Daulah al-Abbasiyah, (Beirut: Dar an-Nafa’is, 2009), 163.
9
Al-Isy, Dinasti Abbasiyah, 109.
8

kematian Al-Muntashir yang tidak wajar setelah menjabat tidak lebih enam bulan
sebagai khalifah.

Terpilihnya khalifah selanjutnya, Al-Musta’in, pun tidak luput dari


rekayasa penguasa dari bangsa Turki, Washif dan Bugha. Mereka menjauhkan
kekuasaan dari anak-anak Al-Mutawakkil. Setelah Al-Musta’in terpilih,
pemerintahan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Penguasa lain dari bangsa
Turki berusaha membunuh Al-Musta’in. Al-Musta’in, Washif dan Bugha
bersepakat melarikan diri ke Baghdad. Mereka kemudian menjadikan Al-Mu’taz
sebagai khalifah.10

Pada masa Al-Mu’taz ia harus menghadapi peperangan dengan Al-


Musta’in yang berada di Baghdad. Al-Musta’in kalah, dia dikepung dalam jangka
waktu yang lama. Setelah bernegosiasi akhirnya terjadi kesepakatan bahwa Al-
Musta’in harus menyerahkan khilafah kepada Al-Mu’taz.11

Tidak berakhir di situ. Pada masa ini Al-Mu’taz tidak memelihara


hubungan baik dengan orang-orang Turki. Al-Mu’taz berpihak pada orang-orang
Fargana dan dan Tentara Maghraba. Lagi-lagi bangsa Turki yang merasa tidak
diperhatikan tidak terima. Mereka pergi kepadanya untuk meminta gaji. Karena
tidak bisa memberikan apa yang mereka minta, mereka pun menyerang istana.
Mereka membawa Al-Mu’taz dan menaruhnya di bawah terik matahari. Mereka
menyiksanya dengan jarum dan memaksanya agar menyerahkan khilafah kepada
anak Al-Watsiq, Al-Muhtadi. Setelah itu mereka membunuh Al-Mu’taz.12 Ada
pula yang mengatakan ia dipenjara hingga mati karena kelaparan.13

Al-Muhtadi pun bernasib sama seperti khalifah terdahulu. Meskipun ia


terkenal sebagai orang yang bertakwa dan mencintai kebaikan, usahanya
menyingkirkan Turki tidaklah berjalan mulus. Dia berusaha menyingkirkan Turki
dengan kekerasan. Pada awalnya bangsa Turki tidak ada yang berani melawan,
namun setelah pemimpin mereka, Baikbak, terbunuh mereka menyerang dan

10
Ibid., 121.
11
Thaqqusy, Tarikh ad-Daulah…, 165.
12
Al-Isy, Dinasti Abbasiyah, 122.
13
Al-Maghluts, Atlas Tarikh…, 154.
9

membunuhnya. Bangsa Turki pun mengukuhkan Al-Mu’tamad Ahmad ibn


Mutawakkil sebagai khalifah.14

Masa Khalifah Al-Mu’tamad dipenuhi dengan konflik dalam bangsa


Turki. Mereka tidak sanggup lagi mengatur pos-pos menteri sehingga
mengembalikan pengaturannya pada khalifah. Khalifah pun melihat itu sebagai
kesempatan agar terjadi perselisihan dan kekacauan di antara mereka. Kekacauan
tersebut berlangsung selama sembilan tahun hingga Al-Muwaffaq bergabung
dalam pemerintahan dan merangkul bangsa Turki. Dan pada saat itu revolusi
Zang terjadi, dengan pemimpinanya yang bernama Bahbudz atau Muhammad ibn
Ali. Al-Muwaffaq melakukan perannya melawan revolusi Zang dan berhasil
mengusir pemberontak tersebut.15

Pada masa Al-Mu’tadhad terjadi revolusi Qaramithah. Gerakan revolusi


ini berhasil dituntaskan setelah propaganda berlangsung lama hingga revolusi
kedua yang terjadi pada tahun 289 H. berhasil diselesaikan. Khalifah setelahnya,
Al-Muktafa, melanjutkan prestasi Al-Mu’tadhad dengan menghentikan gerakan
Qaramithah di Syam dan Irak.16 Setelah itu kejayaan kembali pada Abbasiyah.
Perbaikan ekonomi mulai dilakukan.

Namun kekacauan politik internal terjadi. Perebutan kekuasaan antara Al-


Qahir dan Al-Muqtadir berakhir dengan terbunuhnya Al-Muqtadir. Al-Qahir
berkuasa selama dua tahun. Aktifitas pertama Al-Qahir adalah melenyapkan
pemerintahan para wanita yang muncul pada masa Al-Muqtadir yang berlindung
di balik Mu’nas. Setelah Al-Muqtadir meninggal, Mu’nas tetap bertahan di
pemerintahan dengan perdana menterinya, Ibnu Muqlah. Para tentara dan
masyarakat diprovokosai oleh Ibnu Muqlah untuk menggulingkan khalifah
setelah mencium konspirasi khalifah untuk memecah belah para tentara. Mereka
akhirnya memenjarakan khalifah Al-Qahir.17

Ahmad ibn Al-Muqtadir yang bergelar Ar-Radhi diangkat sebagai


khalifah dengan Ibnu Muqlah sebagai salah satu menterinya. Amirul Umara’

14
Al-Isy, Dinasti Abbasiyah, 123.
15
Ibid., 123-124.
16
Ibid., 173.
17
Ibid., 190-191.
10

Muhammad ibn Ra’iq berusaha menyingkirkan Ibnu Muqlah dari kementerian.


Hingga jatuhlah Ibnu Muqlah dari jabatannya karena hanya memiliki sedikit
harta. Keadaan ekonomi merosot dan menteri yang silih berganti tidak dapat
mengatasinya.18

Selain itu gerakan-gerakan yang ingin memisahkan diri dari Abbasiyah


bermunculan. Dinasti-dinasti lain pun lahir, seperti Buwaih pada tahun 321 H,
yang meskipun invasi mereka belum sampai di Baghdad. Hingga pada masa
pemerintahan Al-Mustakfa, Bani Buwaih masuk dan menguasai pemerintahan.

2. Masa Pengaruh Dinasti Buwaih, Persia (334-447 H/946-1056 M)

Khalifah-khalifah yang mengalami masa ini antara lain:19

No. Khalifah Masa Jabatan

13 Al-Mustakfa Billah Abu Al-Qasim Abdullah ibn 333-334 H


Ali Al-Muktafi
14 Al-Muthi’ Lillah Al-Fadhl ibn Ja’far Al-Muqtadir 334-363 H

15 Ath-Tha>’I’ Lillah Abdul Karim ibn Al-Fadhl Al- 363-381 H


Muthi’
16 Al-Qadir Billah Ahmad ibn Ishaq Al-Muqtadir 381-422 H
17 Al-Qa’im Bi Amrillah Abdullah ibn Al-Qadir 442-487 H

Pengaruh Buwaih dalam pemerintahan Abbasiyah ini masuk saat masa


akhir Al-Mustakfa.20 Sistem pemerintahan pada masa ini mengalami
kemerosotan yang parah. Khalifah Abbasiyah hanya menjadi boneka bagi Dinasti
Buwaih. Kita bisa melihat gambaran itu pada uraian-uraian berikutnya dalam
makalah ini.

Bani Buwaih mengaku bahwa mereka adalah keturunan Bahram Jur, salah
seorang raja Sasan. Klaim tersebut tidaklah benar. Sebagian sejarawan
mengatakan bahwa mereka bukan dari Iran.21 Bani Buwaih berawal dari tiga
bersaudara; Ali, Hasan dan Ahmad. Mereka adalah putra Abu Syuja’ Buwaih,
pencari ikan di desa Dailam. Mereka memasuki dinas militer dengan bergabung

18
Ibid., 192.
19
Al-Mughluts, Atlas Tarikh…, 149-150.
20
Ibid., 257.
21
Al-Isy, Dinasti Abbasiyah, 198.
11

dalam pasukan Makan ibn Kali. Kemudian berpindah untuk bergabung dengan
pasukan Mardawij ibn Zayyar Ad-Dailamy, karena pamor Abu Syuja’ memudar.
Oleh Mardawij, Ali diangkat sebagai gubernur Al-Karaj karena prestasinya.
Sedangkan dua saudaranya juga menerima jabatan penting. Dari sinilah
kekuasaan dirintis oleh Bani Buwaih. Ali berhasil melakukan ekspansi ke daerah-
daerah yang berada dalam wilayah Persia. Hingga berikutnya mereka menuju
Baghdad untuk merebut kekuasaan.22

Mereka bermadzhab Syi’ah Zaidiyyah. Oleh karena itu setelah Abbasiyah


mereka kuasai sebenarnya mereka memiliki keinginan untuk mendatangkan
khalifah dari Syi’ah Zaidiyyah. Akan tetapi pada kenyataannya mereka menerima
kekhilafahan Bani Abbasiyah. Hal yang kontradiktif tersebut mereka putuskan
setelah melihat iklim politik keagamaan Dinasti Abbasiyah.23

Bani Buwaih memiliki pandangan yang jauh. Semula Ahmad bin Buwaih
bermusyawarah untuk menunjuk keluarga Ali sebagai khalifah. Namun di antara
mereka berpendapat jika keluarga Ali yang ditunjuk maka justru akan
mengancam pengaruh Bani Buwaih. Sedangkan jika khalifah tetap pada
Abbasiyah maka akan dapat mudah dikendalikan. Oleh pertimbangan tersebut
Ahmad Buwaih mengurungkan niatnya dan tetap membiarkan khilafah kepada
Dinasti Abbasiyah.24

Selain itu kondisi keagamaan yang ada dalam kehidupan masyarakat


Abbasiyah adalah madzhab Sunni. Kekuatan Abbasiyah yang utama adalah
orang-orang Sunni, yang tersebar di Irak. Mengganti khalifah dari orang Sunni
dengan orang dari Syi’ah tidak akan diterima. Karena itu Bani Buwaih
membiarkan khalifah tetap pada Dinasti Abbasiyah yang akan memberikan
keuntungan bagi dirinya.25

Dalam kehidupan politik Bani Buwaih tidah menghiraukan besarnya


pengaruh Abbasiyah dalam khazanah peradaban Islam. Mereka bertindak

22
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), 69.
23
Ibid., 198.
24
Al-Isy, Dinasti Abbasiyah, 199.
25
Ibid., 200 .
12

semena-mena terhadap penguasa yang ada dan tidak memiliki rasa hormat
kepada khalifah.

Mereka melarang khalifah memperoleh pendapatan dan dialirkan untuk


meraup kekayaan untuk diri mereka. Mereka hanya memberikan dana khalifah
sebesar lima ribu dirham pada masa Al-Mustakfa. Sedangkan pada masa Al-
Muthi’ gaji khalifah dikurangi menjadi dua ribu dirham saja. pada masa ini,
khalifah benar-benar diperas hartanya.26

Khalifah hanya menjadi simbol luar saja. Khalifah tidak berhak


mengangkat menteri, karena yang menentukan adalah raja Buwaih sendiri.
Namun dalam hal keagamaan, khalifah lah yang bertindak. Khalifah yang
mengangkat hakim, mufti dan khatib. Jika orang Syi’ah ikut campur dalam
urusan keagamaan maka tidak diragukan rakyat akan berteriak memberontak.27

Jika dirangkum, karakteristik pemerintahan Bani Buwaih di Irak sebagai


berikut:28

1. Negara Buwaih telah menyerang pemerintahan Abbasiyah. Artinya dengan


takluknya Abbasiyah di tangan mereka, mereka harus menjadi pemeran dalam
kekuasaan negara Islam. Sedangkan kekuasaan Abbasiyah saat itu sangat
luas.
2. Markas kekuasaan dipindahkan dari Baghdad ke Syiraz.
3. Kemampuan negara Buwaih belum cukup untuk memimpin negara seluas
Abbasiyah.
4. Kepemimpinan terbagi kedalam wilayah-wilayah dan tidak ada yang sanggup
sendirian menjadi khalifah untuk seluruh negara yang mereka kuasai.
5. Tentara mereka tidak terdiri dari satu suku yang sama. Dalam tentara
tersebut ada dua kelompok suku yaitu Dailam dan Turki. Orang-orang
Dailam bermadzhab Zaidiyyah, sedangkan bangsa Turki bermadzhab Sunni.
Dengan karakter dan madzhab yang berbeda antara keduanya, tentu
menjadikan kesulitan dalam mengendalikan mereka tanpa perselisihan.

26
Ibid., 201.
27
Ibid., 202.
28
Al-Isy, Dinasti Abbasiyah, 200.
13

6. Dengan mewarisi kekacauan yang telah dialami oleh Abbasiyah tentu


menjadikan tantangan tersendiri bagi Buwaih.

Kondisi-kondisi di atas merupakan akar munculnya pemerintahan yang


tidak stabil dalam Bani Buwaih. Faktor internal dan eksternal yang ada dalam
kondisi tersebut merupakan latar belakang berakhirnya Bani Buwaih.

3. Masa Pengaruh Dinasti Saljuk, Turki (447-656 H/1055-1258 M)


Khalifah yang termasuk dalam masa ini adalah khalifah-khalifah berikut:29

No. Khalifah Masa Jabatan


17 Al-Qa’im Bi Amrillah Abdullah ibn Al-Qadir 422-467 H
18 Al-Muqtadi Bi Amrillah Abdullah ibn 467-487 H
Muhammad ibn Al-Qa’im
19 Al-Mustadzhir Billah Ahmad ibn Al-Muqtadi 487-512 H
20 Al-Mustarsyid Billah Al-Fadhl ibn Al- 512-529 H
Mustadzhir
21 Ar-Rasyid Billah Manshur bin Al-Mustarsyid 529-530 H
22 Al-Muqtafi Li Amrillah Muhammad ibn Al- 530-555 H
Mustadzhir
23 Al-Mustanjid Billah Yusuf ibn Al-Muqtafi 555-566 H
24 Al-Mustadhi’ Bi Amrillah Al-Hasan ibn Al- 566-575 H
Mustanjid
25 An-Nashir Li Dinillah Ahmad ibn Al-Hasan 575-622 H
Al-Mustadhi’
26 Adz-Dzahir Bi Amrillah Ahmad ibn Al- 622-623 H
Muqtadi
27 Al-Mustanshir Billah Manshur ibn Adz- 623-640 H
Dzahir
28 Al-Mu’tashim Billah Abdullah ibn Manshur 640-656 H
Al-Mustanshir

Dengan semakin melemahnya politik internal Bani Buwaih, gangguan


dari luar pun semakin banyak sehingga membawa kemunduran pengaruh Dinasti
ini. Semakin gencar serangan Byzantium ke dunia Islam, di sisi lain semakin
banyak dinasti-dinasti kecil melepaskan diri dari Baghdad. Dua faktor tersebut
mengakibatkan Bani Buwaih semakin terpuruk. Dinasti Saljuk pun akhirnya
berhasil merebut menaklukkan Bani Buwaih.

29
Al-Mughluts, Atlas Tarikh…, 150-151.
14

Bani Buwaih ditaklukkan oleh Bani Saljuk disebabkan adanya faktor


internal, yakni perebutan kekuasaan yang terjadi di dalam negeri. Al-Basasiri,
seorang panglima pada masa Al-Malik Ar-Rahim dari Bani Buwaih, merebut
kekuasaan khalifah. Dia berbuat semena-mena terhada Al-Malik Ar-Rahim dan
Khalifah Al-Qa’im dari Abbasiyah. Al-Basasiri mengundang khalifah Fatimiyyah
saat itu untuk menguasai Baghdad. Khalifah pun terdesak sehingga meminta
bantuan Tughrul Bek dari Saljuk. Permintaan itu pun ditindaklanjuti Saljuk,
Tughrul Bek memasuki Baghdad. Al-Malik Ar-Rahim yang merupakan khalifah
terakhir Bani Buwaih dipenjara. Berakhirlah masa pengaruh Bani Buwaih dan
dimulai masa Bani Saljuk dalam hegemoni terhadap Abbasiyah. 30

Awalnya dinasti Saljuk merupakan gabungan dari beberapa kabilah kecil


suku Ghuz yang tersebar di wilayah Turkistan. Mereka beragama Islam dengan
madzhab Sunni. Nama Bani Saljuk diberikan kepada mereka karena kabilah-
kabilah kecil itu disatukan oleh Saljuk ibn Tuqaq. Setelah lama ia mengabdi
kepada Raja Bequ sebagai tentara, Saljuk kemudian dipercaya menjadi pemimpin
tentara.31

Raja Bequ kemudian merasa khawatir kedudukannya terancam karena


melihat besarnya pengaruh Saljuk. Raja Bequ pun akhirnya berkeinginan
menyingkirkan Saljuk dari negerinya. Namun Saljuk mengetahui rencana Bequ.
Ia pun memberontak bersama pengikutnya bermigrasi ke daerah Jand, daerah
wara’ an-nahr Transoxania. Mereka tinggal disana atas izin penguasa Dinasti
Samaniyah.32

Dinasti Ghaznawiyah berhasil menang atas Dinasti Samaniyah. Saljuk


kemudian berani menyatakan memerdekakan diri. Sebagaian wilayah yang
sebelumnya dikuasai oleh Dinasti Samaniyah mereka taklukkan. Ketika Saljuk
meninggal, anaknya, Israil menggantikannya. Namun Israil dan penggantinya,
Mikail, ditangkap oleh penguasa Ghaznawiyah. Dinasti ini kemudian dipimpin
oleh Tughrul Bek. Di tangan Tughrul Bek penguasa Dinasti Ghaznawiyah
berhasil dia kalahkan. Tughrul Bek kemudian memproklamirkan berdirinya

30
Yatim, Sejarah Peradaban…, 72.
31
Ahmad Syalabi, Mausu’ah at-Tarikh al-Islami wa al-Hadharat al-Islamiyah, (Kairo: Maktabah An-
Nhdhah Al-Mishriyah, 1974), 426.
32
Yatim, Sejarah Peradaban…, 73.
15

Dinasti Saljuk. Pada saat masa kepemimpinan Tughrul Bek inilah Dinasti Saljuk
memasuki Baghdad. Tughrul Bek berhasil merebut daerah-daerah Marwa dan
Naisabur dari kekuasaan Ghaznawiyah, Jurjan, Tabaristan, Khawarizm, Ray dan
Isfahan.33

Kedudukan khalifah lebih baik setelah Dinasti Saljuk berkuasa.


Kewibawaan khalifah dalam bidang agama dikembalikan setelah direnggut
orang-orang Syi’ah, Bani Buwaih. Pusat pemerintahan yang dipilih Tughrul Bek
adalah Naisabur dan kemudian Ray. Sepeninggal Tughrul Bek berikutnya
Dinasti Saljuk dipegang berturut-turut oleh Alp Arselan, Maliksyah, Mahmud,
Barkiyaruq, Maliksyah II, Abu Syuja’ Muhammad dan Abu Haris Sanjar. 34

Ekspansi yang dilakukan sejak masa Tughrul Bek dilanjutkan pada masa
Alp Arselan yang berhasil mengalahkan tentara Romawi di Asia Kecil, yaitu
Byzantium. Dan mereka memanfaatkan itu untuk menanamkan gerakan pen-
Turki-an. Selanjutnya Kesultanan Saljuk telah berdiri di berbagai wilayah. Pada
masa Maliksyah wilayah kekuasaan Dinasti Saljuk sangat luas dari Kashgor,
ujung daerah Turki sampai ke Yerussalem. Wilayah itu dibagi menjadi lima
bagian;35

1. Saljuk Besar yang menguasai daerah Khurasan, Ray, Jabal, Irak, Persia dan
Ahwaz.
2. Saljuk Kirman berada berada di wilayah kekuasaan Qawurt Bek ibn Dawud.
3. Saljuk Irak dan Kurdistan, pemimpin pertemannya adalah Mughirs Al-Din
Mahmud.
4. Saljuk Syria dibawah kepemimpinan keluarga Tutush ibn Al-Arselan.
5. Saljuk Rum yang dipegang oleh keluarga Qutlumish ibn Israil.

Dalam sistem pemerintahan, Dinasti Saljuk jabatan perdana menteri yang


sebelumnya telah dihapus oleh Bani Buwaih dikembalikan. Jabatan ini

33
Ibid., 73.
34
Ibid., 74.
35
Ibid., 75. Lihat juga Philip K. Hitti History of the Arabs, (London: Macmillan, 1970), 410.
16

membawahi beberapa departemen. Kekuasaan Dinasti Saljuk pada tahun 590


H/1199 M berakhir ditangan Khawarizm Syah.36

B. Analisis Hubungan Agama dan Negara pada Masa Dinasti Abbasiyah II

Dari segi politik memang dinasti ini sangat lemah. Hal ini tidak terlepas dari
kemampuan pemimpin yang memegang kekuasaan. Melihat hegemoni yang
mencampuri pemerintahan Dinasti Abbasiyah II dari masa ke masa, kita dapat
menemukan satu titik putih tentang hubungan agama dan negara di dalamnya.
Hubungan antara agama dan negara saat itu memperlihatkan fanatisme golongan
keagamaan tertentu. Sebelumnya pengaruh Mu’tazilah sangat kuat hingga menjadi
madzhab resmi negara. Yang nampak saat pengaruh Turki adalah madzhab Sunni,
karena anggota mayoritas masyarakat dan kekuatan Abbasiyah dikuasai Turki
meskipun sebagai kelompok tentara budak (mamluk) yang berpusat di Samarra.

Masa khalifah Al-Mutawakkil sangat nampak politik kemadzhaban yang


dilakukan olehnya. Ketika dia berusaha merebut simpati Baghdad dengan melakukan
penyerangan terhadap Mu’tazilah dan membebaskan golongan Sunni yang ditawan.
Sedangkan yang dilakukannya itu untuk menggalang kekuatan untuk menyingkirkan
bangsa Turki dari pemerintahan Abbasiyah.

Sebagai negara Islam yang bermadzhab Sunni, mereka menekan madzhab


yang berseberangan hingga tidak dapat memiliki pengaruh dalam pemerintahan.
Madzhab Syi’ah dan pemikiran Mu’tazilah disingkirkan dari pemerintahan.
Permainan politik bangsa Turki dilakukan di balik layar dan tidak menampilkan
aroma keagamaan. Teriakan memberontak yang dilakukan oleh bangsa Turki pada
saat masa khalifah Al-Mu’taz misalnya, merupakan pemberontakan yang didasari
karena tidak terpenuhinya hak ekonomi. Ketika itu mereka menuntut gajinya yang
belum diberikan, rakyat seakan-akan membiarkan hal itu terjadi.

Setelah Turki takluk\, Dinasti Buwaih yang berkuasa selanjutnya


memperhatikan politik fanatisme kemadzhaban rakyat Abbasiyah dengan menganulir
penggantian kekhalifahan. Ketika itu Ahmad ibn Buwaih mengubah keinginannya
untuk menunjuk khalifah dari golongan Syi’ah. Hal ini menunjukkan bahwa Dinasti

36
Yatim, Sejarah Peradaban.., 76.
17

Buwaih saat itu memiliki kekhawatiran bahwa rakyat akan memberontak jika
keagamaan mereka terusik dengan pergantian tersebut. Adanya fanatisme ini
mencolok ketika penguasa Buwaih tidak berani ikut campur dalam pengangkatan
jabatan yang berhubungan dengan bidang keagaman. Seperti dalam hal pengangkatan
hakim, mufti dan khatib maka yang melakukan tetaplah khalifah Abbasiyah. Hal ini
tidak terlepas karena khalifah sudah dianggap sebagai jabatan keagamaan yang
sakral yang tidak bisa diganggu gugat.

Pada masa di bawah pengaruh Turki yang kedua, Dinasti Abbasiyah tetap
bertahan bahkan banyak terjadi perkembangan bidang keilmuan. Dinasti Saljuk yang
bermadzhab Sunni secara tidak langsung tidak akan menimbulkan konflik
keagamaan di masyarakat. Karena masyarakat yang di dalamnya mayoritas
menganut madzhab Sunni.

Dari sikap-sikap keagamaan tersebut dapat ditarik suatu hepotesa bahwa


hubungan erat antara agama yang bersimbol kemadzhaban berpengaruh besar dalam
penentuan arah politik Abbasiyah. Di samping itu Dinasti Abbasiyah tetap
dipertahankan kekhilafahannya meski dalam taklukan bangsa lain. Kekuatan politik-
agama tidak bisa dianggap remeh sebab khalifah adalah jabatan keagamaan yang
sakral pada masa itu.

C. Kemajuan yang Dicapai pada Masa Dinasti Abbasiyah II

Pada masa politik Turki dalam kekuasaan Abbasiyah, kemajuan dan


perkembangan terpangkas oleh konflik internal. Fanatisme kebangsaan dan
kemadzhaban menyiratkan politik yang tidak sehat. Sehingga kemajuan dan
pencapaian pada masa ini tidak banyak terlihat selain pada penguatan militer yang
profesional.

Dalam bidang keilmuan, masa ini lahir beberapa ulama’ yang cukup
berpengaruh. Meskipun dalam situasi politik yang seperti itu, geliat ulama’ dalam
menyebarkan keilmuan tetap hidup dan berkembang. Imam Ahmad ibn Hanbal (789-
855 M) adalah salah satu imam madzhab yang mengalami kehidupan pada masa awal
Abbasiyah II. Ahmad ibn Hanbal yang sebelumnya telah mengalami persekusi hingga
dipenjara pada masa Al-Ma’mun akhirnya dibebaskan oleh Al-Mutawakkil setelah
menumpas Mu’tazilah di Baghdad. Selain itu banyak juga imam madzhab lain yang
18

lahir pada massa Abbasiyah II, namun pemikiran dan madzhab itu tidak banyak
diikuti.

Aliran teologi yang lahir pada masa Abbasiyah II adalah Asy’ariyah oleh Abu
Al-Hasan Al-Asy’ari (873-935 M). Pemikirannya sedikit banyak tercampur dengan
logika Yunani karena sebelumnya Al-Asy’ari adalah pengikut Mu’tazilah.
Sedangkan mudawwin dan ahli hadits banyak yang hidup pada masa-masa politik
Islam di Baghdad dalam pengaruh Turki I, diantaranya Imam Bukhari (w. 256 H),
Imam Muslim (w. 261 H), Ibnu Majah (w. 275 H), Abu Daud (w. 275) Ad-Darimi (w.
280 H), At-Tirmidzi (w. 295) dan lainnya.

Dalam bidang keilmuan lain pun banyak ulama’ yang muncul dengan karya-
karya monumentalnya. Hal ini menunjukkan bahwa pintu yang diberikan oleh
penguasa dinasti dalam bidang keilmuan terbuka lebar. Dan kemajuan dalam bidang
keilmuan dan peradaban Islam menjadi tonggak utama dalam dinasti kerajaan Islam
masa Abbasiyah II dalam pengaruh Turki.

Pada masa Bani Buwaih juga banyak bermunculan ilmuwan besar,


diantaranya Al-Farabi (w. 950 M), Ibn Sina (980-1037 M), Al-Farghani, Abd Ar-
Rahan Ash-Shufi (w. 986 M), Ibnu Miskawaih (w. 1030 M), dan Abu Al-A’la Al-
Ma’arri (973-1057 M). Jasa Bani Buwaih juga terlihat dengan pengembangan
infrastruktur. Kanal-kanal dibuat, masjid dan rumah sakit dan fasilitas umum lainnya
didirikan. Kemajuan tersebut sejalan dengan tingkat perekonomian, perdagangan,
industri dan pertanian yang berkembang.37

Masa setelahnya yakni masa penguasa Saljuk mengembalikan jabatan menteri


setelah dihapus pada masa Buwaih. Pada masa Alp Arselan, ilmu pengetahuan dan
agama mulai mengalami perkembangan. Masa kemajuannya yaitu pada masa Sultan
Maliksyah dengan perdana menterinya yang cakap, Nizham Al-Mulk. Ia pencetus
berdirinya Universitas Nizhamiyah pada tahun 1065 M. Selain itu juga diresmikan
berdirinya Madrasah Hanafiyah di Baghdad. Sedangkan di kota Irak dan Khurasan
didirikan cabang-cabang dari Nizhamiyah. Philip K. Hitti menyebutkan,

37
Yatim, Sejarah Peradaban…, 71.
19

sebagaimana yang dikutip oleh Badri Yatim, Univesitas Nizhamiyah inilah yang
menjadi percontohan bagi perguruan tinggi pada masa setelahnya.38

Sementara itu pemerintah memberikan perhatian besar dalam bidang ilmu


pengetahuan sehingga terlahir banyak ilmuan muslim saat itu. Ilmuwan yang lahir
pada masa itu antara lain; Az-Zamakhsyari yang merupakan seorang ahli di bidang
tafsir, Imam Ghazali dalam bidang teologi, dan Farid Ad-Din Al-Aththar dan Umar
Khayam dalam bidang sastra.

Dalam pembangunan fisik pun Bani Saljuk banyak berjasa. Pada masa
Maliksyah banyak masjid, irigasi, jalan raya dan jembatan dibangun. Hingga setelah
Sultan Maliksyah dan Nizham Al-Mulk meninggal Bani Saljuk berangsur-angsur
mengalami kemunduran.

D. Berakhirnya Dinasti Abbasiyah II


1. Faktor Internal Kemunduran Dinasti Abbasiyah II

Ada beberapa faktor penting sebagai sebagai sebab munculnya faktor


disintegrasi internal yang menyebabkan kemunduran Dinasti Abbasiyah, antara
lain:

- Sulitnya komunikasi pemerintahan pusat dengan daerah. Hal tersebut karena


wilayah kekuasaan yang sangat luas. Selain itu, juga kurangnya rasa saling
percaya antara kalangan penguasa dan pelaksana pemerintahan.
- Ketergantungan khalifah kepada angkatan bersenjata profesional sangat
tinggi.
- Keuangan negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara
bayaran sangat besar. Pada saat kekuatan militer menurun, khalifah tidak
sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.39

Dengan faktor-faktor tersebut terdapat beberapa faktor lain kemunduran


Abbasiyah sebagai berikut:

38
Ibid., 75.
39
Yatim, Sejarah Peradaban…, 67.
20

a. Persaingan antar Bangsa dan Perebutan Kekuasaan

Jika melihat sejarah awal berdirinya, Dinasti Abbasiyah didirikan oleh


Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan tersebut
dilatar belakangi oleh persamaan nasib kedua golongan, yang sama-sama
tertindas pada masa Bani Umayyah berkuasa. Setelah Abbasiyah berdiri,
orang-orang Arab yang menjadi warga kelas satu pada masa Umayyah pun
mulai merasa dipinggirkan. Dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan
persekutuan itu.40

Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka


menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula.
Sementara itu bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir di tubuh
mereka adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa
non-Arab ('ajam).

Dari segi wilayah, kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama sangat


luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda, seperti India, Irak, Maroko,
Mesir, Persia, Syria, dan Turki. Mereka memiliki keterikatan sebagai bangsa
Semit. Selain Islam, pada waktu itu tidak ada kesadaran yang merangkai
elemen-elemen yang bermacam-macam tersebut dengan kuat. Akibatnya,
fanatisme bangsa-bangsa muncul menyambut fanatisme ke-Arab-an yang
telah berakar sebelumnya.41

Sayangnya, penguasa seakan membiarkan fanatisme kebangsaan ini


terus berkembang. Sementara itu, para khalifah justru menjalankan sistem
perbudakan baru. Bangsa Persia atau Turki yang berstatus sebagai budak dan
mantan budak dijadikan pegawai dan tentara oleh khalifah. Mereka
dipautkan dengan ke-dinasti-an dan mendapat gaji yang cukup tinggi. Sistem
perbudakan ini telah mempertinggi pengaruh bangsa Persia dan Turki dalam
pemerintahan. Karena jumlah dan kekuatan mereka yang besar, mereka

40
Ibid., 81.
41
Ibid., 81.
21

merasa bahwa negara adalah milik mereka; mereka mempunyai kekuasaan


atas rakyat berdasarkan kekuasaan khalifah.42

Khalifah yang lemah naik takhta menggantikan Al-Mutawakkil,


dominasi tentara Turki tak terbendung lagi. Sejak itu kekuasaan Bani Abbas
sebenarnya sudah berakhir. Orang-orang Turki telah menguasai
pemerintahan. Posisi ini kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia
dan selanjutnya beralih kepada Dinasti Saljuk, sebagaimana diuraikan
terdahulu.

Persaingan antar bangsa menjadi benih pemberontakan hingga lahirlah


dinasti-dinasti yang memerdekakan diri dari kekuasaan Baghdad. Antara
Arab, Persia dan Turki persaingan tersebut juga menimbulkan perebutan
kekuasaan dari masa ke masa antara mereka. Di samping latar belakang
kebangsaan, dinasti-dinasti itu juga termotivasi oleh paham keagamaan,
dengan adanya Syi'ah maupun Sunni.

b. Pemberontakan Pemimpin Wilayah yang Memerdekakan Diri

Karena kebijakan yang lebih menekankan pembinaan peradaban dan


kebudayaan Islam dari pada persoalan politik, provinsi-provinsi tertentu di
pinggiran mulai lepas dari pengawasan penguasa Bani Abbas. Dengan
berbagai cara, di antaranya pemberontakan yang dilakukan oleh pemimpin
lokal, hingga mereka berhasil memperoleh kemerdekaan penuh.43

Kemunduran bidang politik sebenarnya sudah mulai terjadi di akhir


zaman Bani Umayyah. Akan tetapi terlihat perbedaan antara pemerintahan
Bani Umayyah dengan pemerintahan Bani Abbas. Wilayah kekuasaan Bani
Umayyah, mulai dari awal berdirinya sampai masa keruntuhannya, sejajar
dengan batas-batas wilayah kekuasaan Islam. Hal ini berbeda halnya jika
diterapkan pada pemerintahan Bani Abbas, bahkan dalam kenyataannya,
banyak daerah tidak dikuasai khalifah Abbasiyah. Daerah-daerah itu

42
Ahmad Amin, Dhuha Al-Islam, Jilid I, (Kairo: Lajnah At-Ta’lif Wa An-Nasyr, tt), 21.
43
Yatim, Sejarah Peradaban..., 63.
22

diserahkan pengawasannya kepada gubernur-gubernur provinsi. Sedangkan


hubungannya dengan khilafah ditandai hanya dengan pembayaran pajak.44

Ada kemungkinan bahwa terjadinya hal tersebut adalah karena para


khalifah Abbasiyah sudah cukup puas dengan pengakuan nominal dari
provinsi-provinsi, dengan pembayaran upeti. Namun ternyata banyak dari
wilayah yang tidak membayar upeti. Bisa jadi karena para khalifah tidak
cukup kuat untuk membuat mereka tunduk kepadanya. Selain itu, penguasa
Bani Abbas lebih menitikberatkan pembinaan peradaban dan kebudayaan
daripada politik dan ekspansi. Gerakan inilah yang banyak memberikan
inspirasi terhadap gerakan politik dengan mengadakan pemberontakan, di
samping adanya persoalan-persoalan keagamaan.45

Sebagaimana terlihat dalam periodesasi khilafah Abbasiyah, masa


kemunduran dimulai sejak periode kedua. Namun, sebenarnya faktor-faktor
penyebab kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benih
kemunduran sudah terlihat pada periode pertama, hanya karena khalifah pada
periode ini sangat kuat, benih-benih itu dapat ditekan. Apabila khalifah kuat,
para menteri cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil yang menuruti
apa yang dikatakan khalifah, tetapi jika khalifah lemah mereka akan
memanfaatkan kesempatan untuk menghegemoni pemerintahan.

Ada beberapa dinasti yang lahir dan melepaskan diri dari kekuasaan
Baghdad pada masa khilafah Abbasiyah, diantaranya adalah:46

1) Yang berbangsa Persia:


a) Bani Thahiriyyah di Khurasan, (205-259 H/820-872 M).
b) Bani Shafariyah di Fars, (254-290 H/868-901 M).
c) Bani Samaniyah di Transoxania, (261-389 H/873-998 M).
d) Bani Sajiyyah di Azerbaijan, (266-318 H/878-930 M).
e) Bani Buwaih, bahkan menguasai Baghdad, (320-447 H/ 932-1055
M).

44
Sir William Muis, The Caliphat, (New York: AMS Inc., 1975), 432 dalam Yatim, Sejarah
Peradaban…, 63.
45
Yatim, Sejarah Peradaban…, 63.
46
Ibid., 65-66.
23

2) Yang berbangsa Turki:


a) Thuluniyah di Mesir, (254-292 H/837-903 M).
b) Ikhsyidiyah di Turkistan, (320-560 H/932-1163 M).
c) Ghaznawiyah di Afganistan, (351-585 H/962-1189 M).
d) Bani Seljuk/Salajiqah dan cabang-cabangnya:
i. Seljuk besar, atau Seljuk Agung, didirikan oleh Rukn al-Din
Abu Thalib Tuqhril Bek ibn Mikail ibn Seljuk ibn Tuqaq.
Seljuk ini menguasai Baghdad dan memerintah selama sekitar
93 tahun (429-522H/1037-1127 M). Dan Sulthan Alib Arselan
Rahimahullah memenangkan Perang Salib ke I atas kaisar
Romanus IV dan berhasil menawannya.
ii. Seljuk Kinnan di Kirman, (433-583 H/1040-1187 M).
iii. Seljuk Syria atau Syam di Syria, (487-511 H/1094-1117 M).
iv. Seljuk Irak di Irak dan Kurdistan, (511-590 H/1117-1194 M).
v. Seljuk Ruum atau Asia kecil di Asia tengah(Jazirah Anatolia),
(470-700 H/1077-1299 M).
3) Yang berbangsa Kurdi:
a) Al-Barzuqani, (348-406 H/959-1015 M).
b) Abu 'Ali, (380-489 H/990-1095 M).
c) Al-Ayyubiyyah, (564-648 H/1167-1250 M), didirikan oleh Sulthan
Shalahuddin Al-Ayyubi setelah keberhasilannya memenangkan
Perang Salib periode ke III.
4) Yang berbangsa Arab:
a) Idrisiyyah di Maghrib, (172-375 H/788-985 M).
b) Aghlabiyyah di Tunisia (184-289 H/800-900 M).
c) Dulafiyah di Kurdistan, (210-285 H/825-898 M).
d) 'Alawiyah di Thabaristan, (250-316 H/864-928 M).
e) Hamdaniyah di Aleppo dan Maushil, (317-394 H/929- 1002 M).
f) Mazyadiyyah di Hillah, (403-545 H/1011-1150 M).
g) Ukailiyyah di Maushil, (386-489 H/996-1 095 M).
h) Mirdasiyyah di Aleppo, (414-472 H/1023-1079 M).
5) Yang mengaku dirinya sebagai khilafah:
a) Umayyah di Spanyol.
24

b) Fatimiyah di Mesir.

c. Konflik keagamaan dan munculnya aliran-aliran sesat.

Konflik sebab fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan persoalan


kebangsaan. Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai,
kekecewaan mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran
Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal
dengan gerakan Zindiq ini menggoda rasa keimanan para khalifah.

Pada masa Al-Mansur usaha pemberantasan dilakukan, bahkan Al-


Mahdi merasa perlu mendirikan pengawas khusus untuk memantau kegiatan
orang-orang Zindiq. Selain itu upaya melakukan mihnah dengan tujuan
memberantas bid'ah juga digalakkan. Akan tetapi, semua itu tidak
menghentikan kegiatan mereka.47

Konflik yang terjadi dengan golongan Zindiq berlanjut mulai dari


polemik tentang ajaran, sampai kepada konflik bersenjata.. Gerakan al-Afsyin
dan Qaramithah adalah contoh konflik bersenjata itu. Pada saat gerakan ini
mulai tersudut, banyak dari mereka yang berlindung di balik ajaran Syi'ah,
sehingga banyak aliran Syi'ah yang dianggap menyimpang oleh penganut
Syi'ah sendiri.48

Konflik-konflik tersebut tidak terlepas dari sebab awal kelahiran


masing-masing aliran. Bahkan setiap aliran memiliki lawan baik dalam hal
ajaran maupun politik kekuasaan. Keduanya berperan dalam munculnya
gesekan yang terjadi hingga yang saat ini berkembang dalam khazanah Islam
di dunia modern, meskipun ajaran Islam yang toleran dan inklusif mulai
bersuara.

Sebagai aliran, Syi'ah memang dikenal sebagai aliran bermotif politik


yang berhadapan dengan paham Ahlussunnah. Antara keduanya aliran itu
sering terjadi konflik yang hingga melibatkan penguasa. Sebagai contoh Al-
Mutawakkil pernah memerintahkan agar makam Husein Ibn Ali di Karballa

47
Yatim, Peradaban Islam…, 83.
48
Ibid., 83.
25

dihancurkan. Namun anaknya, Al-Muntashir kembali memperkenankan orang


Syi'ah mengunjungi makam Husein tersebut.49 Hal berbau fanatisme aliran
yang melibatkan penguasa juga pernah terjadi di masa Al-Mutawakkil, yang
memberantas Mu’tazilah.

Sebagaimana yang telah dimuat dalam penjelasan terdahulu, bahwa


Syi'ah pernah berpengaruh di dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah melalui
Bani Buwaih lebih dari seratus tahun. Dari dinasti-dinasti yang memberontak
ada dua dinasti Syi’ah yang memerdekakan diri dari Baghdad, yaitu Dinasti
Idrisiyah di Marokko dan khilafah Fathimiyah di Mesir.

d. Kemerosotan Ekonomi

Selain kemunduran politik Dinasti Abbasiyah juga mengalami


kemunduran di bidang ekonomi. Wilayah kekuasaan yang semakin
menyempit menyebabkan menurunnya pendapatan negara. Selain itu
banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat. Pajak
pun diperingan dengan berbagai alasan. Dinasti-dinasti kecil yang
memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti juga merupakan penyebab
kemunduran perekonomian Dinasti Abbasiyah.50

Di samping itu terjadinya pemborosan pengeluaran kas negara


disebabkan oleh gaya hidup mewah para khalifah dan pejabat. Jenis
pengeluaran makin beragam. Banyak pejabat yang melakukan korupsi.
Kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik Dinasti
Abbasiyah kedua.51 Kemerosotan ekonomi ini tidak terlepas dari menurunnya
kondisi politik pada masa itu.

2. Faktor Eksternal Kemunduran Dinasti Abbasiyah II


a. Perang Salib

Tahun 1095 M adalah permulaan terjadinya Perang Salib, setelah Paus


Urbanus II memberikan seruan kepada umat Kristen di Eropa untuk
melakukan perang suci merebut Baitul Maqdis yang dikuasai oleh Dinasti

49
Ibid., 83.
50
Amin, Dhuha Al-Islam…, 42.
51
Yatim, Sejarah Peradaban…, 82.
26

Saljuk. Selain itu untuk perang itu dilakukan sebagai upaya mereka
menghambat pengaruh dan invasi kekuatan Muslim terhadap wilayah Kristen.
Berkecamuknya Perang Salib itu berhasil menyulut semangat perlawanan
orang-orang Kristen yang berada di wilayah kekuasaan Islam. Namun, di
antara komunitas-komunitas Kristen Timur, hanya Maronit Lebanon dan
Armenia yang tertarik untuk melibatkan diri dalam Perang Salib.52
Sebelumnya tentara Alp Arselan pada tahun 1071 M, berhasil mengalahkan
Romawi yang terdiri dari tentara gabungan Romawi, al-Akraj, al-Hajr, Ghuz,
Armenia dan Perancis. Peristiwa ini dikenal dengan peristiwa Manzikert.

Dalam perang itu, walaupun umat Islam berhasil mempertahankan


daerah-daerahnya dari tentara Salib, namun banyak kerugian yang mereka
derita. Kekuatan politik umat Islam menjadi lemah. Dalam kondisi demikian
mereka bukan menjadi bersatu, tetapi malah terpecah belah dan memandang
Perang Salib sebagai kesempatan melakukan pemberontakan. Banyak daulah
kecil yang memerdekakan diri dari Baghdad.

b. Serangan Bangsa Mongol

Sebagai akibat dari perang salib juga terlihat dalam penyerbuan yang
dilakukan oleh tentara Mongol. Hulagu Khan, panglima tentara Mongol,
sangat membenci Islam dipengaruhi oleh orang-orang Budha dan Kristen
Nestorian. Mereka berasosiasi dengan Kristen itu dan mendapatkan semangat
penyerangan. Bahkan setelah menghancur leburkan pusat-pusat Islam,
Mongol ikut memperbaiki Yerusalem, karena kedekatan mereka dengan
Kristen.53

Pada tahun 565 H/1258 M, tentara Mongol tiba di salah satu pintu
Baghdad. Khalifah Al-Musta'shim, penguasa terakhir Dinasti Abbasiyah,
betul-betul tidak berdaya mengalahkan tentara Hulagu Khan. Dalam keadaan
kritis tersebut, Ibnu Alqami, wazir khilafah Abbasiyah, seorang Syi'ah ingin
mengambil kesempatan dengan menipu khalifah. la mengatakan kepada
khalifah bahwa ia telah berunding dengan Hulagu Khan dan mencapai

52
Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), 35. Lihat juga
Yatim, Sejarah Peradaban…, 85.
53
Yatim, Sejarah Peradaban…, 85.
27

kesepakatan. Kesepakatan palsu itu adalah bahwa Hulagu Khan ingin


menikahkan anak perempuannya dengan Abu Bakar putera Al-Mu’tashim dan
berdamai setelahnya.54

Khalifah menerima usul itu, ia keluar bersama beberapa orang


pengikut dengan membawa hadiah-hadiah untuk diserahkan kepada Hulagu
Khan. Hadiah-hadiah itu dibagi-bagikan Hulagu kepada para panglimanya.
Keberangkatan khalifah disusul oleh para pembesar istana. Akan tetapi apa
yang dikatakan wazirnya ternyata tidak benar. Mereka semua, termasuk sang
wazir sendiri, dibunuh bergiliran dengan leher dipancung.55

Berakhirlah kekuasaan Abbasiyah di Baghdad dengan pembunuhan


yang kejam tersebut. Kota Baghdad dihancurkan sebagaimana kota-kota lain
yang dilalui tentara Mongol. Walaupun sudah dihancurkan, Hulagu Khan
memantapkan kekuasaannya di Baghdad selama dua tahun, sebelum
melanjutkan gerakan ke Syria dan Mesir.

54
Muhammad Masyhur Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Indonesia Spirit Foundation,
2004), 168.
55
Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos, 1997), 131.
28

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan sesuai rumusan masalah yang diangkat dalam makalah ini
didapatkan beberapa kesimpulan berikut:
1. Masa Dinasti Abbasiyah II dengan rentang kekuasaan kurang lebih empat abad
mengalami kondisi politik yang berubah-ubah. Sebagaimana periodesasi Al-
Maghluts kondisi politik Abbasiyah II dikelompokkan dalam tiga periode:
a. Masa Pengaruh Bangsa Turki (232-334 H/847-946 M)
o Pusat pemerintahan : Samara
b. Masa Pengaruh Dinasti Buwaih, Persia (334-447 H/946-1056 M)
o Pusat Pemerintahan: Syiraz
c. Masa Pengaruh Dinasti Saljuk, Turki (447-656 H/1055-1258 M)
o Pusat Pemerintahan: Naysabur dan Ray

2. Hubungan erat agama yang bersimbol kemadzhaban berpengaruh besar dalam


penentuan arah politik Abbasiyah. Di samping itu Dinasti Abbasiyah tetap
dipertahankan kekhilafahannya meski dalam taklukan bangsa lain. Kekuatan
politik-agama tidak bisa dianggap remeh sebab khalifah adalah jabatan
keagamaan yang sakral pada masa itu.

3. Kemajuan-kemajuan yang dicapai pada masa ini lebih banyak ke arah


perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Sedangkan dari sisi
politik kurang diperhatikan. Banyak ilmuwan yang lahir pada masa Abbasiyah II
dalam berbagai bidang. Pembangunan infrastruktur yang dilakukan pada masa
pengaruh Turki I lebih banyak dalam rangka menghamburkan kekayaan negara.
Jasa Buwaih dan Saljuk dalam pembangunan fisik juga banyak dilakukan.

4. Kemunduran Dinasti Abbasiyah tidak terlepas dari kondisi internal pemerintahan


yang tidak stabil, dengan adanya konflik para penguasa. Beberapa faktor saling
berkaitan dalam kemundurannya.
29

a. Faktor internal
1. Persaingan antar Bangsa dan Perebutan Kekuasaan
2. Pemberontakan Pemimpin Wilayah yang Memerdekakan Diri
3. Konflik keagamaan dan munculnya aliran-aliran sesat.
4. Kemerosotan Ekonomi

b. Faktor Eksternal Kemunduran Dinasti Abbasiyah II


1. Perang Salib
2. Serangan Bangsa Mongol

B. Saran

Sejarah tidak memiliki agama. Akan tetapi isu agama menjadi motif yang
kerap kali muncul dalam mengungkap sejarah. Untuk mendapatkan kesimpulan
sejarah yang membuahkan hikmah dan dapat diambil ‘ibrah maka sebagai pembaca
masa lampau haruslah meletakkan segala kepentingannya.

Kemunduran Islam dalam sejarah dinasti yang dijelaskan di atas tampak


dapat menjadi alat mengkambing-hitamkan Islam dengan segala konflik di dalamnya.
Meskipun fanatisme keagamaan, sebagaimana yang terjadi pada dinasti ini, menjadi
salah satu latar belakang kemunduran dan kehancuran, akan tetapi fanatisme dalam
beragama bukanlah hal yang harus menjadi nihil. Karena fanatisme adalah suatu
keniscayaan dalam meyakini dan mempertahankan kebenaran ajaran agama. Maka
berlaku fanatik tetap diterapkan dalam hal tertentu.

Sekali lagi karena motif kebencian berbau isu agama, Hulagu Khan
memutuskan membumi-hanguskan Baghdad dari dinasti Islam. Sebagai orang-orang
yang mendambakan kebijaksanaan, maka kita sebagai muslim tidaklah patut
memupuk kebencian terhadap orang lain yang satu bangsa dengan aktor pelenyapan
dinasti kerajaan Islam tersebut, Hulagu Khan, dengan sinisme bangsa dan ras.

Sedangkan dalam menghadapi kemajemukan bangsa dan budaya yang ada di


negeri kita, Indonesia, maka sikap toleran yang proporsional harus diterapkan dalam
setiap sendi, dalam rangka menjaga keutuhan Negera Kesatuan. Sikap toleran ini
tekecualikan dalam hal menjalankan keyakinan yang kita anut masing-masing.
30

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Ahmad, Dhuha Al-Islam, Jilid I, Kairo: Lajnah At-Ta’lif Wa An-Nasyr, tt.
Amin, Muhammad Masyhur, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Indonesia Spirit
Foundation, 2004.
Hitti, Philip K. History of the Arabs, London: Macmillan, 1970.
Isy (Al), Yusuf, Dinasti Abbasiyah, Jakarta: Al-Kautsar, 2007.
Madjid, Nurcholis, Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Maghluts (Al), Sami Ibn Abdillah Ibn Ahmad, Atlas Tarikh Daulah Abbasiyah, Riyadh:
Maktabah al-Ubaikan, 2012.
Mufrodi, Ali, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos, 1997.
Muis, Sir William, The Caliphat, New York: AMS Inc., 1975.
Syalabi, Ahmad, Mausu’ah at-Tarikh al-Islami wa al-Hadharat al-Islamiyah, Kairo:
Maktabah An-Nhdhah Al-Mishriyah, 1974.
Thaqqusy, Muhamad Suhail, Tarikh ad-Daulah al-Abbasiyah, Beirut: Dar an-Nafa’is, 2009.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada,1996.

Anda mungkin juga menyukai