Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur’an merupakan kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW


melalui Malaikat Jibril secara mutawatir serta membacanya adalah ibadah. Al-Qur’an berisi
ilmu pengetahuan, hokum-hukum, kisah-kisah, falsafah, akhlak, peraturan-peraturan yang
mengatur tingkah laku dan tat acara hidup manusia baik sebagai makhluk individual maupun
sosial, serta menjadi petunjuk bagi penghuni langit dan bumi. Mengingat begitu pentingnya
Al-Qur’an dalam kehidupan manusia, maka belajar membaca, memahami, menghayati, dan
mengamalkan isi kandungan Al-Quran dalam kehidupan sehari-hari adalah sebuah kewajiban
bagi seorang muslim. Firman Allah dalam QS. Al MUzzammil (73):4, “Dan bacalah Al-Qur’an
itu dengan tartil”. Membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar sebagaimana Al-Qur’an
diturunkan adalah kewajiban setiap muslim.

Akan tetapi kenyataannya masih banyak anak-anak, orang dewasa, bahkan orang tua
yang belum bisa membaca Al-Qur’an dengan benar. Beberapa faktor penyebabnya antara lain
metode kurang tepat, media pembelajaran yang kurang mendukung atau pribadi itu sendiri
yang kurang menyadari pentingnya belajar Al-Qur’an. Perkembangan ilmu pengetahuan
mempunyai dampak positif terhadap berbagai bidang kehidupan, bagaimana membaca Al-
Qur’an yang baik dan benar, tidak cukup hanya dengan mempelajari ilmu tajwid yang contoh
bacaannya sudah banyak ditemukan dimasyarakat, tetapi juga harus mengerti bacaan penting
lainnya dalam Al-Qur’an yaitu ghorib dan musykilat. Dalam materi ghorib dan musykilat
dijelaskan tentang bacaan-bacaan Al-Qur’an yang tidak sesuai dengan tulisannya dan bacaan-
bacaan yang harusti-hati ketika membacanya. Banyak lafal dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang
aneh bacaannya. Maksudnya aneh adalah ada beberapa bacaan tulisan didalam Al-Qur’an
yang tidak sesuai dengan kaidah aturan membaca yang umum atau yang biasa berlaku dalam
kaidah bacaan bahasa arab.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka perlu adanya sebuah pembelajaran yang
menarik untuk mempermudah mempelajari bacaan-bacaan ghorib dan musykilat dalam Al-
Qur’an serta mengetahui bagaimana cara membacanya dengan baik dan benar.
B. Rumusan Masalah

1. Apakah pengertian dari ghorib dan musykilat ?

2. Bagaimana cara pengajaran ilmu ghorib dan musykilat ?

3. Apakah macam-macam bacaan ghorib ?

4. Apakah macam-macam bacaan musykilat ?

C. Tujuan

1. Dapat mengetahui makna dari ghorib dan musykilat.

2. Dapat mengetahui cara pembacaan Al-Qur’an menurut metode ghorib dan musykilat.

3. Dapat mengetahui macam-macam ghorib dan musykilat.

BAB II
PEMBAHASAN

A. GHORIB

1. Pengertian Ghorib

Gharib menurut bahasa artinya tersembunyi atau samar, sedangkan menurut


istilah Ulama qurra’, gharib artinya sesuatu yang perlu penjelasan khusus dikarenakan
samarnya pembahasan atau karena peliknya permasalahan baik dari segi huruf, lafadz,
arti maupun pemahaman yang terdapat dalam Al-Quran. Adapun bacaan-bacaan yang
dianggap gharib (tersembunyi/samar) dalam qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs
diantaranya adalah : Imalah, Isymam, Saktah, Tashil, Naql, Badal dan Shilah.

Ghorib artinya asing. Bacaan ghorib adalah bacaan asing.Yaitu bacaan yang tidak
sebagaimana biasanya sehingga dikhawatirkan salah dalam membacanya. Agar tidak
turut latah dan membiarkan terjadinya kesalahan,alangkah baiknya apabila kita mencatat
ayat-ayat yang mengandung bacaan ghorib.

Lafal gharib berasal dari bahasa Arab, yakni bentuk jamak dari gharibah yang
berarti asing atau sulit pengertiannya apabila dihubungkan dengan al-Qur‟an maka yang
dimaksudkan adalah ayat-ayat al-Qur‟an yang sukar pemahamannya sehingga hampir-
hampir tidak dimengerti. Banyak lafal dalam ayat-ayat al-Qur‟an yang aneh bacaannya.
Maksud aneh adalah ada beberapa bacaan tulisan al-Qur‟an yang tidak sesuai dengan
kaidah aturan membaca yang umum atau yang biasa berlaku dalam kaidah bacaan bahasa
arab. Hal ini menunjukkan adanya keistimewaan al-Qur‟an yang mengandung
kemukjizatan yang sangat tinggi, disinilah letak kehebatannya sehingga kaum sastrawan
tidak mampu menandinginya. Dari segi tulisan, mushaf yang kita terima ini tidak ada
masalah karena telah dipersatukan tulisannya oleh khalifah Usman.[1]

2. Macam- macam ghorib

a. Saktah
Menurut Imam Hafs saktah yaitu berhenti sebentar tanpa bernafas dengan niat
melanjutkan bacaan. Tanda saktah dalam al-Qur‟an biasanya dengan ‫سىث سىح‬dan
juga kadang-kadang dengan ‫س‬saja. Di dalam al-Qur‟an ada 4 yaitu:

1) Surah Kahfi: 1-2

Saktah pada QS. Al-Kahfi: 1, menurut segi kebahasaan susunan kalimatnya


sudah sempurna. Dengan kata lain, jika seorang qari’ membaca waqaf pada
lafadz ‫ع َِوجًا‬, sebenarnya sudah tepat karena sudah termasuk waqaf tamm. Namun
apabila dilihat dari kalimat sesudahnya, ternyata ada lafadz ‫قَيِِّ َما‬sehingga arti
kalimatnya menjadi rancu atau kurang sempurna.

Lafadz ‫قَيِِّ َما‬bukanlah menjadi sifat/na’at dari lafadz ‫ع َِوجًا‬, melainkan


menjadi halatau maf’ul bihnya lafadz lafadz ‫ع َِوجًا‬. Apabila
lafadz ‫قَيِِّ َما‬menjadi na’atnya lafadz ‫ع َِوجًا‬akan mempunyai arti : “Allah tidak
menjadikan al-Quran sebagai ajaran yangbengkok serta lurus”. Sedangkan
apabila menjadi hal atau maf’ul bih akan menjadi : “Allah tidak menjadikan al-
Quran sebagai ajaran yang bengkok, melainkan menjadikannya sebagai ajaran
yang lurus “. Menurut Ad-Darwisy, kata ‫قَيِِّ ًما‬dinashabkan sebagai hal (penjelas)
dari kalimat ‫ولَ ْم يَ ْج َعلْ لَهُ ع َِوجًا‬,
َ sedang Az-Zamakhsyari berpendapat bahwa kata
tersebut dinashabkan lantaran menyimpan fi’il berupa ” ُ‫“ َج َعلَه‬. Berbeda juga
dengan pendapat Abu Hayyan, menurutnya kata ‫قَ ِِّي ًما‬itu badal mufrad dari badal
jumlah “ ‫“ولَ ْم َي ْج َعلْ لَهُ ع َِوجًا‬.
َ Tidak mungkin seorang qari’ memulai bacaan (ibtida’)
dari ‫قَ ِِّي ًما‬, sebagaimana juga tidak dibenarkan meneruskan bacaan (washal) dari
ayat sebelumnya. Dengan pertimbangan alasan-alasan diatas, baik diwaqafkan
maupun diwashalkan sama-sama kurang tepat, maka diberikanlah tanda saktah.

2) Pada saktah QS. Yaasiin: 52 di dalam kalimat:

ُ‫الر ْح َمن‬
َّ ‫ع َد‬
َ ‫َو‬ ‫َما‬ ‫َمرْ َق ِدنَا سكتة هَ َذا‬ ‫م ِْن‬. Menurut Ad-Darwisy
ٰ
lafadz ‫هذَا‬itu mubtada’ dan khabarnya adalah lafadz ‫الر ْح َم ُن‬ َّ ‫ َما َو َع َد‬. Berbeda halnya
dengan pendapat Az-Zamakhsyari yang menjadikan lafadz ‫هذَا‬itu ٰ na’at dari ‫ َمرْ قَ ِد‬,
sedangkan ‫ َما‬sebagai mubtada’ yang khabarnya tersimpan, yaitu
lafadz ‫حق‬atau ‫هذَا‬. ٰ Dari segi makna, kedua alasan penempatansaktah tersebut
sama-sama tepat. Pertama, orang yang dibangkitkan dari kuburnya itu
mengatakan: “Siapakah yang membangkitkan dari tempat tidur kami (yang) ini.
Apa yang dijanjikan Allah dan dibenarkan oleh para rasul ini pasti benar”. Kedua,
orang yang dibangkitkan dari kuburnya itu mengatakan: “Siapakah yang
membangkitkan kami dari tempat tidur kami. Inilah yang dijanjikan Allah dan
dibenarkan oleh para rasul ini pasti benar”. Dengan membaca saktah, kedua
makna yang sama-sama benar tersebut bisa diserasikan, sekaligus juga untuk
memisahkan antara ucapan malaikat dan orang kafir.

3) Adapun lafadz ‫ َم ْن‬dalam QS. Al-Qiyamah: 27 pada kalimat ‫ َم ْن سكتة َراق‬dan


lafadz ْ‫ َبل‬dalam QS. Al-Muthafifin: 14 pada kalimat َ‫ َبلْ سكتة َران‬adalah untuk
menjelaskan fungsi ‫ َم ْن‬sebagai kata tanya dan fungsi ْ‫بَل‬sebagai penegas dan juga
untuk memperjelas idharnya lam dan nun, sebab apabila lam dan nun bertemu
denganra’ seharusnya dibaca idgham, namun karena
lafadz ‫ َم ْن‬dan ْ‫ َبل‬dalamkalimat ‫ َمنْسكتة َراق‬dan َ‫ َبلْ سكتة َران‬mempunyai makna yang
berbeda, maka perlu dipisahkan (diidharkan) dengan waqaf saktah.

Di samping itu, Imam Ashim juga menganjurkan membaca saktah, pertama,


pada akhir QS. Al-Anfaal:75 dan permulaan QS. At-Taubah. Alasannya secara
bahasa dipakai untuk memilah dua surat yang berbeda yang mana permulaan
surat At-Taubah tidak terdapat atau diawali dengan basmalah. Kedua, pada QS.
Al-Haqqah: 28-29 dimaksudkan untuk membedakan dua ha’ yakni ha’
saktah ْ‫ َما ِل َيه‬dan ha’ fi’il َ‫هَّلَك‬.[2]

b. Imalah

Imalah adalah pembacaan fathah yang miring kekasroh. Contoh pada surat
Hud (11) ‫مﺠﺮها‬Bunyi RO dibaca RE (seperti bunyi REmot) sehingga menjadi majREha.

c. Isymam

Isymam adalah menampakkan dhommah yang terbuang dengan isyarat bibir


ketika membaca kata ‘LAATA’MANNA’ pada surat Yusuf (12) ayat 11.

cara bacanya “laa ta’manna” Nah, karena ini termasuk bacaan isymam, cara
membacanya yaitu “laa ta’mannuna”, namun kata “nuu” yang menjadi tambahan
hanya diisyaratkan dengan gerakan bibir ditambah mencucu tanpa suara. Jadi suara
yang kedengaran hanya sebatas “laa ta’manna”.
d. Naql

Naql adalah memindahkan simbol/baris kasroh pada huruf HAMZAH ke huruf


LAM, yaitu pada surat Al-Hujuroot ayat 11 .

Naql, yaitu memindahkan harakat suatu huruf ke huruf sukun sebelumnya.


Menurut imam Hafs, bacaan ini juga hanya ada dalam surat al Hujurat ayat 11 ‫بئس‬
‫االسم‬. Alasan bacaan naql pada kata ‫االسم‬yaitu terdapatnya dua hamzah washal
(hamzah yang tidak terbaca di tengah kalimat), yakni hamzah pada al ta’rif daismu
(salah satu dari sepuluh kata benda yang berhamzah washal), yang mengapit lam
sehingga menjadi tidak terbaca di kala sambung dengan kata sebelumnya. Di antara
manfaat bacaan naql ini adalah untuk memudahkan umat Islam membacanya.

e. Tashil

Tashil yaitu meringankan hamzah kedua (dari dua hamzah yang beriringan)
dengan bunyi leburan hamzah dengan alif.Terdapat dalam surat Fushilat 44yang
berbunyi ‫عﺄجﻤﻲ‬

Dilihat dari tulisannya, bacaannya seharusnya aa’jamiyyuwa ‘arabiyy.Tapi untuk


bacaan ini, hamzah pertama dan kedua cara bacanya agak diringankan.

Ketika bertemu dua hamzah qatha’ yang berurutan pada satu kata maka
melafadzkan kata semacam ini bagi orang Arab terasaberat, sehingga bacaan seperti
ini bisa meringankan.

B. MUSYKILAT

1. Pengertian Musykilat
Musykilat adalah bacaan-bacaan yang antara tulisan dengan cara membacanya
berbeda. Hal ini bertujuan agar kita dalam membacanya lebih berhati-hati dan terhindar
dari kesalahan membaca.

Beberapa sebab terjadinya perbedaan :

❖ Ada huruf yang tertulis tapi dibaca dengan suara atau bunyi lain.

❖ Ada huruf dalam kata tertulis tapi tidak dibaca.

❖ Ada taudan shifir (bulatan kecil di atas alif) ada 2 yaitu:

✓ Shifir Mustadhir : bulatan kecil di atas huruf alif yang berada di tengah
kata sehingga huruf alif tersebut tidak berfungsi dan dibaca pendek.

✓ Shifir Mustahil : bulatan lonjong kecil di atasalif yang berada di akhir


kata yang memiliki fungsi jika waqaf maka dibaca Panjang dan jika
wasol dibaca pendek.

2. Jenis-jenis Musykilat

a) Perubahan suara

Yaitu suara huruf ‫ص‬di ganti dengan suara huruf ‫س‬, ini berada di 3 tempat : QS.Al-
Baqarah ayat 245, QS.Al-A’raf ayat 69, dan QS.Ath-thur ayat 37 (yang ini boleh
dibaca tetap ‫ص‬atau di ganti dengan‫)س‬.

b) Huruf ro’ di baca tebal


Biasanya jika ada Ro’ Sukun didahului dengan harakat kasrah, maka Ro’ tersebut
dibaca tipis, tetapi pada kata-kata tertentu justru harus dibaca tebal.

c) Huruf wawu tidak dibaca


Yaitu terdapat huruf wawu dalam sebuah kata, tapi tidak dibaca.

d) Huruf “ ‫ ”وا‬dibaca pendek


Yaitu terdapat ‫وا‬dlam sebuah kata, tapi dibaca pendek, Misal : kata ‫انﺒﻮا‬.
ً

e) Harakat “ ‫”ه‬
Dalam Al-Qur’an terdapat beberapa kata yang membacanya tidak sesuai dengan
kaidah penulisannya. Misal :‫ﻓﻴه‬, ‫علﻴه‬dan lainnya.

f) Nun washol/ nun iwadl


Adalah jika ada tanwin yang bertemu dengan hamzah washol, maka cara
membacanya suara tanwin harus di ganti dengan nun kasrah. Misal : ‫ﺧﻴﺮن الﻮﺻﻴه‬.

g) Hamzah sukun saat waqaf dan washol


Dalam Al-Qur’an terdapat hamzah sukun yang jika dibaca setelah waqaf (ibtida’),
maka suara hamzah sukun menjadi suara Ya’ sukun (panjang), namun jika dibaca
washol, maka hamzah sukun tidak berubah. Missal : ‫ ايﺘﻮنﻲ‬menjadi‫ اىًﺘﻮنﻲ‬saat
washol tidak berubah/tetap‫ايﺘﻮنﻲ‬.

h) “ ‫ ”ﺊ‬dibaca pendek
Yaitu terdapatnya ‫ﺊ‬dalam sebuah kata,tapi dibaca pendek. Misal: kata ‫ﺘلﻘا ﺊ‬
, ‫ورا ﺊ‬dan sebagainya.
i) “‫ ”ﺃو‬dibaca pendek
Yaitu terdapat nya dalam sebuah kata,tapi dibaca pendek. Misal:
kata ,‫ﺃولﺌك ﺃولوا‬dan sebagainya.[3]

j) Huruf alif tidak dibaca

Yaitu terdapatnya huruf alif dalam sebuah kata,tetapi tidak dibaca. Misal:
kata ‫ﺘاﻴﺌﺴوا‬, ‫ﺠاﻱﺀ‬

k) “…‫ ”…ا‬dibaca pendek

Terdapat “…‫ ”…ا‬dalam sebuah kata, tapi dibaca pendek. Misal : kata, ‫مالنه‬

‫ اﻓانن‬dan sebagainya.

l) “…‫ ا‬dibaca pendek

Terdapat “…‫ ا‬dalam sebuah kata, tapi dibaca pendek. Misal : kata ‫ ثمودوا‬, ‫ندعوا‬

dan sebagainya.
m) “…‫ ا‬saat waqof

Terdapat “…‫ ا‬dalam sebuah kata, saat waqof dibaca panjang. Misal
: ‫ السبيال‬, ‫ الرسوال‬dan sebagainya.

n) “…‫ ا‬saat washal

Terdapat “…‫ ا‬dalam sebuah kata, saat washal dibaca pendek. Misal
: ‫ السبيال‬, ‫ الرسوال‬dan sebagainya.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Gharib menurut bahasa artinya tersembunyi atau samar, sedangkan menurut istilah
Ulama qurra’, gharib artinya sesuatu yang perlu penjelasan khusus dikarenakan samarnya
pembahasan atau karena peliknya permasalahan baik dari segi huruf, lafadz, arti maupun
pemahaman yang terdapat dalam Al-Quran. Adapun bacaan-bacaan yang dianggap gharib
(tersembunyi/samar) dalam qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs diantaranya adalah : Imalah,
Isymam, Saktah, Tashil, Naql, Badal dan Shilah. Sedangkan.

Musykilat adalah bacaan-bacaan yang antara tulisan dengan cara membacanya


berbeda. Hal ini bertujuan agar kita dalam membacanya lebih berhati-hati dan terhindar dari
kesalahan membaca.

B. Kritik dan Saran

Dengan telah dipaparkannya materi tentangGhorib dan Musykilat. Diharapkan dapat


menjadi acuan dalam pembelajaran serta bermanfaat bagi pembaca terutama bagi penulis.
Oleh sebab itu, pemakalah mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para
pembaca untuk penulisan makalah yang lebih baik di masa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

M Khan. 2008. Praktikum Qira’at, cet. 1.Jakarta: Amzah.

Misbachul Munir. 2005. Ilmu dan Seni Qiro’atil Qur’an. Semarang:Binawan.

Dewan Qiro’ati. 1996. Rangkuman Bacaan Ghorib dan Musykilat. Magelang:ponpes.


http//ghorib dan musykilat.html. Di akses pada tanggal 17 Desember 2017 pukul 14.00
WIB.

http://eprints.walisongo.ac.id/2135/3/63111120-Bab2.pdf.

Anda mungkin juga menyukai