Anda di halaman 1dari 72

KEGIATAN BELAJAR 1:

INDIKATOR KOMPETENSI

MenjelaskanKonsepTafsir,takwil,tarjamah,ayat-ayatmuhkamatdan
mutasyabihat.
MenganalisisPenerapan Tafsir, takwil, terjamah, ayat-ayat muhkamatdan
mutasyabihat

URAIAN MATERI
1. Tafsir
Menurut bahasa kata tafsir diambil dari kata fassara-yufassiru- tafsiir yang berarti
menjelaskan. Pengertian tafsir menurut bahasa juga bermakna al-idhah (menjelaskan),al-
bayan(menerangkan), al-kasyf (mengungkapkan). Sedangkan secara terminology terdapat
beberapa pendapat, salah satunya menurut Dr. Shubhis Shaleh yang mendifinisikan tafsir
sebagai berikut :

‫راج‬
ِ َ ‫ِني اس خ‬ ‫و‬ ‫َنِب ِي’ ِه مح َّم ٍد صلى هلال عليه و سلم‬ ‫هلال ال ُمن‬
ِ ‫كت ب‬ ‫ِه ف‬ َ ‫ع ْل ٌم ُي‬
‫َيان ِه معَا ِت و‬ ‫ع لى‬ ‫َّزل‬ ‫ا‬ ‫ْه ُم‬ ‫ر‬
‫ف‬
‫ع‬
‫أحكا ِم ِه و حك ِم ِه‬
Artinya:
Sebuah disiplin yang digunakan untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada
Nabi Saw dan menerangkan makna-maknanya serta menggali hukum-hukum dan
hikmah- hikmahnya.

1
Definisi lain tentang tafsir dikemukakan oleh Ali al-Shabuniy bahwa tafsir adalah
ilmu yang membahas tentang al-Qur’an dari segi pengertiannya terhadap maksud Allah
ses

2
adalah menjelaskan al-Qur’an, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendaki dengan
nashnya atau dengan isyaratnya atau tujuannya. Demikian juga menurut Syekh al-Jazairi tafsir pada
hakikatnya adalah menjelaskan lafadz yang sukar dipahami oleh pendengar dengan mengemukakan lafadz
sinonimnya atau makna yang mendekatinya, atau dengan jalan mengemukakan salah satu dilalah lafadz
tersebut.
Al Qur’an diturunkan adalah sebagai petunjuk dari Allah Swt sebagai pencipta bagi
segenap manusia; petunjuk hidup di dunia dan petunjuk untuk mendapat keselamatan dan
kebahagiaan di akherat. Petunjuk tersebut penting dipahami dan dijelaskan kepada manusia.
Untuk menjelaskan isi kandungan al Qur’an dibutuhkan sebuah alat yang disebut ilmu tafsir,
di mana merupakan perangkat yang diperlukan dalam memahami ayat-ayat pada setiap surat
dalam al-Qur’an.
Dalam melakukan penafsiran al Qur’an seorang mufassir dituntut untuk menjelaskan
maksud yang terkandung dari suatu ayat atau beberapa ayat atau surat di dalam al Qur’an.
Maksud dari suatu ayat atau surat tersebut dapat dipahami dari susunan bahasanya dan
lafadz- lafadz yang digunakannya serta seluk beluk yang berhubungan dengan ayat atau
surat tersebut, yaitu; kapan, di mana, ada peristiwa apa ketika ayat itu turun, berkenaan
dengan apa dan siapa, kondisi masyarakatnya bagaimana, dan bagaimana penjelasan Nabi
Saw terhadap ayat tersebut. Seluk beluk yang dimaksud adalah terkait dengan ulumu al
Qur’an, di dalamnya membahas tentang asbabun nuzul, makiyah dan madaniyah, ilmu
qiraat, nasikh wa mansukh, dst.
Asbabun nuzul yang menjadi latarbelakang turunnya ayat menjadi salah satu
komponen yang sangat penting bagi siapapun yang ingin memahami Al-Qur’an. Belum
dianggap cukup untuk memahami al Qur’an hanya berbekal bahasa arab saja, apalagi hanya
membaca terjemahnya saja. Di sini artinya memperhatikan asbabun nuzul menjadi suatu hal
yang penting, yang dikuatirkan akan terjadi kesalahan jika memahami al Qur’an tanpa
memperhatikan asbabun nuzul. Al Syathibi menegaskan bahwa seorang tidak diperkenankan
memahami al Qur’an hanya dari sisi teksnya saja tanpa memperhatikan konteks ayat ketika
turun. Namun Demikian perlu diketahui bahwa tidak seluruh ayat al Qur’an diketemukan
asbabun nuzulnya melalui riwayat.
Memahami makiyah dan madaniyah juga akan membatu seseorang ketika akan
memahami al Qur’an. Terdapat beberapa manfaat dalam memahami makiyah dan
madaniyah, apabila seseorang berupaya memahami ayat al Qur’an : a) Dapat membantu
mempermudah dalam menjelaskan ayat al-Qur’an, dikarenakan makiyah dan madaniyah
terkait dengan

3
situasi dan kondisi masyarakat saat itu ketika ayat-ayat al Qur’an diturunkan. b) Melalui gaya

bahasa yang berbeda pada ayat makiyah dan madaniyah akan membatu dalam memahami
ayat al Qur’an, sekaligus memberikan indikasi perbedaan karakteristik masyarakat. c)
Dengan memahami makiyah dan madaniyah akan lebih mudah mengkaitkan dengan aspek
sejarah hidup Nabi Muhammad Saw .
Demikian juga penting memahami seluk beluk ilmu qiraat, di mana dimulai sejak para
sahabat membaca qiraat tersebut. Sebagaimana dalam hadist shohih diceritakan bahwa suatu ketika
di masa hidup Rasulullah saw , Umar bin Khattab sholat menjadi makmum dan mendengar bacaan
Hisyam bin Hakim membaca Surat al-Furqan dengan bacaan qira’ah yang bermacam-macam yang
tidak sama dengan bacaan Umar yang diajarkan Rasulullah Saw, sehingga hampir saja Umar
menyeretnya ketika dia sedang salat. Namun Umar berusaha bersabar menunggunya hingga selesai
salam. Setelah Hisyam selesai salat, Umar menarik selendangnya seraya berkata padanya, siapa yang
membacakan surat kepadamu denga bacaan seperti itu, kata Umar. Dia menjawab; Rasulullah Saw
yang membacakan kepadaku seperti itu. Bohong kamu, kata Umar” Sungguh Rasulullah Saw
membacakan padaku Tidak seperti apa yang kamu baca. Kemudian Umar membawanya untuk
menghadap Rasul, di mana setelah keduanya membaca surat al Furqan kemudian Rasulullah Swt
membenarkan bacaan keduanya, sambil bersabda “ Seperti itulah bacaan al Qur’an diturunkan.
Dalam hal qiraat tersebut tidak hanya berkutat dalam perbedaan bacaan al qur’an dari segi
dialek saja, namun terdapat juga perbedaan-perbedaan qira’at yang mempengaruhi terhadap
perbedaan makna lafadz , sehingga menjadi penting memahaminya bagi seorang mufassir. Di antara
manfaat memahami perbedaan qira’at yang mempengaruhi terhadap makna adalah ; a) Dapat
mengetahui adanya dua hukum yang berbeda. Misalnya pada surat Al-Baqarah: 222.
‫ ط ُه ْرن‬kَّ‫وهن حت‬kُ‫ ْق َرب‬kَ‫و ََل ت‬
‫ٰى َ ي‬
“Dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.”

Ayat ini oleh oleh beberapa imam qira’at dibaca َ ‫ن‬ Kata ‫ُه ْر َن‬ berarti wanita
‫ْر َّه ط‬ ‫يط‬.
haid boleh didekati apabila berhenti haidnya. Sedangkan bacaan َ‫ ن ْر َّه يط‬menunjukkan makna
bahwa wanita haid baru boleh didekati setelah mereka mandi. Dari dua qira’at ini dapat
dipahami bahwa wanita haid boleh didekati setelah berhenti haidnya dan telah mandi.
Demikian juga dalam memahami qira’at yang memiliki dua wajah seperti pada surat
Al Maidah: 6 dalam kaitannya dengan wudhu:
ۚ ‫وٱ سحو ۟ا ِب سك ْ ج ك ْم ِإَلى عَب ْين‬ ‫ِد َي ك ْ لَى ٱ ْل َم‬ ‫غسُلو ۟ا وجو‬
‫ٱ ْل ك‬
‫ُرءو ْم ر ل‬ ‫ْم‬ ‫َرا ِف‬ ‫م‬ ‫و َأ ْي‬ ‫هك‬
َ‫وأ‬ ‫ق‬ ‫ْم‬

4
‫فَٱ‬
“Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah kepalamu dan
(basuhlah) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”

5
Kata َ
‫( ر َوأَْ جل‬wa arjulakum) yang dibaca fathah lamnya sebagian imam lain
‫ُك ْ م‬
membaca dengan mengasrah lam ْ ‫م ُك‬ ْ (wa arjulikum) yang dari dua qira’at ini dapat
‫ِل ج‬ ‫ر‬
‫و َأ‬
dipahami bahwa salah satu rukun wudhu adalah membasuh kaki, tetapi membasuh kaki
dapat dirubah dengan mengusapnya bagi orang yang memakai khufah (semacam sepatu
pada zaman dahulu) bagi orang yang sedang safar.
Pengetahuan seperti itu, tidak mungkin diketahui oleh seseorang yang tidak
mengenal tentang ilmu qira’at. Demikian juga pada sebagaian lafadz-lafadz lain yang
memiliki beberapa qira’at. Karena itu pengetahuan Ulumu al Qur’an tersebut digunakan
seorang mufassir dalam menjelaskan ayat-ayat al Qur’an agar di dalam penafsirannya dapat
terhindar dari kemungkinan terjadi kesalahan. Karena itu seseorang mufassir dalam
menafsirkan al Qur’an disyaratkan memiliki penguasaan di bidang ulumu al-Qur’an
sebagaimana dijelaskan oleh para ulama’ tentang syarat-syarat mufassir, yaitu penguasaan
bahasa arab beserta cabang-cabangnya dan penguasaan terhadap ulumu al Qur’an.

2. Takwil
Ta’wil menurut bahasa berasal dari kata awwala-yuauwilu-takwiil yang memiliki
makna al-ruju’ atau al’aud yang berarti kembali. Berkaitan dengan kata ini al Qur’an
beberapa kali menggunakan kata takwil dalam menjelaskan maksud dari sebuah
pristiwa atau kisah, misalnya pada kisah Nabi Yusuf as (QS:12;100) dalam
menjelaskan pristiwa tunduknya keluarga dan saudara-saudaranya kepadanya
dinyatakan dengan kalimat haadzaa takwiilu rukyaaya min qobl qod ja’ala robbii
haqqo…( ini adalah takwil mimpiku sebelumnya, sungguh Tuhan telah menjadikan
mimpiku menjadi kenyataan). Demikian juga pada surat al Kahfi (78) tentang kisah
seorang hamba Allah yang diberi ilmu dari sisi-Nya mengatakan kepada Nabi Musa as
dengan kalimat sa unabbi uka bitakwiili maalam tastathi’ alaihi sobro (aku akan
menjelaskan takwil sesuatu yang engkau tidak dapat bersikap sabar terhadapnya).
Memperhatikan penggunaan kata takwil di dalam al Qur’an, maka secara
terminologi al Jurjani dalam kitab al Ta’rifatnya memberikan definisi takwil sebagai
berikut:

‫ن ال ل اَل ِذي م َوا لل ب سنَّة‬ ‫ا‬kَ‫ إذ‬kُ‫ ِمُله‬kَ‫ ه ِر معًنى حت‬k‫عن معَنا ُه‬ َ‫ف الل‬ ‫ص ْر‬
‫ِفقًا ِكتا وال‬ ‫َيراه‬ ‫ ِم‬kَ‫كا ُمحت‬ ‫ي‬ ‫الظا إلى‬ ‫ْفظ‬

6
Memalingkan lafadz dari maknanya yang lahir kepada makna yang dikandung oleh
lafadz tersebut selama makna yang dimaksud tersebut dipandang sesuai dengan al
qur’an dan al sunnah.

7
Misalnya dalam memahami kalimat ‫( الميت من الحي يخرج‬mengeluarkan kehidupan dari
yang mati) misalnya, bisa dipahami dalam pengertian ―mengeluarkan seekor ayam yang
menetas dari telur. Makna tersebut adalah tafsir. Tetapi, ia bisa juga dipahami dengan jalan
takwil, yakni ―mengeluarkan seorang Mukmin dari kekafiran atau mengeluarkan yang
pandai dari kebodohan.1
Melihat penjelasan di atas dapat dipahami bahwa pada hakekatnya takwil dilakukan
dalam rangka memahami ayat yang berarti juga disebut tafsir. Makna takwil dalam teks
Alquran dan hadis sejak lama telah diperdebatkan di kalangan para ulama. Dalam tradisi
tafsir memahami Alquran bisa dilakukan dengan menggunakan tafsir dan juga dengan
takwil yang benar.

3. Terjemah
Terjemah diambil dari bahasa arab dari kata tarjamah. Bahasa arab sendiri
memungut kata tersebut dari bahasa Armenia yaitu turjuman2. Kata turjuman sebentuk
dengan kata tarjaman dan tarjuman yang berarti mengalihkan tuturan dari satu bahasa
ke bahasa lain.3 Terjemah menurut bahasa juga berarti salinan dari satu bahasa ke
bahasa lain, atau mengganti, menyalin, memindahkan kalimat dari suatu bahasa ke
bahasa lain. Secara etimologi berarti juga ‚memindahkan lafal dari suatu bahasa
kedalam bahasa lain. Dalam hal ini seperti memindahkan atau mengartikan ayat-ayat
al-Qur’an yang berbahasa Arab diartikan kedalam bahasa Indonesia.
Adapun secara terminologi didefinisikan sebagai berikut;

‫بج م َعا نِ يه و‬ ‫ َوفَا‬k‫ا خر مع ال‬ ‫عن ََل فى ُلغَة بَكل ٍم ٍ من‬ ‫ال ت ع‬
‫ِميع‬ ‫ِء‬ ‫ة ى‬ ‫ا ر ُل‬ ‫نى ٍم‬k‫مع‬ ‫ِبير‬
‫ك‬
‫خ‬
‫ص ِده‬k‫مقا‬
Mengungkapkan makna tuturan suatu bahasa di dalam bahasa lain dengan
memenuhi seluruh makna dan maksud tuturan tersebut.

Ash-Shabuni mendefinisikan terjemah al Qur’an adalah memindahkan bahasa al-


Qur’an ke bahasa lain yang bukan bahasa ‘Arab kemudian mencetak terjemah ini ke
beberapa naskah agar dapat dibaca orang yang tidak mengerti bahasa ‘Arab, sehingga dapat
memahami

8
1
. M. Quraish Shihab, Membumikan Al Qur‟an, Jilid 2, (Jakarta: Lentera Hati, 2011), 554.
2 . Didawi, M (1992). Ilmut Tarjamah bainan Nazhariyah wa al Tathbiq. Tunis: Darul Maarif li ath Thabaah wa al Nasyr.
Hal;37
3 . Manzhur, I.( 1300 H) Lisanul Arab. Beirut: Dar Shadir :66

9
kitab Allah SWt, dengan perantaraan terjemahan.

Penerjemahan dibagi menjadi dua; terjemah lafdziyah dan terjemah tafsiriyah.


Terjemah harfiyah, yaitu mengalihkan lafaz-lafaz dari satu bahasa ke dalam lafaz- lafaz
yang serupa dari bahasa lain sedemikian rupa sehingga susunan dan tertib bahasa kedua
sesuai dengan susunan dan tertib bahasa pertama. Terjemah tafsiriyah atau terjemah
maknawiyah, yaitu menjelaskan makna pembicaraan dengan bahasa lain tanpa terikat
dengan tertib kata- kata bahasa asal atau memperhatikan susunan kalimatnya.
Membaca terjemah sebuah ayat al Qur’an dapat membantu pembaca untuk
memahami maksud ayat tersebut, namun demikian membaca terjemah saja tanpa memahami
seluk beluk bahasa al Qur’an yakni bahasa arab seringkali menjadikan pemahaman terhadap
ayat tersebut kurang sempurna, atau bahkan dikuatirkan terjadi kesalahpahaman.
Kesalahpahaman terhadap pembacaan terjemah secara umum dapat disebabkan beberapa
hal;
a. Tidak semua kata dalam suatu bahasa dapat diterjemah secara tepat atau utuh ke dalam
bahasa lain. Ini dikarenakan setiap bahasa memiliki batas-batas makna masing-masing.
Contoh kata; anta dan anti( mudzakkar dan muannats) tidak dapat diterjemah secara
utuh dengan kata kamu, anda atau engkau. Demikian juga misalnya kata insanun dan
basyarun tidak dapat secara utuh diwakili oleh terjemah kata manusia.
b. Keterbatasan seorang penerjemah dalam melakukan pilihan kata yang tepat dan
keterbatasan penerjemah dalam penguasaan struktur bahasa yang digunakan.
c. Latarbelakang budaya yang berbeda pada setiap bangsa akan membentuk karakteristik
bahasa yang berbeda, misalnya pada bahasa arab memiliki jumlah ismiyah dan jumlah
fi’liyah. Pola memiliki dua jumlah tersebut tidak dimiliki oleh bahasa Indonesia.
Karena itu apabila melihat berbagai kelemahan tersebut di atas, maka dalam
penterjemahan al Qur’an belum dapat dikatakan mampu mewakili seluruh maksud ayat-
ayatnya. Apalagi bahwa al Qur’an itu adalah kalamullah yang memiliki keagungan dalam
bahasa dan kandungannya, maka terasa tidak mungkin sebuah terjemahan al Qur’an
mampu menggambarkan secara utuh maksud-maksudnya. Namun demikian bukan berarti
terjemah al Qur’an tidak penting, akan tetapi adanya terjemah al-Qur’an sekedar membantu
untuk melakukan tadabbur (renungan) khususnya bagi bangsa ‘ajam (non arab) yang tidak
memiliki kemampuan bahasa arab secara baik. Selain itu, untuk mengurangi keterbatasan
bahasa maka dilakukan terjemah tafsiriyah atau maknawiyah sebagaimana telah dijelaskan
di atas.

1
0
4. Muhkamat dan Mutasyabihat.

Kata Muhkam dari segi etimologi berasal dari akar kata hakama-yahkamu-hukman
berarti menetapkan, memutuskan, memisahkan. Kemudian dijadikan wazan af’ala menjadi
ahkama-yuhkimu-ihkaam yang berarti mencegah. Al-Hukmu artinya memisahkan antara dua
hal. Jika seseorang dikatakan hakim maka karena ia mencegah kezaliman dan memisahkan
antara dua orang yang berselisih, membedakan antara yang hak dan yang batil, antara benar
dan salah. Sedangakan kata mutasyabih berasal dari kata tasyabuh yang secara bahasa
berarti keserupaan dan kesamaan yang biasanya membawa kepada kesamaan antara dua hal.
Menurut Manna’ Al-Qaththan secara terminologi muhkam adalah ayat yang mudah
diketahui maksudnya, mengandung satu makna, dapat diketahui secara langsung tanpa
memerlukan keterangan lain. Sedang mutashâbih adalah ayat yang pada hakekatnya hanya
diketahui maksudnya oleh Allah sendiri, mengandung banyak makna, dan membutuhkan
penjelasan dengan merujuk pada ayat-ayat lain.4
Ayat al-Qur’an yang seringkali digunakan sebagai rujukan dalam pembahasan
muhkamat dan mutasyabihat tercantum pada surat ali Imran (QS 3:7) :
َ‫ َّما ال‬kَ‫ب م شا ت ۖ أ‬ ‫ ُّم ا‬kُ‫ت محك هن أ‬ ‫ ْنزل ع ك ا ْل ب م ْنه‬kَ‫ َو الَّ ِذي أ‬k‫ه‬
‫ِذين‬ ‫ا وأُخر ت ِبها‬kَ‫ْل ِكت‬ ‫َمات‬ ‫آ َيا‬ ‫ا‬kَ‫لَ ِكت‬
‫ْي‬
ۗ k‫َّ ُلل‬ kُ‫ ِويلَه‬kْ‫أ‬kَ‫ ا ْب ء ا ْل ِفت وا ْب ء وي َ عَل ُم ت‬kُ‫ت ما ش م ْنه‬kَ ‫َي‬ ‫و ِب ِه ْم ز‬kُk‫ل‬kُ‫ِفي ق‬
‫ِإ ََّل‬ ‫أ ِله م‬kَ‫نَ ة ِتغَا ت‬ ‫ِتَغا‬ ‫ون ت ا‬kُ‫ِبع‬ ‫ْ يغ‬
‫ا‬ ‫َب‬
‫و‬
‫ب‬
‫و ا ْْل‬kُ‫ول‬kُ‫كل من ِ ر و َما كر ِإ ََّل أ‬ ‫و ن آ‬kُ‫وال را خو ا ْل ِع قُول‬
Artinya:
‫ْل َبا‬ kَ‫َيذ‬ ‫ه د ِب’َنا‬ ‫َمنَّا‬ ‫س ن ْل ِ م ي‬
‫ع‬
‫ْن‬
Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada
ayat- ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain
(ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada
kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat
daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak
ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam
ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu

1
1
dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan
orang-orang yang berakal.

Ayat Alquran tersebut menimbulkan perbedaan pemahaman tentang boleh tidaknya


takwil atas ayat-ayat mutasyabihaat itu5. Sebagian pendapat menyatakan bahwa semua ayat

4 . Manna’ Al-Qattan, Mabahith fi ‘Ulum ..., 208


5
. Nashr Hamid Abu Zaid, Menalar Firman Tuhan; Wacana Majas dalam Al-Qur‟an Menurut Mutazilah,

1
2
mutasyabihaat bisa ditakwil seluruhnya, tetapi sebagian lagi berpendapat bahwa sebagian

saja yang boleh ditakwil itu pun bila memenuhi persyaratan takwil termasuk siapa saja
yang berhak melakukannya. Karena takwil itu sesuatu yang sulit, maka diperlukan syarat
keahlian tertentu, antara lain pengetahuan mendalam tentang ilmu-ilmu keislaman termasuk
kaidah bahasa Arab.
Takwil dapat dilakukan dengan syarat tetap memperhatikan kaidah kebahasaan dan
tidak hanya mengandalkan akal (ra’yu) saja. Karena dengan takwil akan memudahkan
dalam mencerna dan mengamalkan ajaran Alquran sesuai dengan perkembangan zaman
sekarang dan akan datang. Menurut Al-Raghib al-Isfahani dalam kitab Mufrad fii alfaadzi
al Qur’an mengemukakan bahwa tafsir lebih umum dari pada takwil. Tafsir lebih banyak
digunakan dalam kata dan kosa katanya. Sedang takwil banyak digunakan dalam makna
dan susunan kalimatnya. Takwil lebih banyak digunakan dalam Alquran, sedang tafsir
tidak saja digunakan dalam Alquran tetapi juga dalam kitab-kitab lainnya.6
Penggunaan takwil bukan berarti tanpa kaidah dan dasar-dasar keilmuan dan juga
hanya diterapkan teks-teks ayat yang pernah ditakwilkan oleh ahli tafsir terdahulu. Takwil
bisa diterima selama kandungan yang ditentukan untuk memaknai susunan kata dalam
suatu ayat telah dikenal secara luas dalam masyarakat pengguna bahasa Arab pada masa
turunnya Alquran. Walaupun pada periode berikutnya, maksud kata ―dikenal secara luas
bisa dimaknai lain, yakni selama pesan yang digunakan untuk ayat yang ditakwil itu
dipahami dari akar kata redaksi bahasa ayat itu.
Muhammad ‘Abduh dalam tafsir Juz Amma-nya memahami kata Thayran (‫)طيرا‬
pada surat al-Fiil (QS 105:3) yang berarti burung yang terambil dari kata thaara – yathiiru
berarti terbang kemudian beliau memahami kata tersebut dengan sejenis virus atau bakteri
yang beterbangan.
Pada ayat yang berbicara tentang dzat Allah yang tercantum pada surat al Nuur ‫هلال‬
‫( واَلرض نورالسماوات‬Allah adalah cahaya langit dan bumi) dengan tujuan agar dzat Allah itu
bisa diketahui. Pemahaman seperti ini merupakan takwil yang terlarang, karena tidak sesuai
dengan ayat: ‫شيئ كمثله ليس‬... (tidak ada sesuatu apapun yang menyerupainya) (QS. Asy-Syura
[42]: 11.
Pada penerapan takwil terhadap ayat mutasyabihat lainnya yang dilakukan Prof.
Quraish Shihab dalam menafsirkan kata kursi pada Q.S. Al-Baqarah/2: 225. Ia
menakwilkan kalimat kursi Allah meliputi langit dan bumi sebagaimana Al-Thabathaba’i
dalam Tafsir

diterjemahkan oleh Abdurrahman dan Hamka Hasan (Bandung: Mizan, 2003), 209.

1
3
6
. M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an (Bandung: Mizan, 1995), 91

1
4
Al - Mizan menakwilkannya sebagai kedudukan Ilahiyah untuk mengendalikan semua

makhluk-Nya. Luasnya kursi Allah memiliki makna ketakterhinggaan kekuasaan-Nya.


Karena itu makna kursi pada ayat tersebut adalah kedudukan ketuhanan yang
mengendalikan langit dan bumi beserta isinya. Juga mengisyaratkan bahwa semua benda
itu terkontrol dengan baik.Demikian juga makna keluasan yang dimaksud bahwa
pengetahuan Allah meliputi segala sesuatu di langit dan bumi.

1
5
KEGIATAN BELAJAR 2:

INDIKATOR KOMPETENSI

Menjelaskan Konsep Tafsir bi al Ma’tsur, tafsir bi al ra’yi, tafsir isyari


Menganalisis Klasifiksi dan penerapan Tafsir bi al Ma’tsur, tafsir bi al ra’yi, tafsir isyari.
Menjelaskan konsep Metode Tahlili, Ijmali, Muqaran, Maudhu’i.
Menganalisis Penerapan Metode Tahlili, Ijmali, Muqaran, Maudhu’i.

URAIAN MATERI
Pada zaman Nabi Saw para sahabat tidak membutuhkan suatu pendekatan atau
metode khusus dalam memahami ayat-ayat al Qur’an, karena segala permasalahan
langsung disampaikan kepada Nabi Saw dan beliau sendiri yang memberikan penjelasan.
Demikian juga pada masa sahabat, mereka adalah orang-orang yang mengetahui
bagaimana al Qur’an diturunkan dan bagaimana Nabi Saw menjelaskan.
Ketika zaman sudah semakin jauh dengan Nabi Saw dan para sahabat, sementara
penjelasan terhadap petunjuk-petunjuk al Qur’an semakin dibutuhkan, maka para ulama’
di bidang tafsir melakukan ijtihadnya masing-masing untuk melakukan penafsiran al
Qur’an. Adapun sumber informasi yang digunakan untuk menjelaskan ayat-ayat al Qur’an
adalah riwayat-riwayat yang dianggap dapat dipercaya baik dari hadist Nabi Saw maupun
atsar. Dalam melakukan ijtihadnya, sebagaian ulama’ menggunakan riwayat-riwayat
tersebut sebagai sumber utama penafsirannya dan sebagaian ulama’ mufassir yang lain
menggunakan riwayat-riwayat tersebut sebagai landasan berfikir yang kemudian dilakukan
ijtihad sesuai dengan pendapatnya masing-masing. Karena itu ditinjau dari sumbernya,
penafsirannya dibagi menjadi tiga pendekatan, yaitu: Tafsir bi al-Ma’tsur , Tafsir bi al-
Ra’yi dan Tafsir al Isyari.

1
1. Pendekatan Penafsiran Al Qur’an
a. Tafsir bi al-Ma’tsur
Tafsir bi al-Ma’tsur adalah menafsirkan al-Qur’an didasarkan penjelasan-
penjelasan al Qur’an yang diperoleh melalui riwayat-riwayat pada sunnah, hadist
maupun atsar, bahkan sebuah ayat al Qur’an dapat dijelaskan dengan ayat-ayat al
Qur’an yang lain. Karena itu Tafsir bi al-Matsur disebut juga tafsir bi al-Riwayah,
karena didasarkan juga pada periwayatan-periwayatan. Selain hadist Nabi Saw,
atsar sahabat dianggap mampu menjelaskan ayat al Qur’an karena sahabat Nabi Saw
dipandang sebagai orang yang banyak mengetahui al-Qur’an dan bergaul bersama
Nabi Saw, demikian juga para ulama’ di masa tabi’in yang dianggap juga sebagai
orang yang bertemu langsung dan berguru kepada para sahabat. Karena itu sumber
penafsiran bi-al- Riwayah ini dipandang sebagai penafsiran terbaik terhadap al-Qur’an,
karena dianggap
lebihterjagadarikekeliruandanpenyimpangandalammenafsirkanalQur’an.
Pada pendekatan tafsir bi al-ma’sur terdapat beberapa cara untuk menafsirkan ayat
al- Qur’an, yaitu;
a) Penafsiran ayat dengan ayat al-Quran yang lain
Suatu ayat dapat ditafsirkan dengan ayat yang lain, baik ayat itu kelanjutan
dari ayat yang ditafsirkan ataupun ayat yang menafsirkan berada di surat yang lain.
Misalnya pada surat al ikhlas ayat pertama yang menjelaskan tentang ketauhidan
Allah Swt, ditafsirkan oleh ayat berikutnya, yaitu ayat kedua, ketiga dan keempat.
Namun ayat pertama surat al Ikhlas tentang ketauhidan ini dapat ditafsirkan
(dijelaskan) lagi oleh ayat yang lain yang berada di surat yang lain. Misalnya surat al
Hasyr ( QS 59;22-24) yang menjelaskan sifat-sifat Allah Swt:

‫ه َو ا ْل َم ِلك‬
‫َٰ لَهَ ِإ‬ ‫اله‬ َ ‫ش َو ال ح ن ال هر ِحي ُم‬ ‫ب‬ ‫اله َل ه ه عا لِ ُم‬ ‫ه َو‬
َٰ ‫ِذي‬
‫هَل َل‬
‫ِذي‬ ‫( و‬22) ‫وال َهاد هر‬ ‫َله ل َو ۖ ا ْلَغ ْي‬
‫َّلال‬ ‫ه َم‬ ۖ ‫ِة‬ ‫َّلال‬
‫ه‬
‫ا ْل خا ِل ق‬ ‫ا ْل ُم ُم َه ن ا ْل َع ُر ا ْل ُمت ْ ح ا لَِّال‬ ‫ّو س‬kُ‫ا ْ قل ُد‬
َ ‫ُي ش ِر ُكو َن‬
َّ ‫( و ل‬23) ‫ع‬ ‫ال ْؤ ِم س ْي ِم زي ُز ا ْل َك ’ِب ُر ۚ ج ب َن‬
ِ
‫ُا‬ ‫هم‬ ‫هبا‬ ‫ََل ُم ن ا‬
‫ا‬ ‫س‬
‫ه‬ ‫ْل‬
)24( ُ ‫م ِكي‬ ‫ح‬ : ۖ ‫ْل ع و ه َ و ا ض‬ ‫ا ْل زي ُز‬ ‫وا ْْلَ ْر‬ ‫ت‬ ‫َما َوا س‬
2
‫ما ي ال‬ ‫ح لَه‬ ‫ص ِو ُر ۖ ’ ُء ا س َما س َن ِ’ب س‬ ‫ِر ا ْل َبا ا ْل ُم ئ‬
‫َٰى ۚ ي‬ ‫ْلح‬ ‫ ا ْْل‬kُ‫َله‬
Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib
dan yang nyata, Dialah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang(22)
Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang
Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara,
Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala Keagungan,

3
Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan(23)Dialah Allah Yang

Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai


Asmaaul Husna. Bertasbih kepada-Nya apa yang di langit dan bumi. Dan
Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana(24).

b) Penafsirat ayat al Qur’an dengan hadits Nabi Saw


Ayat-ayat al Qur’an lebih banyak bersifat mujmal(global) dan untuk
dipahami tidak bisa berdiri sendiri, karena itu di sinilah fungsi hadits Nabi
Saw sebagai tafsir terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Misalnya ayat tentang
perintah sholat yang mujmal tidak menjelaskan tatacara sholat (S. al Baqarah
(SQ 43;43)
‫َع ال هرا ِك ِعي‬ ‫ْر‬ ‫ قِ ي ُموا ال ََل وآُتوا ال هز‬kَ‫وأ‬
‫( م‬43) ‫َن‬ ُ َ ‫َكاة‬
‫كعوا وا‬ ‫َة‬
Artinya
‫ص‬
Dan dirikanlah sholat, tunaikan zakat dan rukuklah bersama orang-orang
yang ruku’

Ayat tersebut kemudian ditafsirkan oleh hadits Nabi Saw;

‫ُر ُك ْم – ( َر خا ِري‬ ‫ ْم َأ َْكب‬kَ‫ُك ْم أ‬ ’‫صل َؤ ِذ‬ َ ‫ِإَذا َ ت‬ ’‫ُّوا َ ْ يتُ ُمو ِني ُأ ِل‬k ‫صل‬
‫و ْل َي ُؤ هم ُك‬ ُ‫ َواهُ ا ْلب‬، ‫ ُك ْم‬kُ‫َحد‬ ُ‫ح ر ال ة ْن فَ ْلي‬ ، ‫ر َأ ي‬ ‫م‬ )
‫ص‬ ‫ا‬
‫ض‬ ‫ك‬
Artinya:
Sholatlah sebagaimana kalian melihat aku sholat, maka apabila telah tiba
waktu sholat hendaklah salah seorang di antara kalian
mengumandangkan adzan dan orang yang lebih tua di antara kalian
menjadi imam. (HR Bukhori)

c) Penafsirat ayat al Qur’an dengan keterangan sahabat-sahabat Nabi saw.


Untuk mendapatkan informasi lebih luas perihal maksud-maksud al
Qur’an, setelah memahami sunnah Nabi Saw maka penjelasan para sahabat
juga diperlukan, dikarenakan mereka adalah orang-orang yang dekat bersama
Nabi Saw dan sangat memahami situasi dan kondisi bagaimana al Qur’an itu
diturunkan.
Contoh tafsir terhadap Surat al Baqarah )QS 2: 3):
4
‫ب ‪....‬‬
‫اله ِذي َن ُي ْؤ ِمُنو َن ِبا ْلَغ ْي‬

‫‪5‬‬
Artinya
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib…
Menurut ibnu abbas sebagaimana diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalhah
bahwa tafsir dari kata yukminuuna adalah yushoddiquuna (membenarkan). Dan
menurut Makmar yang diriwayatkan dari az Zuhri yang dimaksud yukminuuna adalah
iman yang disertai mengamalkan. Sedangkan menurut Abu Jakfar ar Razi dari Rabi’
bin Anas yang dimaksud dengan yukminuuna adalah yakhsyauna yang berarti takut.1
Contoh Tafsir bi al ma’tsur adalah kitab Tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an
karya Ibnu Jarir at-Thabari, Tafsir al-Qur’an al-Adzim karya Ibnu Katsir.

b. Tafsir bi al-Ra’yi atau tafsir bi al-Dirayah


Al-Ra’yu berarti pikiran atau nalar, karena itu Tafsir bi al-Ra’yi adalah
penafsiran seorang mufassir yang diperoleh melalui hasil penalarannya atau ijtihadnya,
di mana penalaran di sini sebagai sumber utamanya. Seorang mufassir di sini tentu saja
adalah orang yang secara kompetensi keilmuannya telah dianggap telah memenuhi
persyaratan, sebagaimana disebutkan pada syarat-syarat mufassir.
Istilah Tafsir bi al-Ra’y pada dasarnya untuk membedakannya dengan Tafsir
bi al-Ma’tsur, dalam konteks, bahwa bukan berarti ketika sahabat melakukan
penafsiran Quran tidak menggunakan nalar. Para sahabat sebenarnya juga
menggunakan nalar dalam memberikan penafsiran, tetapi dalam istilah disiplin
ulum Quran, para sahabat tetap saja tidak dinamai dalam kategori Tafsir bi al-
Ra’yi, sebab, para sahabat memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh generasi
sesudah mereka.2Sebagaimana pendekatan tafsir yang lain, pendekatan Tafsir bi al-
Ra’y juga memiliki kelebihan dan kelemahan. Di antara kelebihan pendekatan
Tafsir bi al-Ra’y ini adalah mempunyai ruang lingkup yang luas, dapat
mengapresiasi berbagai ide dan melihat dan memahami Quran secara mendalam
dengan melihat dari berbagai aspek. Kendatipun demikian, bukan berarti
pendekatan ini tidak mempunyai kelemahan. Kelemahaman pendekatan Tafsir bi
al-Ra’y bisa saja terjadi ketika ketika menjadikan petunjuk ayat yang bersifat
parsial, sehingga memberikan kesan Quran tidak utuh dan tidak konsisten. Di
samping itu, penafsiran dengan pendekatan Tafsir bi al-Ra’y tidak tertutup
1
. Ibnu Katsir. Tafsir al Qur’ani al Adzim, jilid 1 hal 43. Darul Kutub al Ilmiyah 2006 M.
2
.M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, hal. 363 Shihab, M. Quraish. (2013). Kaidah Tafsir Syarat,
Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat al-Qur’an. eds.
Abd.SyakurDj. Tangerang: Lentera Hati.)

6
kemungkinan menimbulkan kesan subyektif yang dapat memberikan pembenaran

terhadap mazhab atau pemikiran tertentu, serta dengan pendekatan Tafsir bi al-Ra’y
tidak tertutup kemungkinan masuknya cerita-cerita isra’iliyat karena kelemahan
dalam membatasi pemikiran yang berkembang.3
Salah seorang mufassir yang tergolong bi al ro’yi adalah Abdul Qosim
Mahmud al Zamakhsari dalam melakukan penafsirannya beliau mengemukakan
pemikirannya akan tetapi didukung dengan dalil-dalil dari riwayat (hadis) atau ayat al-
Qur’an, baik yang berhubungan dengan sabab al-nuzul suatu ayat atau dalam hal
penafsiran ayat. Meskipun demikian, ia tidak terikat oleh riwayat dalam penafsirannya.
Dengan kata lain, kalau ada riwayat yang mendukung penafsirannya ia akan
mengambilnya dan kalau tidak ada riwayat, ia akan tetap melakukan penafsirannya. 4
Contoh lain adalah tafsir bi al Ro’yi adalah penafsiran Sayyid Qutub dalam
kitab tafsir Fi Dzilalil Qur’an pada saat menjelaskan Surat al Fatihah (SQ 1: 4) sebagai
berikut :
)4( ‫ن‬
ِ ‫َملِ ِك يَ ْو ِم الﱢدي‬
Artinya :
Tuhan yang menguasai hari pembalasan.
Ini merupakan 'aqidah pokok yang amat besar dan mempunyai kesan yang
amat mendalam dalam seluruh hidup manusia, yaitu 'aqidah pokok mempercayai hari
Akhirat. Kata-kata "yang menguasai atau penguasa" membayangkan darjah kuasa
yang paling tinggi. "Hari Pembalasan" ialah hari penentuan balasan di Akhirat. Ramai
orang yang percaya kepada Uluhiyah Allah dan percaya bahawa Allahlah yang
menciptakan 'alam buana ini bagi pertama kali, namun demikian mereka tidak percaya
kepada Hari Balasan. Keperihalan setengah-setengah mereka telah diceritakan oleh al-
Qur'an. Seperti pada surat azZumar (SQ 29;28) :

‫لَُّال‬
‫ضل‬ ‫وا َْْل‬ ‫ ْلت ْ خ ق َما‬kَ‫سأ‬ ‫ولَ ِئ ْن‬
ُ‫َيقُول‬ ‫ْر ت‬ ‫ُه ْم ن ل ال َوا‬
‫هن‬ ‫س‬
‫م‬

Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan
langit dan bumi?", niscaya mereka menjawab: "Allah.
Kemudian dalam surah Qoof (QS . 50:3) menceritakan hal mereka:

3
. Muhammad Ali Ash-Shabuniy, Studi Ilmu al-Qur’an… Ash-Shabuniy, Muhammad Ali.
7
(1999). Studi Ilmu al-Qur’an, alih Bahasa, Aminudin, Bandung: PustakaSetia., hal. 248
4
. Avif Alfiyah. Kajian Kitab Al Kasyaf Karya Zamakhsyari , Al Furqan: Jurnal Ilmu Al Quran dan Tafsir,
Volume 1 Nomor 1 Juni 2018

8
‫ع ِجيب‬
‫ ْن ج ْ ِذ ُه فَقا ل ا ْل َكا ِف ه شي‬k‫ْل ع ِجُبوا َأ‬
‫ا ٌء‬kَ‫ُرو َن ذ‬ ‫ا م ٌر ْم‬
‫م م‬ ‫َء‬
‫ه ْن ْن‬

"Bahkan mereka heran kerana mereka telah didatangi seorang Rasul yang memberi
peringatan dari kalangan mereka sendiri, lalu berkatalah orang-orang kafir: "Ini
adalah suatu perkara yang amat aneh. "

Kepercayaan terhadap hari pembalasan merupakan satu lagi 'aqidah pokok di


dalam Islam. Nilai kepercayaan ini ialah ia meletakkan pandangan dan hati manusia
pada sebuah 'alam yang lain setelah tamatnya 'alam bumi supaya mereka tidak begitu
terkongkong kepada keperluan-keperluan bumi saja dan ketika itu mereka tidak lagi
terpengaruh kepada keperluan keperluan bumi, juga supaya mereka tidak begitu
gelisah untuk mendapatkan balasan dan ganjaran dari hasil usaha mereka dalam usia
mereka yang pendek dan di 'alam bumi yang terbatas ini dan ketika itu barulah
mereka dapat berbuat amalan-amalan semata-mata kerana Allah dan sanggup
menunggu ganjarannya mengikut bagaimana yang ditentukan Allah sama ada di 'alam
bumi ini atau 'alam Akhirat.
Dari contoh penafsiran dengan pendekatan bi al ra’yi di atas menjadi jelas
bahwa mereka tidak meninggalkan riwayat dan bukan semata-mata menafsirkan al
Qur’an dengan pendapatnya sendiri. Kitab tafsir yang lain misalnya Tafsir bi al-ra’yi
adalah kitab Tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin ar-Razi dan Tafsir Anwar at-
Tanzil wa Asrar at-Ta’wil karya al-Baidhawi.

c. Tafsir al Isyari
Menurut bahasa kata isyari berasal dari kata asyaara-yusyiiru-isyaaratan yang
berarti memberi isarat/ tanda, menunjukkan. Sedangkan menurut istilah suatu upaya
untuk menjelaskan kandungan Quran dengan menakwilkan ayat-ayat sesuai isyarat
yang tersirat dengan tanpa mengingkari yang tersurat atau dzahir ayat.5 Senada dengan
definisi tersebut menurut Shubhi al-Shalih adalah menjelaskan kandungan al Qur’an
melaui takwil dengan cara berupaya menggabungkan yang tersurat dan tersirat.
Lebih lanjut M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa dalam tafsir bi al-Isyarah
terdapat upaya penarikan makna ayat didasarkan pada kesan yang ditimbulkan oleh
9
5
. Muhammad Husain al-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (ttp., tp., 1396H./1976M), Jilid II, Cet. Ke-2,
hal. 352

10
lafazh ayat, di mana dalam benak para mufassir telah memiliki pencerahan batin atau

hati dan pikiran, hal itu dilakukan tanpa mengabaikan atau membatalkan makna secara
lafazh.6
Adapun syarat-syarat diterimanya tafsir isyari adalah :7
1. Tidak bertentangan dengan makna lahir (pengertian tekstual) al-Qur’an.
2. Penafsirannya didukung atau diperkuat oleh dalil-dalil syar’i lainnya.
3. Penafsirannya tidak bertentangan dengan dalil syara‘ atau rasio.
4. Penafsirannya tidak menganggap bahwa hanya itu saja tafsiran yang dikehendaki
Allah, bukan pengertian tekstual ayat terlebih dahulu.
5. Penafsirannya tidak terlalu jauh sehingga tidak ada hubungannya dengan lafadz.

Misalnya penafsiran al-Alusi terhadap surat Al-Baqarah (QS 2: 238) :


‫ا ِن ِتي َن‬
‫ِة ا ْل ٰ وُقو ُموا‬ ‫َى صلَ ت‬k‫حا ِف ظ عل‬
ِ َ ‫ُوس‬ ‫ال َوا وال‬ ‫وا‬
‫ه‬ ‫ص ََل ى‬
‫ل‬
‫ط‬
Peliharalah sholat dan sholat wustho serta tegakkan untuk Allah karena ketaatan

Al Alusi menafsiri shalat al-wustha pada ayat di atas dengan penjelasan lima
macam shalat sebagai berikut:
‫ و صَلة القلب بمراقبته‬،‫ وصَلة النﻔﺲ بخمودها عن دواعى الريب‬،‫صلة السر بشهود مقام الغيب‬
َ ‫صلوات خمﺲ‬k‫إن ال‬
. ‫ وصَلة البدن بحﻔﻆ الحواس وإقامﺔ الحدود‬،‫ وصَلة الروح بمشاهدة الوصل‬،‫أنوار الكشﻒ‬
Artinya :
Sesungguhnya shalat itu ada lima, yaitu 1) Shalat sirr dengan menyaksikan maqam
ghaib, 2) shalat nafs, yaitu dengan cara memadamkan hal-hal yang dapat
mengundang keragu-raguan, 3) Shalat qalb, dengan senantiasa berada dalam
penantian akan munculnya cahaya kasyf (penyingkapan), 4) shalat ruh dengan
menyaksikan wasl (pengabungan/peyatuan dengan Allah); 5) Shalat badan dengan
cara memelihara panca indera dan menegakkan ketentuanketentuan hukum Allah.

Bila dilihat dari terminologis yang digunakan, maka sebenarnya al-Alusi


memahami shalat al-wustha cenderung dengan pendekatan sufistik.

11
6
. M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam
Memahami Ayat-ayat al-Qur’an; Editor Abd. SyakurDj., Tangerang: Lentera Hati, 2013, h. 373
7
. Abd Wahid : Tafsir Isyari dalam Pandangan Imam Ghazali. JURNAL USHULUDDIN Vol. XVI No. 2, Juli
2010

12
2. Metode Penafsiran Al Qur’an

a. Metode Tahlili (Analisis)


Metode Tahlili adalah suatu metode dalam menjelaskan ayat al Qur’an dengan cara
menguraikan ayat demi ayat, surat demi surat, sesuai tata urutan dengan penjelasan yang
cukup terperinci sesuai dengan kecenderungan masing-masing mufassir terhadap aspek-
aspek yang ingindisampaikan, misalnya menjelaskan ayat disertai aspek qira’at, asbabu
al- nuzul, munasabah, balaghah, hukum dan lain sebagainya, contoh kitab tafsir yang
disusun dengan metode ini adalah kitab Tafsir Jami li Ahkam al-Qur’an karya al-Qurtubi,
kitab Tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an karya Ibnu Jarir at-Thabari, Tafsir al-
Qur’an al-Adzim karya Ibnu Katsir dan kitab Tafsir Al-Qur’an al-Karim karya at-Tusturi.
Berikut adalah contoh penafsiran dalam kitab tafsir Ibnu Katsir terhadap Surat al
Ahzab ayat 30 :

(30) ‫سي ارا‬


‫ض و َكا َن عل لَِّال‬ ‫َها ا ْل‬ k‫ م م ْن ُك َﻔا ٍ َب ِ’ين ض‬kِ‫ي‬ ‫ا ِن َء‬
‫ ِلك ى‬kَ‫ذ‬ ‫ْعَﻔ ْي‬ ‫عذاب ﻒ‬ َ َ ‫ْن أ هن ِح ﺔ ٍﺔ ُي م اع‬ ‫النه ِب‬
‫ِن‬ ‫ش‬ ‫ت‬ ‫سا‬
Hai istri-istri Nabi, siapa-siapa di antaramu yang mengerjakan perbuatan keji
yang nyata, niscaya akan dilipatgandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat.
Dan adalah yang demikian itu mudah bagi Allah.

Allah Swt. berfirman menasihati istri-istri Nabi Saw. yang telah memilih Allah
dan Rasul-Nya serta pahala di negeri akhirat, selanjutnya mereka tetap menjadi istri
Rasulullah Saw. Maka sangatlah sesuai bila diceritakan kepada mereka ketentuan
hukumnya dan keistimewaan mereka yang melebihi wanita-wanita lainnya. Disebutkan
bahwa barang siapa di antara mereka yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata.
Menurut Ibnu Abbas, pengertian perbuatan keji ini ditakwilkan dengan makna
membangkang dan berakhlak buruk. Dan atas dasar hipotesis apa pun, maka ungkapan
ayat ini hanyalah semata-mata andaikan, dan makna andaikan itu tidak berarti pasti
terjadi. Pengertiannya sama dengan firman Allah Swt. dalam ayat yang lain, yaitu:

‫ع َملُك‬ َ َ‫ل‬ َ ‫و ِإلَى اله َق ْب لَ ِئ ْن‬ ‫و ِح ي ل‬kُ‫وَلَقدْ أ‬


‫َي ب ه‬ ‫ِذي َن ِل م أَ ك ر‬ ‫ْيك‬
‫ت ن‬ ‫ْك‬ ‫ْن‬
‫ح‬ ‫ش‬
‫ط‬

13
Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang
sebelummu, "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah
amalanmu. (Az-Zumar: 65)

14
Seperti yang ada dalam ayat lain yang menyebutkan:

‫ح ُه ْم كاُنوا َي ْع َملُو َن‬ ‫ولَ ْو أ َر‬


‫ِبط ما ع‬ ‫ُكوا‬
‫ْن‬ ‫ش‬
Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka
amalan yang telah mereka kerjakan. (Al-An'am: 88)

‫ ل ا ْل َعا ِب ِدي َن‬kَ‫ أَنَا أ‬k ‫قُ ْل ْن كا ه ح ول‬


‫َن ر َم د هو‬
‫لل ِن‬
Katakanlah, "Jika benar Tuhan Yang Maha Pemurah mempunyai anak, maka
akulah (Muhammad) orang yang mula-mula memuliakan (anak itu).” (Az-
Zukhruf: 81)

Dan firman Allah Swt.:


‫ُلَّال ا ْل َوا ِ دُح ا َْلق هها ُر‬ ‫َ خق‬ ‫ َداا صطﻔ‬k‫ ول‬k‫ ْن َيته‬kَ‫أ‬ َ‫لَ ْو َأ َراد‬
َ ‫ن‬k‫شا ْ ح ا‬
‫ُء ب ه و‬ ‫ي ل ما‬ ‫ى‬ ‫َل‬ ُ‫ َّلال‬kَ‫ِخذ‬
‫م‬
‫ه‬ ‫س‬ ‫ه‬
‫ما‬
Kalau sekiranya Allah hendak mengambil anak, tentu Dia akan memilih apa yang
dikehendaki-Nya di antara ciptaan-ciptaan yang telah diciptakan-Nya. Mahasuci
Allah. Dialah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan. (Az-Zumar: 4)

Mengingat kedudukan istri-istri Nabi Saw. tinggi, maka sesuailah jika ada
seseorang dari mereka melakukan suatu dosa, dosa itu akan diperberat demi menjaga
kehormatan mereka dan kedudukan mereka yang tinggi. Karena itulah disebutkan oleh
firman-Nya: Hai istri-istri Nabi, siapa-siapa di antaramu yang mengerjakan perbuatan
keji yang nyata, niscaya akan dilipatgandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat.
(Al-Ahzab: 30)
Malik telah meriwayatkan dari Zaid ibnu Aslam sehubungan dengan makna
firman-Nya: niscaya akan dilipatgandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat. (Al-
Ahzab: 30) Yakni siksaan di dunia dan akhirat.
Telah diriwayatkan pula hal yang semisal dari Ibnu AbuNajih, dari Mujahid.
‫س ي ا را‬ َّ ‫ل‬
َ ‫ى‬kَ ‫عل‬
‫ِا‬
‫ي‬
15
‫ ِلك‬kَ‫و َكا َن ذ‬
Dan adalah yang demikian itu mudah bagi Allah. (Al-Ahzab: 30)
Maksudnya, teramat mudah dan gampang.

b. Metode Ijmali (Global)


Metode ijmali adalah metode dalam menjelaskan ayat Al-Qur’an dengan cara
mengemukakan makna yang bersifat global dengan bahasa yang ringkas supaya mudah
dipahami. Di sini mufassir menjelaskan pesan-pesan pokok dari ayat tanpa menguraikan

16
panjang lebar, seperti kitab Tafsir Jalalain karya Jalaluddin al-Suyuthi dan Jalaluddin al-

Mahalli dan Tafsir Al-Qur’an al-Adzim karya Muhammad Farid Wajdi, at-Tafsir al-Wasit
terbitan Majma’ al-Buhus al-Islamiyyah.
Berikut adalah contoh penafsiran dalam kitab Tafsir Jalalai :
‫ص بالذكر‬
‫ وخ‬، ‫ك يوم الدين) أي الجزاء وهو يوم ا قل يامﺔ‬ َ ‫ الخير ْلهله‬k‫(الرحمن الرحيم) أي ذي الرحمﺔ وهي إرادة‬
‫م‬
‫ِل‬
(
‫ فيه ْلحد َإل هلل تعالى بدليل {لمن الملك اليوم هلل} ومن قرأ {مالك} فمعناه مالك ْالمر كله في يوم ا قل يامﺔ‬k‫ْ لنه َل ملك ظاهراا‬
‫(إياك نعبد وإياك نستعين) أي نخصك بالعبادة من‬
‫ {كغافر الذنب} فصح وقوعه صﻔﺔ لمعرفﺔ‬k‫أو هو موصوف بذلك دائماا‬
‫ (صراط الذين‬: ‫ ويبدل منه‬. ‫توحيد وغيره ونطلب المعونﺔ على العبادة وغيرها (اهدنا الصراط المستقيم) أي أرشدنا إليه‬
‫ ونكتﺔ البدل إفادة‬، ‫ير المغضوب عليهم) وهم اليهود (وَل) غير (الضالين) وهم النصارى‬k‫أنعمت عليهم) بالهدايﺔ ويبدل من الذين بصلته (غ‬
‫ وصلى هلال على سيدنا‬، ‫ َول نصارى وهلال أعلم بالصواب وإليه المرجع والمآب‬k‫أن المهتدين ليسوا يهوداا‬
‫ [وعن الشيخ‬. ‫ َول حول َول قوة َإلباهلل العلي العظيم‬، ‫ وحسبنا هلال ونعم الوكيل‬، k‫ أبداا‬k‫ دائماا‬k‫ كثيراا‬k‫محمد وعلى آله وصحبه وسلم تسليماا‬
‫محمود الرنكوسي تﻔسير ألطﻒ ورد في مختصر تﻔسير ابن كثير مﻔاده أن المغضوب عليهم هم الذين عرفوا‬
]‫ دار الحديث‬. ‫صلا‬
َ ‫الحق وخالﻔوه أما الضالين فلم يهتدوا إلى الحق أ‬
Dalam penafsiran di atas tampak sekali dismpaikan secara singkat dan global,
misalnya kata ar rahman dan arrahiim dijelaskan dengan yang memiliki rahmat yaitu yang
berkehendak memberikan kebaikan kepada yang berhak mendapatkannya. Kemudian
berganti kepada ayat berikutnya.

c. Metode Muqaran (Komparatif)


Metode Muqaran adalah metode menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan
membandingkan dengan ayat lain yang memiliki kedekatan atau kemiripan tema namun
redaksinya berbeda, atau memiliki kemiripan redaksi tapi maknanya berbeda, atau
membandingkannya dengan penjelasan teks hadis Nabi Saw, perkataan sahabat maupun
tabi’in. Di samping itu juga mengkaji pendapat para ulama tafsir kemudian
membandingkannya atau bisa berupa membandingkan antara satu kitab tafsir dengan kitab
tafsir lainnya agar diketahui identitas corak kitab tafsir tersebut. Tafsir Muqarin juga bisa
berupa perbandingan teks lintas kitab samawi (seperti Al Qur’an dengan Injil/Bibel, Taurat
atau Zabur).8

17
d. Metode Maudhu’i (Tematik)

8
. Fahd Ar Rumi, Buhuth fi Usul Al - Tafsir wa Manahijuhu , (Maktabah al-Tawbah, 1419 H), 60

18
Metode Maudhu’i adalah metode menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan

mengambil suatu tema tertentu. Metode ini kelebihannya mampu menjawab kebutuhan
zaman yang ditujukan untuk menyelesaikan suatu permasalahan, praktis dan sistematis
serta dapat menghemat waktu, dinamis sesuai dengan kebutuhan zaman, membuat
pemahaman menjadi utuh. Namun kekurangannya seringkali dalam memenggal ayat yang
memilki permasalahan yang berbeda sehingga membatasi pemahaman ayat.
Adapun langkah-langkah yang harus ditempuh oleh seorang mufassir ketika
melakukan proses penafsiran metode maudhu’i adalah;
a. Menetapkan masalah yang akan dibahas. Permasalahan yang dibahas diprioritaskan
pada persoalan yang menyentuh kehidupan masyarakat yang berarti bahwa seorang
mufassir harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang masyarakat.
b. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut.
c. Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang
asbab nuzulnya dan ilmu-ilmu lain yang mendukungnya. Memahami korelasi ayat-ayat
tersebut dalam surahnya masingmasing (terkait erat dengan ilmu munasabat).
d. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (membuat out line).
e. Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan
f. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-
ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama atau mengkompromikan antara yang
‘amm (umum) dengan yang khash (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang
apada lahirnya bertentangan sehingga kesemuanya dapat bertemu dalam satu muara
tanpa perbedaan dan pemaksaan.

19
KEGIATAN BELAJAR 3:

INDIKATOR KOMPETENSI

Menjelaskan penafsiran konsep Ikhlas, murah hati dan toleransi


Menganalisis Penafsiran ayat ayat tentang Ikhlas, murah hati dan toleransi

URAIAN MATERI
1. Ikhlas
Salah satu contoh sifat terpuji yang telah termaktub dalam al Qur’an ialah
sifat ikhlas. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ikhlas dapat
diartikan sebagai hati yang bersih atau hati yang tulus. Ikhlas merupakan sebuah
pangkal dan puncak dari segala tujuan. Dalam kata ikhlas terdapat sebuah kondisi
di mana seseorang dapat mengosongkan diri dari berbagai kehendak dan
keinginan yang dimiliki serta mengabaikan segala amal yang telah dilakukan.
Lebih lanjut dikatakan, bahwa ikhlas menurut bahasa ialah bersih dari kotoran.
Sehingga seorang yang memiliki keikhlasan ialah orang yang benar-benar
menyembah hanya kepada Allah semata dengan tanpa menyekutukan-Nya. Dalam
hal ini ia tidak menjadikan agama dan amalannya sebagai bagian dari riya’
maupun sum’ah. Sedangkan menurut istilah, ikhlas dapat diartikan sebagai
kondisi di mana seorang hamba hanya mengharap ridha Allah semata dalam
menjalankan ibadah ataupun dalam beramal dan memurnikan niatnya dari hal-hal
yang dapat merusak niat itu sendiri.
Ikhlas dapat dirasakan pada hati nurani manusia, yang dalam hati nurani
itu pulalah tempat niat berada. Adanya niat ialah sebagai sebuah pengikat amal

1
yang di sana amal seseorang dipertaruhkan. Bagi mereka yang mengabaikan
kemurnian niatnya, maka ia harus bersiap untuk mendapatkan kesia-siaan dari
amalnya. Karena ikhlas ialah melakukan amalan dengan niat yang murni hanya
untuk meraih Ridla Allah semata, sehingga ia tidak lagi mengharap balasan
kecuali ridla Allah SWT. Pada kondisi ini, seseorang tidak lagi memiliki rasa
ingin dihargai, ingin diterima, ingin memperoleh pujian, merasa istimewa, merasa
lebih dan lain sebagainya. Berkenaan dengan pentingnya pemupukan sifat ikhlas
tersebut, Allah telah bersabda dalam beberapa firman-Nya sebagai berikut:
- Surah Ghafir (QS.40: 14)
‫ي وَل ك ِرَه ٱ ْل َٰ َك ِف ُرو َن‬k’‫ٱد عو ۟ا ِ صي ٱل ِد‬
‫َن ه ْو‬ ‫ٱ ل َن‬
Artinya:
‫ه مخ‬
‫ل‬
Maka sembahlah Allah dengan memurnikan (mengikhlaskan) ibadah
kepadaNya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukainya.
- Kajian Tafsir
a. Tafsir Jalalain
Berdasarkan tafsir Jalalain, disebutka bahwa maksud dari
memurnikan (mengikhlaskan) ibadah kepada-Nya ialah memurnikan
agama Allah dari segala macam kemusyrikan, meskipun orang-orang kafir
tidak menyukai keikhlasan ibadah kalian kepada Allah SWT.
b. Tafsir Ibnu Katsir
Dalam kitab tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwasanya Allah telah
memerintahkan kepada manusia untuk memurnikan (mengikhlaskan)
penyembahan dan doanya hanya kepada Allah meskipun orang-orang kafir
maupun orang-orang musyrik memiliki pendapat yang berbeda mengenai
hal ini. Penjelasan ini kemudian diperkuat dengan adanya beberapa hadits
yang relevan, diantaranya ialah:

‫عن‬-‫يعني ْر بن ال ُّز َب ْي ِر‬- ‫هشا ٌم‬ ‫ال ا ْ ِْل َما ُم أ َ حد ع َ بن ُن َم ْي حد‬


‫بن َو َة‬ َ‫ هث‬،‫ٍر‬ ّ‫َنا ْبد ل‬kَk‫ث‬k‫ ه‬:ُ‫مد‬
‫ع‬ ‫نَ ا‬ ‫ل‬ ‫ح‬
‫ِا‬
‫ُب ِر‬kُ‫لَِّال و َي بن ال ُّز َب ْي ِر ي د‬ ‫كان ع ْبد‬ :‫ َقال‬k‫ي‬
ِ
‫ل ق‬
2
‫هم ِد بن مسلم بن مدرس ا ْل َم ِ’‪k‬ك مح‬ ‫أَ‪ِ k‬بي ال ُّز َب ْي‬ ‫ر‬
‫علَ‬
‫ل ‪ََk‬ه ِإ لَّ وحدَهُ َل َ َ ُه ا ْل ُم ول‪َk‬هُ ْ َ‬ ‫ََل حين ُ‬ ‫ك ’ل‬
‫ْ َل ا ْل مدُ‪ ،‬و‬ ‫ِري لَهُ‪،k‬‬ ‫هَل َل ُا‪،‬‬ ‫ي م‪:‬‬ ‫ٍة‬
‫ح وه‬ ‫س‬ ‫ص‬
‫ِل ’‬
‫ِدي ْ ُق هو َة ه َّاللِ‪َ ،‬ل ه لَّ ََل ِإ هَل ِإيها ُه‪َ ،k‬له ع ول ‪َk‬هُ‪k‬‬ ‫ٍ‬ ‫ك ’ل‬
‫ال ِن’ عُبدُ َ ُمُ‬ ‫ِإلَه ل ُا‪ ،‬نَ و‬ ‫ء ٌر‪َ ،‬ل ول و ََل ل‬
‫ح‬ ‫َي‬

‫‪3‬‬
:‫ال‬ َ‫ين ولَ ِره‬k’‫ِإلََه ِإ لَّ ِ صي ال ِد‬
‫ِف‬ ‫َنا ء ا سن‬k‫ثه‬k ‫ال‬ ‫ا ْلفَ ض‬
‫ه ْو ا ْل ُرون" كا‬ ‫ ل ن‬،‫هَل َل ُا‬ ، ‫ولَُه ْلح‬ ،‫ل‬
‫ك‬ ‫م‬
‫خ‬
‫ص ََل ٍة‬ ‫وسله َم ي ِهن‬ َ‫وكان رسول لَِّال صل لَُّال عل‬
’ ‫ُب َر‬kُ‫ه ل’ل د‬ ‫ْي‬ ‫ه‬
ِ َ
‫ل‬ ‫ِه‬
‫ك‬
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu
Namir, telah menceritakan kepada kami Hisyam (yakni Urwah ibnuz
Zubair), dari Abuz Zubair alias Muhammad ibnu Muslim seorang guru di
Mekah yang mengatakan bahwa Abdullah ibnuz Zubair selalu
mengucapkan doa berikut seusai dalam salatnya, yaitu: Tidak ada Tuhan
selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, bagiNya kerajaan dan bagi-
Nya segala puji, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Tiada daya dan
tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah. Tidak ada Tuhan selain
Allah, dan kami tidak menyembah selain kepada-Nya, milik-Nyalah semua
nikmat, karunia, dan pujian yang baik. Tidak ada Tuhan selain Allah,
(kami nyatakan ini dengan) memurnikan penyembahan hanya kepada-Nya,
sekalipun orang-orang kafir tidak menyukai (nya). Lalu Ibnuz Zubair
mengatakan bahwa Rasulullah Saw selalu mengucapkan doa tersebut
setiap usai salatnya.
Di dalam kitab sahih disebutkan dari Ibnu Zubair r.a., bahwa
Rasulullah Saw. setiap usai mengerjakan salat fardunya mengucapkan doa
berikut:
‫ َل‬.‫ٍ ِدي ٌر‬ َ‫عل‬ َ ْ ‫َُه‬k‫ول‬ ‫ ُه ا ْل ُم‬،ُ‫َ ه‬ ‫وحدَه َل‬
ُ َّ‫" ََل ِإ هَل ل‬
‫ء‬ ’ ‫ و‬،ُ‫ا ْل مد‬ ‫ْ َل‬ َ‫ِري‬ ،ُ‫َلَه ا‬
‫َي‬ ‫ل‬ ‫ح وه‬
‫ك‬
‫َناء‬k‫ الثه‬kُ‫َه‬k‫َُه ا ض ول‬k‫ول‬ ‫ا ال ِن’ ع‬k‫ح ْول قُ هو َة هَل َِّلل َل ه َ ََل عب ه يه‬
،‫ْلف ل‬ ‫هُ َ ُُم‬ ،kُk‫ ِإَله ل لّ نَ و د ل ه‬، ‫و ََل ِبا‬
‫ل‬
‫ُا‬

3
"‫ره كا ِف ُرون‬
َ ِ َ‫ ال ول‬kُ‫صين لَه‬ ِ َ ‫ا ْلح سن ِ إلََه ِإ‬
‫ين ْو ا ْل‬k’‫ِد‬ ‫ل‬ ّ‫ هَل َل ل‬،
‫ك‬ ‫م‬ ‫ل‬
‫خ‬ ‫ُا‬
Tidak ada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya
kerajaan dan bagi-Nya segala puji, dan adalah Dia Mahakuasa atas
segala sesuatu. Tidak ada daya dan tidak ada kekuatan kecuali dengan
pertolongan Allah. Tidak ada Tuhan selain Allah, dan kami tidak
menyembah selain hanya kepada-Nya. Bagi-Nya semua nikmat, karunia,
dan pujian yang baik. Tidak ada Tuhan selain Allah (dengan) memurnikan
ketaatan kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai (nya).

4
‫ب ِن‬
‫ َي ْع ِني ال ِم ْ هش‬- ‫ ََنا صي ب ن ص حد ص‬k‫َنا ال حدهث‬ ‫ال ا ْب ن أ حا‬
‫ ح ن ا ِم‬-‫ري‬k’ِ َ
‫ هث ا‬،‫َنا ٍح‬ ‫الخ ب‬ ‫ هرِبي ُع‬:‫ِبي ِت ٍم‬
‫نَ ا ِل‬ َ‫حدهث‬
‫ع‬
:‫ْ ي رضي لَُّال ع ِ ن ا نل ه صل لَُّال علَ وسله َم َقال‬ ‫ ع ِن سي ِري ع ْن‬،‫حسا َن‬
‫ْي‬ ‫ه‬ ‫ ع‬k‫ي‬ ،kُ‫ْنه‬ ‫ ه‬،َ‫ِبي َرة‬kَ‫أ‬ ‫َن‬
ِ ‫ِب‬ ‫ا ْب ِن‬
‫ِه‬ ‫َر‬
"‫ست ب ع م ْن ق غا َل ٍه‬ َ ‫ هلال ْنتُ مو قِ نُو ا جا َب واعلَ ُموا‬k‫"ادعوا‬
‫ْلب ِفل‬ ‫ِجي ُد ا‬ ‫ل‬ ‫ هن‬kَ‫أ‬ ،ُِ ‫َن ِْل‬ َ‫ْم وأ‬
‫ًء‬ ‫َّ َلال‬

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ar-Rabi',


telah menceritakan kepada kami Al-Khasib ibnu Nasih, telah menceritakan
kepada kami Saleh (yakni Al-Murri), dari Hisyam ibnu Hassan, dari Ibnu
Sirin, dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Saw. yang telah bersabda:
Berdoalah kepada Allah Swt., sedangkan kalian merasa yakin akan
diperkenankan. Dan ketahuilah bahwa Allah Swt. tidak memperkenankan
doa dari orang yang hatinya lalai lagi tidak khusyuk.
Berdasarkan beberapa penafsiran di atas, dapat difahami bahwa islam telah
mengajarkan konsep keikhlasan melalui firman Allah yang menjelaskan tentang
pentingnya kemurnian hati, niat dan amalan hanya mengharap ridla Allah SWT.
Dengan hadirnya keikhlasan dalam menjalankan setiap amalan, maka seorang
tidak akan lagi menghiraukan apapun yang mungkin akan mempengaruhi
keikhlasannya tersebut, seperti tanggapan, komentar mapun tindakan orang lain
yang mungkin tidak menyukainya.
- Surat Gahfir SQ 40: 65
Ayat yang menjelaskan tentang pentingnya sifat ikhlas yang kedua ialah
ayat ke 65 pada Surah Ghafir yang berbunyi:
‫ي َن ح ْمد ر ِب ٱ ْل َٰ َعَل ِمي َن‬k’‫َ ٱد ع ِ صي ٱل ِد‬ ٓ ‫ َو ٱ ْلح‬k‫ه‬
ِ ‫ٱ ْل ه‬ ‫وه ل َن‬ ‫ه‬ َ
‫و‬
‫ه‬ ‫مخ‬ ‫ل ل‬
‫ل‬ ‫ه‬
َ‫َلَه‬
‫ِإ‬
Artinya: Dialah Yang hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah)
5
melainkan Dia; maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadat kepada-Nya.
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.
- Kajian Tafsir
a. Tafsir Jalalain
Dalam kitab Tafsir Jalalain, ayat ini ditafsirkan dengan makna: (Dialah
Yang hidup kekal tiada Tuhan melainkan Dia, maka serulah Dia)
sembahlah Dia (dengan memurnikan ibadah kepada-Nya) dari
kemusyrikan. (Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam.)

6
Berdasarkan teks di atas, dapat ditafsirkan bahwa Allah merupakan
satu-satunya Dzat yang Abadi, sehingga sudah menjadi sebuah keharusan
bagi seluruh makhluk untuk menyembah dan berdoa hanya kepada-Nya
dengan segala ketulusan.
b. Tafsir Ibnu Katsir
Selanjutnya, ayat ini juga dibahas dalam tafsir ibnu katsir dengan
menafsirkan beberapa penggal ayat terlebih dahulu, barulah kemudian
penafsiran ayat secara keseluruhan. Adapun penafsiran berdasarkan
penggalan ayat 65 Surah Ghafir yang tercantum dalam kitab Tafsir Ibnu
Katsir ialah sebagai berikut:
‫ه َو ا ْلح ي َل ِإلَه ه َو‬
‫َل‬
Dialah Yang hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan
Dia. (Ghafir: 65)

Yakni Dialah Yang Hidup sejak zaman azali dan selama-lamanya, Dia
tetap dan tetap Hidup, Dialah Yang Pertama dan Yang Terakhir, dan Yang
Maha lahir lagi Maha batin.
َ ‫َل َلهَ َل‬
‫ و ه‬Tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. (Ghafir:
65) Yaitu tiada tandingan dan tiada saingan bagi-Nya.
‫ي َن‬k’‫ ال ِد‬kُ‫َفاد ع ِ صي َن لَه‬
‫وه ل‬
‫مخ‬
maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadah kepada-Nya. (Ghafir:
65)
dengan mengesakan-Nya dan mengakui bahwa tiada Tuhan yang wajib
disembah selain Dia, segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.
Berdasarkan penafsiran ini, beberapa ulama’ menyebutkan bahwa dalam
mengucapkan kalimat “Tiada Tuhan (yang waib disembah) selain Allah”
hendaklah seseorang tersebut mengikutinya dengan kalimat “Segala puji bagi
Allah, Tuhan semesta alam”. Beberapa ulama’ tersebut diantaranya ialah Ibnu

7
Jarir dan Abu Usamah. Hal ini sejalan dengan Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh

8
Imam Muslim, Imam Abu Daud, dan Imam Nasai melalui Hisyam Ibnu Urwah,
Hajjaj ibnu Abu Usman dan Musa ibnu Uqbah; ketiga-tiganya dari Abuz Zubair,
dari Abdullah ibnuz Zubair yang telah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. selalu
mengucapkan doa berikut seusai tiap salatnya, yaitu:
»k‫« ََل لَه ه َ وحدَُه َ َ له‬
‫َل ِري‬ ‫ل‬
‫ل‬
‫ُا‬
“Tidak ada Tuhan yang wajib disembah kecuali Allah, tidak ada sekutu
bagi-Nya”
Berdasarkan penafsiran dari ayat di atas, dapat difahami bahwa keikhlasan
dalam beribadah dan beramal berarti memurnikan ibadah dan amalan kita
hanya untuk Allah semata, dengan meng-Esakan-Nya dan tanpa
menyekutukannya.
- Surat Al A’raf ayat 29
Ayat ketiga yang menjelaskan tentang keikhlasan ialah ayat ke 29 surah Al
A’raf yang berbunyi:
‫ ُك ْم‬kَ‫أ‬kَ‫ك َما َبد‬
‫ي‬k’‫ِقي ُك ْم ع مس ِج وا ع ِ صي ال ِد‬ ‫ُق ْل أَ َم َر ر ْ س‬
‫َن ۚ ه‬
‫و َن‬kُ‫ُعود‬kَ‫ت‬ ‫ٍد كل ْد وه ل َن‬ ‫وجوه ْند‬ َ‫ِ’بي ل ط ۖ ُموا وأ‬
‫مخ‬ ‫ِق‬
Katakanlah:
‫ا‬
"Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan". Dan (katakanlah):
"Luruskanlah muka (diri)mu di setiap sembahyang dan sembahlah Allah
dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya. Sebagaimana Dia telah
menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah kamu akan kembali
kepada-Nya)".
- Kajian Tafsir
a. Tafsir Jalalain
Dalam tafsir Jalalain, ayat di atas ditafsirkan sebagai berikut:
(Katakanlah, "Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan") yaitu
perbuatan yang adil. (Dan luruskanlah) diathafkan secara makna kepada
lafal bil qisthi, yang artinya, Ia berkata, "Berlaku adillah kamu dan
luruskanlah dirimu." Atau diathafkan kepada lafal sebelumnya dengan
menyimpan taqdir yakni: Hadapkanlah dirimu (mukamu) kepada Allah (di
9
setiap salatmu) ikhlaslah kamu kepada-Nya di dalam sujudmu (dan
sembahlah Allah) beribadahlah kepada-Nya (dengan mengikhlaskan

1
0
ketaatan kepada-Nya) bersih dari kemusyrikan. (Sebagaimana Dia
menciptakanmu pada permulaan) yang sebelumnya kamu bukanlah
merupakan sesuatu (demikian pulalah akan kembali kepada-Nya) artinya
Dia akan mengembalikan kamu pada hari kiamat dalam keadaan hidup
kembali.

Berdasarkan penafsiran di atas, kata “mengikhlaskan ketaan


kepada-Nya” diartikan sebagai kondisi di mana seorang hamba hendaknya
hanya menujukan ibadahnya untuk Allah semata dan bukan untuk yang
lainnya. Memurnikan ibadah hanya kepada Allah bukan kepada yang
lainnya.
b. Tafsir Al Mishbah
Dalam kitab tafsir yang ditulis oleh Quraish Shihab, ayat di atas memiliki
penafsiran sebagai berikut:
Terangkan kepada mereka apa yang diperintahkan Allah. Katakanlah,
"Tuhanku menyuruh berlaku adil dan tidak berlaku keji. Dia menyuruh
kalian beribadah hanya kepada-Nya di setiap waktu dan tempat. Dan Dia
juga menyuruh kalian ikhlas dalam beribadah kepada-Nya. Masing-
masing kalian akan kembali kepada- Nya setelah mati. Seperti halnya Dia
menciptakan kalian dengan mudah di saat kalian tidak memiliki apa- apa,
kalian akan dikembalikan kepada-Nya dengan mudah pula, meninggalkan
semua nikmat yang ada di sekeliling kalian."
c. Tafsir Ibnu Katsir
Dalam tafsir ibnu katsir, pada penggalan ayat 29 surat Al A’raf yang
berbunyi:
‫ُق ْل أَ َم َر ر ا ْل ِقسط‬
‫ِ’ ب ي‬

Yang berarti: Katakanlah “Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan” ini


ditafsirkan bahwa Allah memerintahkan manusia untuk berlaku adil dan
berada pada jalan yang lurus dalam segala perkara.

Selanjutnya, pada potongan ayat 29 yang kedua, yang berbunyi:


11
‫ي َن‬k’‫ ال ِد‬kُ‫وأَ ِقي ُموا ُك ْم ع مس ِج وا ع ِ صي َن لَه‬
‫ٍد كل دْ وه ل‬ ‫وجوه ْند‬
‫مخ‬
Yang berarti: “Dan (katakanlah), "Luruskanlah muka (diri) kalian di
setiap salat dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kalian
kepada-Nya”,
Dalam kitab tafsir Ibnu Katsir potongan ayat ini ditafsirkan dengan
penjelasan sebagai berikut:
“Allah memerintahkan kalian agar beristiqamah dalam menyembah-Nya,
yaitu dengan mengikuti para rasul yang diperkuat dengan mukjizat-
mukjizat dalam menyampaikan apa yang mereka terima dari Allah dan
syariat-syariat yang mereka datangkan. Allah memerintahkan kepada
kalian untuk ikhlas dalam beribadah hanya untuk-Nya. Karena
sesungguhnya Allah tidak akan menerima amal, melainkan bila di dalam
amal itu terhimpun dua rukun berikut, yaitu hendaknya amal dikerjakan
secara benar lagi sesuai dengan tuntutan syariat, dan hendaknya amal
dikerjakan dengan ikhlas karena Allah bersih dari syirik.”

Selanjutnya, potongan ayat 29 yang terakhir yang


berbunyi:
‫و‬kُ‫ُعود‬kَ‫ ُك ْم ت‬kَ‫ك َما دَأ‬
‫َن‬
Yang berarti: Sebagaimana Dia telah menciptakan kalian pada permulaan
(demikian pula) kalian akan kembali (kepada-Nya)

Makna penggalan ayat ini masih diperselisihkan. Menurut Ibnu Abu


Nujaih melalui riwayatnya dari Mujahid menyebutkan bahwa makna
firman-Nya: Sebagaimana Dia telah menciptakan kalian pada permulaan
(demikian pulalah) kalian akan kembali (kepada-Nya). (Al-A'raf: 29)
ialah, kelak Allah akan menghidupkan kalian sesudah kalian mati. Adapun
menurut Al-Hasan Al-Basri, penggalan ayat di atas memiliki makna
“sebagaimana Dia menciptakan kalian pada permulaan di dunia ini,
demikian pula kalian akan kembali kepada-Nya kelak di hari kiamat
dalam keadaan hidup”. Selanjutnya Qatadah mengatakan bahwa Firman
1
2
Allah tersebut dimaknai dengan penjelasan bahwa “Allah memulai

13
penciptaan-Nya, maka Dia menciptakan mereka. Sebelum itu mereka tidak
ada, kemudian mereka mati, lalu Allah mengembalikan mereka dalam
keadaan hidup”. Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi mengatakan bahwa
penggalan ayat tersebut memiliki makna bahwa “barang siapa yang sejak
semula diciptakan oleh Allah dalam keadaan celaka, maka ia akan
menjadi orang seperti yang ditakdirkan-Nya semula sejak permulaan
kejadiannya, sekalipun ia mengamalkan amalan ahli kebahagiaan (ahli
surga). Barang siapa yang sejak semula ditakdirkan bahagia oleh Allah,
maka ia akan dikembalikan kepada apa yang telah ditakdirkan untuknya
sejak semula, sekalipun ia mengamalkan amalan orang-orang yang celaka
(penghuni neraka). Sebagaimana para ahli sihir mengamalkan amalan
orang-orang yang celaka, maka pada akhirnya ia pasti akan menjadi
orang seperti yang ditakdirkan untuknya sejak semula.” As Saddi
mengatakan, bahwa makna dari penggalan ayat tersebut ialah
“sebagaimana Kami menciptakan kalian; sebagian dari kalian ada yang
mendapat petunjuk, dan sebagian yang lain ada yang disesatkan. Maka
demikian pulalah kelak kalian dikembalikan, dan demikian pulalah
keadaannya sewaktu kalian dilahirkan dari perut ibu-ibu kalian.”

Secara umum, kata ikhlas dalam ayat ini dikaitkan secara erat dengan syarat
diterimanya sebuah amalan oleh Allah SWT. Syarat dari diterimanya sebuah amal
ibadah ialah ibadah tersebut telah memenuhi rukun-rukunnya serta dilaksanakan
dengan penuh keikhlasan hanya mengharap ridla Allah semata, tanpa penyekutuan
sedikitpun.
- Surat Az Zumar Ayat 11
Ayat keempat ialah ayat ke 11 pada surat Az Zumar yang berbunyi:
‫ي َن‬k’‫ ال ِد‬k‫صا ُه‬ ‫قُ ْل ِن’ي‬
ِ َ ‫ت أ عب‬
‫ل‬ ‫ْن أ د‬ ‫ ِم ْر‬kُ‫أ‬
‫ل مخ‬
‫َا‬
Katakanlah: "Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.
a. Tafsir Jalalain
1
4
Dalam tafsir Jalalain, dijelaskan bahwa penafsiran dari memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama ialah murni dari
perbuatan syirik.
b. Tafsir Al Mishbah
Dalam tafsir yang ditulis oleh Quraish Shihab tersebut dijelaskan
bahwa penafsiran ayat di atas ialah sebuah perintah untuk mengatakan
“aku diperintahkan untuk meyembah Allah dengan penuh ikhlas dan
tulus murni, tanpa ada kesyirikan dan riya’ atau pamrih”
c. Tafsir Ibnu Katsir
Dalam tafsir ibnu katsir, dijelaskan bahwa pemaknaan atau penafsiran
atas ayat di atas ialah sebuah perintah untuk mengatakan bahwa
“sesungguhnya aku hanya diperintahkan untuk memurnikan ibadah
hanya kepada Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya”
Berdasarkan penjelasan beberapa tafsir di atas, dapat difahami betapa
pentingnya esensi keikhlasan dalam beribadah. Manusia sebagai hamba yang
berkewajiban untuk mengabdi dan beribadah hanya kepada Allah, hendaknya
dapat melaksanakan kewajiban tersebut dengan penuh kesadaran dan kemurnian
hati. Sehingga ibadah dan amalan dapat diterima oleh Allah SWT. Sebagaimana
Allah telah berfirman:
‫و ِن‬kُ‫و َما خ ا ْل ِج وا س ل َي ْعُبد‬
‫َل هن ِْل ْن هَل‬
‫ت‬ ‫ْق‬
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56)

2. Toleransi
Toleransi secara bahasa berasal dari Bahasa Inggris “Tolerance” yang
berarti membiarkan. Dalam Bahasa Indonesia diartikan sebagai sifat atau sikap
toleran, mendiamkan membiarkan. Dalam bahasa Arab kata toleransi (mengutip
kamus Al-Munawir disebut dengan istilah tasamuh yang berarti sikap membiarkan
atau lapang dada). Badawi mengatakan, tasamuh (toleransi) adalah pendirian atau
sikap yang termanifestasikan pada kesediaan untuk menerima berbagai pandangan
dan pendirian yang beraneka ragam meskipun tidak sependapat.
15
Toleransi menurut istilah berarti menghargai, membolehkan membiarkan
pendirian, pendapat, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dan sebagainya yang
lain atau yang bertentangan dengan pendiriannya sendiri. Misalnya agama,
ideologi dan ras.
Firman-Nya, ِ ‫ۡ ۡ ؤ‬ ُ ‫ و‬Di antara mereka ada orang-orang yang
‫ن ِمن به‬ ‫ه ۡم‬
‫ي‬ ‫م‬
‫م‬ ‫ۡن‬

beriman kepada Al-Qur’an, dan seterusnya. Maksudnya, di antara mereka yang


kamu diutus kepada mereka, hai Muhammad, ada yang beriman dengan Al-
Qur’an ini, dia mengikutimu dan mengambil manfaat dengan apa yang kamu
diutus dengannnya. ‫“ ۡ ن ۡ ُي ۡؤ ِمن ه‬Dan di antaranya ada (pula) orang-
ِ ‫َل‬ ‫ُه ۡم و ن‬
‫ب‬ ‫ِم‬
‫م‬
orang yang tidak beriman kepadannya.” Bahkan dia mati dalam keadaan
seperti itu dan dibangkitkan dalam keadaan seperti itu pula.
‫ال س ِدي َن‬ َ ُّ “Dan Rabbmu lebih mengetahui tentang orang-orang
‫ُم ف‬ ‫علَ ُم‬kَ‫ب ا‬
‫و‬
‫َر‬
yang berbuat kerusakan.” Maksudnya, Allah lebih mengetahui siapa yang
berhak mendapat petunjuk, maka Allah memberinya petunjuk. Dan siapa yang
berhak mendapatkan kesesatan, maka Allah menyesatkannya. Allahlah yang
Maha Adil yang tidak berbuat zalim, akan tetapi Allah Memberi masing-
masing sesuai haknya, Maha Suci Allah Ta’ala Yang Maha Tinggi dan Maha
Bersih, tiada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia.
Allah berfirman kepada Nabi-Nya Muhammad SAW: “Jika orang-orang

musyrik mendustakanmu, maka berlepas dirilah dari mereka dan amal mereka.

‫َـ ع َملُ ُكم‬k‫ول‬ ‫َم‬ ُ‫ق‬ “Maka katakanlah: “Bagiku pekerjaanku dan bagimu
‫ُك م‬ ‫ْل ل ’ ِل‬
‫ع‬
pekerjaanmu.“ sebagaimana firman-Nya: ‫ ْعُبد‬kَ‫ما ت‬ ‫ عب‬# ‫ا ْل َكا ِف ُر ْون‬
‫ْو َن‬ ‫َلَ اَ اأَ د‬ ‫ّي َها‬

1
6
‫قُ ْل‬
“Katakanlah: ‘Hai orang-orang kafir, aku tidak akan beribadah kepada apa
yang kamu ibadahi,” (hingga akhir). (QS. Al-Kafiruun: 1-2).
Lebih lanjut Allah mengajarkan manusia tentang pentingnya toleransi
melalui firman-Nya dalam surat Al Kafirun ayat 6 yang berbunyi:
‫و‬ ‫لَ ُك ْم ُك‬
‫ِل ي‬ ‫ْم د‬
ُ‫ْين‬
‫“ د ْي ِن‬Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” Dalam kitab tafsir Jalalain
dijelaskan sebagai berikut:
“(Untuk kalianlah agama kalian) yaitu agama kemusyrikan (dan
untukkulah agamaku") yakni agama Islam. Ayat ini diturunkan sebelum Nabi

17
saw. diperintahkan untuk memerangi mereka. Ya’ Idhafah yang terdapat pada
lafal ini tidak disebutkan oleh ahli qiraat sab'ah, baik dalam keadaan Waqaf
atau pun Washal. Akan tetapi Imam Ya'qub menyebutkannya dalam kedua
kondisi tersebut.”
Adapun menurut Quraish Shihab dalam Tafsirnya, ia menjelaskan makna
dari ayat tersebut ialah ” Bagi kalian agama kalian yang kalian yakini, dan
bagiku agamaku yang Allah perkenankan untukku.”
Adapun asbabun nuzul surat Al kafirun ialah adanya kaum kafir Quraisy
berusaha keras membujuk dan mempengaruhi Rasulullah saw. untuk mengikuti
ajaran mereka. Kaum kafir Quraish menawarkan harta yang melimpah
sehingga Rasulullah dapat menjadi orang terkaya di Makkah. Selain itu,
Rasulullah juga dijanjikan hendak dikawinkan dengan wanita paling cantik,
baik yang gadis maupun yang sudah janda, sesuai kehendak beliau. Dalam
upaya ini, kaum kafir Quraish mengatakan, “Inilah wahai Muhammad yang
kami sediakan untukmu, agar kamu tidak memaki dan menghina tuhan kami
dalam satu tahun!” Rasulullahpun menjawab, “Saat ini, aku belum bisa
menjawab. Aku akan menunggu wahyu dari Allah Tuhanku lebih dahulu.”.
karena terjadinya peristiwa ini, maka Allah Subhanahu wata’ala menurunkan
wahyu kepada Rasulullah SAW berupa surah Al-Kafirun. Melalui wahyu ini,
Allah menunjukkan Rasulullah untuk menolak tawaran mereka. (HR. Thabrani
dan Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas)
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa orang-orang kafir Quraisy
mengajukan tawaran kepada Rasulullah SAW, “Wahai Muhammad, sekiranya
kamu tidak keberatan mengikuti agama kami selama satu tahun, maka kami
akan berbalik mengikuti agamamu selama satu tahun pula.” Beradasarkan
peristiwa inipun kemudian Allah SWT memerintahkan malaikat Jibril untuk
menurunkan wahyu kepada Rasulullah SAW, yaitu surah Al-Kafirun sebagai
petunjuk jawaban yang harus diberikan Rasulullah. Selanjutnya Rasulullah
Saw menyampaikan jawaban berdasarkan wahyu Allah tersebut secara terang-
terangan dengan kalimat: “selamanya tidak akan bertemu dalam satu titik

1
8
agama kufur dengan agama Islam yang hak”. (HR. Abdurrazak dari Wahbin.
Dan Ibnu Mundzir meriwayatkan bersumber dari Juraij)

3. Murah Hati
Dalam kamus besar bahasa Indonesia murah hati adalah suka (mudah)
memberi; tidak pelit; penyayang dan pengasih; suka menolong; baik hatikebaikan
hati; sifat kasih dan sayang; kedermawanan. Sifat hati yang mulia dan hangat
berupa kesdiaan untuk mendatangkan kebaikan bagi orang lain dengan memberi
secara limpah, dengan tangan terbuka, tanpa ditahan-tahan.
‫و َما‬ ‫ِك‬
ِ‫ن ِفقُو َن ِإ هَل ٱ ه َّۚلل‬kُ‫ر ف ُ و َما ت‬, ‫ن ِفقُواْ خي‬kُ‫ه ِدي شا و َما ت‬ َ‫علَيَ هد‬ ‫لهيس‬
‫ٱبتِ َا َء وج ِه‬ ‫ن ُف ك‬kَ‫ِل‬ ‫من ُۗ ُء‬ ‫هن ٱ‬ ‫َٰى‬
‫من‬
‫ه‬ ‫ُه م‬
‫ۚم‬
‫س‬ ‫َل َٰول‬
) :‫ظلَ ُمو َن )البقرة‬kُ‫نت َل ت‬kَ‫لَي ُكم وأ‬ ‫ر ي‬k‫ن ِفقُواْ من خي‬kُ‫ت‬
272 ‫م‬ ‫ف‬ ‫َو‬
Artinya:
“Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi
Allah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya.
Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka
pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan
sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. Dan apa saja harta yang
baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup
sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya.”
Asbabun Nuzul ayat ini adalah: “Bahwa ada orang-orang yang tidak suka
memberikan sedekah kepada keturunan mereka dari kalangan musyrik, lalu
mereka menanyakan hal itu, hingga diberikan rukhshah (keringanan) bagi mereka.
Maka turunlah ayat ini yang membolehkan memberi sedekah kepada kaum
Musyrikin.” (Diriwayatkan oleh An-Nasai, Al-Hakim, Al-Bazzar, Ath-Thabrani
dan lain-lain, yang bersumber dari Ibnu Abbas.
Asbabun Nuzul riwayat lainnya adalah: “Bahwa Nabi Saw melarang
umatnya bersedekah kecuali untuk kaum Muslimin. Setelah itu turunlah ayat ini
yang beliau diperintahkan Allah Swt untuk memberi sedekah kepada orang yang
beragama apapun, yang datang meminta kepadanya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu
Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu Abbas)
19
Firman-Nya (‫ )فِلنفسكم خير من نت فقوا وما‬sebgaimana dalam Surah Fushishilat ayat
46 yang artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal yang shalih, maka
[pahalanya] untuk dirinya sendiri.” Dan yang semisal dengan hal tersebut cukup
banyak di dalam Al-Quran. Firman-Nya (‫ون وما‬k‫ )هلال وجه ابتَاء َإل نت فق‬Al-Hasari Al-
Bashri mengatakan, “Yaitu nafkah yang diberikan orang mukmin untuk dirinya
sendiri. Dan seorang mukmin tidak menafkahkan hartanya melainkan dalam
rangka mencari keridhaan Allah Ta’ala. Atha’ Al-Khurasani mengatakan: “Yakni,
jika engkau memberikan sesuatu karena mencari keridhaan Allah Swt, maka
pahala amal itu bukanlah urusanmu.” Ini merupakan makna yang bagus.
Maksudnya adalah bahwa jika seseorang bersedekah dalam rangka mencari
keridhaan Allah Ta’ala, maka pahalanya terserah pada-Nya, dan tidak ada
masalah baginya, apakah sedekah itu diterima oleh orang yang baik atau orang
yang jahat, orang yang berhak menerima maupun orang yang tidak berhak
menerima. Orang yang bersedekah ini tetap mendapatkan pahala atas niatnya.
Firman-Nya ( ‫وا وما‬kk‫ير من نت فق‬kk‫وف خ‬kk‫ون َل وأنتم إليكم ي‬k ‫ )تظلم‬yang menjadi sandaran
dalam kalimat ayat sebelumnya adalah kelanjutan kalimat ayat ini. Juga
berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan dalam sahihain, melalui jalan Abu
Zinad, dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah, ia menceritakan, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam pernah bersabda:
‫ َ ح ا نل هاس‬،ٍُ ‫ َ ب صدَقَ َ َع ي ِد ِن َي‬،ٍُ ‫َق‬kَ‫ا له ْي ُلَ ب صد‬ َ ‫"قال رجل‬
‫أَ زا ب‬ ‫ه‬ ‫ت‬
‫ر ج ِ ِ و َها‬ ‫ف‬ ‫ه‬ ‫ت‬k‫ َل‬:
‫َف ض‬ ‫ن‬
‫ص‬ ‫خ‬ ‫ص‬
‫ده‬
‫َق‬
‫ خ َرج‬،ٍُ ‫َق‬kَ‫صد‬ ‫ا له ْيَُل‬ َ ‫ا له ُه َ ح عَل ِن َي‬ ‫ ت ص عَل ِن َي قف َا‬:‫و َن‬kُ‫ث‬k‫ َحده‬kَ‫َيت‬
‫ف‬ ‫ه‬ ‫ت‬k‫ زا َل‬،ٍُ ‫ ا ْل ْم ُد‬:‫هم َل ل‬ ‫ٍُ! زا‬ ‫دق‬
‫ن‬
‫ص‬
‫ده‬
‫َق‬
‫و صدق ا له علَ غني قَا ا له ُه َ ح عَل‬kُ‫ث‬k‫َ حده‬ ‫ َ ح‬،k‫ي‬
ٍ ِ ‫َق ِت ِه َف َو َع ي ِد‬kَ‫صد‬
‫ ا ْل ْم ُد‬:‫هم لَ ل‬ ! َُ‫ْيل‬ ‫ ت‬kُ‫ ت‬:‫َن‬ ‫ن أ ب وا‬ ‫َها‬
‫ض‬
‫ص‬ ‫غ‬
‫صدق‬kُ‫ ت‬:‫و َن‬k‫ َحدهُث‬kَ‫ص َ ح ت‬ ‫أ ق‬ ‫سا ِر‬ ‫ض‬ ‫َع‬ ‫ِفي َي ِد‬ ‫ِت ِه َف َو ق ص‬
‫ب وا‬ ، ‫َها‬ ‫َ د‬
2
0
‫َرج خ‬ ‫ د ص‬،ٍُ ‫َق‬ َ‫هن ا له ْيل‬ ‫ِب‬ ‫صد‬ ‫هَق‬ ‫ت‬k‫َل‬
َ ‫ ي‬، ‫غ ِن‬
‫ هما‬kَ‫ أ‬:kُ‫ َف ِقي ل َله‬،‫وعَل ِ ي وعَل سا ق‬ ‫سا قَا ا له ُه َ ح علَ ِن َي‬ َ‫ا له ْيل عل‬
‫ ِت ي‬kُ‫ِر َفأ‬ ،kٍ ‫ن‬ ‫ زا‬،ٍُ ‫ ا ْل ْم ُد‬:‫هم لَ ل‬ !‫ِرق‬

‫غ‬
ُ‫ل ا ْ َل ْعت ُي ْن هما َ اه‬ َ‫ْ ز ه ول‬ ِ ‫ فَلَعله َها ست‬kُ‫َقدْ ُق ِبَلت؛ هما ال هزا ِن َُي‬ َkُ‫َت‬k‫ق‬kَ‫صد‬
‫ِفُ أَع م‬ ‫ِني ِب ُر‬ ‫ن نَ ا ا َع‬ ‫ وأ ِع ب‬kَ‫ ْن ت‬kَ‫أ‬
، ‫َها‬
‫ع‬ ‫ف‬
"‫ل سا أَ ْن ست ف ْ س ِرقَ ِت ِه‬ َ‫ ول‬،ُ‫َّ لال‬
‫ال ِر َي ق ِع َها ن‬ ‫َع‬

‫ع‬
Artinya: “Ada seseorang berkata: ‘Aku akan mengeluarkan sedekah pada
malam ini.’ Kemudian ia pergi dengan membawa sedekah, lalu sedekah itu
jatuh ke tangan seorang pezina, maka pada pagi harinya, orang-orang pun
membicarakan: ‘Seorang pezina diberi sedekah.’ Kemudian ia berucap: ‘Ya
Allah, segala puji hanya untuk-Mu atas (sedekah) kepada seorang pezina.’

21
Selanjutnya orang itu berkata: ‘Aku akan mengeluarkan sedekah pada malam
ini.’ Kemudian sedekah itu jatuh ke tangan orang kaya. Dan pada pagi
harinya, orang-orang membicarakan: ‘Tadi malam ada orang kaya yang
diberi sedekah.’ Maka orang itu pun berucap: ‘Ya Allah, segala puji bagi-Mu
atas (segala sedekah) kepada orang kaya. Dan pada malam ini aku akan
mengeluarkan sedekah.’ Maka ia pun keluar dan sedekah itu jatuh ke tangan
seorang pencuri. Dan pada pagi harinya, orang-orang pun membicarakan:
‘Tadi malam seorang pencuri diberi sedekah.’ Maka orang itu pun berucap:
‘Ya Allah, segala puji bagi-Mu atas (sedekah) kepada pezina, orang kaya, dan
pencuri.’ Kemudian ia didatangi (oleh malaikat) dan dikatakan kepadanya:
“Sedekahmu telah diterima. Adapun si pezina itu semoga ia menjaga diri dari
zina. Dan semoga orang kaya akan mengambil pelajaran sehingga ia mau
menginfakkan apa yang telah diberikan Allah Ta’ala kepadanya. Dan semoga
si pencuri itu menjaga diri dari perbuatan mencurinya.” (HR. Al-Bukhari 1421
dan Muslim 1022).
Sayyid Quthub dalam tafsirnya fi Zilalil Qur’an menjelaskan bahwa kita
memperhatikan juga dalam konteks ayat ini tentang keadaan orang-orang mukmin
ketika menafkahkan hartanya, jangan kamu membelanjakan sesuatu melainkan
karena mencari keridhaan Allah. Inilah keadaan orang-orang mukmin, bukan yang
lainnya. Dia tidak menginfakkan hartanya melainkan mencari keridhaan Allah,
bukan karena mengikuti hawa nafsu dan bukan pula karena tujuan-tujuan lain. Ia
menginfakkan hartanya ukan bermaksud untuk mengungguli orang lain dan
menyombongi mereka. Ia tidak melakukan infak melainkan semata-mata mencari
keridhaan Alah, tulus ikhlas karena Allah. Karena itu hatinya merasa mantap
bahwa Allah akan menerima sedekahnya; hatinya percaya bahwa Allah akan
memberi berkah pada hartanya; ia percaya kepada kebaikan dan kebajikan dari
Allah sebagai balasan kebaikan dan kebajikannya kepada hamba-hambanya Allah.
Karena anugerah Allah di bumi, maka ia meningkat kedudukannya, menjadi suci
dan bersih. Sedangkan, karunia akhirat sesudah itu semua adalah sangat utama.

2
2
KEGIATAN BELAJAR 4:

INDIKATOR KOMPETENSI

Menjelaskan Ayat Al Qur’an tentang konsep integrasi ilmu pengetahuan.


Manganalisis Karakteristik Ulul albab.

URAIAN MATERI
1. Sosok Ulul Albab
Dikisahkan bahwa suatu ketika orang-orang Quraisy datang kepada kaum Yahudi dan
bertanya kepada mereka, apa tanda-tanda yang dibawa Musa kepada kalian?” orang-orang Yahudi itu
menjawab “Tongkat dan tangan yang mengeluarkan cahaya putih.” Selanjutnya orang-orang Quraisy
itu mendatangi kaum Nasrani, lalu bertanya kepada mereka, “apa tanda-tanda yang diperlihatkan
Isa?.” Kaum Nasrani menjawab, “Isa menyembuhkan orang yang buta, orang yang sakit kusta dan
menghidupkan orang mati.” Setelah orang-orang Quraisy mendatangi Yahudi dan Nasrani, kemudian
mereka mendatangi Nabi Saw sambil berkata kepada beliau; “Berdoalah kepada Tuhanmu untuk
mengubah bukit shafa menjadi emas untuk kami.” Nabi Saw kemudian berdoa, maka turunlah firman
Allah Q.S Ali Imran 190 ini ;1
‫( ا َ ك ُرون‬190) ‫ب‬ ‫و ِلي ا ْْل‬kُ‫والَّن َ ت ْل‬ َ‫ف الل‬ ‫وا َْْل واخ ِت ََل‬ ‫ن ِفي ْ ق َما‬
‫لَّ ِذي ي‬ ‫ْلَبا‬ ‫ْيل َها ِر ل‬ ‫ض‬ ‫ْر ت‬ ‫ل ال َوا‬
‫ْذ‬ ‫َي ا‬ ‫س‬
‫ن‬ ‫خ‬
‫خَل هذَا ِ ًَل‬ ‫رَّب نَ ا‬ َ‫ْْل‬ ‫َما‬ ‫ف ك ُرون ْ ق‬k‫وعل جُنو ِب وي َت‬ ‫لََّال ِق َيا ًما وُقُعود‬
‫َبا‬ ‫م ا ْقت‬ ‫َوات ْرض وا‬ ‫ي ل ال‬ ‫ى ِه ْم‬ ‫ا‬
‫س‬
‫خ‬
19( ‫نَّا ِر‬k ‫س ْب ح ك ف ع ب ال‬
Artinya : “ (1 ‫ا‬kَ‫ان ِقَنا ذ‬
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang

1
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (190). (yaitu) orang-orang yang mengingat
atau berdzikir kepada Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah

. Jalaluddin as-Suyuthi, Asbabun Nuzul: Sebab-sebab turunnya ayat Al-Qur’an, terj. Lubaabun Nuquul fii
1

Asbaabin Nuzuul, Tim Abdul Hayyie, (Jakarta: Gema Insani, 2008) hlm. 148-149

2
Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa

neraka (191)
Nabi Saw ketika berdiri mengerjakan salat beliau menangis sehingga jenggotnya basah oleh
air mata. Ketika sujud beliau juga menangis hingga air matanya membasahi tanah kemudian berbaring
beliau menangis lagi. Ketika Bilal datang untuk memberitahukan kepadanya waktu salat subuh,
seraya bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah yang menyebabkan engkau menangis, padahal Allah
telah memberikan ampunan kepadamu terhadap dosa-dosamu yang telah lalu dan yang akan datang?"
Nabi Saw. menjawab, “Bagaimana aku tidak menangis, malam ini Allah telah menurunkan kepadaku
ayat ini: 'Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
hari terdapat tanda-tanda bagi para ulul albab (Ali Imran: 190)." Kemudian Nabi Saw. bersabda
pula, 'Celakalah bagi orang yang membacanya, lalu ia tidak merenungkan semuanya itu."
Pada Surat Ali Imran 190 ini mengisyaratkan tentang tauhid, keesaan, dan kekuasaan
Allah SWT. Hukum-hukum alam yang melahirkan kebiasaan-kebiasaan, pada hakikatnya
ditetapkan dan diatur oleh Allah Yang Mahahidup lagi Qayyum (Maha Menguasai dan Maha
Mengelola segala sesuatu).2
Surat Ali Imran ayat 190-191 menegaskan penciptaan semesta, yaitu langit dan bumi
serta pergantian malam dan siang adalah sebagai tanda-Nya. Tanda itu mampu diterima oleh
ulul albab, yaitu orang-orang yang selalu berdzikir dan bertafakkur. Berdzikir berarti
senantiasa mengingat Allah dan bertafakkur berarti merenungi dan memikirkan segala
ciptaan Allah Swt yang meliputi langit dan bumi serta segala isinya dan hukum-hukum yang
berlaku di dalamnya.
Dua dimensi yang tidak dipisahkan dalam ayat tersebut sehingga disebut ulul albab
adalah dimensi dzikir (mengingat Allah Swt) dalam kondisi apapun; baik berdiri,duduk
maupun berbaring, di mana setiap orang secara umum memang berada di salah satu dari tiga
kondisi tersebut. Dimensi kedua adalah bertafakkur (melakukan renungan) terhadap ciptaan
Allah Swt yang tersebar di semesta alam ini; penciptaan langit dan bumi serta pergantian
siang dan malam. Dimensi ke dua ini tentu saja bersifat global dengan tidak merinci bagian-
bagian langit dan bagian-bagian bumi serta hukum-hukum alam yang menjadi sunnatullah,
karena menyebut tiga hal tersebut sudah mewakili apapun yang ada padanya dan
bagaimanapun keadaannya dan yang diakibatkannya telah masuk pada system keberadaan
langit, bumi dan perputarannya.
Memikirkan dan merenungkan bagian-bagian kecil dari langit, misalnya; memikirkan
bulan, matahari, planet atau sinarnya, awannya, panasnya dan juga bagian kecil dari bumi;

2
. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, Jilid 2,… hlm. 370.

3
memikirkan hewannya, tumbuhannya, manusianya atau udaranya, maka perbuatan ini juga di

sebut tafakkur fi khalqissamawati wa al ardhi (merenungkan penciptakan langit dan bumi ).


Lebih terperinci lagi bahwa seseorang yang melakukan perenungan melalui berbagai kajian
yang sungguh-sungguh dalam berbagai disiplin ilmu baik social maupun sains pada
hakekatnya sedang melakukan tafakkur.
Kembali pada surat Ali Imran;190 yang menegaskan bahwa dalam penciptaan langit
dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang benar-benar terdapat tanda-tanda bagi ulul
albab. Kata Ulul albab menurut tafsir Ibnu Katsir adalah orang yang memiliki akal yang
sempurna lagi cerdas yang mengerti tentang hakekat dibalik adanya segala sesuatu yang
tampak. Tanda-tanda yang tersebar di semesta adalah tanda adanya Allah Swt, yang berarti
tanda wujud-Nya, keagungan-Nya, kemahabesaran-Nya, kemahaindahan-Nya,
kemahakaryaannya dan kemahasempurnaan-Nya meliputi segala sesuatu.
Namun tanda wujudnya Allah Swt tersebut hanya dapat ditangkap dan dipahami oleh
orang-orang yang disebut ulul albab, bukan oleh orang lain. Siapakah ulul albab tersebut ?
Seseorang disebut Ulul albab pada ayat tersebut harus memiliki dua syarat, sebagaimana
telah dijelaskan sebelumnya; syarat pertama yaitu dimensi dzikir (mengingat Allah Swt)
dalam kondisi apapun. Syarat kedua yaitu dimensi kedua adalah bertafakkur (melakukan
renungan) terhadap ciptaan Allah Swt yang tersebar di semesta. Dua dimensi itu ibarat dua
sisi mata uang pada satu logam yang tidak bisa dipisah-pisahkan, bertafakur tanpa berdzikir
tidaklah di sebut ulul albab, demikian juga sebaliknya.
Seorang ulul albab senantiasa mengingat kepada Allah Swt dan melakukan kajian-
kajian serta renungan terhadap kejadian-kejadian pada ciptaan Allah Swt, sehingga pada
akhirnya dia menemukan hikmah yang agung pada setiap ciptaan Allah Swt. Dia menemukan
sebuah system keserasiaan, keseimbangan dan keharmonisan serta penjagaan Allah Swt
terhadap semesta. Dan pada seorang ululalbab memahami bahwa segala apa yang Allah
ciptakakan memberikan manfaat yang besar terhadap kehidupan dan tidak ada yang sia-sia.
Dalam konteks saat ini seorang ulul albab memiliki sifat dan sikap seperti kritis, mau
berusaha dan berkreasi untuk kemanfaatan, kemaslahatan dan kelestarian kehidupan. Sifat
dan sikap tersebut dapat dijelaskan berikut ini 3:
a. Memiliki sikap kritis secra rinci rinci lagi ada tiga cirri utama; yaitu berdzikir,
memikirkan atau mengamati fenomena alam dan berkreasi. Dari uraian tersebut dapat
dipahami bahwa berfikir kritis memiliki tiga tuntutan besar: 1) Berdzikir. Seorang

3
. Abdul Majid Khon, dkk, Modul Pendalaman Materi Alqur’an Hadis. Fitk Uin Syarif Hidayatullah

3
Jakarta.Cetakan Pertama, 2018

4
yang berfikir kritis dan cerdas, ciri pertama adalah selalu berdzikir kepada Allah swt

baik siang dan malam, pada saat berdiri, duduk dan berbaring. Maknanya tiada waktu
tanpa berdzikir, segala waktu diisi dengan dzikir baik dalam shalat maupun di luar
shalat. Berdzikir bukan saja hanya ingat tetapi juga membaca kitab Allah, memahami
isinya, menyebar luaskan dan mengamalkan isi kandungannya. Membelajari kitab suci
dalam rangka memahami , menyebar luaskan dan menerapkan nilai-nilainya di tengah-
tengah masyarakat yang sangat beragam kebutuhan dan problemanya. 2) Berfikir
Kritis. Berfikir kritis berarti mengamati, meneliti, menyimpulkan dan membuktikan
kebenarannya. Mengamati ayat-ayat Tuhan di alam raya ini baik dalam diri manusia
secara perorangan maupun berkelompok, di samping juga mengamati fenomena alam.
Mereka berfikir tentang ciptaan langit dan bumi. Menurut Muhammad Quthub
sebagaimana dikutip oleh M Quraish Shihab bahwa ayat-ayat tersebut merupakan
metode yang sempurna bagi penalaran dan pengamatan Islam terhadap alam. Ayat-
ayat itu mengarahkan akal manusia kepada fungsi pertama di antara sekian banyak
fungsinya, yakni mempelajari ayat-ayat Tuhan yang tersaji dalam alam jagat raya ini.
Ayat tersebut bermula dari tafakkur dan berakhir dengan amal.3 Di samping itu
bertafakkur terhadap penciptaan langit bumi, juga bermakna memikirkan tentang tata
kerja alam semesta. Karena kata Khalq selain berarti penciptaan juga berarti
pengaturan dan pengukuran yang cermat. Pengetahuan yang terakhir ini mengantarkan
ilmuan kepada rahasia alam dan pada gilirannya mengantarkan kepada penciptaan
teknologi yang menghasilkan kemudahan dan manfaat bagi manusia.
b. Berusaha dan berkreasi dapat berarti melakukan upaya-upaya kreatifitas pada hasil-
hasil penemuan ilmiah dan teknologi. Karena itu setelah mereka menemukan dan
memahami suatu ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan bagian kecil dari
system yang sempurna dari Dzat Yang Maha Karya, kemudian mereka berkata: Ya
Allah tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia - sia Maha Suci Engkau, maka
peliharalah kami dari siksa neraka.
Adanya usaha dan kreasi dalam bentuk nyata dari ilmuwan, khususnya dalam kaitan
hasil-hasil yang diperoleh dari pemikiran dan perhatian tersebut berarti bahwa mereka harus
selalu peka terhadap kenyataan-kenyataan social dan semesta alam serta bahwa peran
mereka tidak sekedar merumuskan atau mengarahkan tujuan-tujuan tetapi juga sekaligus
memberi contoh pelaksanaan dan sosialisasinya. Keindahan alam dan keberhasilan sains dan
tekhnologi yang dihasilkan dari proses berfikir dan berdzikir itu memperkuat keimanan
kepada Allah swt dan dalam meningkatkan kepatuhannya kepada Sang Pencipta.
5
Pemahaman terhadap penciptaan semesta yang agung disertai dengan selalu berdzikir

menimbulkan sebuah kemampuan pada dirinya untuk melihat sebuah tanda wujudnya Allah Swt,
keagungan-Nya dan kemahabesaran-Nya, sehingga terlontar dari dirinya ucapan subhaanak ( maha
suci Engkau ya Allah). Penjelasan seperti ini tergambar pada ayat 191;

‫خلَ ه ِا ًَل ْ حا نَ ك‬ ‫ربَّ نَ ا ما‬


Artinya; ‫ب‬ ‫ا‬kَ‫ْقت ذ‬

‫س‬
"Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau

Masih belum berhenti di sini, setelah seorang ulul albab mampu melihat tanda wujudnya
Allah Swt dan memahami ciptaan-Nya yang penuh hikmah; serasi, seimbang, harmonis dan penuh
manfaat. Maka seorang ulul albab mengkhawatirkan terjadi suatu kezhaliman (pengrusakan) terhadap
segala ciptaan Allah Swt dan tata aturan-Nya yang Maha Indah yang mungkin kezholiman itu
dilakukan oleh dirinya maupun orang lain, di mana kezholiman itu dapat membawa masuk ke dalam
api neraka. Karena itu, seorang ulul albab melanjutkan ucapannya; ‫( نا ِق َف َ ع ب النَّا‬maka jagalah kami
‫ِر‬ ‫ذَا‬
dari siksa api neraka).
Sosok ulul albab di atas menggambarkan seorang yang di samping memiliki ilmu
pengetahuan yang tinggi, juga sosok yang selalu dekat dengan Allah Swt. Kedekatan kepada
Tuhannya dan keluasan ilmunya memberikan dampak terhadap kehidupannya sebagai seorang yang
selalu melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi kemaslahatan kehidupan yang sejalan dengan aturan
Allah Swt.
Ilmu yang dimiliki oleh seorang ulul albab tidak tersekat oleh batasan-batasan yang dibuat
oleh manusia, yang sekat-sekat tersebut diakibatkan oleh keterbatasan manusia itu sendiri. Bagi
seorang ulul albab ilmu pengetahuan apapun yang berhubungan dengan alam semesta ini hakekatnya
adalah ciptaan-ciptaan Allah Swt yang tunduk kepada sitem aturan yang telah dibuat-Nya. Sehingga
semua ilmu itu hakekatnya hanya satu yaitu ilmu Allah Swt, dan manusia hanya diberi sedikit ilmu
dari Allah Swt.

‫ ْم من ال ِع ْل ِم ِا اّل َق ِل َْيل‬kُ‫و َما ُاو ِت ْيت‬


Adapun berbagai disiplin ilmu pengetahuan seperti ilmu social dan sains serta cabang-
cabangnya adalah nama-nama yang dibuat oleh manusia sendiri untuk memudahkan bidang focus
kajian dan bidang keahlian yang ditekuni. Sehingga nama-nama bidang ilmu tersebut sangatlah
bermanfaat untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Namun yang perlu diingat bahwa bidang-bidang
ilmu itu secara makro dipahami sebagai satu-kesatuan yang saling berhubungan, tidak untuk
dipisahkan, apalagi dipisahkan dari ciptaan dan system aturan Allah Swt.
Dapat dipahami juga bahwa Allah Swt yang maha agung memilki ilmu yang maha luas, di
mana untuk mendapatkan pemahaman tentang Allah Swt atau dengan kata lain memahami tanda (

5
dalam ayat al qur’an disebut ayat ) diperlukan ilmu Allah, karena itu belajar suatu ilmu adalah untuk

6
lebih mengetahui tentang Allah Swt dan agar mampu lebih banyak melakukan kemaslahatan dan

kemanfaatan dalam kehdupan sesuai petunjuknya, sehingga semakin bertambah ilmu seseorang akan
menambah juga kedekatannya kepada Allah Swt dan kebaikannya dalam kehidupan.
Namun, apabila suatu ilmu dipisahkan dari pemiliknya yakni Allah Swt dan berdiri sendiri,
maka dikuatirkan fungsi dari ilmu tersebut akan lepas kendali dan jauh dari aturan dan tujuan serta
manfat dari ilmu tersebut.
‫من ُب عدًى‬ ‫ ْز‬# ‫زدادَ ع ولَ ْم َي هدًى‬
َ ْ ‫من ا‬
‫ه ِلال اّل‬ ‫ْم َد ْد‬ ‫ ْد‬k‫ْلما ْز َد‬

Barangsiapa bertambah ilmunya tetapi tidak bertambah petunjuknya maka hanya akan
membuat semakin jauh dari Allah Swt

2. Integrasi Ilmu Pengetahuan


Al Qur’an adalah petunjuk bagi manusia untuk menjalani kehidupan di dunia dan memberi
informasi tentang kehidupan di akherat. Petunjuk tentang menjalin hubungan dengan Allah (hablun
minallah) yang menciptakannya dan hubungan dengan sesama manusia (hablun minannas) serta
hubungan manusia dengan alam sekitarnya agar dijaga dan dilestarikan.
Sebelum kajian ilmu social dan sains berkembang pesat, al Qur’an telah memberikan
informasi yang sangat luas dan benar bagaimana seharusnya berinteraksi sesama manusia ( social
interaction), demikian juga sebelum sains berkembang al Qur’an telah begitu dalam membicarakan
semesta alam.
Dalam hal interaksi social misalnya al Qur’an sebagai petunjuk tidak hanya membicarakan
pola-pola interaksinya saja, namun telah mengatur secara tepat bagaimana seharusnya interaksi social
itu dapat berjalan seimbang, adil dan tidak terjadi kedzoliman, agar kehidupan ini terjaga dan sesuai
dengan tujuan penciptaannya. Karena itu petunjuk tentang bagaimana interaksi social sangat banyak
sekali, misalnya; ayat-ayat tentang perdagangan, hutang piutang, pernikahan, kepemimpinan,
keadilan, perceraian, perjanjian, kepemilikan, komunikasi dan sebagainya.
Demikian juga al Qur’an memberikan informasi yang sangat luas tentang sains, mulai
membahas penciptaan alam semesta, tata surya, hewan, tumbuhan, hujan, angin dan sebagainya.
Namun, pembicaraan sains dalam al Qur’an bukan hanya terbatas pada aspek sains itu saja, tetapi
pasti dikaitkan dengan aspek yang lain, misalnya; agar manusia mengenal tuhannya, agar manusia
mau bersyukur, menjaga kelestariannya, agar mau berfikir, agar manusia selalu beramal sholeh, dst.
Al Qur’an membicarakan semesta alam; langit, bumi, hewan, tumbuhan yang semua
diciptakan untuk manusia maka manusia diperintahkan untuk menjaga, mengelola dan
memanfaatkannya dengan baik . Mengenai cara dan tekhnik mengelola atau memanfaatkannya
diserahkan kepada manusia sendiri. Karena itu al Qur’an tidak membicarakan secara spesifik
bagaimana cara mengelola dan alat apa yang digunakannya, demikian itu supaya manusia berfikir

7
karena sudah diberi potensi akal untuk dikembangkan afala ta’qilun (tidakkah kalian menggunakan

8
akal),iniartinyamanusiadiperintahuntukmengembangkantekhnologi.Manusiadapat

mengembangkan tekhnologi apapun dalam rangka mendukung dan menunjang proses


kekhalifahannya di muka bumi. Namun al Qur’an memberikan rambu-rambu atau asas-asas yang
dapat dijadikan sebagai petunjuk melaksanakannya, agar tidak menyalahi dengan ketentuan-ketentuan
Allah Swt. Adapun asas-asas tersebut adalah a)asas tauhid, artinya tidak diperkenankan segala sains
dan tekhnologi berdampak kepada penyekutuan terhadap Allah Swt (syirik). b) Asas manfaat, c) Asas
kemudahan, d) asas keindahan, dan e) asas keadilan;
a. Asas Tauhid
Di dalam al Qur’an tidaklah diperkenankan segala apapun berdampak kepada
penyekutuan terhadap Allah Swt dan sehala apaun yang dilakukan semata-mata karena
mengabdi kepada Allah Swt secara tulus.

‫شا َ ن ِ ك َ قَ ِد ا َْفت َرى‬ ‫ل‬ َ‫ما ذ‬ َُ ِ َ ‫ُر أَ ْن‬ ‫ن َّ َلال ّل‬


ّ‫ء م ي ر ِبا ل‬ ‫دُو ِل َمن‬ ‫ير‬ ‫يُ غ ِف ر ب‬
‫ل‬ ‫ن ك‬ ‫غ‬ ‫ِه‬
ِ ‫و ش‬ ‫و ِف‬ ‫شك‬
‫ثْ ما عظي ًما‬
ً

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia


mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka
sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An Nisa: 48)

‫وذَ دين ا ْلَق ِيا َم ِة‬ ‫وا ال كا َة‬kُ‫ ال حنَفا و ُي قِ ي ُموا ََل وُي ْؤت‬kُ‫صين َله‬ ِ َ ‫و َما أُ ِم ُروا َ َ عُبد‬
‫ِلك‬ ‫َّز‬ ‫َة‬ ‫ل‬k‫ا‬ ‫ء‬ ‫ين‬k‫ِدا‬ ‫ل‬ ّ‫ّّل ي وا ل‬
‫ص‬ ‫م‬ ‫ل‬
‫خ‬ ‫َا‬ ‫ل‬

Dan tidaklah mereka diperinta kecuali supaya menyembah Allah dengan


memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan
supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian
itulah agama yang lurus.” (Al-Bayyinah : 5)

b. Asas manfaat
Al Qur’an sangat menganjurkan agar segala upaya dan kreasi manusia dilakukan

7
dengan mempertimbangkan sisi kemanfaatannya.

‫ْن ع َفَي ْمك ث ي ا َْْل ْرض‬ ‫ َف َي ْذهب ج ء ۖ َوأ‬kُ‫ َّما ال َّز َبد‬kَ‫َفأ‬
‫فَ الَنّا س‬ ‫َفا َّما‬
‫ما‬

8
Maka adapun buih itu, akan hilang (sebagai sesuatu yang tak ada harganya),

adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. ) al


Ro’d, 13 :17)

Nabi Saw menjelaskan :

‫ م ن‬:‫ل‬
‫َّى علَ وسلَّ َم‬k‫صل‬ ‫هلال‬
ِ ْ :‫ِبي ْي َرةَ ضي ع ْنه ل‬kَ‫عن أ‬
‫قَا‬ ‫هلال ْي‬ ‫قَا َقال و ل‬ ‫هلال‬ ‫ر ه َر‬
‫ِه‬ ‫ر‬
‫س‬
)‫ ْر ِم ِذي‬k‫ ال ِتا‬k‫ل ِم ا ْل َم ك ما ْي ِه ر َو ُاه‬
َ ‫َس‬ ‫حسن‬.
ِ ( ‫ ْر ه ّل‬kَ‫ْر ِء ت‬
‫عن‬

Dari Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah Saw bersabda, “Di antara


tanda kebaikan Islam seseorang adalah jika dia meninggalkan hal-hal
yang tidak bermanfaat baginya.”
c. Asas Kemudahan
Allah Swt Yang Maha Pengasih menginginkan agar manusia dalam
menjalankan tugasnya tidak mengalami kesulitan, karena itu Allah Swt
menganjurkan agar manusia dapat melakukan hal-hal yang dapat memudahkan
dan meringankannya.

‫ُم ا س َر‬
‫د لَُّال ُم َ و َّل ُي ِريد‬k ‫ُي ِري‬
‫ِب ْلعُ ك‬ ‫ا ْليُ ر‬
‫ك‬
‫س‬

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki


kesukaran bagimu” (QS. Al Baqarah, 2: 185).

‫ض ِعيفًا‬ ‫ْن خ ْ ْ ِ ق ا سا‬ ‫د‬k ‫ُي ِري‬


‫ُي ِفاف ن م ل ِْل ْن ن‬
‫وخ‬ َّ ‫ل‬
‫عك‬ ‫ُا أ‬

Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia


9
dijadikan bersifat lemah.” (QS. An Nisa’, 4: 28).

,‫اس ُروا‬
‫َي تُ َع‬ ‫س رضي هلال عنه قال قال رسول هلال صلى هلال عليه وسلم‬ ‫ن‬kَ‫عن أ‬
َ‫وّل‬ ‫اس‬
‫ُروا‬
) ‫َن ِفا ُروا ( رواه مسلم‬k‫ُت‬ ‫و َب ا ش‬
Artinya ‫وّل‬ ‫ُروا‬
Dari Anas r.a berkata: Nabi Saw bersabda; Mudahkanlah, jangan
mempersulit, buatlah senang dan jangan buat mereka berpaling
(meninggalkan) kalian.

1
0
d. Asas Keindahan

Ayat-ayat al Qur’an banyak sekali menyampaikan secara tersirat


tentang keindahan, misalnya penciptaan manusia yang dengan sebaik-baik
bentuk, penciptaan binatang , penciptaan langit (badi’ussamaawaati), dst.
Keindahan yang dimaksud oleh al Qur’an bukan hanya indah dari segi lahiriyah
yang tampak oleh mata, namun keindahan yang disertai dengan keseimbangan
dan keharmonisan, keindahan yang seimbang antara yang lahir dan yang
bathin.
Nabi Saw bersabda :

.‫ رواه مسلم‬- ‫ط س‬ ْ ‫ ال ِك ْب ط ح‬،‫إن هلال ج ي ب ج ل‬


‫الَنا‬ ‫ُر َب ُر ال ِق م‬ ‫ِمي ِح ال م‬
‫وغ‬ ‫ا‬ ‫ل‬

Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah Maha Indah dan


mencintai keindahan, kesombongan itu adalah menolak kebenaran
dan merendahkan orang lain.
e. Asas Keadilan
Allah Swt memerintahkan secara tegas diperbagai ayat al Qur’an agar
keadilan selalu ditegakkan diperbagai aspek kehidupan, termasuk bidang
tekhnologi. Penggunaan tekhnologi hendaknya juga dalam rangka penegakan
keadilan.
‫ن آ كونُوا قَ َّوا ن ِبا ْل ِقسط‬ ‫ ُّي َها الَّ ِذي‬kَ‫ا أ‬
‫ِمي‬ ‫َمُنوا‬

Wahai orang-orang yang beriman, Jadilah kamu penegak keadilan


(Q.S An-Nisa: 135)

Anda mungkin juga menyukai