Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

ILMU QIRAAT AL-QUR’AN

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah ‘ulumul qur’an

Dosen pengampu : Bapak Habibur Rahman, M. Pd.

Disusun oleh :

Moh. karimullah

Abdul lathif

PROGRAM STUDI MANEJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM AL-KHAIRAT PAMEKASAN

TAHUN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama allah SWT yang maha pemgasih lagi maha penyayang , segala puji
bagi allah SWT atas kehadirat –Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayat, dan inayah-Nya
kepada kita semua, terutama kepada penulis sendiri sehingga dapat menyelesaikan penulisan
makalah yang berjudul “Ilmu Qiroat Al-Qur’an”. Shalawat dan salam senantiasa tercurah
limpahkan kepada Rasulallah SAW yang mengantarkan kita dari zaman kegelapan menuju
zaman yang terang benderang ini.

Tidak lupa pula penulis ucapkan kepada.”Bapak Habibur Rahman,M.Pd”. Selaku dosen
pengampu mata kuliah Belajar dan Pembelajaran.

Menyadari banyaknya kekurangan dalam penyusunan makalah ini, penulis sangat


mengharap kritikan dan saran dari pembaca untuk melengkapi segala kekurangan dan kesalahan
dalam makalah ini.

Pamekasan , 29 Oktober 2022

Penyusun

ii
DAETAR ISI

Halaman Judul..................................................................................................................... i

Kata Pengantar .................................................................................................................... ii

Daftar Isi.............................................................................................................................. iii

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang......................................................................................................... 1
.................................................................................................................................
B. Rumusan Masalah.................................................................................................... 3
C. Tujuan ..................................................................................................................... 3
D. Manfaat.................................................................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Qiraat Al-Qur’an .................................................................................. 4


B. Macam-macam Qiraat Al-Qur’an ........................................................................... 5
C. Sebab-sebab Timbulnya Perbedaan Qiroat.............................................................. 7
D. Urgensi Mempelajari dan Pengaruhnya dalam Istinbat Hukum.............................. 9

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan............................................................................................................ 14
B. Saran...................................................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA

iii
iv
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bangsa Arab merupakan komunitas dari berbagai suku yang tersebar di sepanjang Jazirah
Arab, sehingga mempunyai dialek atau lahjah yang berbeda dengan suku-suku lainnya,
(Rosihan Anwar: 2000). Perbedaan dialek tersebut tentunya sesuai dengan letak geografi dan
sosiokultural dari masing-masing suku. Penyebab utamanya adalah karena pekerjaan orang-
orang Quaraisy adalah berdagang sehingga mereka banyak bergaul dengan warga yang
melakukan ibadah Haji, (Muhammad Ali AsShabuniy: 1991). Berarti secara tidak langsung
orang-orang Quraisy mengambil sebagaian dialek dan bahasa dari pendatang di Quraisy.
Dengan adanya perbedaan dialek atau lahjah itu membawa konsekuensi Qira’at Al-Qur’an 36
lahirnya bermacam-macam bacaan (qira’at) dalam melafazkan ayat-ayat AlQur’an,sehingga
dapat dipahami alasan Allah swt., menurunkan Al-Qur’an dengan menggunakan bahasa
Quraisy atau bahasa yang mudah dipahami oleh seluruh orang Arab, dengan maksud untuk
mempermudah mereka dalam memahaminya. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt.,
QS.Yusuf /12:2.

َ‫اَرْ ِس ْلهُ َم َعنَا َغدًا يَّرْ تَ ْع َويَ ْل َعبْ َواِنَّا لَهٗ لَ ٰحفِظُوْ ن‬

Artinya:

“Sesungguhnya Kami menurunkan berupa al-Quran dengan berbahasa Arab, agar


kamu memahaminya”.1

Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa Al-Qur’an diturunkan oleh Allah swt., kepada Nabi
Muhammad saw, melalui malaikat Jibril sebagai petunjuk bagi umat Islam, tentunya sebagai
petunjuk haruslah dibaca, namun pada awalnya para sahabat berbeda-beda melafadzkannya,
tetapi beliau tidak pernah menyalahkan para sahabat, sekalipun masing-masing sahabat
menerima dari Rasulullah saw. Oleh karena itu, sabda Nabi: “Unzila hadza al-Qur’an ala sab’ah
ahrufin” (Al-Qur’an itu diturunkan dalam tujuh huruf), sebagai dasar pembenarannya dan hadis-

1 Al-qur’an, (QS-Yusuf/12:2).

1
hadis lain yang sepadan dengannya. Dari peristiwa tersebut yang melatar belakangi timbulnya
perbedaan qiraat .2

Qiraat merupakan salah satu cabang ilmu dalam ‘Ulum al-Qur’an, namun tidak banyak
orang yang tertarik kepadanya, kecuali orang-orang tertentu saja biasanya kalangan akademik.
Banyak faktor yang menyebabkan hal itu,  di antaranya adalah ilmu ini tidak berhubungan
langsung dengan kehidupan dan muamalah manusia sehari-hari; tidak seperti ilmu fiqih, hadis,
dan tafsir. misalnya, yang dapat dikatakan berhubungan langsung dengan kehidupan manusia.
Hal ini dikarenakan ilmu qira’at tidak mempelajari masalah-masalah yang berkaitan secara
langsung dengan halal-haram atau hukum-hukum tertentu dalam kehidupan manusia.3

 Selain itu, ilmu ini juga cukup rumit untuk dipelajari, banyak hal yang harus diketahui oleh
peminat ilmu qira’at ini, yang terpenting adalah pengenalan al-Qur’an secara mendalam dalam
banyak seginya, bahkan hafal sebagian besar dari ayat-ayat al-Qur’an. Yang mana, Al-qur’an
merupakan salah satu kunci memasuki gerbang ilmu ini; pengetahuan bahasa Arab yang
mendalam dan luas dalam berbagai seginya, juga merupakan alat pokok dalam menggeluti ilmu
ini, pengenalan berbagai macam qiraat dan para perawinya adalah hal yang mutlak bagi pengkaji
ilmu ini. Hal-hal inilah barangkali yang menjadikan ilmu ini tidak begitu populer.

B. Rumusan Masalah
1) Apa yang dimaksud dengan qiraat Al-qur’an ?
2) Macam-macam qiraat Al-qur’an?
3) Apa saja sebab-sebab timbulnya perbedaan qiraat Al-qur’an ?
4) Bagaimana urgensi mempelajari dan pengaruhnya dalam istinbat hukum ?
C. Tujuan
1) Menjelaskan tentang pengertian qiraat al-qur’an
2) Menjelaskan macam-macam qiraat al-qur’an
3) Menjelaskan sebab-sebab timbulnya qiraat Al-qur’an
4) Menjelaskan urgensi mempelajari dan pengaruhnya dalam istinbat hukum ?

2 .Nur, Muhammad Qadirun, Ikhtisar ‘Ulumul Qur’an Praktis, (Jakarta: Pustaka Amani, 2001).
3 Ash-Shabuni, Muhammad Ali, At-Tibyan Fi ‘Ulumul Qur’an, (Jakarta: Darul Kutub Al- Islamiyah,2003).

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian qiraat Al-Qur’an


Menurut bahasa, qira’at (‫راءات‬jj‫ )ق‬adalah bentuk jamak dari qira’ah (‫راءة‬jj‫ )ق‬yang
merupakan isim masdar dari qaraa (‫)قرأ‬, yang artinya : bacaan.
Pengertian qira’at  menurut istilah cukup beragam. Hal ini disebabkan oleh keluasan
makna dan sisi pandang yang dipakai oleh ulama tersebut. Berikut ini akan diberikan
beberapa pengertian qira’at menurut istilah:
1) Menurut A-Zarqani
ْ ‫ َكان‬   ‫ُق َع ْنهُ َس َوآ ٌء‬
‫َت ِه ِذ ِه‬ ُّ ‫ت َو‬
ِ ‫الطر‬ ِ َ‫ق بِ ْالقُرْ آ ِن ْال َك ِري ِْم َم َع اتِّف‬
ِ ‫اق ال ِّر َوايَا‬ ْ ُّ‫َم ْذهَبٌ يَ ْذهَبُ ِإلَ ْي ِه ِإ َما ٌم ِم ْن َأِئ َّم ِة ْالقُرَّا ِء ُمخَ الِفًا بِ ِه َغ ْي َرهُ فِى الن‬
ِ ‫ط‬
.‫ق هَيَْئتِهَا‬ ٍ ‫ط‬ْ ُ‫ف َأ ْم فِىن‬ ِ ْ‫ق ْال ُحرُو‬ ِ ‫ط‬ ْ ُ‫ْال ُم َخالَفَةُ فِى ن‬
Artinya:
“Suatu madzhab yang dianut oleh seorang imam qiraat  yang berbeda dengan yang
lainnya dalam pengucapan Al-Quran al-Karim serta sepakat riwayat-riwayat dan jalur-jalur
daripadanya, baik perbedaan ini dalam pengucapan huruf-huruf maupun dalam pengucapan
keadaan-keadaan.”4

2) Menurut Ibnu Al-Jaziri


ْ ‫ت ْالقُرْ آ ِن َو‬
‫اختِالَفِهَا بِ َع ْز ِو النَّافِلَ ِة‬ ِ ‫ت َأدَا ِء َكلِ َما‬
ِ ‫ِع ْل ٌم بِ َك ْيفِيَا‬

Artinya:
“Ilmu yang menyangkut cara-cara mengucapkan kata-kata Al-Quran dan perbedaan-
perbedaannya dengan cara mengisbatkan kepada penukilnya.”5

3) Menurut Al-Qasthalani
.‫ْف َوت َْثقِ ْي ٍل َو َغي ِْر ِههَما‬
ٍ ‫اِ ْختِالَفُ َأ ْلفَا ِظ ْال َوحْ ِي ْال َم ْذ ُكوْ ِر فِى ِكتَابَ ِة ْال ُحرُوْ ف ِ َأوْ َك ْيفِيَتِهَا ِم ْن ت َْخفِي‬

Artinya:
“Qiraat dalah perbedaan (cara mengucapkan) lafadz-lafadz Al-Quran, baikm
menyangkut huruf-hurufnya datau cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhfif
(meringankan) dan tatsqil (memberatkan), dan yang lainnya.”6

4) Menurut Az-Zarkasyi
‫ْف َوت َْثقِ ْي ٍل َو َغي ِْرهَا‬
ٍ ‫ف َأوْ َك ْيفِيَّتِهَا ِم ْن ت َْخفِي‬
ِ ْ‫اختِالَفُ َأ ْلفَا ِظ ْال َوحْ ِي ْال َم ْذ ُكوْ ِرفِى ِكتَابَ ِة ْال ُحرُو‬
ْ
4 Al-qur’an.
5 Al-qur’an.
6 Al-qur’an.

3
Artinya:
“Qiraat adalah perbedaan (cara mengucapkan) lafazh-lafazh Al-Quran, baik
menyangkut huruf-hurufnya tau cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhfif
(meringankan), tatsqil (memberatkan), dan atau yang lainnya.”7

5) Menurut Ash-Shabuni
َ ِ‫ق فِى ْالقُرْ آ ِن يَ ْذهَبُ ِإلَ ْي ِه ِإ َما ٌم ِمنَ اَْألِئ َّم ِة بَِأ َسانِ ْي ِدهَا ِإلَى َرسُوْ ِل هللا‬
.‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ ْ ُّ‫ب الن‬
ِ ‫ط‬ ِ ‫َم ْذهَبٌ ِم ْن َم َذا ِه‬

Artinya:
“suatu madzhab cara pelafalan Al-Quran yang dianut oleh salah seorang
imamberdasarkan sanad-sanad  yang bersambung kepada Rasulullah saw”.8

      Perbedaan cara pendefinisian di atas sebenarnya berada pada satu kerangka yang sama,
yaitu: bahwa ada beberapa cara melafalkan Al-Quran walaupun sama-sama berasal dari satu
sumber, yaitu Muhammad. Adapun definisi yang dikemukakan Al-Qasthalani menyangkut
ruang lingkup perbedaan di antara beberapa qiraat yang ada. Dengan demikian ada tiga unsur
qiraat yang dapat ditangkap dari definsi di atas, yaitu:
a) Qiraat berkaitan dengan cara pelafalan ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan salah
seorang imam dan berbeda dengan cara yang dilakukan imam lainnya.
b) Cara pelafalan ayat-ayat Al-Quran itu berdasarkan atas riwayat yang bersambung
kepada Nabi, jadi bersifat taufiki, bukan tauhidi.
Ruang lingkup perbedaan Qiro’at itu menyangkut persoalan Lughat, Hadzaf, I’rab,
Itsbat, Fastil, dan Washl.9

Ada beberapa kata kunci dalam membicarakan qiraat yang harus diketahui. Kata
kunci tersebut adalah qira’at, riwayat dan tariqah. Berikut ini akan dipaparkan pengetian
dan perbedaan antara qira’at dengan riwayat dan tariqah, sebagai berikut :
    Qira’at adalah bacaan yang disandarkan kepada salah seorang imam dari qurra’ yang
tujuh, sepuluh atau empat belas; seperti qira’at Nafi’, qira’at Ibn Kasir, qira’at Ya’qub
dan lain sebagainya.
Riwayat adalah bacaan yang disandarkan kepada salah seorang perawi dari para
qurra’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas. Misalnya, Nafi’ mempunyai dua orang
perawi, yaitu Qalun dan Warsy, maka disebut dengan riwayat Qalun ‘anNafi’ atau
riwayat Warsy ‘an Nafi’.10
    Adapun yang dimaksud dengan Tariqah adalah bacaan yang disandarkan kepada
orang yang mengambil qira’at dari periwayat qurra’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas.
Misalnya, Warsy mempunyai dua murid yaitu al-Azraq dan al-Asbahani, maka disebut

7 Al-qur’an.
8 Al-qur’an.
9 Al-Qattan, Manna Khalil, Mabahis Fi ‘Ulumul Qur’an, (Surabaya. Al-hidayah,1973).
10 Al-Qodi, Abdul Fattah Abdul Ghoni, Al-Wafi fi Syarhi Asy-Syathibiy, (Mesir Dar el-Islam,2009).

4
tariq al-Azraq ‘an Warsy, atau riwayat Warsy min thariq al-Azraq. Bisa juga disebut
dengan qira’at Nafi’ min riwayati Warsy min tariq al-Azraq.11

B. Macam-macam qiraat Al-qur’an


Macam-macam qira’at itu sebenarnya banyak, sejak Abu Ubaid alKasim Ibnu
Salam sebagai orang yang pertama mengarang buku masalah qira’at, setelah itu
bermunculan ahli-ahli qira’at yang menyebabkan para ulama berbedabeda dalam system
qira’at. Masalah itu mulai pada permulaan abad ke 2 H, yaitu setelah banyak orang
dinegeri Islam menerima qira’at dari beberapa imam dan berakhir pada akhir abad ke 3
H. (Ali alShabuni: 1988). Di mana pada abad itu qira’at dibukukan, maka lahirlah ragam
qira’at yang masyhur sebagai berikut
1. Dari segi Kuantitas
a. Qira’at Sab’ah (qira’at tujuh) yaitu qira’at yang disandarkan kepada imam
qira’at yang tujuh mereka adalah Abdullah al-Katsir al-Dari, Nafi’ bin
Abdrrahmana bin Abi Naim, Abdullah al-Yasibi, Abu Amar, Ya’kub,
Hamzah dan Ashim.
b. Qira’at Asyarah (qira’at sepuluh), yaitu qira’at tujuh ditambah tiga ahli
qira’at yaitu Yazid bin al-Qa’qa alMaksumi al-madani, Ya’kub bin Ishak dan
Khallaf bin Hisyam.
c. Qira’at Arba’ah Asyarah (qira’at empat belas), yaitu qira’at sepuluh
ditambah empat imam qira’at yaitu Hasan Basri, Muhammad bin Abdul
Rahman, Yahya bin al-Mubarak dan Abu al-Farj Muhammad bin Ahmad asy-
Syambusy. (Rosihan Anwar: 2000).12

Berkaitan dengan masalah qira’at di atas masih ada ulama yang


memperselisihkan kemutawatiran qira’atqira’at tersebut, ada yang mengatakan qira’at
tujuh, sepuluh dan qira’at empat belas. Yang perlu diperpegangi bahwa boleh saja
mengambil selain dari ahli-ahli qira’at tersebut yang penting ada kepastian bahwa ia
menerima system qira’at itu dari ulama’-ulama’ sebelumnya, baik secara lisan maupun

11 Op.Cit .
12 As-Shieddieqy, Hasbi, Muhammad, Teungku, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: PT. Bulan Bintang,1972).

5
mendengarkan. Sehingga, rangkaian-rangkaian tersebut berakhir pada seorang sahabat
Nabi muhammad saw yang langsung menerima qira’at tersebut dari Rasulullah saw.13

2. Dari Segi Kualitas

Sistem qira’at dari segi kualitas masih banyak ulama yang berbeda pendapat,
seperti hasil penelitian al-Jazari mengolompokkan kedalam lima bagian (Muh. Alawy
al-Maliki al-Hasani: 1999) yaitu:

a. Qira’at mutawatir yaitu qira’at yang disampaikan oleh sekolompok orang mulai
dari awal sampai akhir sanad tidak mungkin sepakat untuk berdusta.maka
sebagian ulama sepakat yang termasuk dalam kelompok ini adalah qira’ah sab’ah,
qira’at asyarah, dan qira’at arba’ah asyarah.
b. Qira’at masyhur yaitu, qira’at yang memiliki sanad yang shahih, tetapi tidak
sampai pada kualitas mutawatir, hanya sesuai dengan kaedah bahasa Arab dan
tulisan mushaf usmani.
c. Qira’at ahad yaitu, qira’at yang memiliki sanad shahih, tetapi menyalahi tulisan
mushaf usmani dan kaedah bahasa Arab.
d. Qira’at syadz yaitu qira’at yang sanadnya tidak shahih.
e. Qira’at yang menyerupai hadis mudraj (sisipan) yaitu adanya sisipan pada bacaan
dengan tujuan penafsiran.14
C. Sebab-sebab timbulnya perbedaan qiraat
1. Latar Belakang Historis
Qira’at sebenarnya telah muncul sejak masa Nabi saw., walaupun pada saat itu
qira’at bukan merupakan suatu disiplin ilmu, karena perbedaan para sahabat melafazkan
Al-Qur’an dapat ditanyakan langsung kepada Nabi saw., sedangkan Nabi tidak pernah
menyalahkan para sahabat yang berbeda itu, sehingga tidak panatik terhadap lafaz yang
digunakan atau yang pernah didengar Nabi. Asumsi ini dapat diperkuat oleh riwayat-
riwayat sebagai berikut:
a) Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Umar bin Khattab ra, berkata:
“Aku mendengar Hisyam bin Hakim membaca AlQur’an surah al-Furqan, aku

13 Dr.As-Subhi, Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Al-Quran, (Jakarta: Pustaka firdaus,2004).


14 As-Syadzali, Drs. H.Ahmad ‘Ulumul Quran I, Pustaka Setia, Bandung.2004.

6
mendengar bacaannya mengandung beberapa huruf yang belum pernah dibacakan
oleh Rasulullah saw. kepadaku, sehingga setelah selesai shalatnya aku bertanya
kepadanya: Siapa yang membacakan ini kepadamu? Ia menjawab Rasulullah yang
membacakan kepadaku! Setelah itu aku mengajaknya untuk menghadap pada
Rasulullah: Aku mendengar laki-laki ini membaca surah al-Furqan dengan
beberapa huruf yang belum pernah Engkau bacakan, sedang Engkau sendiri yang
telah membacakan surah alFurqan kepadaku! Rasulullah menjawab: Begitulah
surah ini diturunkan”.
b) Imam Muslim dengan sanad dari Ubai bin Kaab berkata: Ketika aku berada di
masjid tiba-tiba masuklah seorang laki-laki untuk shalat dan membaca bacaan
yang aku ingkari, setelah itu masuk lagi laki-laki lain, bacaannya berbeda dengan
laki-laki yang pertama. Setelah kami selesai shalat kami menemui Rasulullah, lalu
aku bercerita tentang hal tersebut, kemudian Rasulullah memerintahkan keduanya
untuk membaca, maka Rasulullah saw. mengatakan kepadaku: “Hai Ubay,
sesungguhya aku diutus membaca Al-Qur’an dengan tujuh huruf”. (Muhammad
Ali ash-Shabuni: 1988).

Kedua riwayat tersebut membuktikan bahwa lafaz-lafaz Al-Qur’an yang


diucapkan oleh sahabat masingmasing berbeda, kemudian Rasulullah tidak menyalahkan
para sahabat dan memberi jawaban yang sama yaitu Al-Qur’an diturunkan tujuh huruf.

Untuk mengetahui apakah qira’at itu benar atau tidak harus memenuhi tiga syarat
yaitu pertama, sesuai dengan kaedah bahasa Arab kedua, sesuai dengan mushaf Usmani
dan ketiga, sanad-sanadnya shahih. (Rosihan Anwar: 2000). Oleh karena itu apabila suatu
qira’at tidak memenuhi salah satu diantara tiga syarat tersebut, maka qiraat tersebut tidak
sah atau lemah. Orang yang pertama kali menyusun qira’at adalah Abu Ubaidah al-Kasim
bin Salam, kemudian setelah itu menyusullah ulama-ulama lain, namun diantara mereka
berbeda dalam menetapkan jumlah syarat-syarat qira’at yang benar.15

2. Latar Belakang Cara Penyampain


Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa setelah para sahabat tersebar, maka
mereka membacakan qira’at Al-Qur’an kepada murid-muridnya secara turun temurun.

15 Wahid, Ramli, Drs.Abdul.MA., ‘Ulumul Qur’an, Edisi Revisi, ( Jakarta: persada, PT. Raja Garfindo,1993).

7
Pada akhirnya murid-murid lebih suka mengemukakan qira’at gurunya dari pada
mengikuti qira’at imam-imam yang lain. Hal ini mendorong beberapa ulama merangkum
beberapa bentuk-bentuk perbedaan cara melafazkan Al-Qur’an adalah sebagai berikut:
a) Perbedaan dalam I’rab atau harakat kalimat tanpa perubahan makna dan bentuk
kalimat. Misalnya dapat dilihat dalam Qs. an-Nisa/4: 37 (kata bil-bukhli yang
berarti kikir dapat dibaca fathah pada huruf ba-nya, sehingga dapat dibaca bil-
bakhli tanpa perubahan makna). (Rosihan Anwar: 2000).
b) Perubahan pada I’rab dan harakat, sehingga dapat merubah maknanya.Misalnya
dalam Qs. Saba’/34:19 (Kata baa’id artinya jauhkanlah, yang kedudukannya
sebagai fi’il amr, boleh juga dibaca ba’ada yang kedudukannya menjadi fi’il
madhi, sehingga maknanya berubah “telah jauh”).
c) Perbedaan pada perubahan huruf tanpa perubahan I’rab dan bentuk tulisan,
sedang makna berubah. Misalnya dalam Qs.al-Baqarah/2: 259 (Kata nunsyizuha
“Kami menyusun kembali” ditulis dengan huruf zay diganti dengan huruf ra’,
sehingga berubah bunyi menjadi nunsyiruha yang berarti “Kami hidupkan
kembali”).
d) Perubahan pada kalimat dengan perubahan pada bentuk tulisan, tapi makna tidak
berubah.Misalnya dalam Qs. al-Qari’ah/101: 5 (Kata ka-al- ‘ihni “bulu-bulu”
kadang dibaca kaash-shufi “bulu-bulu domba”. Perubahan ini berdasarkan ijmak
ulama, namun tidak dibenarkan karena bertentangan dengan mushaf Usmani).
(Rosihan Anwar: 2000). 16

Dengan demikian, dengan menyebarnya imam-imam qira’at ke berbagai


daerah, dengan mengajarkan dialek atau lahjah mereka masing-masing, yang pada
gilirannya melahirkan hal-hal yang tidak diinginkan yaitu timbulnya qira’at yang
beraneka ragam, maka para ulama mengambil inisiatif untuk meneliti qira’at dari
berbagai penyimpangan.

D. Urgensi Mempelajari dan Pengaruhnya dalam Istinbat Hukum


1. Urgensi Mempelajari Qiraat

16 Anwar, Hamdani. Pengantar Ilmu Tafsir, Fikahati Aneska.

8
a). Menguatkan ketentuan hukum yang telah disepakati para ulama, misalnya:
berdasarkan surat An-Nsia [4] ayat 12, para ulama sepakat bahwa yang
dimaksud dengan saudara laki-laki dan saudara perempuan dalam ayat tersebut
adalah saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu saja.
Artinya : “jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai saudara
laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi
masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta..” (Q.S. An-Nisa
[4] : 12). Dengan demikian, qiraat Sa’ad bin Waqash dapat memperkuat dan
mengukuhkan ketetapan hukum yang telah disepakati.17
b). Menarjih hukum yang diperselisihkan para ulama. Misalnya, dalam surat Al-
Maidah [5] ayat 89, disebutkan bahwa qirat sumpah adalah berupa
memerdekakan abid. Tambahan  kata mukminatin berfungsi menarjih pendapat
para ulama antara lain As-Syafi’iy yang mewajibkan memerdekakan budak
mukmin bagi orang yang melanggar sumpah, sebagai salah satu bentuk alternatif
kifaratnya.
c). Menggabungkan dua ketentuan hukum yang berbeda. misalnya, dalam surat Al-
Baqarah [2] ayat 222. Sementara qiraat yang membacanya
ْ َ‫)ي‬, dapat difahami
dengan   َ‫(يَطَّهِّرْ ن‬sementara dalam mushaf Ustmani tertulis  َ‫طهُرْ ن‬
bahwa seoranng suami tidak boleh melakukan hubungan seksual sebelum
istrinya bersuci dan mandi.18
d). Menunjukkan dua ketentuan hukum yang berbeda dalam kondisi berbeda pula.
Misalnya, yang terdapat dalam surat Al-Maidah [5] ayat 6 ada dua bacaan
mengenai ayat itu, yaitu membaca ‫َأرْ ُجلِ ُك ْم‬. Perbedaan qiraat ini tentu saja
mengkonsekwensikan kesimpulan hukum yang berbeda.19
e). Dapat memberikan penjelasan  terhadap suatu kata di dalam Al-Quran yang
mungkin sulit dipahami maknanya. Misalnya, di dalam Surat Al-Qariah [10]
ayat 5, Allah berfirman:
]10: ‫َوتَ ُكوْ نُ ْال ِجبَا ُل َك ْال ِع ْه ِن ْال َم ْنفُوْ ِشد[القارعة‬

17 Al-qur’an,(QS-An-nisa’/4:14).
18 Al-qur’an.(QS-Al-baqarah/2:222).
19 Al-qur’an.(QS-Al-ma’idah/5:6).

9
Dalam sebuah qiraat yang syadz dibaca:

‫ ْال َم ْنفُوْ ش‬  ‫ف‬


ِ ْ‫َوتَ ُكوْ نُ ْال ِجبَا ُل َكالصُّ و‬
Dengan demikian, maka jelaslah bahwa yang dimaksud dengan kata ‫ْال ِع ْه ِن‬
adalah ‫الصُّوف‬.
ِ 20

2. Pengaruh qiraat terhadap istinbat hukum


Dalam hal istimbat hukum, qiraat dapat membantu menetapkan hukum secara
lebih jeli dan cermat. Perbedaan qiraat al-Qur'an yang  berkaitan dengan substansi
lafaz atau kalimat, adakalanya mempengaruhi makna dari lafaz  tersebut adakalanya
tidak. Dengan demikian, maka perbedaan qiraat al-Qur'an adakalanya berpengaruh
terhadap istimbat hukum dan adakalanya tidak.21
Perbedaan qira’at yang berpengaruh terhadap istinbat Hukum
Qira’at shahihah (Mutawatir dan Masyhur) bisa dijadikan sebagai tafsir dan
penjelas serta dasar penetapan hukum, misalnya qira’at  membantu penafsiran qira’at
(‫ )اَل َم ْستُ ْم‬dalam menetapkan hal-hal yang membatalkan wudu seperti dalam  Q.S An-
Nisa’  (4): 43 yang berbunyi:

َ ‫فَتَيَ َّم ُموا‬ ‫ ِم ْن ْالغَاِئ ِط َأوْ اَل َم ْستُ ْم النِّ َسا َء فَلَ ْم تَ ِجدُوا َما ًء‬ ‫ضى َأوْ َعلَى َسفَ ٍر َأوْ َجا َء َأ َح ٌد ِم ْن ُك ْم‬
‫ص ِعيدًا طَيِّبًا فَا ْم َسحُوا‬ َ ْ‫وَِإ ْن ُكنتُ ْم َمر‬
‫ِإ َّن َ َكانَ َعفُ ًّوا َغفُورًا‬ ‫بِ ُوجُو ِه ُك ْم َوَأ ْي ِدي ُك ْم‬
‫هَّللا‬

Artinya:
“ Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat
buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak
mendapatkan air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci):
sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya  Allah Maha Pemaaf lagi Maha
Pengampun".22
Ada perbedaan cara membaca pada lafaz (‫)اَل َم ْستُ ْم النِّ َسا َء‬. Ibn Katsir, Nafi', 'Ashim,
Abu 'Amer dan Ibn 'Amir, membaca ( ‫النِّ َسا َء‬ ‫)اَل َم ْستُ ْم‬, sedangkan Ham-zah dan al-Kisa'i,
membaca (‫النِّ َسا َء‬ ‫)اَل َم ْستُ ْم‬.

20 Al-qur’an,(QS-Al-qori’ah/10:5).
21 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta:Yayasan Penerjemah/Penafsir alQur’an,1981).
22 Al-qur’an,(QS-An-nisa’/4:43).

10
Para ulama berbeda pendapat tentang makna dari qira’at ( ‫)اَل َم ْستُ ْم‬, ada tiga versi
pendapat ulama mengenai makna (‫)ال َم ْستُ ْم‬, yaitu: bersetubuh, bersentuh, dan bersentuh
serta bersetubuh.
Para ulama juga berbeda pendapat tentang maksud dari (َ‫)ال َم ْستُ ْم‬. Ibn Abbas, al-
Hasan, Mujahid, Qatadah dan Abu Hanifah berpendapat bahwa maksudya adalah:
bersetubuh. Sementara itu, Ibn Mas'ud, Ibn Abbas al-Nakha'i dan Imam Syafi'i
berpendapat, bahwa yang dimaksud adalah: bersentuh kulit baik dalam bentuk
persetubuhan atau dalam bentuk lainnya
Ada sebuah pendapat yang menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan(‫تم‬jjjjjjjjjjjj‫المس‬
‫ )النساء‬adalah sekedar menyentuh perempuan. Sedangkan  maksud  dari (‫ )ال َم ْستُ ْم‬adalah
berjima’dengan perempuan. Sementara ada hadis shahih yang menceritakan bahwa
Nabi Muhammad SAW pernah mencium istrinya sebelum berangkat  sholat  tanpa 
berwudhu’ kembali. Jadi, yang  dimaksud dengan   kata (‫ )اَل َم ْستُ ْم النِّ َسا َء‬di sini adalah
berjima,’ bukan sekedar menyentuh perempuan. Dari contoh di atas dapat diambil
kesimpulan, bahwa yang membatalkan wudhu’ adalah berjima’, bukan sekedar
bersentuhan dengan perempuan.
Pendapat lain menyatakan bahwa pendapat yang paling kuat yaitu:
berbersentuhanya kulit laki-laki dan perempuan. Pendapat ini dikuatkan oleh al-Razi
yang menyatakan bahwa kata al-lums (‫ )اللمس‬dalam qira’at (‫)المستم‬, makna hakikatnya
(kuatnya) adalah menyentuh dengan tangan. Ia menegaskan bahwa pada dasarnya
suatu lafaz harus diartikan dengan pengertian hakikatnya (kuatnya). Sementara itu,
kata al-mulamasat (‫ )المالمسات‬dalam qira’at  (‫)ال َم ْستُ ْم‬, makna hakikatnya adalah saling
menyentuh, dan bukan berarti bersetubuh.  23
a. Perbedaan  Qiraat  yang  Tidak  Berpengaruh  terhadap  Istinbat Hukum
Berikut ini adalah contoh dari adanya perbedaan qira’at tetapi tidak berpengaruh
terhadap  istimbath hukum, yaitu pada Q.S. Al-Ahzab (33): 49.
‫ َعلَ ْي ِه َّن ِم ْن ِع َّد ٍة تَ ْعتَ ُّدونَهَا‬ ‫طَلَّ ْقتُ ُموه َُّن ِم ْن قَ ْب ِل َأ ْن تَ َمسُّوه َُّن فَ َما لَ ُك ْم‬ ‫ت ثُ َّم‬
ِ ‫الَّ ِذينَ آ َمنُوا ِإ َذا نَكَحْ تُ ْم ْال ُمْؤ ِمنَا‬ ‫يَا َأيُّهَا‬
‫ َس َراحًا َج ِمياًل‬ ‫فَ َمتِّعُوه َُّن َو َسرِّ حُوه َُّن‬
Artinya:

23 Anwar, Hamdani. Pengantar Ilmu Tafsir, Fikahati Aneska.

11
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-
perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu
mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu
minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah, dan lepaskanlah mereka
itu dengan cara sebaik-baiknya."24
Ayat di atas menjelaskan, bahwa seorang istri yanng ditalak oleh suaminya dalam
keadaan belum disetubuhi, maka tidak ada masa iddah baginya. Masa iddah adalah
masa menunggu bagi seorang wanita yang diceraikan suaminya, sebelum wanita
tersebut dibolehkan kawin lagi dengan laki-laki lain.
Berkenaan dengan ayat di atas, Hamzah dan al-Kisa'I, membacanya dengan
‫وهن‬jj‫ل ان تمس‬jj‫ ) )من قب‬sementara Ibnu Kasir, Abu 'Amer, Ibnu 'Ashim, dan Nafi'
membaca: (‫وهن‬jjj‫ل ان تمس‬jjj‫)من قب‬. Perbedaan bacaan tersebut tidak menimbulkan
perbedaan maksud atau ketentuan hukum yang terkandung di dalamnya.
b.  Pemakaian Qira’at Syaz dalam Istinbat Hukum
Tidak hanya qira’at mutawatir dan  masyhur yang dapat dipergunakan untuk
menggali hukum-hukum syar’iyah, bahkan qira’at Syaz juga boleh dipakai untuk
membantu menetapkan hukum syar’iyah. Hal itu dengan pertimbangan bahwa qira’at
Syadz itu sama kedudukannya dengan hadis Ahad (setingkat di bawah Mutawatir),
dan mengamalkan hadis Ahad adalah boleh. Ini merupakan pendapat Jumhur ulama.
 Ulama mazhab Syafi’i tidak menerima dan tidak menjadikan Qiraat Syadz
sebagai dasar penetapan hukum dengan alasan bahwa Qiraat Syaz tidak termasuk al-
Qur’an. Pendapat ini dibantah oleh Jumhur Ulama yang mengatakan bahwa dengan
menolak Qira’at Syaz sebagai al-Qur’an tidak berarti sekaligus menolak Qiraat Syaz
sebagai Khabar (Hadis). Jadi, paling tidak Qiraat Syadz tersebut merupakan Hadis
Ahad.25
Adapun contoh penggunaan Qira’at Syaz sebagai dasar hukum adalah sebagai
berikut:
 Memotong tangan kanan pencuri, berdasarkan kepada qira’at Ibn Mas’ud
dalam surat al-Maidah ayat 38, yang berbunyi:
[38‫َّارقَةُ فَا ْقطَعُوا ايديهما ] المائدة‬ ُ ‫َّار‬
ِ ‫ق َوالس‬ ِ ‫َوالس‬
24 Al-qur’an.(QS-Al-azhab/33;49).
25 Al-Maliki, al-Hasani, Muhammad bin Alawy. Mutiara Ilmu-ilmu al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia,1999).

12
Artinya:
“Seseorang yang mencuri baik laki-laki atau perempuan maka wajib di
potong kedua tangannya “26

Dan ayat diatas berlandaskan dalil ushul fiq yang berbunyi:

‫فالواجب المحكوم بالثواب في فعله والترك بالعقاب‬

Artinya:

“Wajib adalah suatu perkara yang apabila dilakukan mendapatkan pahala


dan apabila ditinnggalkan mendapatkan siksa”27

Dan hal tersebut terdapat perbedaan pendapat ulama’ diantaranya:

a) Mazhab Hanafi mewajibkan puasa tiga hari berturut-turut sebagai kafarah


sumpah, juga berdasarkan kepada qira’at Ibnu Mas’ud dalam surat al-Maidah
ayat 89 dan qira’at tersebut termasuk qira’at yang shahih dan berbunyi:

‫صيَا ُم ثَاَل ثَ ِة َأي ٍَّام متتابعات‬


ِ َ‫فَ َم ْن لَ ْم يَ ِج ْد ف‬
Artinya :

“Barang siapa yang tidak sanggup untuk melakukan demikian, maka


kafaratnya puasa selama tiga hari berturut-turut.

Sya’ban Muhammad Ismail, mengutip pernyataan Abu ‘Ubaid, dan ia


menyatakan bahwa tujuan sebenarnya dari Qiraat Syadz merupakan Tafsir dari
qira’at shahih (masyhur) dan penjelasan mengenai dirinya. Huruf-huruf tersebut
harakatnya (lafaz Qira’at Syaz tersebut) menjadi tafsir bagi ayat al-Qur’an pada
tempat tersebut. Hal yang demikian, yaitu tafsir mengenai ayat-ayat tersebut,
pernah dikemukakan oleh para Tabi’in, dan hal ini merupakan hal  yang sangat
baik.

26 Rusydi kholil,Ushul fiqh ,hlm.25.


27 Syarafuddin Yahya bin Badruddin al-imrithi, Ushul fiqh Terjemah Tahshilut Turuqot Nadzam al- Waroqot,
(MVJZAT),hlm.19.

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa Bangsa Arab merupakan komunitas dari
berbagai suku di mana setiap suku mempunyai dialek yang berbeda, namun demikian mereka
menjadikan bahasa Quraisy sebagai bahasa bersama dalam berkomunikasi. Kenyataan tersebut
membawa suatu konsekuensi lahirnya berbagai macam qira’at dalam melafazkan Al-Qur’an,
namun Rasulullah saw. senantiasa membenarkan qira’at mereka, karena AlQur’an itu diturunkan
dalam tujuh huruf, artinya sebagai kemudahan bagi umat Islam dalam melafazkan atau membaca
AlQur’an. Sebagaimana diketahui bahwa AlQur’an itu diturunkan tujuh huruf, sehingga harus
diketahui bahwa ini qira’at yang shahih dan ini qira’at yang syadz.

Menurut bahasa, qira’at adalah bentuk jamak dari qira’ah (‫ )قراءة‬yang merupakan isim
masdar dari qaraa (‫)قرأ‬, yang artinya : (bacaan).

 Ada beberapa kata kunci dalam membicarakan qiraat yang harus diketahui. Kata kunci
tersebut adalah qira’at, riwayat dan tariqah.

Qiraat sebenarnya telah muncul sejak masa Nabi walaupun pada saat itu Qiraat bukan
merupakan sebuah disiplin ilmu. Menurut catatan sejarah, timbulnya penyebaran Qiraat dimulai
pada masa tabi’in, yaitu pada awal abad II H. tatkala para qari telah tersebar di berbagai pelosok.
Mereka lebih suka mengemukakan Qira’at gurunya dari pada mengikuti Qiraat Imam-imam
lainnya.

Urgensi Mempelajari Qira’at ada dua :

1). Menguatkan ketentuan hukum yang telah disepakati para ulama


2). Menarjih hukum yang diperselisihkan para ulama.

Dalam hal istimbat hukum, qiraat dapat membantu menetapkan hukum secara lebih jeli
dan cermat. Perbedaan qiraat al-Qur'an yang  berkaitan dengan substansi lafaz atau kalimat,
adakalanya mempengaruhi makna dari lafaz  tersebut adakalanya tidak. Dengan demikian, maka

14
perbedaan qiraat al-Qur'an adakalanya berpengaruh terhadap istimbat hukum dan adakalanya
tidak.

B. Saran

Kita sebagai ummat muslim harus mengetahui tentang ilmu qira’at supaya nantinya jika
terdapat perbedaan pembacaan Al-qur’an kita tidak langsung menyalahkan, karena memang ada
perbedaan dari segi bacaanya dan juga kita dapat mengetahui imam-imam yang harus dianut
dalam pembacaan Al-qur’an.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Al-qur’an, (QS-Yusuf/12:2).
2. Nur, Muhammad Qadirun,Ikhtisar ‘Ulumul Qur’an Praktis, (Jakarta: Pustaka
Amani,2001).
3. Ash-Shabuni, Muhammad Ali, At-Tibyan Fi ‘Ulumul Qur’an, (Jakarta: Darul Kutub
Al- Islamiyah,2003).
4. Al-qur’an.
5. Al-qur’an.
6. Al-qur’an.
7. Al-qur’an.
8. Al-qur’an.
9. Al-Qattan, Manna Khalil, Mabahis Fi ‘Ulumul Qur’an, (Surabaya. Al-hidayah,1973).
10. Al-Qodi, Abdul Fattah Abdul Ghoni, Al-Wafi fi Syarhi Asy-Syathibiy, (Mesir Dar el-
Islam,2009).
11. Op.Cit.
12. As-Shieddieqy, Hasbi, Muhammad, Teungku, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: PT.
Bulan Bintang,1972).
13. Dr.As-Subhi, Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Al-Quran, (Jakarta: Pustaka firdaus).
14. As-Syadzali,Drs. H. Ahmad, ‘Ulumul Quran I, Pustaka Setia, Bandung,2004.
15. Wahid, Ramli,Drs. Abdul.MA., ‘Ulumul Qur’an, Edisi Revisi, ( Jakarta: persada, PT.
Raja Garfindo,1993).
16. Anwar, Hamdani. Pengantar Ilmu Tafsir, Fikahati Aneska.
17. Al-qur’an,(QS-An-nisa’/4:14).
18. Al-qur’an.(QS-Al-baqarah/2:222).
19. Al-qur’an.(QS-Al-ma’idah/5:6).
20. Al-qur’an,(QS-Al-qori’ah/10:5).
21. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta:byayasan
Penerjemah/Penafsir al-Qur’an,1981).
22. Al-qur’an,(QS-An-nisa’/4:43).

23. Anwar, Hamdani. Pengantar Ilmu Tafsir, Fikahati Aneska.

16
24. Al-qur’an.(QS-Al-azhab/33;49).
25. Al-Maliki, al-Hasani, Muhammad bin Alawy. Mutiara Ilmu-ilmu al-Qur’an,
(Bandung: Pustaka Setia,1999).
26. Rusydi kholil,Ushul fiqh, hlm.25.
27. Syarafuddin Yahya bin Badruddin al-imrithi, Ushul fiqh Terjemah Tahshilut Turuqot
Nadzam al- Waroqot, (MVJZAT), hlm.19.

17

Anda mungkin juga menyukai